Selasa, 27 April 2010

Mariologi - Devosi Marial - 1

BAB VI
TEOLOGI DAN “DEVOSI” MARIAL

316. Bagian kedua karya ini membahas apa yang boleh diistilahkan sebagai “Mario-duli”. Kata itu boleh diterjemahkan dengan “kebaktian kepada Maria”, berbeda dengan “Mario-logi” ialah refleksi teologik dan ajaran tentang ibu Yesus. Kata Yunani “doulia” bersangkutan dengan “doulos”, artinya: Budak, hamba, atau “douleuein”, berhamba, berbakti sebagai budak kepada orang/lembaga lain. Dalam tradisi teologi Kristen kata “douleia” itu menjadi istilah dengan arti “kebaktian kepada seseorang manusia (orang kudus)”. “Douleia” dalam peristilahan itu secara hakiki berbeda dengan “latreia” ialah kebaktian yang hanya boleh disampaikan kepada Allah semata-mata. Pada dirinya “douleia” dan “latreia” hampir saja searti. Tetapi dalam peristilahan teologi kedua kata itu dikhususkan: “Latreia” (Latin: “adoratio”) ialah kebaktian yang hanya mengenai Allah saja, sedangkan sasaran “douleia” ialah seseorang lain yang “diabdi” demi untuk Allah. Oleh karena ibu Yesus menjadi yang paling kudus di antara semua orang kudus, maka bagi kebaktian kepada Maria terbentuk istilah khusus, yaitu: “hyper-douleia”, artinya “adi-kebaktian”.

317. Teologi berusaha secara rasional dan teratur menjernihkan dan memikirkan kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah dan tata penyelamatan. Apa yang pada dasarnya dipersoalkan dalam teologi tentang Maria, Mariologi, ialah: Sejauh mana, manusia yang ditebus/diselamatkan, sebagai subjek mandiri (otonom) dihadapan Allah berperan secara aktif dalam penyelamatan? Kristus tentunya manusia dan Juru selamat. Tetapi justru sebagai Juru selamat dan Penebus Kristus bukan manusia belaka menurut iman kepercayaan Kristen. Maka Kristus bukan jawaban atas masalah tersebut: mana peranan manusia dalam penyelamatan? Adapun ibu Yesus, Maria, ia menjadi contoh jitu yang dengannya masalah itu mendapat jawabannya berdasarkan apa yang dalam Maria dinyatakan oleh Allah, sehingga Maria memang termasuk ke dalam penyataan/pewahyuan ilahi. Sebab Maria adalah manusia belaka, manusia yang diselamatkan, ditebus Allah melalui Yesus Kristus. Pada Maria secara dasariah menjadi nyata mana peranan manusia dalam penyelamatan.

318. Sebagai teologi (pemikiran dan ajaran tentang Allah) ilmu itu memikirkan ibu Yesus dalam relasinya dengan Allah dan peranannya dalam relasi Allah dengan manusia dan sebaliknya. Dalam bagian pertama karya ini secara teologik kedudukan dan peranan tetap itu ialah: Kristus, Juru selamat umat manusia, tidak terpikir tanpa ibuNya, sama seperti ibuNya tidak terpikir terlepas dari Yesus Kristus.

319. Teologi merupakan pengolahan ilmiah iman umat Kristen, dasarnya, isinya dan tolok ukurnya. Maka teologi mengandaikan iman umat (sepanjang sejarah) dan mesti serta mau melayani iman umat itu. Hanyalah iman umat itu bukan pertama-tama perkara otak dan akal, melainkan perkara hati; iman pertama-tama dihayati. Penghayatan iman itu namanya “devosi”. “Devosi” (Latinnya: devotio, kata kerjanya: devovere) berarti: suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri kepada sesuatu atau seseorang, yang dihargai, dijunjung tinggi, dicintai dan ditujui. Bila sasaran “devosi” itu ialah Allah dan apa yang bersangkutan dengan Allah dan sejauh bersangkutan, maka “devosi” menjadi devosi religius, keagamaan. Devosi itu mencakup keterlibatan personal yang meliputi seluruh manusia, khususnya segi emosional dan afektif dan tidak hanya atau terutama otak dan akal serta pemikiran.

