Senin, 05 April 2010

Mariologi - Teologi Marial - 5

BAB V
PERAWAN YANG MENJADI GEREJA

266. Maria termasuk keturunan Adam dan selalu mesti ditempatkan di pihak umat manusia yang diselamatkan Allah melalui satu-satunya pengantara ialah Yesus Kristus. Manusia diselamatkan Allah berdasarkan iman. Namun di tengah keturunan Adam dan orang beriman yang berkumpul menjadi Gereja, ibu Yesus toh bukan sembarangan keturunan Adam dan bukan sembarangan orang beriman dalam Gereja Yesus Kristus dan Allah. Kedudukan unggul Maria dalam Gereja boleh diuraikan sedikit.

A. MARIA, “TYPOS” GEREJA

1. Misteri Gereja yang terwujud

267. Konsili Vatikan II (LG N. 60-65) menguraikan hubungan antara Maria dengan Gereja Yesus Kristus. Dalam rangka ini Gereja terutama dipahami sebagai “misteri” ialah penyelamatan yang berlangsung terus dan yang tanda serta sarananya (sakramen) ialah Gereja Lembaga, kelompok orang beriman dalam sejarah yang terorganisasikan secara kelihatan. Relasi yang seba majemuk antara Maria dengan Gereja serta simboliknya oleh konsili (LG N.63) dipadatkan dengan berkata: Maria merupakan “typos” atau “exemplar” (bdk. LG 53).

268. Adapun “typos/exemplar” (citra) merupakan istilah yang amat padat artinya. Kata itu tidak (pertama-tama) mempunyai arti “citra”, “teladan” moral/asketik, seolah-olah Maria (hanya) dilihat sebagai tokoh yang perlu diteladani kaum beriman. Tentu saja itu tidak dipungkiri, tetapi dengan menyebut Maria sebagai “typos/exemplar” Gereja konsili Vatikan II agak lain pikirannya. “Typos/exemplar” berarti: pada tingkat terbatas, pribadi, sudah menjadi nyata real apa yang masih ditujui oleh yang dipralambangkan itu. Kalau Maria disebut “typos/exemplar” Gereja, maka maksudnya: Pada tingkat pribadi dalam Maria sudah menjadi real terwujud apa yang sedang dijalani dan ditujui Gereja secara menyeluruh sepanjang sejarah dan yang secara kolektif-gerejani belum juga terwujud. Dalam Maria sudah menjadi real Gereja seperti tampil sebahai hasil seluruh sejarah penyelamatannya.

269. Dalam pendekatan ini diri Maria diambil secara menyeluruh: Maria sebagaimana menjadi terwujud selama dan oleh eksistensi serta hal ihwalnya sampai dengan pengangkatannya ke dalam kemuliaan surgawi. Pada Maria itulah oran (beriman) dapat melihat apa itu “Gereja” Yesus Kristus. Konsili (LG N.56) menjelaskan pikiran tersebut dengan berkata sebagai berikut: Dalam Perawan tersuci Gereja telah meraih kesempurnaan, sehingga sudah menjadi tanpa noda dan keriput (Ef 5:27). Pada tingkat pribadi karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus sudah sampai kepada tujuannya dalam diri Maria, buah matang penebusan umat manusia. Kalau Gereja menjadi terwujud oleh karena manusia menanggapi karya penyelamatan dengan iman dan kasih serta persatuan dengan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, maka iman, kasih dan persatuan itu sudah secara unggul menjadi nyata pada diri Maria melalui seluruh hidupnya, baik di bumi maupun dalam kemuliaan surgawi.

270. Dengan demikian konsili Vatikan II di satu pihak menempatkan Maria di dalam Gereja berhadapan dengan Kristus, satu-satunya Pengantara, Penebus dan Juru selamat, tetapi di lain pihak Maria diberi tempat yang unggul di dalam Gereja. Maria di satu pihak anggota Gereja, tetapi di lain pihak anggota Gereja yang unik dan unggul (LG N.53) oleh karena dalam anggota ini seluruh misteri Gereja sudah menjadi terwujud. Maka orang boleh (harus) membedakan antara: Gereja termasuk Maria dan Gereja tanpa Maria. Gerejaa, yang sepanjang sejarah menuju ke kesempurnaan yang terakhir, dalam diri Maria sudah merangkul dirinya sebagai Gereja yang sampai sudah.

271. Dengan memandang Maria sebagai “typos/exemplar” Gereja konsili Vatikan II mengangkat suatu pikiran teologik yang sebenarnya sudah lama. Istilahnya (Maria typos Gereja) untuk pertama kalinya (sejauh diketahui) dipakai oleh Ambrosius pada abad IV (dikutip konsili Vatikan II). Di zaman pertengahan pikiran itu diperkembangkan lebih lanjut, misalnya oleh Ambrosius Auspertus, Haymo dari Auxerre, Paschasius Radbertus. Menjelang konsili Vatikan II pikiran itu dihidupkan kembali, misalnya oleh O. Semmelroth, H. de Lubac, Y. Congar, J. Galot, H. Schmaus, E. Schillebeeckx, Ch. Journet. Akhirnya konsili Vatikan merestui pendekatan itu, sehingga menjadi ajaran resmi dan unsur penting dalam Mariologi.

272. Bagaimana tradisi sampai ke typologi macam itu? Sejak abad II para pujangga suka memparalelkan Maria dengan Gereja. Dengan melanjutkan pikiran Paulus (Rm 5:12-21; 1Kor 15:20-22.45-47) tentang Kristus sebagai “Adam kedua” pujangga-pujangga mencari “Hawa kedua” yang juga berperan dalam sejarah penyelamatan. Mula-mula Gereja seluruhnya dilihat sebagai “Hawa kedua”. Sama seperti Hawa lahir dari sisi Adam di firdaus (Kej 2:21) demikian pun Gereja lahir dari sisi Adam kedua (Yoh 19:34). Hawa menjadi ibu segala yang hidup (Kej 3:20) dan Gereja juga menjadi ibu segala yang hidup dalam tata penyelamatan. Hanya Hawa dengan menyebabkan dosa menjadi rekan Adam dalam membawa kematian, padahal Gereja, Hawa yang baru, sebagai teman Adam baru membawa kehidupan.

273. Tetapi juga Maria dilihat sebagai Hawa yang baru dan secara negatif diparalelkan dengan Hawa pertama seperti Kristus, Adam kedua, secara negatif diparalelkan dengan Adam pertama. Serentak Maria secara positif diparalelkan dengan Gereja. Hawa pertama sebagai perawan tidak menaati firman (perintah) Allah, tetapi mendengar Ular, ialah Iblis, dan dengan demikian menyebabkan kematian. Sebaliknya Maria, Hawa kedua, sebagai perawan taat kepada firman (malaikat) Tuhan dan dengan demikian sebagai ibu yang subur mengandung dan melahirkan kehidupan, yaitu Yesus Kristus.

274. Setelah baik Gereja maupun Maria sebagai Hawa kedua diperlawankan dengan Hawa pertama, maka Gereja dan Maria mudah disejajarkan secara positif. Epiphanius (abad IV) untuk pertama kalinya (sejauh diketahui) menampilkan Maria sebagai Hawa baru di samping Kristus. Lalu apa yang dikatakan mengenai Gereja dipindahkan kepada Maria dan sebaliknya: apa yang dikatakan tentang Maria dipindahkan kepada Gereja. Sejak Yustinus (abad II) ada pujangga Gereja (Ireneus, abad II, Cyrillus, uskup Yerusalem, abad IV, Epiphanius, abad IV) memparalelkan Gereja dengan Hawa. Sejak Ireneus ada sejumlah pujangga yang meyejajarkan Perawan-ibu yang subur, Maria, dengan perawan-ibu yang subur, ialah Gereja. Seperti Maria oleh karena imannya dan berkat Roh Kudus melahirkan Kristus, demikian pun Gereja oleh karena imannya dan berkat Roh Kudus melahirkan orang-orang Kristen. Kesejajaran antara Gereja dan Maria khususnya diperkembangkan oleh Agustinus (abad IV/V). Pikirannya adalah sebagai berikut: Kristus dan tubuhNya adalah satu. Dengan mengandung dan melahirkan Kristus, Maria melahirkan Gereja. Gereja melahirkan anggota-anggota tubuh Kristus, sehingga ada kesejalanan (sebagian) antara Maria – sejauh melahirkan anggota-anggota (tubuh) Kristus – dan Gereja yang melahirkan anggota-anggota (tubuh) Kristus. Maka dari sisi itu Maria dan Gereja sangat terbatas pada Agustinus dan Maria tidak dinilai sebagai typos Gereja paripurna. Ambrosius untuk pertama kalinya menilai Maria demikian. Tetapi lambat laun terjadilah semacam simbiose, perikohorese Maria dan Gereja. Kedua realitas itu dalam pemikiran melebur menjadi satu. Demikian jadinya Maria dilihat sebagai pengrealisasian Gereja dalam anggotanya yang pertama. Maria dinilai sebagai “Gereja” yang mendahului Gereja.

2. Mana dasar “typologi”?

275. Boleh dipertanyakan kalau-kalau tradisi mengenai Maria sebagai “typos Gereja” teologi yang sehat atau terlebih suatu ideologi ciptaan umat Kristen (Katolik). Bukankah Gereja memproyeksikan dan mengobjektivasikan dirinya dalam Maria? Bukankah dengan demikian Gereja hanya mau mengamankan dirinya dan menjadikan dirinya terluput dari hal ihwal sejarah? Gereja kan sudah seluruhnya terwujud dalam Maria, cita-cita sudah terealisasikan. Dalam Maria Gereja seluruhnya sudah selamat; iman Gereja sepenuhnya sudah dihayati; kasih ilahi Gereja sebagai balasan kepada Kasih Allah sudah menjadi kenyataan, dan kesucian utuh sempurna sudah tercapai. Apa saja yang terjadi, dalam Maria Gereja aman sentosa. Bukankah dengan menghormati dan memuja Maria Gereja akhirnya menghormati dan memuja dirinya? Semacam “Ecclesiolatria”, “Ecclesio-dulia”? Soalnya terletak dalam hal berikut ini: Mana dasarnya satu anggota Gereja (memang Maria oleh tradisi dan konsili Vatikan II dinilai sebagai anggota Gereja; dalam Kis 1:14 Maria tampil sebagai anggota jemaah perdana) dinilai dan diangkat menjadi pempribadian seluruh Gereja sepanjang masa? Mengapa para rasul, para saudara Yesus, perempuan lain yang disebutkan Kis 1:4 tidak dinilai demikian? Bahwasannya Maria dinilai sebagai “model” kaum beriman tidak menjadi masalah, tetapi “typos Gereja” tidak sama artinya dengan “model kaum beriman”.

276. Setelah dalam tradisi Maria, ibu Yesus, dinyatakan perawan-ibu Allah, tidak terkena dosa asal atau dosa mana saja ataupun “concupiscentia” dan seluruhnya selesai sudah dalam kemuliaan surgawi, lalu Maria dinyatakan (oleh konsili Vatikan II) sebagai pempribadian, pengrealisasian Gereja. Bukankah Gereja, yang tidak suci, bukan perawan, tetapi menurut sementara pujangga Gereja “pelacur”, tidak bebeas dari kedosaan umum dan dosa-dosa khusus gerejani, bukankah Gereja yang sebenarnya gagal dalam menampung karya penyelamatan Kristus, memproyeksikan frustasinya dalam Maria sebagai pengrealisasian cita-cita yang tidak terjangkau? Dan apakah dengan cara demikian Maria tidak ditempatkan antara Yesus Kristus dan umat Kristen, sebagai semacam “wadah”, tempat segala sesuatu yang dimaksudkan untuk menjadi terlaksana dalam Gereja, sudah tertampung seluruhnya?

277. Untuk teologi yang menganggap Kitab Suci sebagai tolok ukur seluruh tradisi lanjutan, tentu saja mahapenting menemukan bagi teologi sekitar Maria sebagai “typos Gereja” suatu dasar, paling tidak secara implisit, dalam Alkitab.

278. Sudah dikatakan bahwa dalam perkembangan Mariologi kesejajaran rangkap dua antara Gereja-Hawa/Maria-Hawa memainkan peranan penting. Kitab Suci, maklumlah karangan Paulus, mengembangkan paralelismus antitetik antara Adam dan Yesus Kristus. Boleh jadi Paulus memikirkan jemaah sebagai paralel dengan Hawa (bdk. 2Kor 11:1-13; Ef 5:22-33). Tetapi soalnya kalau-kalau Kitab Suci menilai ibu Yesus sebagai “Hawa kedua” sejalan dengan Adam kedua? Ada orang yang menunjuk ke Gal 4:4 yang mengatakan bahwa Anak Allah lahir dari seorang perempuan. Katanya dengan menggunakan kata “perempuan” untuk menyebutkan ibu Yesus Paulus berpikir kepada perempuan pertama, Hawa, yang terkutuk. Tetapi sukar dibuktikan secara tuntas bahwa Paulus berpikir demikian. Kecuali itu “perempuan” itu pasti tidak diperlawankan dengan “perempuan pertama” yang terkutuk itu. Dalam Yoh 2:4 dan 19:26 Yesus menyapa ibunya sebagai “perempuan”. Ada orang yang berpikir bahwa penginjil sebenarnya berpikir kepada perempuan pertama, Hawa, yang dengannya ibu Yesus disejajarkan. Tetapi itu pun mustahil dibuktikan, sehingga tidak dapat menjadi titik tolak teologi.

279. Namun hemat kami, Kitab Suci memberikan pegangan sedikit bagi teologi untuk menilai ibu Yesus sebagai puncak dan pempribadian umat Allah, umat Israel. Menurut tafsiran yang sudah kami sajikan, orang boleh berpendapat bahwa dalam kisah Yoh (2:1-10; 19:25-27) ibu Yesus memang dipentaskan sebagai lambang real-pribadi umat Israel. Ibu Yesus menjadi titik sambung antara umat Allah yang lama dan umat Allah yang baru.

280. Dalam Why 12 dipentaskan suatu tanda besar di langit, seorang perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki lalu dikejar-kejar oleh seekor naga. Tidak dapat diragukan bahwa perempuan itu suatu lambang umat Allah, baik yang lama maupun yang baru, yang melahirkan Mesias dan dengan sia-sia dikejar oleh Iblis, yang dalam ayat 9 disamakan dengan Ular firdaus. Sejak abad IV semakin tersebar suatu tafsiran Why 12 yang berpendapat bahwa perempuan yang dipentaskan itu tidak hanya melambangkan umat Allah, tetapi juga dan serentak ibu Yesus, Maria. Maria melambangkan dan mempribadikan umat Allah. Hanya sampai dengan hari ini para ahli Kitab belum sepakat kalau-kalau Why 12 berpikir kepada ibu Yesus sebagai pempribadian umat Allah, Gereja. Kepastian tidak ada, sehingga nas ini tidak dapat menjadi titik tolak Mariologi.

281. Demikian pun para ahli tafsir tidak sepakat dalam tafsiran atas Luk 1-2. Tidak sedikit tetap mempertahankan bahwa Luk 1-2 menampilkan ibu Yesus sebagai “putri/perawan Sion” (bdk. konsili Vatikan II, LG N.56), puncak dan pempribadian Israel, umat Allah. Khususnya ditunjuk Luk 1:28-30 (salam malaikat kepada Maria), yang dibandingkan dengan Zef 3:14-17, kalau “salam” (khairè) diartikan sebagai “bersukacitalah”, seperti juga terdapat pada Zef 3:14. Nabi Zefanya bernubuat tentang “Putri Sion”,”Putri Yerusalem”, ialah umat Allah, di zaman keselamatan kelak. Menurut tafsir itu Luk 1:28-30 disusun dengan berlatar belakang nas Zef tersebut. Dan maksud penginjil ialah: kini nubuat itu digenapi dan Marialah yang tampil sebagai “Putri Sion”, pempribadian umat Allah. Tetapi lain-lain ahli Kitab berpendapat tafsiran tersebut tidak berdasar oleh karena – khususnya kalau teks Yunani Luk dan teks Yunani Zef dibandingkan – kesamaan antara kedua nas itu hampir tidak ada.

282. Namun demikian jelas pulalah bahwa Luk 1-2 tidak menampilkan Maria sebagai individu belaka, biar ibu Yesus sekali pun. Bila orang membaca Lagu Maria (Magnificat, Luk 1:46-55), jelaslah Maria tidak hanya berbicara atas namanya sendiri. Sebaliknya ia tampil sebagai juru bicara sekelompok orang, yaitu orang yang telah mengalami kesusahan dan penderitaan serta penindasan, namun tetap percaya kepada Allah, yang juga menyelamatkan mereka. Di muka sudah diuraikan bahwa Luk 1-2, khususnya Luk 1:46-55 mementaskan ibu Yesus sebagai juru bicara “kaum anawim”. Apakah Maria dengan demikian ditampilkan sebagai “typos Gereja” Allah? Dalam rangka pertanyaan itu tidak hanya perlu membaca Zef 3:14-15, tetapi terlebih Zef 3:12-13.

283. “Kaum hina-dina” tampil dalam Zef 3:12-13. Mereka digambarkan sebagai umat Israel yang selamat di masa mendatang, sisa umat Allah, Israel sejati. Luk dalam nas tersebut kiranya menilai ibu Yesus sebagai juru bicara “kaum hina-dina”, wakil dan pempribadiannya, yang oleh Allah melalui anak Maria, Juru selamat (Luk 2:11), diselamatkan (Luk 1:47). Di zaman Perjanjian Baru, waktu Luk ditulis, kaum “hina-dina” (Ebyonim), khususnya jemaah di Qumran, menilai dirinya sebagai Israel sejati, yang pada akhir zaman diselamatkan oleh Allah. Kalau Luk 1-2 terpengaruh oleh spiritualitas “kaum hina-dina” itu (yang masuk Kristen) dan mengambil alih lagu-lagu (Zakharia, Luk 1:68-79; Maria, Luk 1:46-55) dari kalangan mereka, maka tidak terlalu gegabah menduga bahwa Luk 1 mau mementaskan ibu Yesus sebagai pempribadian Israel sejati, yang terwujud oleh jemaah Yesus nanti. Meskipun juga lagu Zakharia, ayah Yohanes Pembaptis, menyuarakan spiritualitas “kaum hina-dina”, namun Luk 1 cukup jelas tidak melihat Zakharia sebagai pempribadiannya. Sebab Zakharia jelas diperlawankan dengan Maria, yang unggul dalam imamnnya (Luk 1:20.38.45)

284. Maka ibu Yesus, pempribadian kaum hina-dina dalam Luk 1, tampil sebagai antisipasi jemaah Yesus. Maria dipentaskan sebagai model orang beriman. Setelah Maria digambarkan demikian alam Luk 1-2; ia kembali dipentaskan dalam Kis 1:4 di tengah jemaah perdana yang menantikan Roh Kudus. Antara Luk 1-2 dan Kis 1-2 ada kesejalanan yang cukup menyolok dan disepakati para ahli tafsir. Itu tentu saja tidak serba kebetulan, tetapi dengan sengaja diciptakan penulis Luk-Kis. Dengan demikian ibu Yesus menjadi sambungan antara masa kelahiran Yesus dan masa kelahiran jemaah Yesus, Israel sejati, kaum hina-dina. Maria mengantisipasikan jemaah Kristen, Gereja Yesus Kristus. Dan justru fungsi sebuah “typos”, “exemplar”, yaitu secara real mengantisipasikan realitas definitif yang menyusul.

285. Maka boleh disimpulkan bahwa Mariologi yang melihat ibu Yesus sebagai “typos/exemplar” Gereja dapat menemukan dasarnya dalam Kitab Suci. Yoh 2:1-10; 19:25-27 menampilkan ibu Yesus sebagai Israel sejati, yang menjadi kesinambungan antara umat Allah yang lama dan umat Allah yang baru, jemaah Kristen. Tetapi Luk 1-2 serta Kis 1 maju selangkah. Ibu Yesus dipentaskan sebagai model orang beriman dan antisipasi real jemaah Kristen, ialah Gereja. Dan Maria “typos/exemplar Gereja” lebih dari ajaran bahwa Maria adalah “ibu kaum beriman”, “ibu Gereja”. Sudah dikatakan bahwa di zaman pertengahan, yang dirintis oleh Origenes dan Ambrosius, Yoh 9:25-27 biasanya diartikan begitu rupa, sehingga Maria dilihat sebagai ibu kaum beriman, Gereja, yang dilambangkan oleh “murid yang dikasihi Yesus”. Meskipun teologi yang terungkap dalam tafsiran itu tepat, namun teologi itu tidak dapat dinilai sebagai tafsiran Yoh 19:25-27. Namun demikian, juga dalam Yoh 19:25-27 ibu Yesus mempunyai dimensi eklesial dan menjurus kepada typologi yang menjadi matang dalam Luk 1-2; Kis 1.

286. Oleh karena teologi mengenai Maria sebagai “typos/exemplar” Gereja mendapat pangkalnya dalam Kitab Suci, maka teologi itu dapat diterima juga. Mariologi boleh mengembangkan gagasan itu, asal tetap diawasi Kitab Suci. Teologi itu sungguh-sungguh terancam bahaya menjadi ideologi. Yaitu ideologi eklesial, yang sebenarnya hanya menyanjung-nyanjung Gereja, yang dalam “typosnya”, Maria diidealkan di luar batas. Bahaya itu terhindar kalau teologi itu tidak hanya mendasarkan diri pada sebagian kecil Kitab Suci, tetapi juga terus diawasi oleh realitas objektif, yaitu Maria, seperti digambarkan Kitab Suci, khususnya Luk dan Yoh, tanpa menyingkirkan ayat-ayat yang kurang positif. Dari realitas Maria itu dapat dijabarkan bahwa pada Maria karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus sepenuh-penuhnya terlaksana dan berhasil. Sebab pada ibu Yesus karya itu memancing dan memungkinkan tanggapan sepenuh-penuhnya dari pihak manusia yang bernama Maria, ibu Yesus. Apa yang tidak jadi terwujud dalam persekutuan kaum beriman sepanjang sejarah, ialah Gereja, menjadi nyata dalam Maria. Dengan demikian Maria menjadi “typos” bagi Gereja yang tidak berhasil dan “typos” itu tidak berperan sebagai ideologi, melainkan sebagai kritik ideologi yang mengancam Gereja, dan suatu teguran tetap yang oleh Tuhan ditujukan kepada GerejaNya.

287. Sebab hanya dalam Maria sajalah Gereja Yesus Kristus menjadi nyata seutuhnya. Ibu Yesus, yang oleh Allah diciptakan menjadi tanda kegagalan umat Allah, bukan ciptaan Gereja untuk dibanggakan. Teologi typologik tentang Maria maunya menempatkan dia di dalam Gereja, tetapi akhirnya menempatkan ibu Yesus terlebih di pihak Allah dan Yesus Kristus berhadapan dengan Gereja. Di sana kan Gereja melihat betapa jauh ia dari maksud Allah. Hanya Maria sepenuh-penuhnya mewujudkan Gereja, oleh karena terbawa oleh tawaran diri Allah melalui anaknya, Yesus Kristus, Juru selamat umat manusia, Maria sebulat-bulatnya merelakan diri untuk ditawari dan menerima tawaran diri Allah. Hanya Maria sajalah merelakan diri dengan cara demikian, bukan Gereja sejauh lain dari Maria.

3. Ibu Gereja
288. Kalau maria boleh disebutkan “typos Gereja”, pengrealisasian pribadi seluruh Gereja, yang berhadapan dengan Allah dan Kristus sebagai Juru selamat, maka Maria sukar diberi gelar “ibu Gereja”, apalagi oleh karena Gereja itu sendiri sudah lazim digelari “ibu” orang-orang beriman, sejalan dengan Maria. Konsili Vatikan II, yang mengatakan Maria anggota Gereja sekaligus “typos Gereja”, menolak memberi Maria gelar “ibu Gereja”. Soal itu hangat-hangat dan secara amat emosional dipertikaikan oleh para Bapa konsili. Adegan itu sebenarnya kurang sedap rasanya. Ada tawar-menawar sekitar ibu Yesus, seolah-olah sepotong barang yang diperdagangkan, seolah-olah Bapa konsili berhak menentukan kalau-kalau Maria boleh diberi “tanda jasa”, “lencana penghargaan” dan “penghormatan”, atau tidak. Cukup banyak Bapa konsili ternyata merasa betapa kurang sedapnya Maria diperdagangkan. Habis penolakan oleh konsili, maka P. Paulus VI pada akhir sidang yang bersangkutan tanggal 21/XI/1964, toh secara resmi menyatakan Maria “ibu Gereja”.

289. Tetapi Paus dengan cermat menjelaskan gelar itu. Maria adalah ibu Gereja, artinya: ibu kaum beriman, kecuali Maria sendiri. Dengan demikian Maria adalah ibu umat Kristen seluruhnya, baik orang beriman maupun para Gembala (yang baru saja mempertikaikan ibu mereka). Dibedakan antara Gereja yang mencakup Maria sendiri sebagai anggota dan “typos” dan Gereja, umat beriman tanpa Maria. Sebagaimana di muka sudah diuraikan, Maria boleh disebut “ibu semua orang beriman”, malah “ibu semua manusia” dalam tata rahmat oleh karena Maria menjadi ibu Kristus, Juru selamat. Dengan melahirkan Juru selamat, Maria secara tak langsung “melahirkan “ mereka semua yang (mau) diselamatkan Kristus. Oleh karena Maria tidak hanya secara fisik-biologik menjadi ibu Yesus, tetapi juga secara personal dan sebulat-bulatnya melibatkan diri dalam keibuannya, maka keterlibatan bulat dan personal dengan Yesus sebagai Juru selamat berarti juga keterlibatan personal dan bulat dengan mereka semua yang (mau) diselamatkan. Relasi khas dengan Yesus itu mengimplikasikan relasi khas dengan mereka semua yang menjadi sasaran karya anak Maria.

290. Gelar Maria “ibu Gereja” sebenarnya baru muncul dalam tradisi sejak abad VIII. Gelar itu tidak dapat langsung didasarkan pada Kitab Suci. Meskipun Yoh 19:26 kerap kali dimanfaatkan, namun, seperti sudah diuraikan, nas Yoh itu tidak dapat dipakai sebagai dasar alkitabiah. Adapun sebabnya mengapa lama sekali orang enggan menyebut Maria “ibu Gereja” ialah: Maria dianggap “putri Gereja” dan “anggota Gereja”. Kalau kata “Gereja” diambil dengan arti selengkap-lengkapnya, ialah keseluruhan kaum beriman (sejak awal dunia) yang mendahului masing-masing anggota, Maria memang mesti disebut “putri” dan “anggota” Gereja. Sebab Maria pun diselamatkan, termasuk ke dalam kalangan mereka yang “ditebus” oleh karya penyelamatan Allah. Sebagai orang beriman Maria termasuk ke dalam persekutuan orang beriman yang menampakkan karya penyelamatan Kristus yang mendahului mereka semua. Tetapi jika kata “Gereja” diambil dengan arti terbatas, ialah “kumpulan orang beriman”, maka Maria boleh dikatakan “ibu mereka”, oleh karena menjadi ibu Juru selamat mereka dan mereka semua turut “dilahirkan” oleh Maria. Sebab “misteri Gereja” pertama-tama terwujud dalam anak Maria, Yesus Kristus yang di dalam diriNya mempersatukan Allah dan manusia.

B. MARIA, GEREJA YANG JAYA DALAM DOA

1. Maria “pengantara” (mediatrix)
291. Konsili Vatikan II (LG N.62) menegaskan bahwa peranan Maria sebagai “ibu” dalam tata penyelamatan berlangsung terus. Jadi kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan (sebagai ibu Juru selamat dan “rekanNya” dalam karya penyelamatan) tidak berhenti dengan hilangnya Maria dari panggung sejarah.

292. Dalam hal ini ada kesejalanan antara Maria dan Yesus. Meskipun Yesus lenyap dari sejarah, namun Ia tetap aktual masih juga berperan, seperti berulang kali ditandaskan Perjanjian Baru (bdk. Kis 2:33; 9:15; Rm 8:34; Ibr 7:24-25; 9:14; 5:9; 1Yoh 1:7-9; 2:1-2) dan selalu diandaikan. Kedudukan dan peranan aktual Yesus Kristus sepanjang masa itu berdasarkan karya penyelamatanNya dahulu, kehidupan, wafat dan kebangkitanNya, dalam kesetiaan serta ketaatan kepada BapaNya. Yang sama harus dikatakan tentang Maria: Kedudukan dan peranan aktualnya dalam tata penyelamatan berdasarkan kedudukan dan peranannya dalam sejarah penyelamatan dahulu. Dan seperti kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan seluruhnya bergantung pada Allah dan Yesus Kristus, Juru selamat, demikian pun kedudukan dan peranan Maria yang aktual tetap bergantung pada kedudukan dan perananan aktual Yesus Kristus.

293. Konsili Vatikan II (LG N.62) merumuskan peranan aktual Maria itu sebagai berikut: “Karena, setelah diangkat ke surga, ia (Maria) tidak menanggalkan tugas penyelamatan ini, melainkan melanjutkannya melalui syafaatnya yang berganda-ganda dan memperoleh bagi kita anugerah-anugerah keselamatan kekal. Dengan cintanya sebagai seorang ibu ia memprihatinkan saudara-saudara Anaknya yang kini masih musafir...... Oleh sebab itu di dalam Gereja Santa Perawan menyandang gelar: pengacara (advocata), pembantu (auxiliatrix), penolong (adiutrix) dan pengantara (mediatrix).” Sebelum konsili ada suatu tendensi kuat, supaya Sri Paus (atau konsili) meresmikan suatu dogma marial yang baru, yaitu Maria sebagai “pengantara segala rahmat” (mediatrix omnium gratiarum). Tetapi konsili akhirnya tidak hanya menolak membuat dogma baru, tetapi amat merelativasikan gelar “mediatrix” dengan menempatkannya serangkai dengan gelar-gelar devosional lain (advocata, auxiliatrix, adiutrix), yang k.l. searti dan saling melengkapi. Maka “mediatrix” berarti: Maria berperan sebagai “pembicara baik”,”pembantu” dan “penolong” kaum beriman. Dengan demikian Maria ditempatkan di antara para “kudus” (orang beriman yang sudah selesai, sampai), yang menurut kepercayaan tradisional, paling tidak dalam tradisi Katolik (DS 1821), tetap berperan sebagai pembantu, penolong, pembicara baik dan pengantara bagi orang beriman, yaitu dengan mendoakan mereka. Secara resmi halnya dirumuskan oleh konsili Trente (DS 1821-1825) (terulang konsili Vatikan II LG N.50). Sekaligus dijelaskan bagaimana peranan para kudus perlu dipahami, sehingga Yesus Kristus tetap satu-satunya Penebus dan Juru selamat.

294. Jemaah-jemaah Reformasi dewasa ini umumnya tidak menerima, atau paling tidak, tidak menghayati, tradisi Kristen yang amat kuno itu. Pada awal Reformasi – seperti terungkap misalnya dalam “Augustana Confesio”, juga jemaah-jemaah Reformasi mengakui peranan aktual para kudus dan tidak segan mengakui bahwa peranan Maria memang unggul. Tetapi akibat pertikaian sengit Gereja Roma Katolik dan umat Reformasi, unsur itu hampir seluruhnya hilang dari praktek jemaah-jemaah Protestan, yang melawan praktek seperti lazim dalam Gereja Roma Katolik. Dan umat Reformasi amat alergik terhadap gelar-gelar, khususnya gelar “pengantara” yang diberi kepada para kudus dan khususnya kepada ibu Yesus.

295. Dan memang membaca segala gelar yang, menurut konsili Vatikan II, disandang Maria, orang terkejut sedikit. Sebab gelar-gelar “advocatus”, “auxiliator”, “adiutor” secara tradisional diberikan kepada Roh Kudus. Jelaslah bahwa gelar yang sama tidak boleh sama artinya kalau diberikan kepada Roh Kudus dan kalau diterapkan pada ibu Yesus. Roh Kudus kan adalah Allah sendiri yang aktif tetap berkarya dalam sejarah dan dalam Gereja serta menjadi daya penyelamatan Yesus Kristus yang tetap aktual. Sebaliknya Maria seluruhnya di pihak manusia dan sebagai teman manusia ada di samping mereka sebagai “pengacara”, “pembantu”, “penolong” dan “pengantara”. Boleh disesalkan bahwa pada umat Katolik kesadaran akan Maria sebagai “pembantu”, “pengacara” dan sebagainya jauh lebih kuat daripada kesadaran akan Roh Kudus.

296. Kesulitan utama yang diajukan terhadap semua gelar tersebut, terutama terhadap gelar “pengantara” (mediatrix), justru kesan bahwa Maria mengganti Roh Kudus dan khususnya mengganti satu-satunya Pengantara (Mediator) ialah Yesus Kristus (bdk. 1Tim 2:5-6) atau bahwa Maria ditempatkan di samping Yesus Kristus menjadi sepasang pengantara. Kesan itu sekuat tenaga mau dicegah konsili Vatikan II (LG N.60) dengan menekankan bahwa ibu Yesus tidak mengurangi kedudukan Yesus Kristus atau bersaing denganNya, kalau diberi gelar “pengantara” (mediatrix).

297. Gelar “mediatrix” itu sejak abad VI mulai dipakai untuk mengungkapkan bahwa Maria surgawi mendoakan orang beriman, sama seperti para kudus (yang sejak abad IV kadang-kadang digelari “mediator”, pengantara). Pikiran (tanpa gelar) bahwa Maria mendoakan orang lain (khususnya Hawa) sudah diungkapkan Ireneus (abad II). Gelar “mediatrix” dan khususnya “mediatrix omnium gratiarum” mulai laku sejak abad XII/XIII dan teristimewanya sejak abad XVII digemari umat Katolik. Maria sebagai pengantara suka ditempatkan antara Gereja (ialah kaum beriman) dan Kristus, sehingga kadang-kadang (sejak Bernardus, abas biara Clairvaux) disebutkan sebagai “leher” tubuh mistik (kepala ialah Kristus). Gambaran (yang cukup materalistik) ialah: Segala rahmat dari Kepala (Kristus) melalui leher (Maria) mengalir kepada tubuh (Gereja, kaum beriman). Dalam rangka ini dipakai juga gambaran “saluran air” (aquaeductus). Gambaran-gambaran macam itu dapat menyesatkan, sebab orang berkesan ada serangkaian pengantara antara Allah dan manusia sebagai berikut: Allah ---- > Kristus --- > Maria --- > manusia. Gambaran serupa (yang a.l. dipakai P. Pius X, DS 3370) melukiskan duduknya perkara sebagai berikut: Kristus memang “memperoleh segala rahmat”. Tetapi semuanya dipercayakan kepada ibuNya untuk “dibagi-bagikan” kepada manusia. Maka muncul juga gelar “dispensatrix” (pembagi) rahmat. Gambaran itu pun dipakai P.Leo XIII (DS 3274) dan P.Pius XII (DS 3916).

298. Maria tidak hanya ditempatkan antara Kristus dan umat beriman di garis menurun, tetapi juga di garis mengatas. Gambarannya sebagai berikut: Umat beriman menghadap Maria, lalu Maria menghadap Kristus dan Kristus (bersama dengan ibuNya) menghadap Allah. Gambaran itu a.l. dipakai oleh P.Leo XIII (DS 3274) dan P. Pius X (DS 3370) yang menyebut Maria pengantara (mediatrix) dan “penyambung” (conciliatrix).

299. Tentu saja gelar “mediatrix” dan gambaran tersebut (leher, saluran air) dapat diartikan dengan baik. Paus-paus (Leo XIII, Pius X, Benedictus XV, Pius XI, Pius XII) yang mendukung gelar itu dan memakai gambaran tersebut biasanya menjelaskan begitu rupa, sehingga kedudukan dan peranan tunggal Kristus tidak dirongrong. Gelar (dan gambaran) itu hanya berarti Maria di surga “mendoakan” umat beriman seperti para kudus, meski dengan cara yang unggul sekali pun. Itu misalnya cukup kentara kalau orang membaca keterangan yang diberikan P. Leo XIII (bdk. DS 3220-3221).

300. Namun demikian cara bicara semacam itu mudah saja menyesatkan. Pertama kalinya, “rahmat” dipikirkan semacam barang atau benda, yang dikumpulkan oleh Kristus, lalu disimpan dalam semacam “khezanah” dan oleh Maria dibagi-bagikan. Padahal rahmat bukanlah “barang”, melainkan relasi personal dan pribadi antara Allah yang menawarkan diri dan manusia yang sambil menyerahkan diri menerima tawaran itu, yang diserap olehnya sehingga Allah dan manusia bersatu. Kedua kalinya, orang berkesan seolah-olah umat beriman tidak lagi langsung berhubungan dengan Yesus Kristus dan begitu dengan Allah, tetapi hubungan itu terjalin melalui Maria. Umat beriman menjadi terpisah dengan Yesus Kristus, yang terlalu “jauh” dari manusia, padahal Maria dirasakan “dekat”. Sudah dicatat di muka bahwa peranan amat besar yang dimainkan Maria dalam agama rakyat Katolik pasti berkaitan dengan tekanan yang sejak abad IV diletakkan pada keilahian Kristus, sehingga kemanusiaanNya menjadi kabur. Secara emosional dan eksistensial Kristus semakin jauh dari umat beriman. “Kelowongan” yang dengan cara demikian tercipta diisi oleh para kudus, khususnya oleh ibu Yesus yang dirasakan “manusiawi” benar.

301. Salah paham macam itu kiranya menyebabkan bahwa P. Pius XII mulai amat hati-hati dalam menggunakan gelar “pengantara segala rahmat”. P. Yohanes XXIII malah sama sekali tidak menggunakannya lagi. Sudah dikatakan bahwa konsili Vatikan II mempertahankan gelar “pengantara” (mediatrix), tetapi merelativasikannya begitu rupa, sehingga pengantaraan Maria berarti: Ia (bersama dengan orang kudus lainnya) mendoakan umat beriman. Dengan tegas pikiran itu diungkapkan oleh Pius XII yang menyebut Maria “Omnipotentia suplex”, “pemohon yang adikuasa”. Maria hanya “pemohon”, seperti semua orang beriman, tetapi dalam hal “memohon” Maria unggul.

2. Caranya Maria “mengantara”
302. Jadi Maria boleh saja disebut “pengantara” malah “pengantara segala rahmat”, asal saja istilah itu dijelaskan seperlunya. Maria tidak menyingkirkan Yesus Kristus, satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia dan sebaliknya. Sehubungan dengan Maria (dan para kudus) istilah yang sama mempunyai arti yang berbeda sekali. Kalau Yesus Kristus, berdasarkan Kitab Suci, disebutkan “pengantara” (mediator), maka maksudnya sudah diuraikan di muka dan boleh diringkaskan sebagai berikut: Secara aktif dan dinamik Yesus Kristus mempersatukan Allah dengan manusia dan sebaliknya. Ia mewakili, bahkan mengganti manusia semua pada Allah dan menghadirkan Allah bagi manusia. Dan itu pun begitu rupa, sehingga Yesus Kristus tidak berdiri di antara Allah dan manusia, tetapi justru mempersatukan kedua ujung itu di dalam diriNya secara dinamik dan untuk selama-lamanya. Pengantaraan Yesus Kristus seolah-olah berjalan di dua jurusan, dari atas (Allah) ke bawah (manusia) dan dari bawah (manusia) ke atas (Allah). Dari pihak Allah Kristus menjadi tawaran diri Allah kepada manusia; dari pihak manusia Kristus sebagai Kepala, wakil dan “repraesentans” umat manusia menerima tawaran itu demi untuk manusia. Hanya Yesus Kristus sajalah yang mempunyai kedudukan yang sungguh-sungguh tunggal itu.

303. Kalau Maria (dan para kudus, bahkan semua orang beriman) juga disebut “pengantara”, maka arti istilah itu sudah lain. Maria (dan para kudus) tidak pernah di pihak Allah sebagai “wakilNya” yang secara langsung menjadi “tawaran diri Allah” kepada manusia seperti Kristus atau di samping Kristus. Maria (dan para kudus) hanya di pihak manusia yang oleh Kristus dan dalam Kristus dipersatukan dengan Allah dan dalam ketergantungan pada penerimaan tawaran diri Allah oleh Kristus juga menerima tawaran yang sama. Sebagai manusia mereka tentunya juga aktif, sejauh dengan iman secara pribadi mengikutsertakan diri dalam penerimaan tawaran diri Allah oleh Kristus. Hanya kemampuuan untuk menjadi peserta masih juga hasil dari pengantaraan Kristus.

304. Dalam rangka ini perlu diingat kembali apa yang sudah diuraikan sedikit. Seperti dalam tata penciptaan demikian pun dalam tata penyelamatan ada suatu kesetiakawanan, persekutuan dinamik, antara mereka semua yang oleh dan dalam Kristus dipersatukan dengan Allah. Ada “persekutuan para kudus”, ialah semua orang beriman yang oleh Allah dengan perantaraan Kristus dikuduskan, yaitu dengan menerima tawaran diri Allah yang juga disebut “rahmat”. Sambil dengan cara demikian dipersatukan dengan Allah, mereka pun dipersatukan satu sama lain. Mereka bersatu dalam Roh Kudus, ialah kasih dan rahmat (bdk. Flp 2:11; 2 Kor 13:13). Persatuan itu bukanlah suatu persatuan statik, melainkan persekutuan dinamik. Berlangsunglah suatu tukar-menukar satu sama lain. Seperti dikatakan Paulus (1Kor 12:26): Jika satu anggota (tubuh Kristus) menderita, semua anggota menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Menurut keyakinan Kristen persekutuan tersebut tidak hanya berlangsung di antara “para kudus” di bumi, tetapi juga antara mereka yang sudah “selesai” dan mereka yang masih di perjalanan menuju ke penyelesaian.

305. Seperti sudah diuraikan dalam rangka pembahasan tentang peranan Maria dalam tata penyelamatan, tukar-menukar penyelamatan antara para kudus di garis mendatar (dalam ketergantungan mutlak dan terus-menerus pada Allah dan Kristus) diikutsertakan dalam tukar-menukar antara Allah dan manusia yang berlangsung dalam Kristus. Dengan iman berkasih manusia menerima tawaran diri Allah. Tetapi pada gilirannya manusia yang dengan cara demikian “dikuduskan” menjadi (sarana) tawaran diri Allah bagi sesama. Melalui dirinya tawaran diri Allah dalam Kristus mendekati sesama manusia, yang pada gilirannya menerima atau menolak tawaran Allah itu.

306. Dengan istilah Katekismus yang lebih dikenal: Orang yang dirahmati oleh Allah menjadi rahmat bagi sesama manusia. Tentu saja bukanlah secara “otonom” dan terlepas (seperti Kristus), tetapi dalam ketergantungan pada Kristus, tawaran diri Allah dan penerima serentak. Tetapi lain manusia dapat diikutsertakan dalam Yesus Kristus, mengambil bagian dalam tukar-menukar antara Allah dan manusia. Hanyalah sejak Yesus Kristus hilang dari panggung sejarah, tawaran diri Allah dalam Kristus hanya sampai kepada manusia melalui mereka yang telah menerima tawaran diri Allah itu. Itulah peranan “Gereja”, persekutuan mereka yang dengan iman menyerap rahmat Allah.

307. Jelas kiranya bahwa semakin orang secara pribadi menerima tawaran diri Allah, semakin melalui dia tawaran Allah itu disampaikan kepada sesama, kepada dunia. Dalam persekutuan para kudus (kaum beriman) ada perbedaan mutu dan bobot dalam hal menjadi “pengantara” (sekunder) penyelamatan. Mengingat kebulatan iman dan kasih ibu Yesus, jelas pulalah bahwa di antara para kudus Marialah yang paling unggul.

308. Dengan macam-macam cara Kitab Suci mengungkapkan bahwa manusia (beriman) berperan (aktif) dalam tata penyelamatan. Dan itu pun tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Cukuplah orang mendengar keterangan Paulus ini: Kami adalah kawan sekerja Allah, kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah (1Kor 3:9) ... kami sebagai hamba Allah, yang kepadanya dipercayakan rahasia (penyelamatan) Allah (1Kor 4:1; bdk. Kol 1:24). Tetapi manusia selalu hanya menjadi pengantara penyelamatan dalam ketergantungan pada Allah dan Kristus. Justru segi itu terungkap dalam kebiasaan “mendoakan orang lain”. Itu kerap kali tampil dalam Kitab Suci. Biasa saja bahwa yang satu mendoakan yang lain. Cukuplah orang melihat nas-nas berikut: Kej 18:16 dst.; 19:20 dst.; Ul 9:18 dst.; 1Sam 12:18 dst.; Yudit 8:28 dst.; Yer 29:7; Kis 7:59; 12:5; Rm 15:30; 2Tes 3:1; Kol 4:3; 1Tim 2:1-3. Pada seluruh umat Kristen sampai dengan hari ini ada praxis saling mendoakan, baik di kalangan Katolik maupun di kalangan Protestan. Liturgi sebagian (besar) berupa doa syafaat. Dan doa itu, entahlah bagaimana dipikirkan, berdaya guna. Tetapi oleh karena berupa doa, sekaligus terungkaplah ketergantungan pada Allah dan Kristus. Tentu saja Kitab Suci biasanya berkata tentang orang beriman di dunia yang saling mendoakan. Umat Reformasi umumnya sekarang (mula-mula memang lain) tidak menerima bahwa juga yang sudah mati mendoakan mereka yang masih hidup. Untuk hal itu mereka tidak menemukan bukti dalam Kitab Suci. Hanya dalam 2Mak 15:12-14 dikatakan bahwa orang mati mendoakan orang hidup. Tetapi Kitab itu oleh jemaah-jemaah Reformasi tidak diterima sebagai Kitab Suci.

309. Boleh disimpulkan bahwa pada umat Kristen sejak awal ada kepercayaan berdasar: pada garis mendatar berlangsunglah suatu persekutuan penyelamatan antara semua yang secara pribadi berkat karunia iman menerima tawaran diri Allah, ialah rahmat. Maka pada garis mendatar ada juga ketergantungan satu sama lain dalam tata penyelamatan. Tiap-tiap orang bergantung pada semua dan semua bergantung pada tiap-tiap orang. Tetapi keseluruhan di garis tegak lurus bergantung pada Allah dalam Kristus Yesus. Dan semakin bulat dan utuh keselamatan diterima dan terwujud pada seseorang semakin yang lain bergantung padanya. Sudah pasti juga tidak semua dengan dengan sama bulatnya dan keterlibatan persosnal yang sama menjadi peserta dalam penerimaan keselamatan oleh Yesus Kristus. Adapun Maria, seperti sudah menjadi jelas kiranya, kebulatan dan keterlibatan personal menjadi unggul. Maka dalam tata penyelamatan di garis mendatar orang lain bergantung, paling bergantung pada ibu Yesus.

310. Dengan arti demikian Maria menjadi pengantara penyelamatan, pengantara rahmat, bahkan “segala rahmat”, bukan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif. Sebab kata “segala” dalam ungkapan “segala rahmat” berarti bahwa Maria menjadi peserta paling “intensif” dalam “pertukaran” yang berlangsung dalam persekutuan para kudus. Pengantaraan itu pada pokoknya sama dengan apa yang dimaksudkan jika Maria digelari “ibu rohani semua manusia dan semua orang beriman” (LG N.53.54) dalam tata penyelamatan.

311. Persekutuan antara Maria (serta para kudus) dan kaum beriman, jadi pengantaraannya, berlangsung terus setelah Maria hilang dari panggung sejarah. Keyakinan itu diungkapkan dengan berkata: Maria (dan para kudus) di surga “mendoakan” orang beriman dan Gereja dan doanya sangat kuat serta pasti dikabulkan. Cara bicara memang hanya cara bicara. Apa yang berlangsung antara antara kaum beriman (dan manusia) di bumi (saling mendoakan) begitu saja dipindahkan kepada Maria (dan para kudus). Sebenarnya kita tidak tahu (secara terperinci) bagaimana keadaan orang “di surga” dan bagaimana mereka “berdoa”. Pastilah sudah bahwa “doa” di surga lain daripada “doa” di bumi. Sudah secukupnya dibahas bahwa melalui “pengangkatan ke surga” seluruh eksistensi keduniaan Maria “diabadikan”. Karena itu persatuan utuh Maria dengan Allah dalam Kristus diabadikan pula. Keadaan definitif itu pasti bukan suatu keadaan statis dan pasif belaka, kalaupun kita tidak tahu bagaimana semuanya berlangsung. Relasi penyelamatan antara Maria dengan Allah melalui Yesus Kristus juga tetap menyangkut semua orang beriman, baik di bumi maupun di “surga”. Kasih Maria kepada Allah yang utuh sempurna terus merangkul segala apa yang dikasihi Allah.

312. Dengan bahasa antarmanusia di bumi hal itu diungkapkan dengan berkata: Maria, ibu Yesus, dengan kasih keibuan mencintai dan memprihatinkan semua anaknya, semua saudara Yesus. Dengan cara manusiawi itu mau dikatakan bahwa maria tetap berarti dan bermakna bagi semua orang, sama seperti dalam eksistensi keduniaannya berarti dan bermakna bagi semua. Dan arti dan makna itu memang unggul oleh karena kedudukan dan peranan Maria dalam eksistensi keduniaannya unggul, melebihi semua orang lain. Sebab keadaan surgawi semua orang kudus ditentukan oleh eksistensi keduniaannya. Maka tidak ada kesamaan antara semua orang kudus. Meskipun semua “sempurna” dan “bahagia secara sempurna”, namun kesempurnaan dan kebahagiaannya tidaklah sama. Maka kasih Maria dalam sejarah penyelamatan melandaskan kasihnya dalam tata penyelamatan aktual.

313. Kalau Gereja Yesus Kristus mencakup semua orang percaya, mulai dari Abel sampai dengan manusia terakhir, maka di dalam keseluruhan Gereja itu Maria tetap mempunyai kedudukan dan peranan yang unggul. Relasi antara maria sebagai ibu dan Yesus sebagai anaknya, ialah relasi yang tunggal, menentukan makna dan arti Maria yang selalu aktual bagi seluruh Gereja Yesus Kristus. Gereja itu terus diciptakan oleh Tuhan surgawinya dengan Roh KudusNya. Sebagai penerima keselamatan Gereja itu pun terus berperan dalam perwujudan keselamatan itu. Ketergantungan menyeluruh pada Allah dalam Yesus Kristus disadari dan terungkap dalam Gereja yang terus menerus berdoa. Menurut hakikatnya Gereja itu ialah suatu Gereja beribadat, berdoa. Menurut gambaran Kis 2:42-46 jemaah perdana “selalu berkumpul untuk ... berdoa. Tiap-tiap hari jemaah berkumpul dalam Bait Allah”. Segala aktivitas Gereja yang lain, yang tentu ada artinya, seolah-olah terbungkus dalam doa. Dengan jalan itu Gereja mengakui bahwa makna seluruh eksistensinya datang dari Allah melalui Yesus Kristus. Mereka yang “sudah sampai”, malah lebih mengakui ketergantungannya, kalaupun kita tidak tahu bagaimana bentuk dan rupa “pengakuan” dan “doa” mereka. Dan di tengah-tengah mereka Maria pun tetap berdoa di dalam dan demi untuk Gereja AnakNya. Ia menjadi “typos” Gereja yang berdoa.

314. Sebab Maria, juga sebagai “typos” Gereja, di satu pihak tetap diciptakan oleh karya penyelamatan Kristus, tetapi di lain pihak sekaligus berperan untuk mewujudkan penyelamatan itu di dalam dan sekaligus berperan untuk mewujudkan penyelamatan itu di dalam dan demi untuk Gereja. Maka anggota-anggota Gereja yang lain mencerminkan anggota yang unggul, yang di dalam dirinya sebagai “typos” merealisasikan Gereja itu, kalaupun ia tidak identik dengan Gereja. Dalam hal ini Maria, sama seperti anggota-anggota Gereja yang lain, tidak pasif, tetapi dalam ketergantungan pada Kristus aktif dalam menerima penyelamatan demi untuk anggota-anggota Gereja yang lain.

315. Maka itulah “pengantaraan Maria” dan begitulah ia “mendoakan Gereja”. Maria bukan seorang pengantara di samping Kristus, tetapi ia pengantara berkat persatuan dan persekutuannya dengan Kristus dan di dalam Gereja sebagai persekutuan orang beriman yang mencakup semua, dari awal sampai akhir. Di dalam Gereja itu, di antara para kudus, ibu Yesus menjadi unggul sebagai “pengantara”, yang “mendoakan” semua yang terangkul oleh karya penyelamatan.

-------
Sebelumnya : {BAB IV : IBU YANG JAYA}
Selanjutnya : {BAB VI : TEOLOGI DAN “DEVOSI” MARIAL}

Tidak ada komentar: