Sabtu, 01 Mei 2010

Mariologi - Devosi Marial - 2

BAB VII
SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI MARIAL


329. Maria bukan orang kudus pertama yang secara tegas diikutsertakan dalam penghayatan iman, kasih dan harapan yang berpusatkan Allah dan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru yang mengakui kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan (Luk 1-2) tidak ada bekas suatu “devosi” kepada orang kudus atau khususnya Maria. Sebaliknya, Luk 11:17 rupanya malah dengan tegas menolak devosi rakyat kepada ibu Yesus. Bukan ibu bioligik Yesus pantas dipuji bahagia, melainkan orang yang percaya. Tetapi, seperti sudah dibahas, Luk agaknya mengikutsertakan ibu Yesus juga dalam pujian itu justru oleh karena percaya. Surat kepada orang Ibrani (11:4-40) menyajikan sebuah daftar “orang kudus” Perjanjian Lama, orang beriman yang dipuji dan dikagumi dan disodorka sebagai suatu teladan. Tetapi mereka, sama seperti sudah terjadi dalam kitab Yesus bin Sirakh dalam Perjanjian Lama (Sir 44-50), diingat sebagai orang dari masa lampau, tetapi tidak menjadi sasaran kebaktian orang beriman. Hanya perlu diingat bahkan malah Yesus Kristus sendiri dalam Perjanjian Baru relatif jarang menjadi sasaran kebaktian uamt beriman (bdk. Kis 7:59-60; 2Kor 12:8; Why 5:8.12-13; 7:10; Mat 28:9.17; Luk 24:52).

330. Sekitar tahun 150 para martir mulai diikutsertakan dalam kebaktian (ibadat) umat. Hari peralihan mereka, hari “kelahirannya” (dies natalis) mulai dirayakan. Mereka menjadi serupa dengan Kristus (bdk. Kis 7:59-60) dan dinilai sebagai orang yang menjadi peserta dalam penyelamatan Yeus Kristus. Dalam ibadat resmi (liturgi) mereka belum menjadi sasaran kebaktian, tetapi terlebih menjadi alasan untuk memuji Allah dan bersyukur kepadaNya karena apa yang dikerjakanNya dalam para martir itu. Semua doa ditujukan kepada Allah atau Kristus. Ini malah menjadi suatu aturan hukum sejak abad IV (konsili/sinode Hippo, tahun 393, Kartago, tahun 397) yang lama sekali dipertahankan. Doa resmi pada altar mesti diarahkan kepada Allah-Bapa. Sang martir mendorong umat untuk beribadat kepada Tuhan. Mula-mula orang malah segan menghormati sang martir sendiri, sebab itu hanya pantas bagi Kristus saja. Itu terbaca dalam laporan tertua yang tersedia mengenai seorang martir, yaitu uskup Smirna, Polycarpus (± 155) (Mart. Polyc. 17:2). Laporan itu berupa sepucuk surat yang dikirim jemaah di Smirna kepada jemaah di Philomelium. Surat itu ditulis tak lama setelah peristiwa itu terjadi. Kemudian hari tulisan itu berulang kali disadur. Dalam penyaduran itu menjadi jelas bukan saja bahwa setiap tahun kemartiran Polycarpus resmi (dalam ibadat) dikenangkan (Mart. Polyc. 18:3), tetapi juga bahwa sang Martir sendiri menjadi sasaran devosi rakyat, yang ingin memiliki sebagian dari “tubuhnya” (Mart. Polyc. 17:1). Artinya umat ingin memiliki “relikwi”. Dan jelaslah sejak sekitar tahun 200 di luar ibadat resmi devosi rakyat diarahkan kepada para Martir sendiri. Ini berdasarkan keyakinan rakyat bahwa Sang Martir, sebagai sahabat Yesus Kristus, masih tetap “kuat” untuk menolong. Makam mereka dan peninggalan mereka (mayat, pakaian, apa saja yang pernah kena pada Sang Martir) dianggap dimuati dengan daya ilahi yang sangat berguna untuk melayani segala macam kebutuhan rakyat beriman. Semua itu dapat mengerjakan “mukjizat”. Maka muncullah kebiasaan “berziarah” ke makam kudus (kramat), perebutan “relikwi”, yang dipakai sebagai semacam “jimat”. Lama-kelamaan devosi rakyat itu masuk ke dalam ibadat resmi (liturgi) juga, meskipun ibadat itu tetap terarah kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, Sang Martir diikutsertakan sebagai orang kudus yang mencetuskan ibadat resmi itu, tetapi juga dengan “doa dan jasanya” mendukung ibadat itu. Doa umat bergabung dengan doa Sang Martir.

331. Devosi rakyat kepada dan ibadat jemaat seputar seorang martir secara lahiriah mengingatkan devosi rakyat dan ibadat yang berpusatkan pada “pahlawan” (Heros) yang tersebar luas dalam dunia Yunani-Romawi. “Pahlawan” itu ialah tokoh-tokoh k.l. legendarik di masa yang lampau, yang misalnya mendirikan sebuah kota, menemukan suatu keterampilan khusus, memulai upacara tertentu dan sebagainya. Hal ihwal “pahlawan” (umpamanya Akhilles, Theseus, Agamemnin, Romulus-Remus) diceritakan. Dikisahkan kelahiran pahlawan secara luar biasa, disertai macam-macam tanda gaib, hal ihwal dan perbuatan besarnya dan khususnya kematiannya yang biasanya terjadi dengan kekerasan. “Pahlawan” itu bukan dewa tetapi juga bukan manusia biasa saja. Mereka semacam mahluk di tengah antara dewa dan manusia. Makam dan peninggalan lain “pahlawan” rajin dikunjungi dan disekitarnya diselenggarakan ibadat yang mempunyai ciri khusus, berbeda dengan ibadat kepada dewa-dewi.

332. Mungkin sekali devosi rakyat Kristen terhadap para martir terpengaruh oleh devosi rakyat Yunani-Romawi kepada pahlawan mereka. Pada abad IV-V ada sementara pemimpin umat (uskup) yang kuatir kalau-kalau devosi rakyat (dan ibadat resmi) sekitar para martir menghidupkan kembali kekafiran kuno. Namun ada perbedaan dasariah antara ibadat dan devosi kepada pahlawan dan devosi serta ibadat sekitar para martir. Para pahlawan yang mati sama sekali tidak berhubungan dengan dunia kedewataan. Mereka berdiri sendiri dan mempunyai semacam otonomi religius. Sebaliknya para martir justru dianggap beralih kepada Allah, meskipun tetap manusia saja. Karena itu mereka dilihat sebagai semacam penyambung antara Allah dan Kristus dan orang beriman. Makam dan peninggalan (relikwi) mereka dianggap sebagai tempat (barang) terpilih, di mana surga (Allah) dan bumi (manusia) bergabung, tempat Allah dan daya ilahi lebih dekat pada manusia untuk menolong dan mengerjakan mukjizat.

333. Selama abad IV-VI devosi kepada dan ibadat sekitar para martir semakin tersebar luas, baik di kawasan Timur maupun di kawasan Barat. Di mana-mana didirikan gereja khusus pada “makam” (benar atau tidak) seorang martir dengsan sebuah altar di tengah. Rakyat berkerumun (berziarah) ke tempat “kramat” dan sakti, mengharapkan mukjizat. Relikwi amat dihargai dan dihormati, oleh karena memuat daya gaib yang mampu mengerjakan mukjizat. Malah “relikwi”, benar atau tidak, diperdagangkan. Ada macam-macam upacara sekitar makam dan relikwi para martir. Semangat rakyat (yang kadang kala agak liar dan melampaui batas yang wajar) oleh para pemimpin (uskup) gereja sedapat-dapatnya diintegrasikan ke dalam ibadat resmi dan ke dalam iman kepada Yesus Kristus. Dalam rangka itu devosi rakyat itu malah dimajukan dan dipupuk oleh para pemimpin. Sebuah contoh ialah Agustinus (Abad V). Mula-mula uskup Hippo itu tidak begitu senang dengan devosi rakyat kepada para martir dan kepercayaaan akan daya gaib yang ada pada relikwi yang asyik diperdagangkan di Afrika Utara. Tetapi setelah “relikwi” Stefanus (pasti gadungan) dipindahkan ke Hippo, sang uskup malah membela dan membenarkan devosi rakyat serta kepercayaan kepada daya gaib yang terkandung dalam relikwi para martir.

334. Devosi kepada dan ibadat sekitar ibu Yesus merupakan perkembangan dan lanjutan devosi kepada para martir. Setelah agama Kristen (abad IV) secara resmi diakui dan bahkan didukung oleh negara, zaman para martir (saksi iman) berakhir. Maka gagasan “martir” “dirohanikan”. Tidak hanya mereka yang mati demi untuk Kristus dan begitu menjadi serupa denganNya, tetapi juga mereka yang hidup demi untuk Kristus dan menjadi serupa denganNya menjadi sahabatNya dan “orang kudus”. Maka selama abaad IV juga “orang kudus” lain dari para martir mulai dihormati sebelum dan sesudah mati. Dapat dipahami bahwa ibu Yesus dinilai sebagai “orang kudus”, “martir” secara rohani. Umat mulai menghormati Maria dan berdoa kepadanya. Doa tertua yang dikenal dan masih terus dipakai (Sub tuum praesedium, Deigenitrix ...; Santa Maria, Bunda Allah – bukan: Kristus!) berasal dari abad IV. Sejak awal abad III rakyat suka menyebut Maria sebagai “Theotokos”, “Deigenitrix”, “Deipara” dan sapaan itu tampil dalam doa tersebut. Waktu Batrik Konstatinopolis, Nestorius, pada tahun 428 mulai mengecam sebutan populer itu, maka terpancing reaksi hebat dari pihak rakyat (dan para rahib), yang gemar akan sebutan itu.

335. Konsili Efesus (tahun 431) meresmikan gelar “theotokos”, “Deigenitrix”, “Bunda Allah” itu. Tidak mustahil ketua konsili (Cyrillus, Batrik Alexandria) memanfaatkan semangat rakyat itu untuk menekan para uskup, supaya meresmikan gelar Maria itu. Di luar gedung sidang para uskup rakyat memang menunggu keputusan, tentu saja keputusan positif. Setelah keputusan dimaklumkan, rakyat di kota Efesus berkeliling sambil berteriak-teriak: “Maria Theotokos”. Ini mengingatkan suatu adegan yang diceritakan Kis 19:23 dst. Di kota yang sama, Efesus, rakyat berteriak-teriak: “Besarlah Artemis, dewi orang-orang Efesus”. Adapun Artemis ialah dewi kesuburan, ibu-perawan yang disamakan dengan Kibele, “Ibu Besar”.

336. Ada sementara ahli sejarah agama yang pernah berpendapat, bahwa devosi kepada dan ibadat sekitar ibu Yesus sebenarnya hanya lanjutan devosi dan ibadat rakyat Yunani dan Romawi kepada dewi kesuburan dan keibuan mitologi kafir, khususnya dewi Artemis tersebut. Di muka sudah dikatakan bahwa devosi dan ibadat seputar Maria berurat berakar pada devosi dan ibadat seputar para martir, yang merupakan ciptaan umat Kristen sendiri. Di lain pihak tidak perlu disangkal bahwa devosi rakyat Kristen kepada ibu Yesus turut dipengaruhi oleh devosi kepada dewi Ibu dalam mitologi kafir. Dewi-dewi itu diganti dengan ibu Yesus. Di Efesus misalnya di atas (puing-puing) kuil Artemis dibangun sebuah gereja yang pelindungnya Maria. Demikian pun terjadi di Roma. Di tempat kuil Vesta dibangun gereja untuk menghormati Maria (Maria Antiqua). Tidak perlu mengherankan bahwa beberapa ciri dewi-dewi itu oleh rakyat dipindahkan kepada ibu Yesus. Tetapi nyatanya di lain pihak devosi dan ibadat sekitar ibu Yesus justru terhalang dalam perkembangannya oleh kekuatiran bahwa rakyat menilai Maria sebagai dewi kesuburan dan keibuan. Pada abad IV pujangga Gereja Epiphanius melawan sementara orang Kristen yang, menurut penilaian Epiphanius, membuat Maria menjadi seorang dewi, sama dengan dewi dalam mitologi kafir.

337. Sejak abad VII dan sepanjang zaman pertengahan devosi marial pad rakyat Kristen terus berkembang, hampir saja tanpa kendali. Pada gilirannya devosi rakyat mempengaruhi ibadat resmi, sejauh misalnya pesta-pesta Maria terus bertambah banyak (ada ribuan). Tetapi pada umumnya (ada kekecualian) ibadat resmi itu tertuju kepada Allah sendiri, bukan kepada Maria, dan mengenangkan pelbagai peristiwa yang menyangkut ibu Yesus. Sejalan dengan “dies natalis” para martir muncul juga “dies natalis” Maria (abad IV). Satu demi satu segala macam peristiwa dari riwayat hidup Maria dikenangkan, baik peristiwa yang diceritakan dalam Injil, maupun, bahkan terutama peristiwa yang tercantum dalam injil-injil apokrip. Injil-injil itu pun sangat mempengaruhi ikonografi, seni rupa. Begitu sebagai misal disebutkan saja: Pesta Kabar Malaikat, Maria mempersembahkan Yesus di bait Allah, Pengungsian ke Mesir, Maria mengunjungi Elisabet, pertunangan Maria, Maria dipersembahakn di Bait Allah, kelahiran Maria, Maria dikandung secara ajaib – ibunya yang diberi nama Ana dikatakan mandul -, pertemuan Maria dengan Yesus di jalan salib, Maria di bawah salib, Bunda Dukacita, Peralihan Maria, dsb. Devosi rakyat terus menekan pimpinan Gereja untuk menambah pesta dan hari raya Maria, sejalan misalnya dengan Kristus Raja muncul Maria Ratu, Hati Kudus Yesus – hati Maria-tak bernoda, Jum’at pertama (Hati Kudus)-Sabtu pertama. Kerap kali pimpinan gereja mengalah, tetapi juga selalu sedikit banyak melawan tendensi itu dengan misalnya menangkis usul untuk menambah pesta baru lagi atau juga dengan mencabut yang pernah diterima. Khususnya konsili Vatikan II banyak pesta Maria dicoret dari penanggalan resmi Gereja atau perayaan pesta tertentu dibatasi untuk daerah atau kelompok tetentu saja. Tetapi juga dewasa ini devosi rakyat (dan sementara uskup) terus menekan pimpinan gereja untuk mencantumkan pesta baru lagi dalam penanggalan Gereja.

338. Ciri khas devosi rakyat (berbeda dengan ibadat resmi) ialah: Maria sendiri menjadi sasarannya. Doa diarahakan kepada Maria, bukan melalui Maria kepada Allah atau Kristus. Awalnya sudah ada pada abad IV, seperti dicatat di muka. Tetapi dalam karangan-karangan Agustinus (abad IV/V) misalnya tidak terdapat satu pun doa kepada Maria sendiri. Tetapi justru itulah yang dalam devosi rakyat sejak abad V subur berkembang. Dan itulah yang menimbulkan masalah bagi teologi, yang nanti dibahas sedikit. Selama Maria hanya menjadi alasan untuk berdoa dan beribadat tidak ada soal teologik. Tetapi dalam devosi rakyat Maria bukan alasan, melainkan sasaran. Dalam penghayatan iman oleh rakyat Maria lebih menonjol daripada Kristus sendiri. Tentu saja boleh diandaikan bahwa di bawah sadar kaitan Maria dengan Allah tetap ada, tetapi kaitan itu tidak secara tegas dihayati. Maka Kristus seolah-olah “diliburkan” oleh ibuNya. Ibu Yesus seolah-olah berdiri di depan Anaknya. Menonjolnya Maria dalam penghayatan iman oleh rakyat a.l. disebabkan oleh karena sejak abad VII tidak hanya keilahian Yesus ditekankan, tetapi juga oleh karena Yesus suka digambarkan sebaga Raja Mahadahsyat dan Hakim yang menakutkan. Maka rakyat berlindung di bawah naungan ibu Maria.

339. Sama seperti devosi rakyat demar akan “makam” kramat para martir dan “relikwi” yang sakti, demikian pun devosi itu ingin memiliki “relikwi” ibu Yesus. Sayanglah “peninggalan” ibu Yesus tidak ada. Tetapi devosi rakyat tidak kehilangan akal dan menciptakan peninggalan yang diinginkan. Sudah dikatakan bahwa tersedia tidak kurang dari tiga makam Maria (dua di Yerusalem, satu di Efesus, yang sebenarnya masih “baru” benar, sebab “diketemukan” oleh Sang Pelihat Catharina dari Emmerich). “Relikwi” Maria juga cukup banyak tersedia, kadang-kadang memang aneh juga. Misalnya: cincin pertunangan, baju, rambut, sabuk, malah “lac de ubere Mariae”. Rumah Maria lengkap dari Nazaret dipindahkan ke Loreto! Dan di mana-mana ada tempat khusus (dengan patung/gambar ajaib, sumber atau pohon dst.), di mana Maria terasa lebih dekat dan pertolongannya lebih hebat dan terjamin. Di mana-mana muncul tempat “ziarah” (nanti masih dibahas) – ada ribuan – di mana umat berkerumun mencari bantuan ibu surgawi atau “Ratu surgawi” (mengingatkan dewi Astarte) untuk keperluan-keperluan kecil hidup sehari-hari. Maria dirasakan justru terlibat dalam dan prihatin terhadap keperluan harian, yang seolah-olah tidak mau dilayani langsung oleh Allah dan Kristus. Sebab itu pun suatu ciri khas devosi rakyat: Ia berurat berakar dalam hidup sehari-hari rakyat dengan segala kebutuhan realnya. Ibadat resmi bertitik tolak peristiwa-peristiwa penyelamatan yang diwartakan dan dengan iman dan doa ditanggapi. Padahal devosi rakyat justru bertitik tolak hidup sehari manusia dengan segala kebutuhannya.

340. Meskipun perkembangan devosi marial pada umat Kristen tidak seluruhnya terpuji dan sehat, namun tidak perlu seluruhnya ditolak atau dikecam. Sepanjang sejarah selalu ada suara yang k.l. menentang devosi marial para rakyat (bdk. DS 2335-2336; D 1316). Terkenal misalnya karya A Widenfeld, Monita salutaria B. Mariae Virginis ad cultores suos indiscretos, 1673. Para Reformator melawan devosi rakyat yang dinilainya tidak berdasarkan Kitab Suci, terlepas dari Kristus dan terlalu liar. Karena itu mereka hanya mau mempertahankan devosi marial dalam rangka Kristologi. Karena itu (dalam ibadat) hanya dikenangkan peristiwa-peristiwa kristologik-marial tertentu (Maria menerima Kabar Gembira, Maria mengunjungi Elisabet, Yesus dipersembahkan oleh Maria). Sudah dikatakan bahwa habis zaman Reformasi sikap antimarial diperuncing dalam polemik dengan umat Katolik Roma dan akhir-akhir ini barulah pendekatan di kalangan Reformasi mulai berubah sedikit.

341. Namun devosi rakyat berhak mendapat tempatnya dalam penghayatan konkret iman Kristen, termasuk dan terutama devosi marial. Biar dalam praxis devosi itu menyerap pelbagai unsur yang aslinya kafir dan biar praxis itu kadang-kadang menjurus ke takhayul, manusia yang terdiri atas jiwa dan ragan dan yang begulat dengan hidup sehari-hari, membutuhkan hal-hal konkret yang dapat diraba-raba dan dipegang-pegang, yang langsung berkaitan dengan hidup real. Dengan praxis yang kalau ditimbang dengan rasio teologik barangkali tidak tahan uji, rakyat toh mengungkapkan dan menghayati imannya kepada Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus. Allah penyelamat dan Juru selamat seluruh manusia juga memperhatikan keperluan-keperluan yang amat manusiawi dan kesusahan yang tidak disetujui Allah juga. Dengan praxis yang ambivalen rakyat mengungkapkan harapannya sambil melihat kepada ibu Yesus yang seluruh harapannya sudah terpenuhi. Devosi marial pada rakyat juga menggarisbawahi serta menonjolkan segi kewanitaan dan keibuan Allah dan Kristus, yang kurang terasa dalam gambaran Allah sebagai “Bapa” dan Kristus yang nyatanya seorang laki-laki.

342. Tidak mengherankan bahwa dalam rangka devosional yang konkret devosi marial kadang kala mendapat ciri erotik juga. Ciri itu misalnya pada zaman tertentu tampil pada patung dan gambar Maria, yang kuat-kuat menampilkan kewanitaan dan keibuan Maria. Demikian pun ciri erotik tampil kalau orang (laki-laki) berkata tentang “pernikahan rohani” dengan Maria, seperti misalnya dianjurkan Alanus de Rupe (tahun 1475). Malah pernah tampil kelompok (yang terkutuk oleh pimpinan) yang secara seksual mempraktekkan devosi marial. Tetapi penyalahgunaan (abusus) tidak menghilangkan pengunaan tepat (usus). Setelah devosi rakyat (religiositas popularis) lama sekali dikecam dan dilawan oleh para ahli (teolog) dan pimpinan Gereja Katolik, akhir-akhir ini orang mulai melihat nilai positif yang ada pada devosi itu, justru sebagai sarana untuk membuat iman menjadi real dan relecan bagi hidup sehari-hari. Meskipun pada permukaan kesadaran religius rakyat ibu Yesus barangkali terlalu menonjol dan terisolasikan, namun di bawah sadar relasi hakiki Maria dengan Kristus jarang sekali seluruhnya hilang. Itu misalnya nampak pada gambar-gambar Maria yang biasanya menggambarkan bersama Anaknya ataupun bersama malaikat yang memberi Kabar Germbira.

343. Kalau dewasa ini teologi feminis mau “memperbaiki” gambaran Allah dengan menyebutNya “Ibu-Bapa” dan rupanya menyesal sekali bahwa Yesus nyatanya seorang laki-laki, maka jalan yang sudah lama ditempuh devosi rakyat, lebih sehat daripada jalan yang ditunjuk kaum elite, para feminis, yang rupanya tidak dapat menerima kenyataan seperti diberitakan Kitab Suci, yang menyapa Allah sebagai Bapa, bukan sebagai Ibu, dan memperkenalkan Kristus sebagai pria, bukan wanita, meskipun Allah tentu saja bukan “ayah” seperti manusia, dan Kristus lebih dari pria.

344. Kritik atas devosi marial yang tradisional akhir-akhir ini justru datang dari sementara penganut teologi feminis dan teologi pembebasan. Mereka berpendapat bahwa gambaran Maria seperti hidup dalam hati dan devosi umat tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Dalam devosi tradisional Maria disodorkan sebagai “model” orang beriman, khususnya wanita beriman. Maria dijadikan “Hawa Baru”, tetapi dengan demikian wanita (Hawa) tetap ditonjolkan sebagai “biang keladi” segala kejahatan. Keperawanan tetap Maria digarisbawahi sebagai cita-cita (moral asketik) yang sebenarnya paling cocok bagi wanita, padahal istri dan ibu tampil sebagai sesuatu yang dengan “izin” Allah masih dapat berguna juga. Maria digambarkan sebagai ibu yang taat, yang mengurus anak dan rumah tangga dalam persembunyian di Nazaret. Maria mendapat peranan pasif belaka, didominasi oleh pria (Allah Bapa dan Kristus). Semuanya itu dinilai sebagai ciptaan pria selibater, tetapi tidak dapat menjadi “model”, apalagi “inspirasi” bagi wanita modern yang diemansipasikan sudah dan membebaskan diri dari peranan tradisionalnya: pasif, taat, terkurung di rumah tanpa kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya sebagai manusia. Sementara teolog pembebasan mendukung kritik macam itu. Maria seharusnya digambarkan sebagai “wanita pejuang”, revolusioner. Sebab, menurut tafsiran mereka atas Lagu Maria (Magnificat), Kitab Suci memperkenalkan ibu Yesus sebagai yang memprotes terhadap yang berkuasa dan yang kaya dan ingin mereka ditumbangkan serta dikirim kembali dengan tangan kosong. Maria sebenarnya wanita pejuang yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan rakyat jelata.

345. P. Paulus VI (Marianus cultus, 1974) menyetujui “gambaran” Maria, seperti nyata hidup dalam hati dan devosi umat (Katolik) turut ditentukan oleh situasi nyata dan cita-cita zaman tertentu. Maka sepanjang sejarah gambaran itu berubah-ubah. Yang sama berlaku untuk “gambaran” Kristus dan Allah. Gambaran Maria yang disajikan Perjanjian Baru, termasuk Luk 1-2, memang cukup abstrak juga. Tentang hidup sehari-hari, tentang psikhe (psyche), emosi Maria, tentang relasinya dengan Yusuf, tentang pendiriannya dalam masalah sosial dan politik dan sebagainya tidak dikatakan apa-apa. Satu-satunya emosi Maria (serta Yusuf) yang dicatat Luk ialah rasa “heran” (2:33) dan “cemas” (2:48). Satu-satunya yang ditonjolkan Perjanjian Baru ialah iman Maria yang sepenuh-penuhnya merelakan diri bagi maksud dan rencana Allah serta segala implikasinya (Luk 1:38.45) serta rasa syukur atas penyelamatan Allah (Luk 1:46-55). Tidak mengherankan devosi rakyat mengisi gambar itu sesuai dengan cita-citanya sendiri (Maria sebagai ibu rumah tangga yang suci, sebagai ibu yang melayani Anaknya, sebagai perawan yang suci murni yang tidak tahu-menahu tentang kehidupan nyata, terkurung dan tersembunyi di rumah: sebagai wanita saleh yang banyak membaca Alkitab dan bersembahyang, sebagai ibu dukacita yang bersedih duduk dengan jenazah Anaknya di pangkuan dsb.)

346. Tetapi ada beberapa hal yang kiranya dapat dipertanyakan. Boleh disetujui bahwa dalam devosi marialnya rakyat memproyeksikan diri kepada ibu Yesus. Tetapi bagaimana rakyat melihat Maria? Sebagai “model” yang mau diteladani, atau sebagai ibu yang tahu kesusahan rakyat dan tersedia menolong? Kalau sementara teolog feminis dan pembebasan mau melihat Maria secara lain, bukankah mereka pun memproyeksikan dirinya (dan frustasinya) kepada ibu Yesus yang digambarkan sebagai semacam “Debora” dan “Yael” serta “Yudit” baru yang (penuh dengan Roh Kudus) mendobrak dan meninggalkan segala konvensi dan kebiasaan masyarakat. Adakah mereka kurang berkhayal daripada devosi rakyat tradisional, kalaupun buah khayal disajikan sebagai “teologi”? Adakah “gambaran” Maria macam itu lebih “inspiratif” daripada gambaran Maria yang diciptakan devosi rakyat? Sayanglah sepanjang sejarah para teolog (Mariolog) jarang sekali menjadi “inspiratif” bagi rakyat beriman, yang menyatakan devosi hangat kepada ibu Yesus, yang dirasakan dekat pada mereka, prihatin dengan nasib dan keperluan rakyat jelata, laki-laki dan perempuan.

347. Bagaimanapun juga bentuk dan rupa devosi marial, ia selalu harus berdasarkan gambaran Maria seperti tampil dalam Kitab Suci. Maria nampak sebagai seorang beriman yang merelakan diri bagi Allah dan karyanya. Itulah diri dasar ibu Yesus. Setiap devosi dan setiap teologi yang melepaskan dasar itu menempuh jalan keliru. Sebagai orang beriman Maria menjadi “model” bagi semua, sebab setiap orang beriman menghayati sikap dasar yang sama dalam dirinya seadanya dan dalam situasi hidup yang nyata. Tetapi Maria dalam devosi rakyat tidak hanya, bahkan tidak pertama-tama suatu “model” yang secara moralistik mesti “diteladani”. Maria terutama ibu Yesus, yang menampung dan membantu rakyatnya. Devosi marial mempunyai sejarah panjang dan cukup berbelit-belit juga. Tetapi intinya tetap sama: Ibu Yesus “membantu” rakyatnya.

----------------
Sebelumnya: {BAB VI : TEOLOGI DAN “DEVOSI” MARIAL}
Selanjutnya: {BAB VIII : BERBAGAI GEJALA DEVOSI MARIAL}

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Trima kasih kepda Nice Bruz atas postingan ini. jika berkenan, mohon postingkan juga bab viii dan seterusnya. terima kasih. Leopoldus, dari Medan.

Admin mengatakan...

Terima kasih Leo, saya akan update terus kok....