320. Adapun cabang teologi spekulatif yang disebutkan “Mariologi”, ia memikirkan dan menjernihkan dan mau melayani “devosi” umat beriman terhadap ibu Yesus, Maria: bagaimana relasi dengan maria dihayati oleh umat beriman di dalam keseluruhan penghayatan iman. Teologi selalu mesti menempatkan Maria dalam keseluruhan, selalu menyorotinya dari segi relasinya dengan Allah dan Kristus serta dalam relasinya berkenaan hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Maria tidak pernah (boleh) menjadi terisolasikan. Sebaliknya dalam devosi, penghayatan iman, ibu Yesus (dapat) didekati sedikit banyak terisolasikan sebagai sasaran penghayatan iman. Bukan “relasi” Maria, tetapi Maria sendiri menjadi sasaran devosi, rasa kagum, rasa hormat, rasa kasih, sehingga terjalinlah relasi personal dengan ibu Yesus, sasaran iman, kasih, pengharapan.

321. Di satu pihak Mariologi memperlihatkan bahwa “devosi marial” (yang biasanya spontan dan kurang refleks) memang legitim. Nyatanya Maria mempunyai peranan unggul dan tunggal dalam tata penyelamatan, yang tidak dipegang seorang pun di samping Maria.secara unggul pun Maria tetap bermakna bagi umat beriman berdasarkan pokok iman mengenai persekutuan “orang kudus” dan “barang kudus”. Ungkapan Latin “communio sanctorum” dan Yunani “koinônia hagiôn” kiranya mencakup dua-duanya “orang” dan “barang” kudus. Kata “sanctorum/hagiôn” pada dirinya dwiarti. Dapat berarti “orang-orang kudus” (sancti/hagioi) dan dapat berarti “barang kudus” (sancta/hagia). Tetapi dua-duanya dimaksudkan. Sebab antara para (orang) kudus berlangsunglah tukar-menukar di bidang “kekudusan” (penyelamatan, rahmat). Justru, atas dasar “persekutuan para kudus” itu Maria bukan hanya seorang tokoh di masa lampau, yang dengan rasa hormat dan kagum dapat “diingat”, seperti misalnya seorang pahlawan nasional. Sebaliknya Maria (dan para kudus) secara aktual tetap berarti bagi kaum beriman dan secara personal (dalam iman) dapat dihubungi.

322. Mariologi juga memperlihatkan bahwa devosi marial bukanlah sembarangan devosi yang setingkat misalnya dengan devosi kepada Antonius atau Filomena. Jika seorang secara utuh mengakui iman Kristen dan menghayatinya, maka penghayatan itu mau tidak mau mencakup juga Maria, ibu Yesus, karena kedudukan dan peranannya yang istimewa dan tunggal, sehingga Kristus tidak terpikir lepas dari Maria. Maria dalam sejarah dan tata penyelamatan bukanlah suatu unsur yang serba kebetulan, yang boleh ada dan boleh tidak ada, seperti Antonius atau Filomena. Tentu saja pusat dan poros penghayatan iman (devosi) Kristen sejati ialah Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi kalau benar bahwa Kristus tidak terpikir lepas dari ibuNya, maka devosi kepada Kristus mau tidak mau mencakup juga ibuNya. Itu dapat menjadi l.k., eksplisit dan sadar, tetapi juga dapat tinggal implisit saja, seperti nyatanya ratusan tahun terjadi. Tetapi devosi kepada ibu Yesus menjadi bagian integral (bukan hakiki) penghayatan iman Kristen. Maka devosi marial tidak boleh begitu saja disebutkan “fakultatif”. Ini ditegaskan P. Pius XII (Fulgens Corona, 1953), seperti “devosi” kepada orang kudus lain “fakultatif” (bdk. konsili Trente, DS 1821: bonum et utile). Ibu Yesus kan termasuk ke dalam sejarah dan tata penyelamatan sebagai unsur konstituitif. Devosi marial tentu saja tidak menjadi unsur hakiki dalam penghayatan iman Kristen, tetapi boleh dinilai sebagai unsur pelengkap dan integral bagi penghayatan iman itu. Kasih kepada Allah dan Kristus mencakup juga apa yang secara khas menjadi sasaran kasih Allah dan Kristus. Oleh karena kasih Allah memberi ibu Yesus kedudukan istimewa dalam tata kasih Allah kepada manusia, maka kasih balasan dari pihak manusia secara khusus tertuju kepada Maria. Dan pengakuan eksplisit terhadap kedudukan ibu Yesus itu tidak dapat tidak memancing kasih eksplisit juga.

323. Di lain pihak Mariologi bertugas sedikit banyak menjaga, supaya devosi marial (yang spontan) tetap tinggal di dalam rangka penghayatan utuh seluruh iman Kristen. Devosi marial tidak boleh menjadi terisolasikan dalam penghayatan, oleh karena sasarannya, ibu Yesus, tidak terisolasikan dari Yesus Kristus, satu-satunya Juru selamat, pusat dan poros seluruh iman Kristen serta penghayatannya. Dalam devosi (khususnya dalam devosi rakyat, tetapi juga dalam devosi gerejani resmi) Maria berperan sebagai suatu simbol, semacam “arkhi-typos”. Ia tampil dan dilihat sebagai “Ibu Kehidupan” (Ibu asali); “Manusia utuh sempurna” (tanpa dosa dan noda); “Wanita unggul” yang serentak perawan dan ibu; ia tetap ada (diangkat ke surga), simbol pengharapan manusia, bahwa hidup sementara tidaklah sia-sia dan akhirnya akan bebas dari kefanaan. Ciri-ciri mitologik Maria cukup mencolok. Dan “mitos” tidak menjelaskan fakta, tetapi memberi makna kepada kehidupan. Dalam rangka ini tugas Mariologi ialah: Memperlihatkan bahwa dalam rangka keseluruhan uman Kristen tentang Allah Pencipta dan Penyelamat, Maria bukan tokoh mitologik belaka. Teologi justru memberi dasar kepada Maria yang dalam devosi berperan selaku sebuah mitos. Hanya teologi tidak memberi dasar historik, melainkan dasar teologik. Karena itu hanya bagi orang beriman Maria, seperti hidup dalam devosi (rakyat), menjadi suatu realitas, bukan realitas historik, melainkan realitas teologik, realitas iman.

324. Sebuah mitos, “arkhi-typos” sejati merupakan suatu ciptaan struktur dasar manusia, yang mengobjektivasikan diri dalam mitos arkhi-typos macam itu. Mariologi (mesti) memperlihatkan bahwa Maria lain sifatnya. Maria bukan ciptaan struktur dasar manusia, tetapi realitas objektif Maria sesuai dengan struktur dasar manusia sesuai dengan realitas yang (dalam Allah Pencipta dan Penyelamat) mendahuluinya. Maka Mariologi bertugas menjamin objektivitas devosi marial, yang dipertahankan sebagai salah saru unsur dalam keseluruhan iman Kristen dan penghayatannya.

325. Khususnya dewasa ini Mariologi bertugas membela dan memupuk devosi marial. Di masa yang lampau Mariologi bertugas (kadang-kadang nyatanya tidak berperan demikian, justru sebaliknya) membendung devosi marial yang khususnya sejak abad XIII kadang-kadang menjadi liar. Dalam Gereja Roma Katolik selama abad XIX dan awal abad XX devosi marial mencapai semacam puncak terdukung oleh P. Leo XIII, Pius X, Benedictus XV, Pius XI, Pius XII. Tetapi sejak konsili Vatikan II secara agak mendadak devosi itu mengalami suatu krisis yang parah dan kemerosotan hebat di kalangan (sebagian) Gereja Roma Katolik. Konsili Vatikan II (LG N. 66-67) bermaksud menempatkan devosi marial pada jalur yang tepat. Tetapi konsili itu jelas tidak mengantisipasikan krisis dan kemerosotan yang menyusul konsili. Di luar maksudnya konsili toh memupuk krisis dan kemerosotan mendadak itu. P. Paulus VI (Marianus Cultus, 1974) menganalisis krisis itu sedikit. Sambil membela devosi marial Paus mengakui bahwa banyak bentuk rupa dan bentuk devosi itu, yang secara tradisional, kerap kali memang tidak berfungsi lagi pada sementara umat. Ada pelbagai faktor yang menyebabkan krisis itu. Ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu jiwa, memberi sumbangannya, sekularisasi dan sekularisme pun ikut berperan seperti juga perubahan sosial, teristimewa yang menyangkut kedudukan dan peranan wanita dalam masyarakat. Tetapi juga krisis dalam teologi, khususnya dalam Kristologi, tidak dapat tidak mempengaruhi Mariologi dan devosi marial. Jika Yesus Kristus menjadi kabur bagi umat beriman, terpaksa ibuNya turut menjadi kabur. Kalau Kristologi tradisional dirongrong, tidak dapat tidak Mariologi dan devosi marial menjadi terlibat dalam pengrongrongan itu. Sampai dengan hari ini ibu Yesus telibat dalam hal ihwal Anaknya.

326. Gejala terbalik tampil dalam umat Reformasi. Secara tradisional umat Protestan sangat anti-Mariologi dan terlebih anti devosi marial dalam Gereja Roma Katolik. Tetapi akhir-akhir ini ada semacam tendensi terbalik. Dicari-cari suatu kemungkinan untuk, berdasarkan Perjanjian Baru dan perdirian para Reformator, mengintegrasikan ibu Yesus dalam keseluruhan teologi dan penghayatan iman. Sikap negatif lambat laun diganti dengan sikap positif dan pendekatan simpatik. Dalam hal itu kiranya umat dan pemikir Reformasi turut dipengaruhi oleh Gereja Yunani/Timur Ortodoks. Gereja itu sudah lama secara aktif ikut serta dalam gerakan ekumene dan turut berbicara dalam Dewan Gereja-gereja Sedunia. Tetapi devosi marial dalam Gereja Ortodoks secara tradisional sangat menyolok dan tidak dapat begitu saja dilewatkan atau disingkirkan oleh teman berbicara dari pihak Protestan. Demikian umat Reformasi mulai sedikit mendekati tradisi Gereja Katolik dan Ortodoks. Tetapi, seperti sudah dikatakan, ada jurang teologik yang tidak begitu mudah dijembatani.

327. Baiklah dibedakan dua macam devosi marial, yaitu: devosi yang secara resmi ditampung oleh umat seluruhnya dan devosi rakyat Kristen-Katolik. Devosi boleh dikatakan menjadi resmi dan umum bila Maria, ibu Yesus, diikutsertakan dalam penghayatan iman oleh seluruh umat. Devosi macam itu terpasang dalam ibadat (liturgi) resmi Gereja. Dalam merayakan ibadat, terutama ibadat Ekaristi dan Doa Harian, Maria diberi tempatnya juga, seperti lain-lain orang kudus, tetapi sesuai dengan kedudukan istimewa Maria dalam tata penyelamatan. Di samping itu ada “devosi rakyat”, artinya: secara tegas ibu Yesus diikutsertakan dalam penghayatan iman oleh orang beriman, entah secara perorangan entah secara berkelompok k.l. besar, yang boleh jadi terikat pada daerah tertentu. Boleh jadi devosi itu didukung atau dianjurkan oleh para pemimpin tanpa dijadikan devosi resmi. Misalnya: Sri Paus dan uskup-uskup berziarah ke Fatima, memahkotai patung Maria, mengajak umat berdoa rosario dan sebagainya. Dalam sejarah devosi marial, devosi rakyat biasanya mendahului devosi resmi menyeluruh.

328. Devosi rakyat yang amat spontan dan afektif-emosional jauh lebih bebas bergerak daripada devosi resmi. Devosi rakyat juga amat mejemuk dalam pengungkapannya. Justru devosi rakyat itu di satu pihak mudah dapat menjadi liar sedikit (oleh karena hanya secara negatif diawasi oleh penghayatan iman dari pihak seluruh umat, berarti melalui instansi-instansi k.l. resmi), tetapi di lain pihak justru devosi rakyat menyumbangkan banyak kepada devosi marial resmi dan bagi pemmikiran teologi sekitar Maria serta peranannya dalam tata penyelamatan. Umumnya devosi rakyat jauh lebih memikat hati orang beriman daripada devosi marial resmi. Misalnya: Bagi banyak orang beriman berziarah ke Lourdes dan meminum air sumber di sana jauh lebih penting daripada perayaan kelahiran Maria. Boleh jadi salah satu devosi rakyat masuk ke dalam devosi resmi, tetapi kehilangan daya tariknya. Adapun sebabnya ialah: devosi rakyat sudah mulai mengendur waktu diambil alih dalam devosi resmi. Suatu ciri khas devosi rakyat ialah: devosi itu suka akan banyak simbolik yang dipinjam dari kebudayaan dan alam pikiran rakyat setempat. Simbolik pinjaman itu kerap kali cukup kabur (ciri dasar simbolik) dan dwiarti. Tidak mengherankan bahwa simbolik itu sebenarnya berasal dari agama rakyat setempat yang dalam devosi rakyat kepada Maria dapat mempertahankan diri lama setelah agama asal sudah mati. Justru sehubungan dengan devosi rakyat yang amat eksistensial, emosional dan konkret itu Mariologi mendapat peranan khusus, bukan untuk mematikan devosi serta pengungkapannya, tetapi guna sedikit banyak menjernihkan devosi itu serta pengungkapannya, serta membimbing perkembangannya, agar supaya jangan menjadi liar, terisolasi dari keseluruhan iman serta penghayatannya. Demikian Mariologi melaksanakan pendirian yang diambil konsili Vatikan II (LG N. 67) dan diteruskan oleh P.Yohanes Paulus II melalui surat edaran “Mater Redemptoris” dan diproklamasikannya pada tahun 1987-1988 sebagai “Tahun Maria”.
---------
Sebelumnya: {BAB V: PERAWAN YANG MENJADI GEREJA}
Selanjutnya: {BAB VII: SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI MARIAL}

Tidak ada komentar: