Jumat, 05 Februari 2010

Mariologi - Teologi Marial - 2

BAB II

MARIA, IBU-PERAWAN


51. Dalam refleksinya atas iman kepada Yesus umat Kristen mengikutsertakan juga ibu Yesus. Dengan jalan itu iman umat melampaui apa yang diketahui seorang ahli ilmu sejarah. Penjernihan iman akan Yesus Kristus serentak menjernihkan peranan ibuNya.


A. IBU YESUS

1. Maria, ibu Tuhan jemaah
52. Apa yang pasti dan terbuka untuk penelitian ilmu sejarah, berdasarkan Perjanjian Baru, ialah: Maria adalah ibu Yesus. Kenyataan itu mempunyai relevansi kristologiknya. Segi kristologik itu disoroti oleh Paulus (Gal 4:4), yang menandaskan: “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya (Yesus) yang jadi lahir dari wanita”. Pertama-tama Paulus mau mengatakan sesuatu tentang Yesus Kristus. Sama seperti manusia Ia jadi lahir dari wanita (bdk. Mat 11:11). Dengan demikian Yesus, Anak Allah menurut Paulus, ditempatkan dalam rangkaian manusia. Untuk menyebut ibu Yesus (tanpa nama) Paulus menggunakan kata Yunani yang umum sekali (Guné). Kata itu dapat berarti “perempuan” pada umumnya, tetapi juga “istri”. Paulus hanya mengkualifikasikan ibu Yesus sebagai “perempuan”, entahlah ia seorang istri.

53. Hanya orang boleh menanyakan: Mengapa Paulus menyebut ibu Yesus sebagai “perempuan” dan tidak sampai menyebut ayah Yesus sebagai “laki-laki”. Rm 1:8 berkata tentang Anak Allah (Yesus) yang “menurut daging (jadi lahir) dari benih (keturunan) Daud”. Mengapa dalam Gal 4:4 Paulus tidak mengatakan misalnya: yang jadi lahir / diperanakkan dari seorang laki-laki? Mungkinkah Paulus tidak pertama-tama berpikir kepada ibu historik Yesus, melainkan kepada wanita pertama (Hawa), yang menjadi “ibu segala yang hidup” (Kej 3:20), tetapi justru dalam melahirkan anak menjadi terkutuk (Kej 3:16)? Mungkin sekali Paulus mau memasukkan Yesus ke dalam keturunan wanita yang terkutuk, supaya kutuk itu dibatalkan olehNya (bdk. Kej 3:15).

54. Meskipun Gal 4:4 tidak memikirkan ibu Yesus, namun berkat ibu itulah Yesus termasuk ke dalam umat manusia (seadanya). Antara Yesus dan “perempuan” itu ada suatu relasi khusus dan unik. Tidak ada manusia satu pun yang menjadi ibu Yesus (menurut Paulus Anak Allah), kecuali ibu yang bernama Maria. Berkat relasi unik itu Anak Allah, Yesus, termasuk umat manusia dan menjadi senasib dengannya. Dengan demikian “perempuan” itu, yang menjadi ibu Yesus, serentak mendapat suatu kedudukan dan peranan unik dalam sejarah – ini memang perspektif Paulus – dan karya penyelamatan Allah. Sebab, menurut Gal 4:4-5 Allah mengutus AnakNya (yang lahir dari wanita) untuk menebus mereka yang takluk kepad hukum (Taurat?), supaya kita diterima menjadi anak Allah.

55. Paulus dalam Gal 4:4 tentu saja tidak menekankan relasi Yesus dengan ibuNya. Tetapi Paulus kiranya juga tidak melihat relasi itu hanya sebagai relasi biologik dan pasif belaka. Relasi ibu dengan anak bukan perkara biologik belaka, kecuali kalau anak itu tidak diinginkan. Memang sejak abad II (Kelsus) ada orang (yang berpolemik dengan orang orang Kristen) yang berkata tentang Yesus sebagai anak hasil hubungan gelap (zinah) atau malah hasil pemerkosaan. Polemik itu berasal dari kalangan orang Yahudi dan akhirnya juga tercantum dalam Talmud dan dalam pelbagai ceritera tentang Yesus (Toledoth Yosua) yang tersebar di kalangan Yahudi zaman pertengahan.

56. Sedikit memalukan bahwa akhir-akhir ini malah ada beberapa teolog (Katolik) yang tidak segan mengangkat kembali pikiran kuno itu dan tidak keberatan jikalau Yesus anak tidak sah, malah hasil pemerkosaan. Ada yang menemukan tuduhan bahwa Yesus (dianggap) anak haram (oleh lawan-lawanNya) dalam Perjanjian Baru juga. Mereka menunjuk ke Mrk 6:3, tempat Yesus oleh penduduk Nazaret disebut “ bin Maria” dan ke Yoh 8:41 tempat mereka menemukan tuduhan orang Yahudi bahwa Yesus anak haram. Lalu mereka berkata bahwa Mat 1:18-25 (serta Luk 1:34-35) bermaksud menangkis serangan atas Yesus itu dengan berkata bahwa Maria hamil sebelum nikah dari Roh Kudus. Rupanya Al-Quran, yang banyak berbicara tentang Maryam, mati-matian membela bahwa Yesus dikandung secara ajaib, justru untuk menolak apa yang dikatakan orang Yahudi di Arabia tentang Yesus dan ibuNya. Yakni bahwa Yesus sebenarnya hasil hubungan gelap (bdk. Surah 19:27-34; 4:156).

57. Gambaran yang diberikan khususnya oleh Luk 1:26-38 memperlihatkan bahwa penginjil dan jemaahnya yakin keibuan Maria bukan perkara biologis saja. Relasi biologik saja menurut Luk 11:27-28; 8:19-21 dsj. bukanlah relasi yang memutuskan atau yang amat penting. Maka Luk 1:38 justru menekankan bahwa Maria dengan sebulat hati merelakan diri menjadi ibu Yesus. Maka relasi unggul dan tunggal antara Yesus dan ibuNya mencakup segi biologik dan pun pula segi yang amat personal dan pribadi. Relasi pribadi, justru karena relasi fisik itu, mempuyai ciri tunggal yang tidak mungkin terwujud pada orang lain, kecuali pada ibu Yesus. Relasi pribadi tentu saja paling penting, tetapi tanpa dasar biologik itu mungkin bagi semua orang beriman (bdk. Mrk 3:33-35; Mat 12:48-50).

58. Kerelaan Maria, yang ditekankan Luk 1:38, kembali tampil pada Luk 8:19-21. Luk jelas mengolah Mrk 3:31-35. Nas Mrk itu (dan juga sedikit Mat 12:46-50) memberikan kesan seolah-olah Yesus blak-blakan menolah relasi biologik (keluarga) sebagai relevan, apalagi kalau Mrk 3:31-35 mesti dihubungkan dengan Mrk 3:21. Orang berkesan bahwa, menurut Mrk, juga ibu Yesus hanya melihat kualifikasi biologik saja. Tetapi dalam versi Luk 8:19-21 ibu Yesus termasuk ke dalam kalangan mereka yang mendengarkan dan melakukan firman Allah, sesuai dengan apa yang dikatakan Luk 1:38. Pikiran itu terulang dalam Luk 11:27-28, yang menyinggung Luk 1:45.

59. Kalau Maria merelakan diri untuk menjadi ibu Yesus, maka ia pun merelakan diri untuk mengemban kedudukan dan peranan unik, yang diberikan kepadanya dalam karya penyelamatan Allah. Adanya Yesus di dunia ini nyatanya bergantung pada ibuNya, sama seperti adanya setiap anak bergantung pada ibunya. Hanya anak Maria, menurut kepercayaan Kristen (bdk. Luk 2:11), adalah Juru Selamat, malah Juru Selamat dunia (Yoh 4:42). Maka pada garis mendatar adanya Juru Selamat bergantung pada Maria. Ini memang suatu kedudukan dan peranan tunggalm yang terikat pada keibuan biologik-personal Maria. Dan dengan demikian secara tak langsung penyelamatan sendiri (yang dikerjakan Allah melulu melalui Yesus Kristus) bergantung pada Maria. Mat 1:21 juga menegaskan bahwa Maria melahirkan Yesus yang (denganNya Allah) menyelamatkan umatNya dari dosa-dosa mereka. Nama Yesus (Yesua) memang berarti Tuhan Yhwh) menyelamatkan/menolong.

60. Tentu saja hanya iman kepercayaan Kristen sajalah yang mengimani Yesus sebagai Juru selamat dunia, sebagai “Allah beserta kita” (Mat 1:23). Anak Maria bukan sembarangan anak. Umat Kristen, yang percaya kepada Yesus yang dibangkitkan Allah memberiNya pelbagai gelar lain, yang mengungkapkan kepercayaan itu. Gelar-gelar itu tampil juga dalam ceritera-ceritera seputar kelahiran Yesus. Yesus adalah Mesias (Mat 2:4; Luk 2:11), keturunan Daud, seperti diperlihatkan oleh silsilah Yesus yang disusun oleh tradisi ataupun penginjil (Mat 1:1-16), dan ditegaskan Luk 1:32. Karena itu pun Yesus mesti lahir di Betlehem, kota Daud (Mat 2:1; Luk 2:4-7.11). menurut iman Kristen itu Yesus adalah Anak Yang Mahatinggi, Anak Allah (Luk 1:32-35; Mat 2:15) dan Tuhan (kyrios) (Luk 1:43). Seluruh kepercayaan umat Kristen kepada Yesus terungkap dalam ceritera-ceritera sekitar kelahiranNya. Iman, yang jauh kemudian hari barulah berkembang, dipindahkan kepada Yesus pada saat lahir. Maka pemakaian gelar-gelar itu bukanlah secara proleptik, tetapi pada saat itu Yesus sudah demikian, meskipun jauh di kemudian hari baru diketahui.

61. Maka sedikit percuma orang dapat bertanya seberapa jauhnya Maria sudah mengetahui semuanya itu pada saat ia mengandung Yesus. Seandainya ceritera sekirat kelahiran Yesus berupa laporan, maka tidak ada soal. Semuanya sudah dinyatakan kepada Maria (dan Yusuf menurut Mat 1) oleh Tuhan (malaikat) sendiri (Mat1:18-23; Luk 1:28-38). Tetapi nyatanya ceritera itu bukanlah sebuah laporan. Maka sebenarnya orang tidak dapat tahu apa-apa mengenai apa yang disadari Maria dan apa yang tidak disadarinya. Tanpa dasar orang dapat berkata: Maria tidak tahu apa-apa dan juga: Maria tahu segala-galanya. Sebagai wanita Yahudi Maria tentu saja percaya kepada Allah dan ia menjadi peserta dalam harapan bangsanya. Lebih dari itu tidak kita ketahui.

62. Menurut gambaran yang disajikan Luk 1 Maria memang sepenuh-penuhnya percaya. Justru kapercayaan itulah ia dipuji bahagia (Luk 1:45).di lain pihak penginjil tidak berkeberatan mementaskan Maria sebagai seorang yang tidak mengerti (Luk 2:18.33.48-50) dan hanya dapat menyimpan segala peristiwa dalam hati dan merenungkannya (Luk 2:19.51). Pastilah maksud penginjil bahwa di kemudian hari barulah semuanya menjadi jelas bagi Maria. Seolah-olah penginjil sadar bahwa iman Kristen seperti itu terungkap dalam ceritera-ceriteranya belum ada waktu Yesus lahir. Luk 1:26-38 (dan 2:19.51) memang mengingatkan sastera apokaliptik (seperti kitab Daniel). Di sana cukup biasa si “penglihat” mendapat wahyu dari (malaikat) Allah, tetapi tidak mengertinya, lalu menyimpannya dalam hati sampai nanti terlaksana. (bdk. Dan 12:8-9.6-7).

63. Bahkan Luk (2:34-35) tidak berkeberatan mengatakan bahwa bagi Maria anaknya sendiri menjadi sandungan dan tanda yang menimbulkan perbantahan,sehingga suatu pedang akan menembusi jiwa Maria. Tafsiran ayat-ayat itu bermacam-macam. Pedang yang menembusi jiwa Maria kerap kali diartikan begitu rupa, sehingga yang dimaksudkan ialah kesengsaraan Maria (bersama dengan Yesus). Dalam tradisi Kristen sejak zaman pertengahan Maria suka digambarkan sebagai “Mater Dolorosa” (Ibu berduka cita), yang jantungnya tertusuk tujuh pedang. Hanyalah ketepatan tafsiran itu boleh diragukan juga. Yesus menjadi batu ujian bagi umat Israel dan begitu menjatuhkan (karena ketidak percayaan) atau mambangkitkan (karena percaya) banyak orang di Israel. Penginjil rupanya tidak mau mengecualikan Maria. Juga iman Maria diuji selama kehidupan Yesus di bumi, meskipun penginjil (bdk. Luk 11:28; Kis 1:14) yakin bahwa ibu Yesus tidak termasuk mereka yang dijatuhkan.

64. Tradisi Kristen kuno (Misalnya Origenes) tidak segan menafsirkan “pedang yang menembusi jiwa Maria” sebagai pedang keraguan iman Maria. Tetapi penginjil dengan berkata tentang “pedang” kiranya berpikir kepada “pedang penghakiman”, seperti disebutkan Yeh 14:17. Pedang penghakiman itu memisahkan antara yang baik dan yang buruk. Begitulah, oleh eksistensi anaknya selanjutnya Maria akan “dihakimi”. Maria pun mesti memilih antara Yesus dan sesuatu yang lain, misalnya familinya; ia mesti memilih antara percaya atau tidak percaya. Sama seperti menurut Injil (Mat 4:1-11 dsj.) Yesus dicobai, diuji kesetiaanNya dan menghadapi pilihan, demikian pun menurut Luk 2:34-35, iman ibuNya diuji dan kesetiaannya dicobai. Hanya sama seperti Yesus tahan uji, demikian pun ibuNya. Begitulah gambaran Luk 8:21.

65. Kalau Maria secara biologik dan secara personal ibu Yesus, maka menurut kepercayaan Kristen, ia manjadi ibu Mesias (Mat 1-16.22-23) yang menggenapi harapan Perjanjian Lama, ibu Anak Allah yang Mahatinggi (Luk 1:32.35), ibu Tuhan jemaah (Luk 1:43) ibu Juru selamat (bdk. Mat 1:21.23; Luk 2:11) dan ibu cahaya sekaian bangsa (Luk 2:32).

2. Maria, Bunda Allah
66. Kristologi yang tercantum dalam Perjanjian Baru dalam tradisi selanjutnya serta dalam lingkup alam pikiran lain (Yunani) diperkembangkan. Data kristologik yang termaktub dalam Perjanjian Baru dipadatkan dalam penegasan bahwa Yesus Kristus, Anak Allah, adalah Firman Allah yang kekal, Allah –Anak yang sehakikat dengan Bapa (konsili Nikea, tahun 325). Allah-Anak, yang memang sungguh-sungguh Allah oleh karena sehakikat dengan Bapa, menjadi daging, manusia begitu rupa, sehingga Ia Allah dan manusia serentak, namun tetap satu (konsili Efesus, tahun 431; Kalkedon, tahun 451).

67. Perkembangan dalam Kristologi ia membawa akibat bagi Mariologi juga. Kalau Yesus benar-benar Allah, maka ibu Yesus menjadi ibu Allah juga. Maka sejak abad IV (Doa “Sub tuum praesiduim) Maria mulai disebut “Theo-tokos”, “Dei-genitrix”, artinya: yang melahirkan Allah. “Dei-genitrix” dalam bahasa Latin menjadi “Dei-para” dan “Mater Dei”, “Bunda Allah”. Dan gelar itulah yang menjadi lazim terpakai. Tetapi gelar “bunda Allah” dapat menyesatkan, seolah-olah Allah mempunyai ibu, sehingga Maria menjadi mirip dengan dewi, bunda dewa/dewi dalam mitologi kafir. Istilah “Theo-tokos”, “Dei-genitrix” (yang melahirkan Allah) lebih tepat. Istilah itu hanya menyatakan bahwa Maria melahirkan seorang anak, yang – menurut dogma konsili Nikea – memang Allah, oleh karena sehakikat dengan Bapa. Istilah itu tidak mengatakan bahwa Allah (keilahian) mempunyai ibu, tetapi manusia yang adalah Allah tentu saja mempunyai ibu, sebagai layak bagi manusia sejati.

68. Istilah dan gelar “Theo-tokos”, “Dei-genitrix” dan dengan arti itu “Bunda Allah” diresmikan dan didogmatisasikan oleh konsili Efesus (tahun 431). Alasannya ialah pikiran Nestorius, Batrik Konstantinopolis, serta pengikut-pengikutnya. Mereka menolak gelar, yang sudah populer itu, oleh karena berbau mitologi kafir. Mereka mempertahankan bahwa pada Yesus ada dua subjek dan dengan arti itu dua “orang”, yaitu Firman Allah / Allah-Anak, dan manusia Yesus Kristus. Maria adalah ibu manusia itu. Karena itu ia boleh disebut “Anthropo-tokos” (yang melahirkan manusia) atau “Khisto-tokos” (yang melahirkan Kristus). Maka demi mempertahankan kesatuan subjek pada Yesus Kristus konsili Efesus menetapkan bahwa Maria boleh dan mesti disebut “Theo-tokos”, “Dei-genitrix”, “Bunda Allah”.

69. Tetapi konsili menjelaskan: Maria disebut demikian bukanlah oleh karena kodrat Firman dan keilahianNya mendapat asal usulnya dari Perawan Suci, tetapi oleh karena tubuh suci yang dilengkapi dengan akal diambil darinya dan dengan tubuh itu Firman Allah dipersatukan menurut kemandirian, maka Firman itu dikatakan lahir menurut daging (DS 251). Sejak konsili Efesus gelar “Theo-tokos”, “Dei-genitrix”, “Bunda Allah” menjadi tradisional dan terus dipakai. Tetapi jelas pula bahwa felar itu hanya dapat dipahami dan dibenarkan dalam rangka dogma kristologik. Di luar kerangka itu gelar itu kehilangan artinya dan menjadi hujat belaka.

70. Baiklah umat Kristen, khususnya di tengah kaum Muslimin, hati-hati. Oleh karena tradisi umat Islam melepaskan gelar itu dari rangka aslinya, maka gelar “Bunda Allah” di telinga saudara-saudara Muslimin menjadi hujat. Maka berkesan seolah-olah umat Kristen berpendapat bahwa Allah Yang Mahaesa mempunyai ibu dan bahwa Maria dijadikan mirip dengan dewi kafir, yang mati-matian ditolak oleh Al-Quran. Ataupun mereka berkesan bahwa Maria menjadi sebagian dari Trinitas Kristen. Tidak mustahil bahwa di zaman Muhammad (abad VII) di Arabia dan Siria ada orang Kristen yang dalam devosi meluap-luap mengilahikan Bunda Almasih yang bersama dengan Bapa melahirkan “Anak-Allah”. Kalau demikian maka Maria dan Allah dipikirkan sebagai sepasang dewa-dewi yang melahirkan anak (dewa). Maka ada tiga: Allah Bapa, Maria, Allah-Anak. Pikiran itu memang kekafiran belaka. Tentu saja kalau gelar “Bunda Allah” dimengerti dengan cara demikian ia menjadi “hujat”, tetapi tidak lagi mengucapkan apa yang diimani umat Kristen.

B. IBU-PERAWAN


1. Yesus dikandung dari Roh Kudus oleh perawan
71. Sejak Perjanjian Baru pada umat Kristen ada keyakinan bahwa Yesus tampil di muka bumi ini dengan cara lain daripada yang biasa bagi manusia. Seperti manusia lain Ia dilahirkan oleh ibuNya, Maria, tetapi tidak diperanakkan oleh seorang ayah, seperti manusia lain. Seperti dirumuskan dalam Mat 1:18: Ibu Yesus mengandung Dia dari Roh Kudus, Roh, daya cipta Allah sendiri. Roh Kudus itu bukan dari ayah Yesus (bdk. DS 533), tetapi Allah dengan RohNya, ialah daya penciptaan (bdk. Kej 1:1 dst.), menciptakan Yesus dari ibuNya dan langsung melepaskan proses alam pembentukan anak, yang biasanya dilepaskan oleh ayah anak itu.

72. Kalau ibu Yesus berulang kali disebutkan sebagai “perawan” (Yunaninya: Parthenos) waktu mengandung Yesus (Mat 1:23; Luk 1:27), maka kata itu sendiri tidak terlalu banyak artinya. Sebab arti kata Yunani itu cukup luas. Kata itu dapat berarti putri/pemudi yang belum kawin (bdk. Luk 2:36; Mat 25:1; 1Kor 7:25.28) tanpa implikasi lebih lanjut. Mana persis arti kata itu hanya dapat ditentukan oleh konteks pemakaiannya.

73. Baiklah diingat bahwa tradisi mengenai diperkandungnya Yesus oleh perawan Maria pertama-tama mengenai Yesus Kristus, bukan Maria. “Conceptio virginalis” (dikandungnya Yesus oleh perawan) pertama-tama termasuk Kristologi, bukan Mariologi. Tetapi secara tak langsung ajaran itu juga mengatakan sesuatu tentang Maria. Sebagai perawan ia menjadi ibu, sehingga ia ibu-perawan. Ia perawan dalam keibuannya dan tidak terlepas darinya. Sebagai perawan Maria mengandung Yesus.

74. Tradisi tentang keperawanan Maria dalam mengandung Yesus (virginitas ante partum) amat kuat sekali. Dengan jelas sekali terungkap dalam Mat 1:18. “Ketika ibu Yesus bertunangan dengan Yusuf ia kedapatan mengandung (mempunyai dalam kandungan) dari Roh Kudus, sebelum mereka berkumpul (secara resmi nikah).” Dan (Mat 1:25) Yusuf “tidak mengenal dia (istilah Ibrani yang berarti: bersetubuh), hingga ia melahirkan anak”. Hal yang sama sudah disinggung dalam Mat 1:16. Menurut teks yang pasti asli (dalam naskah-naskah Yunani memang ada kekacauan) ayat itu berbunyi: “Yakub memperanakkan Yusuf, suami Maria, yang dari padanya (ialah Maria) dilahirkan Yesus, yang disebut Kristus”. Pada akhir silsilah (Mat 1:1-17) ungkapan yang lazim: Si A memperanakkan Si B, tiba-tiba berubah. Tidak lagi dikatakan: Yusuf, suami Maria, memperanakkan Yesus, yang disebut Kristus, tetapi: Yakub memperanakkan Yusuf, suami Maria yang (Maria) dari padanya dilahirkan Yesus... Keanehan dalam silsilah itu justru dijelaskan Mat 1:18-25. Yesus tidak dikandung secara biasa, tetapi “dari Roh Kudus”.

75. Meskipun tak setegas Mat 1:18.25, namun juga Luk mengungkapkan pikiran yang sama. Silsilah Yesus yang disajikan Luk 3:23-38, yang berbeda sekali dengan yang termuat dalam Mat 1:1-17, bermula dengan Yesus, yang “dianggap anak Yusuf”. Tidak ada alasan yang meyakinkan untuk menilai ungkapan “yang dianggap” sebagai suatu sisipan yang tidak asli. Sebab Luk 1:34-35 mengungkapkan gagasan itu pula. Atas pertanyaan Maria: “Bagaimana itu (ialah menjadi ibu) akan terjadi oleh karena aku tidak mengenal (=bersetubuh dengan) laki-laki (=suami)”, malaikat menjawab: “Roh Kudus akan turun atasmu dan (=ialah) kuasa Yang Mahatinggi akan menaungi engkau”. Meskipun keaslian ayat 34-35 oleh sementara ahli tanpa dasar pernah diragukan dan meskipun maksud ayat-ayat itu dipersoalkan, namun sebaik-baiknya teks diterima seadanya. Maksudnya ialah: Malaikat (ialah penginjil, tradisi Kristen) mau menekankan bahwa Maria mengandung Yesus berkat daya kekuatan Allah. Maka Luk 1:34-35 sama artinya dengan apa yang terungkap dalam Mat 1:18-25.
Maka pertanyaan Maria: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku tidak mengenal laki-laki” (Luk1:34) mesti dipahami sebagai berikut: Bagaimana hal itu mungkin terjadi sekarang karena aku tidak (belum) mengenal laki-laki, belum nikah. Sebab kalau menjadi ibu nanti barulah terjadi, tidak ada soal. Maria bertunangan menurut kisah Luk (1:27; 2:5), tetapi pernikahan belum dilaksanakan. Maka wajar sekali kalau nanti Maria mendapat anak dari suaminya, meskipun anak itu Anak dari Yang Mahatinggi. Gelar Mesias itu sama sekali tidak mengimplikasikan (dalam tradisi Yahudi) bahwa dikandung secara ajaib.

2. Ibu-perawan
76. Tradisi Kristen selanjutnya, sampai abad XIX, selalu mengerti kesaksian Mat dan Luk tersebut secara demikian pula. Hanya tekanan sedikit bergeser, sehingga segi Mariologi menjadi menyolok dan segi Kristologi sedikit kurang diperhatikan. Ignasius, uskup Antiokhia di Siria (± tahun 110) yang melawan semacam doketisme yang menyangkal kemanusiaan Yesus, dalam suratnya kepada jemaah di Smirna (1:2) dan jemaah di Efesus (18:2) jelas menilai dikandungnya Yesus oleh perawan sebagai pokok iman Kristen. Demikian pun Aristides (± tahun 140), Justinus (± tahun 163, Apol I:31.46; Dial. 63:1; 85:2), Irenius (± tahun 202, Adv. Haer. 1:10.1; Adv. Prax 2:1) dan Tertullianus (± tahun 222, De Praescr.Haer.13:3) menganggap “conceptio virginalis” sebagai “regula fidei” (kaidah iman) yang umum diterima. Pada akhir abad II memang ada sekelompok orang Kristen keturunan Yahudi (disebut “Ebyonim”) yang berpendapat bahwa Yesus dikandung secara wajar sama seperti manusia lain dikandung. Justru terhadap pendapat itulah Ireneus dan Justinus mempertahankan “conceptio virginalis” dan itu pun secara biologik “sine semine virili” (tanpa mani laki-laki). Sejak abad III keyakinan itu masuk ke dalam syahadat, yang selalu berkata: Yesus Kristus, Anak Allah, yang karena Roh Kudus lahir dari perawan Maria (bdk. DS 10.11.12.13 dll.). Kadang-kadang dalam syahadat setempat ditambah: ... lahir dari perawan tanpa benih (mani) laki-laki” (bdk. DS 62.63) dengan maksud menekankan dimensi biologik-fisik keperawanan itu. Penegasan itu beberapa kali diulang lagi (bdk. DS 189.368.503.533.1880). Juga masih diafirmasikan oleh konsili Vatikan II (LG N.63), meskipun konsili (tahun 1964) tahu tentang keraguan yang sejak abad XIX muncul.

77. Keraguan mengenai keperawanan Maria dari segi fisik-biologiknya pada abad XIX mulai tampil di kalangan teolog (liberal) Reformasi. Para Reformator (Luther, Kalvin, Zwingli dsb.) tidak sampai meragukannya dan meneruskan saja tradisi kuno. Begitu pula ajaran itu masuk ke dalam “pengakuan-pengakuan iman” yang disusun di zaman Reformasi (abad XVI). Dan tetap cukup banyak teolog (a.l K.Barth) yang mempertahankan dan membela ajaran tradisional itu.
Keraguan tentang dan penolakan keperawanan (fisik) Maria, yang sejak abad XIX semakin meluas, sampai juga memperngaruhi sejumlah teolog Katolik (seperti H Küng; Katekismus Belanda tahun 1968 mendiamkannya saja tanpa protes dari pihak para uskup, tetapi tentu dari pihak Roma), mesti ditempatkan pada latar belakang rasionalisme abad XIX (ketakutan terhadap “mukjizat”) dan penilaian kembali terhadap seksualitas dan perkawinan selama abad XX.

78. Tetapi keraguan tersebut juga mendasarkan diri pada Kitab Suci. Dikatakan – memang tepat juga – bahwa Perjanjian Baru (kecuali Mat1 dan Luk 1) tidak tahu menahu tentang suatu kelainan dalam dikandungnya Yesus. Paulus (Gal 4:4) rupanya mengandaikan saja bahwa Yesus “lahir dari wanita” sama seperti semua orang dan karenanya menjadi senasib denan manusia lain (kena kutuk). Rm 1:3 rupanya menganggap Yesus keturunan Daud seperti lain keturunan Daud. Berulang kali Perjanjian Baru berkata tentang Yesus sebagai “bin Yusuf” (Yoh 1:45; 6:42; Luk 4:22) atau tentang “ayah” (orang tua) Yesus (Luk 2:27.33.41.43.48; Mat 13:55) dan itu tidak pernah, kecuali dalam Luk 3:23, secara tegas dibantah.
Sebagai argumen teologik kadang-kadang mau dipertahankan bahwa ajaran tradisional ini merongrong kemanusiaan Yesus dan dogma inkarnasi. Kalau Yesus dikandung di luar aturan alam dan umum, Ia nampaknya tidak menjadi manusia seperti yang lain dan seluruhnya senasib dengan mereka (bdk. Ibr 2:17; 4:15).

79. Ada juga sementara ahli Kitab yang mengira dapat menemukan keperawanan maria dalam ayat-ayat tertentu. Mereka menunjuk kepada Mrk 6:3. Yesus di sana disebut sebagai “anak Maria” saja. Dalam Mat 11:11 Yesus diperlawankan dengan Yohanes Pembaptis yang “lahir dari wanita” seperti orang lain. Yesus lain halnya. Beberapa naskah Yoh 1:13 tidak berkata tentang “mereka yang diperanakkan bukan dari darah atau daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah”, tetapi tentang “dia yang diperanakkan...”. Tetapi ayat-ayat ini tidak membuktikan apa-apa. Menurut Mrk 6:3 penduduk Nazaretmenyebut Yesus “anak Maria”. Cara bicara macam itu tentu saja kurang biasa. Biasanya seseorang disebut “anak ayahnya”, bukan “anak ibunya”. Tetapi cara bicara Mrk 6:3 tidak mustahil juga. Boleh jadi bahwa menurut pikiran tradisi yang ada pada Mrk 6:3 Maria dianggap sedang menjanda, Yusuf sudah meninggal. Ada juga yang berpendapat bahwa cara bicara itu mau menghina Yesus sebagai anak haram. Mat 11:11 juga sukar dipakai. Tafsiran yang menemukan keperawanan dalam ayat ini berjalan sebagai berikut. Yohanes Pembaptis disebutkan sebagai yang terbesar di antara mereka yang lahir dari wanita, yaitu secara normal. Dengan Yohanes itu diperlawankan “yang terkecil dalam Kerajaan Surga”. Yang toh lebih besar daripada Yohanes. Adapun “yang terkecil dalam Kerajaan Surga” ialah Yesus, yang lebih besar daripada Yohanes. Tetapi Yesus tidak “lahir dari wanita” secara normal. Ibu Yesus dalam melahirkan anaknya berperan sebagai perempuan dan laki-laki serentak. Tafsiran ini mau dikuatkan dengan terjemaha (salah satu naskah) Siria pada Mat 1:18b. Terjemahan itu berbunyi: ia (Maria) mengandung sebagai laki-laki. Jadi Yesus dikandung dengan tidak ada seorang laki-laki yang berperan. Tetapi tafsir macam itu boleh dianggap terlalu dibuat-buat dan ketepatannya tidak dapat dibuktikan. Salah satu naslah terjemahan Siria tentu saja tidak mencukupi utnuk membuktikan maksud penginjil. Paling-paling penyalin naskah itu yang mengungkapkan pandangannya. Mengenai Yoh 1:13 harus dikatakan: Sukar dibuktikan bahwa teks asli sungguh-sungguh berbunyi: “ia diperanakkan ...” Lebih mudah dimengerti bahwa yang asli: “mereka diperanakkan ... “ diubah menjadi: “ia diperanakkan...”, setelah umat Kristen umum sudah yakin tentang keperawanan Maria, lalu ingin menemukannya dalam Injil keempat juga. Dengan perubahan kecil dalam Yoh 1:13 maksud itu tercapai. Tetapi sukar orang menerima bahwa sebuah teks yang jelas mengungkapkan keperawanan itu kemudian dihilangkan.

80. Kalau demikian duduk perkaranya muncullah pertanyaan: Bagaimana Mat 1:18.25 dan Luk 1:34-35 mesti dipahami? Kedua nas itu jelas mengungkapkan bahwa Yesus dikandung oleh seorang perawan tanpa ayah. Soal itu oleh sementara teolog dijawab dengan berkata bahwa “keperawanan itu” suatu simbol sastera belaka. Boleh jadi penginjil mengertinya secara fisik-biologik, tetapi tidak perlujuga itu maksud semula dalam tradisi yang dipakai Mat dan Luk.

81. Jelaslah Mat dan Luk mengangkat suatu tradisi yang mendahului mereka. Sebab kedua penginjil amat berbeda dalam ceriteranya, tetapi justru dalam hal keperawanan mereka sepakat. Lalu dikatakan bahwa dalam tradisi semula keperawanan itu dimaksudkan sebagai suatu simbol. Simbol itu mungkin terpengaruh oleh lingkungan, tempat tradisi itu muncul. Jemaah Kristen yang menjadi asal tradisi itu dan tradisi selanjutnya percaya bahwa Yesus sebagai Juru selamat dari Allah memang bukan hasil usaha dan karya manusia. Juru selamat itu merupakan anugerah Allah belaka. Dan itu terungkap dengan berkata bahwa Yesus sebagai Juru selamat, anak Allah, dikandung berkat pengaruh Roh Kudus, ialah daya cipta Allah sendiri tanpa adanya seorang laki-laki.
ditunjuk kemiripan antara caranya Yesus dikandung dan caranya tokoh-tokoh besar dalam Perjanjian Lama: Ishak (Kej 18:1 dst.), Samuel (1Sam 1:1 dst.), Simson (Hak 13:2 dst.) dan juga Yohanes Pembaptis (Luk 1:7.18.25) dikandung. Mereka juga hasil karya Allah, sebab selalu dikatakan bahwa ibu mereka mandul (dan terlalu tua). Lalu (malaikat) Allah dipentaskan yang berjanji bahwa kendati halnya secara manusiawi mustahil, ibu itu akan melahirkan anak. Motif itu jelaslah hanya suatu sarana kesusasteraan saja. Maksudnya: menggarisbawahi bahwa tokoh-tokoh besar itu suatu anugerah Allah bagi umatNya.

82. Kadang-kadang juga ditunjuk kemiripan antara ceritera Injil-injil, tegasnya motif yang dipakai ceritera itu, dengan mitologi kafir. Menurut mitologi itu tokoh-tokoh besar dilahirkan oleh ibu mereka setelah dibuahi oleh seorang dewa, ada kalanya dengan cara yang aneh juga. Tetapi umumnya kemiripan itu ditolak, sebab terlalu besar perbedaan antara ceritera Injil dalam mitologi kafir. Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi tentang kelahiran ajaib cukup menjelaskan ceritera Mat dan Luk.

83. Bagaimana menilai pendekatan “baru” (yang sebenarnya tidak terlalu baru, sebab pada abad II sudah dikenal Justinus)? Mesti disetujui bahwa “keperawanan” (caranya Yesus dikandung) mempunyai arti simbolik. Pertama-tama mau dikatakan sesuatu tentang Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen. Yesus, Juru selamat tentu saja bukan hasil kerja dan usaha manusia, melainkan karunia Allah semata-mata. Dengan Yesus masuklah ke dalam dunia dan ke dalam sejarah umat manusia suatu unsur yang bukan hasil dunia atau sejarah. Dengan bagusnya pikiran itu terungkap dalam caranya Mat 1:1-17 menyajikan silsilah Yesus. Rangkaian orang, keturunan Abraham dan Daud, terputus dengan tampilnya Yesus. Di satu pihak Yesus termasuk rangkaian itu –berkat Maria, ibuNya -, di lain pihak Iah toh bukan hasil rangkaian itu oleh karena tidak diperanakkan Yusuf bin Yakub. Dan dengan indahnya hal itu terungkap dalam caranya Yesus secara luar biasa (dari Roh Kudus) dikandung.

84. Juga dapat diterima bahwa diri Yesus, kedudukan dan perantaraanNya, tidak kurang seandainya Ia dikandung secara wajar, alamiah. Keperawanan Maria bukan prasyarat atau dasar, supaya Yesus Anak Allah dan Juru selamat. Seluruh Perjanjian Baru mengakuiNya demikian, padahal tidak tahu keperawanan ibuNya. Keperawanan itu pun tidak perlu, agar Yesus tidak “tercemar”, seolah-olah seksualitas dan perkawinan sesuatu yang “tidak suci” dan menyalurkan “dosa” (asal), padahal Yesus tidak boleh terkena “dosa” (asal). Tendensi gnostik-asketik macam itu pasti tidak melatarbelakangi “keperawanan Maria” dalam Injil. Kalau dalam tradisi selanjutnya ada orang yang berkata bahwa Yesus, yang tanpa dosa (asal) tidak dapat dikandung melalui seksualitas biasa, supaya jangan “tercemar”, maka orang itu jelas tidak memahami Kitab Suci dan alam pikirannya.

85. Tetapi dapatkah dikandungnya Yesus oleh seorang perawan sebagai perawan direduksi menjadi simbol semata-mata tanpa realitas fisik-biologik? Tradisi Kristen sampai abad XIX selalu mempertahankan dimensi itu. Tradisi itu begitu kuat dan mantap, sehingga ajaran itu, menurut prinsip teologi Katolik, mesti dinilai sebagai termasuk ke dalam ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan ditinggalkan, kalaupun secara formal tidak “didefinisikan” sebagai “dogma”. “Dogma” dengan arti sempit sebenarnya suatu gejala yang relatif baru (sejak abad XVI). Teologi di kalangan Reformasi tentu saja tidak merasa diri begitu terikat pada tradisi dan kewibawaannya.

86. Tetapi teolog-teolog, termasuk teolog Reformasi, mesti bertanya: Mengapa tradisi Kristen sampai abad XIX mempertahankan ajaran itu, meskipun sadar bahwa segi fisik-biologik bukan dimensi terdalam ajaran itu? Baiklah dipikirkan bahwa sebelum zaman rasionalisme (abad XVIII) “simbol” tidak pernah menjadi simbol hampa dan kosong. Simbol tidak pernah mempunyai realitas rasional saja. Apa yang menjadi simbol selalu suatu realitas fisik nyata, yang menyimbolkan suatu realitas transenden. Kalau keperawanan dikatakan suatu simbol ciri transenden Yesus dan realitas fisik simbol itu dihilangkan, maka ciri transenden itu pun kehilangan realitasnya dan menjadi mitologi belaka. Seluruh iman Kristen dihampakan menjadi mitologi.

87. Maka, kalau Mat 1:18.25; Luk 1:34-35 dimensi fisik biologik turut dipikirkan (hal mana tidak terpungkiri), kurang masuk akal bahwa dalam tradisi sebelumnya dimensi itu hanya simbol rasional saja. Alam pikiran Yahudi tidak mengizinkan simbol rasional semata-mata. Keperawanan fisik-biologik itu menjadi simbol real, tanda kosmik pada realitas Yesus Kristus sebagai karunia Allah. Pada Yesus orang tidak dapat membedakan antara realitas fisik kemanusiaanNya dan ciri fungsionalNya sebagai Juru selamat dari Allah dan Anak Allah. Ia adalah Juru selamat dan Anak Allah, karunia Allah semata-mata bukan hasil usaha manusia, justru dalam kemanusiaanNya. Dan justru keperawanan fisik-biologik itulah yang menjadi dimensi kosmik ciri hakiki Yesus Kristus. Menyangkal dimensi simbolik-kosmik itu mengimplikasi menyangkal ciri fungsional hakiki Yesus seperti Ia diimani umat Kristen. Lepas dari kenyataannya dimensi itu tidak boleh dikatakan mutlak perlu, tetapi pada kenyataan yang ada – menurut kesaksian Alkitab – dimensi itu tidak dapat disangkal.

88. Kemiripan antara cara Yesus – menurut Mat dan Luk – dikandung dan caranya tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama dilahirkan, tetapi tidak dapat dipakai dan kurang mendasar. Pertama kalinya dapat ditanyakan: Bagaimana penginjil (c.q. tradisi sebelumnya) mengerti ceritera-ceritera Perjanjian Lama itu? Sebagai “simbol literer” belaka – seperti dipahami eksegese modern – atau sebagai realitas historik? Seandainya ceritera tentang diperkandungnya Yesus turut diinspirasikan oleh ceritera-ceritera Perjanjian Lama – hal mana kiranya mesti diterima -, maka mereka mengerti juga keperawanan Maria secara fisik-biologik, seperti kemandulan Sara, Ribka, Hana, dan Elizabet dipahami secara realistik. Kecuali itu, kalaupun ceritera tentang dikandungnya Yesus terinspirasi oleh ceritera-ceritera kuno itu, namun justru keperawanan itu tidak datang dari situ. Antara kemandulan wanita tua yang “disembuhkan” oleh Allah, sehingga wanita itu secara wajar dan alamiah dapat mengandung dan melahirkan anak , dan dikandungnya seorang anak oleh perawan berkat Roh Kudus ada perbedaan besar. Gagasan kedua tidak dapat berasal atau dijabarkan dari yang pertama. Maka penginjil (tradisi sebelumnya) mengangkat gagasan itu dari sumber lain. Pikiran itu tidak pernah muncul dalam tradisi Yahudi. Juga Yes 7:14 (bdk. Mat 1:23) sejauh diketahui tidak pernah diartikan dengan cara demikian, kalaupun terjemahan Yunani (LXX) menterjemahkan kata Ibrani (‘alma) dengan “parthenos”. Mencari gagasan itu dalam tafsiran alegorik yang diberikan Filo dari Aleksandria atas Yes 7:14 nampaknya terlalu jauh dari tradisi Kristen dan pandangan realistik penginjil. Maka gagasan :keperawanan” itu sungguh-sungguh orisinal dalam tradisi Kristen-Injili. Tradisi yang hanya dikenal melalui Mat dan Luk itu tidak memberi dasar bagi simbolik rasional-literer belaka.

89. Janganlah – secara teologi saja – dikatakan: Jika Yesus dikandung secara luar biasa, maka Ia tidak lagi sepenuhnya manusia, seperti dipertahankan tradisi dan dogma kristologik. Seolah-olah keperawanan fisik-biologik berlawanan dengan inkarnasi. Meskipun Yesus Kristus sepenuh-penuhnya manusia, namun – menurut tradisi dan dogma yang sama – Ia bukan hanya manusia. Adakah teologi berhak mendiktekan kepada Allah bagaimana Ia dapat dan harus menjadi manusia? Jika Yesus sejak awal – menurut tradisi dan dogma yang sama – ilahi, bukankah sesuai dan wajar kalau sejak awal ciri itu pun mendapat dimensi kosmik, fisik dan biologik? Tentu saja pada dirinya dimensi itu amat ambivalen, justru oleh karena hanya tanda, sama seperti “mukjizat” Yesus – dimensi kosmik-fisik Kerajaan Allah yang terwujud pada Yesus – pada diriNya sangat ambivalen. Sebagai tanda keperawanan fisik Maria hanya dapat dipahami dalam rangka iman akan Yesus Kristus.

90. Boleh disetujui bahwa keperawanan Maria tidak diketahui karangan-karangan Perjanjian Baru kecuali Mat 1:18.25 dan Luk 1:34-35. Ayat-ayat yang kadang-kadang dipakai sebagai “bukti” bahwa keperawanan itu diketahui, sungguh-sungguh kurang meyakinkan, seperti diuraikan di muka. Di lain pihak juga tidak ada ayat yang secara tegas menyangkal apa yang diafirmasikan Mat 1:18.25; Luk 1:34-35. Gal 4:4 dan Rm 1:3 ada maksud khususnya dan tidak mempersoalkan cara Yesus termasuk ke dalam keturunan wanita dan Daud. Penginjil yang menyusun Luk 1-2 tidak melihat kontradiksi antara Luk 1:34-35 dan Luk 2:27.33.41.48. Sudah dikatakan juga bahwa kerigma apostolik tidak selengkap-lengkapnya termuat dalam tiap-tiap karangan Perjanjian Baru, tetapi hanya dalam keseluruhan.

91. Meskipun keperawanan Maria sebagai gejala fisik-biologik pada dirinya terbuka pengamatan dan penyelidikan historik, namun nyatanya secara historik tidak tercapai. Apa yang melalui metode ilmu sejarah tercapai ialah: Kelahiran Yesus ada kelainannya. Sudah dikatakan bahwa Mat 1:16.18-25 barangkali berpolemik dengan orang yang menilai Yesus sebagai anak haram, oleh karena lahir terlalu cepat setelah ibunya nikah. Maka Mat menjelaskan bagi jemaah Kristen bagaimana duduknya perkara. Sudah dikatakan bahwa apa yang tercantum dalam Mat 1-2 dan Luk 1-2 sukar dikembalikan kepada saksi-saksi mata (dalam hal keperawanan: Maria dan Yusuf). Apa yang termaktub dalam bagian Injil itu ialah ungkapan iman jemaah Kristen yang sudah agak maju. Juga cara Yesus dikandungkan itu dijabarkan dari iman kepada Yesus Kristus. Maka realitasnya bukanlah realitas historik dengan arti kata biasa (berdasarkan kesaksian saksi mata yang pantas dipercayai). Tetapi atas dasar itu realitasnya, juga fisik-biologik, tidak dapat disangkal begitu saja. Tidak hanya pengamatan /observasi menjadi jalan untuk mengetahui realitas, apa pula seluruh realitas. Sejauh mana jabaran itu mengenai realitas objektif, bergantung pada iman Kristen, yaitu seberapa jauhnya iman itu mengenai realitas objektif dan sejauh mana realitas Kristus mengimplikasikan realitas keperawanan fisik-biologik ibuNya.

92. Sudah secara umum dijelaskan dahulu bahwa jenis sastera yang dipakai Mat 1-2 dan Luk 1-2 mirip dengan “legenda” dan bercirikan apokaliptik. Itu pun berlaku untuk apa yang dikatakan tentang caranya Yesus dikandung. Dengan “legenda” macam itu jemaah Kristen c.q. penginjil mengungkapkan bagaimana tampilnya Yesus, sasaran iman kepercayaan, dipahami dan diartikan. Jadi suatu realitas historik (tampilnya Yesus) diartikan dengan cara demikian. Setiap kali mesti diselidiki seberapa jauhnya “legenda” memuat sesuatu yang real-historik. Sehubungan dengan caranya Yesus dikandung, sukar dilihat realitas historik mana diinterpretasikan oleh legenda itu, kalau tidak justru kelaina yang ada pada tampilnya Yesus itu. Ia tidak tampil sama seperti semua manusia lain, hasil pertemuan wanita dengan pria. Tidak pada tempatnya dalam rangka ini orang menunjuk kepada “parthenogenesis”, yang menurut sementara ilmuwan, memang suatu kemungkinan real. Ilmu dalam menjelaskan tampilnya Yesus tidak perlu diikutsertakan.

93. Kalaupun keperawanan mempunyai dimensi fisik-biologik dan langsung mengenai Kristus sehingga mempunyai makna kristologik, namun secara tak langsung keperawanan itu mengatakan sesuatu tentang Maria juga. Bagi Maria keperawanan itu berarti bahwa secara eksklusif ia merelakan diri bagi Allah semata-mata dan menjadi ibu seorang anak hanyalah oleh karena dikehendaki Allah, entahlah bagaumana kehendak itu diketahui Maria. Ditinjau dari segi Maria keperawanannya menjadi sesuatu yang intinya spiritual belaka. Boleh dikatakan bahwa dilihat dari sisi itu keperawanan tidak haruslah mempunyai segi fisik-biologik, kecuali sebagai kensekuensi saja.

94. Atas dasar Luk 1:35 (aku tidak mengenal – kala kini – seorang laki-laki) ada tradisi kuno (meskipun tidak kuat) yang mengatakan bahwa Maria mempunyai – dengan motivasi religius – niat, malah dikatakan “kaul”, untuk tetap perawan, meskipun sudah bertunangan. Interpretasi itu mengandaikan bahwa Luk 1-2 melapor kejadian historik atau paling tidak penginjil/tradisi memikirkan halnya demikian. Tetapi sukar sekali, malah mustahil, membuktikan bahwa Luk 1:35 dimaksudkan secara demikian. Ada juga interpretasi terbalik sebagai berikut: Maria (secara historikatau menurut pikiran penginjil/tradisi), yang sudah bertunangan (Mat 1:18; Luk 1:27; 2:5) mau nikah seperti biasa dan mendapat anak. Lalu – selagi bertunangan – ia diberi tahu bahwa menjadi ibu Mesias. Tetapi Maria teringat akan Yes (7:14), yang – menurut pengertian Maria – berkata bahwa ibu Mesias mesti perawan. Maka soal Maria ialah: Bagaimana ia, yang mau nikah, dapat menjadi ibu Mesias? Sebab kalau demikian ia tidak boleh “mengenal laki-laki”, jadi tidak boleh kawin. Lalu malaikat menjelaskan, bahwa Maria dapat tetap perawan, mendapat anak, Mesias, (berkat Roh Kudus) dan dapat nikah sesuai rencana. Tentu saja tafsir ini hanya mungkin berdasarkan beberapa praandaian, a.l. cara Maria mengerti Yes 7:14. Hanyalah praandaian itu sukar digali dari teks sendiri.

95. Berdasarkan teks sendiri hanya dapat dikatakan: Maria sebagai perawan mengandung Yesus karena diminta Allah (Malaikat), jadi sebelum nikah dan berkumpul dengan suaminya. Itu juga disarankan Mat 1:18-25. Nas ini menggambarkan Yusuf gelisah oleh karena calon istrinya hamil sebelum nikah secara resmi. Maka keperawanan merupakan akibat dipilihnya Maria menjadi ibu Yesus Kristus.

96. Menurut gambaran Injil (Luk) Maria sepenuh-penuhnya merelakan diri bagi maksud Allah. Meskipun belum nikah ia menyetujui (Luk 1:38) maksud Allah dan sebulat-bulatnya menjadi “hamba Allah” (seperti para nabi dahulu). Kerelaan itulah yang merupakan dimensi spiritual keperawanan ditinjau dari sisi Maria. Ia merelakan dirinya dan seluruh hidupnya untuk melayani “rencana” Allah. Mengingat bahwa anak Maria, Yesus, menjadi Juru selamat umat manusia, maka secara termasuk ibuNya merelakan diri bagi penyelamatan dunia, berarti: Kerajaan Allah. Maka perawan (spiritual/fisik) demi Kerajaan Allah (bdk. Mat 19:12). Oleh karena Allah melalui anak Maria mau menyelamatkan dunia dan mewujudkan KerajaanNya, maka Maria sebagai hamba Allah dengan rela menjadi ibu-perawan, yang mengandung Juru selamat itu.

97. Dengan demikian keperawanan spiritual (dan fisik) Maria merupakan akibat dari kedudukan dan peranannya dalam rencana dan pelaksanaan penyelamatan Allah. Atas dasar pilihan Allah – sebab menurut gambaran Injil Maria mau nikah – ia merelakan diri sepenuhnya untuk menjadi peserta dalam tata penyelamatan, sebagaimana nyata terwujud. Dengan arti sedemikian Maria boleh disebutkan “partner”, teman sekerja Allah sendiri. Tentu saja bukan “teman kerja” atau “partner” yang setingkat. Pada Allahlah ada prakarsa bagi segala sesuatu dan Allahlah yang melaksanakan penyelamatan dengan Yesus Kristus dan Allahlah yang memilih Maria menjadi ibu Yesus. Tetapi Maria merelakan diri untuk peranannya sebaagai ibu Mesias. Dalam peranan itu ia menjadi perawan, supaya Allah sendiri dan senderian dari Maria menciptakan Juru selamat. Maria tidak dipilih untuk diikutsertakan dalam penyelamatan sebagai ibu Juru selamat oleh karena ia perawan. Sebaliknya Maria menjadi perawan oleh karena dipilih untuk berperan sebagai ibu Juru selamat dalam penyelamatan dari Allah. Sebagai penerima saja Maria mendharmabaktikan diri. Dan justru segi “penerima” itulah yang terungkap dalam keperawannya (spiritual/fisik).

98. Baiklah kembali diingat bahwa demikianlah gambaran yang disajikan Injil (Luk). Tidak ada gunanya berspekulasi bagaimana secara konkret dan psikologik halnya terjadi. Tentang itu kita tidak dapat tahu apa-apa, kecuali bahwa Maria merelakan diri menjadi ibu anaknya waktu masih perawan. Itu pun tidak berdasarkan pengamatan, tetapi dijabarkan dari iman Kristen, tegasnya dari iman yang mengenal relasi antara Allah (Pencipta dan Penyelamat) dan manusia. Allah itu tidak memperlakukan manusia yang Ia selamatkan, sebagai barang mati, melainkan sebagai mahluk yang bebas. Manusia itulah yang diikutsertakan dalam karya penyelamatan. Yang secara unggul dan malah tunggal diikutsertakan ialah ibu Yesus, yang sebagai ibu mempunyai relasi tunggal dengan anaknya, Juru selamat dunia, Juru selamat ilahi. Sebulat-bulatnya dan secara eksklusif Maria merelakan diri. Sikap dinamik itulah keperawanan spiritual Maria. Dimensi fisik//biologik terlebih berkaitan dengan Kristologi, tetapi dari segi Mariologi juga dimensi itu berperan sebagai tanda keperawanan spiritual.

C. PERAWAN YANG MELAHIRKAN


99. Kitab Suci (Mat 1; Luk 1) memberi kesaksian tentang keyakinan Kristen bahwa Yesus dikandung oleh ibuNya sebagai perawan. Tetapi sejak abad II muncul kepercayaan bahwa Yesus juga dilahirkan oleh Maria sebagai perawan. Secara konkret itu berarti, bahwa Yesus tidak hanya dikandung secara luar biasa, tetapi juga dilahirkan secara luar biasa. Keyakinan itu barangkali sudah terungkap oleh Ignasius, uskup Antiokhia (± tahun 110) dan Ireneus (± tahun 200), meskipun keterangan mereka tidak jelas. Dalam karangan-karangan apokrif (Pra-InjilYakobus, Pengangkatan Yesaya ke Surga, Odae Salomonis) pandangan itu juga tampil. Dalam karangan itu halnya dipahami (dan dibuktikan) secara fisik, artinya: selaput dara Maria tidak rusak oleh kelahiran Yesus. Sebaliknya tokoh-tokoh seperti Tertulianus (± tahun 223), Origenes (± tahun 254) dan Hieronimus (± tahun 419) tidak menerima bahwa Yesus dilahirkan secara ajaib. Namun sejak abad V (Augustinus, Ambrosius) kepercayaan bahwa Yesus dilahirkan secara luar biasa, juga secara fisik, menjadi umum (bdk. DS 299.368.442.571.1888). Waktu Jovinianus (abad V) melancarkan pendapat bahwa keperawanan fisik hilang waktu Maria melahirkan Yesus, ia ditolak.

100. Namun ajaran mengenai “virginitas in partu”, yang khusus mengenai Maria itu, dalam tradisi hanya menjadi “umum”, tanpa penjelasan juga ada dimensi fisik-jasmani. Hanya dikatakan bahwa Maria tidak melahirkan Yesus dengan cara yang sama dengan ibu-ibu lain. Tidak dikatakan di mana persis terletak kelainan itu.

101. Ada orang, khususnya di kalangan Reformasi (meskipun para Reformator menerima tradisi tersebut), yang mengatakan bahwa tradisi mengenai “virginitas in partu” itu berlawanan dengan penegasa Kitab Suci. Khusunya ditunjuk Gal 4:4. Ayat itu – menurut mereka – justru berkata, bahkan menekankan, bahwa Yesus “lahir dari perempuan” seperti manusia lain; Yesus sungguh-sungguh menjadi senasib. Apalagi kalau Gal 4:4 berpikir kepada “wanita” yang tampil dalam Kej 3:16. Wanita itu menjadi terkutuk justru dalam melahirkan anak dengan sakit bersalin. Mesti diakui bahwa argumen itu cukup mengena dan meyakinkan

102. Berhadapan dengan argumen tersebut ada orang yang menunjuk kepada Luk 2:7. Menurut ayat ini Maria sendiri membedung anaknya dengan lampin dan membaringkannya dalam palungan. Jadi penginjil memikirkan halnya sedemikian rupa, sehingga Maria tidak seperti ibu lain terkena sakit beranak waktu melahirkan Yesus. Ibu yang baru melahirkan tidak dapat sendiri mengurus anaknya. Tetapi tidak amat jelas kalau-kalau penginjil berpikir sejauh itu. Ia pasti tidak memberi laporan tentang peristiwa itu. Maka Luk 2:7 tidak dapat dipakai untuk membatalkan Gal 4:4.

103. Tetapi Gal 4:4 pasti juga tidak memberikan “laporan” dan tidak merepotkan diri dengan soal bagaimana ibu Yesus melahirkan anaknya. Paulus hanya secara kristologik mau menonjolkan bahwa Anak Allah menjadi senasib dengan manusia, keturunan wanita. Tentu saja juga jelas bahwa Paulus tidak tahu apa-apa tentang kelahiran Yesus secara luar biasa, apalagi secara fisik.

104. Maka mesti diakui saja bahwa maksud tradisi tersebut tentang “keperawanan dalam melahirkan” tidak jelas. Mungkin keperawanan itu dalam hal ini hanya keperawanan spiritual saja. Maria sebulat-bulatnya merelakan diri untuk melahirkan Yesus, tanpa resistensi apa saja. Tradisi mengenai “virginitas in partu” barangkali dapat dihubungkan dengan tradisi dan ajaran bahwa Maria bebas dari dosa dan juga bebas dari apa yang diistilahkan sebagai “Concupiscentia”, ialah suatu dualisme yang ada pada manusia yang menghalanginya dalam mewujudkan seluruh kehendaknya. Pada Maria waktu melahirkan Yesus tidak ada resistensi dan keseganan sedikit pun. Kurang meyakinkan argumen yang berjalan sebagai berikut: Maria bebas dari dosa asal, jadi juga bebas dari kutuk yang a.l. menyatakan diri dalam sakit beranak. Maka juga secara fisik Maria tidak mengalami kutukan itu. Sebab nyatanya Maria, meskipun bebas dari dosa asal, tidak bebas dari kutuk yang berupa kematian. Bagaimana “kematian” itu dapat dimengerti aka dibahas pada waktunya.

105. Jadi boleh diterima bahwa keperawanan Maria “in partu”, dalam melahirkan Yesus, berarti: Sikap hati yang dengannya Maria mengandung Yesus tidak pernah dibatalkan, meskipun tidak selalu gampang terlaksana misalnya waktu bersalin. Luk 2:1-7 menggambarkan bahwa Maria bersalin dalam situasi kurang menguntungkan. Sejak abad IV (Epiphanius) ada gelar “Maria tetap perawan”. Gelar itu dirincikan menjadi: perawan sebelum,waktu dan sesudah melahirkan (bdk. DS 44.46.291.299.422.442.533.571.1880). Juga konsili Vatikan II (LG N.49; bdk. DS 503) menegaskan bahwa “kelahiran Yesus tidak merusak tetapi menguduskan keperawanan Maria”. Hanya maksud rumus itu tidak dijelaskan. Kata “perawan/keperawanan” dalam tradisi tidak selalu sama artinya. Kadang-kadang apa yang dimaksudkan (atau turut dimaksudkan) ialah keperawanan fisik. Tetapi lainkali terlebih sikap hati, penyerahan eksklusif dan total yang dimaksudkan. Maka “keperawanan dalam melahirkan” dapat dimengerti: Sebulat-bulatnya Maria secara pribadi merelakan diri untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibunya.

D. YESUS ANAK TUNGGAL MARIA


1. Saudara-saudari Yesus
106. Meskipun menurut Mat 1; Luk 1 Maria mengandung Yesus sebelum nikahnya diresmikan, namun tradisi Kristen (Mat 1:25; 13:55; bdk. Luk 4:22; Yoh 1:45; 6:4?) yakin bahwa kemudian nikah Maria diresmikan juga. Luk 2:5 memang berkata tentang “bertunangan”, tetapi teksnya tidak seluruhnya pasti (ada naskah yang berkata: istri ganti tunangan), tetapi Luk kiranya hanya mau mengatakan apa yang oleh Mat 1:25 ditegaskan. Berulang kali dalam Perjanjian Baru disebutkan “saudara-saudara Yesus” (Yoh 2:12; Mrk 3:31-35; Mat 12:46-50; Luk 8:19-21; Kis 1:14; Gal 1:19; 1Kor 9:5). Empat saudara Yesus disebutkan namanya: Yakobus, Yoses/Yosef, Yudas dan Simon (Mrk 6:3; Mat 13:55) dan menurut Mrk 6:3; Mat 13:56 dan juga sejumlah saudari. Dalam Perjanjian Baru saudari-saudari itu tidak disebutkan namanya, tetapi dalam tradisi di kemudian hari mereka pun diberi nama, misalnya: Maria dan Salome, atau: Hana dan Salome, dan lagi: Maria, Hana, Salome, atau: Ester dan Marta serta Thamar dan Sobe, Marta dan Maria atau: Lisia dan Lidia. Jadi nampaknya Maria dan Yusuf selanjutnya berkeluarga di Nazaret.
Kalau semuanya itu dibaca tanpa prasangka orang berkesan bahwa Yesus mempunyai beberapa adik laki-laki dan perempuan dan Maria masih memperoleh beberapa anak setelah nikah dengan Yusuf.

2.Tetap perawan
107. Tetapi kesan pertama itu terbentur pada tradisi, yang sejak abad IV umum menyebut Maria “tetap perawan”. Secara tegas ditolak pendapat bahwa Maria masih mendapat beberapa anak di samping Yesus sebagai anak sulung. Waktu Helvidius (abad IV) dan juga uskup Bonosus dari Naissus mengemukakan pendapat bahwa saudara-saudari Yesus yang disebutkan dalam Perjanjian Baru memang anak-anak Maria dan Yusuf, ia mendapat perlawanan kuat, khususnya dari pihak Hieronimus (± tahun 419). Semenjak itu tradisi itu tidak lagi mendapat perlawanan sampai abad XIX. Para Reformator (Luther, Kalvin, Zwingli) dan teolog-teolog Reformasi semula hanya meneruskan tradisi kuno itu.

108. Sejak abad XIX, terutama terpengaruh oleh Th. Zahn (± tahun 1900) di kalangan umat Reformasi hampir saja menjadi pendapat umum bahwa saudara-saudari Yesus yang tampil dalam Perjanjian Baru semua adik sekandung Yesus. Di kalangan Katolik tradisi kuno itu dapat mempertahankan diri sampai pertengahan abad XX. Sejak itu ada beberapa teolog/ahli Kitab yang condong mendukung pendapat yang menjadi umum di kalangan umat Reformasi. Gereja Timur Ortodoks tetap mempertahankan tradisi kuno tersebut.

109. Hanya tradisi itu harus dapat menampung Perjanjian Baru yang menampilkan “saudara-saudari Yesus”. Kalau mereka bukan anak Maria, bagaimana relasi mereka dengan Yesus? Dalam hal itu ada dua jalan yang ditempuh. Dalam pertengahan abad II (Pra-Injil Yakobus dan lain-lain karangan apokrip) saudara-saudari Yesus itu diartikan sebagai saudara-saudari seayah. Mereka dilihat sebagai anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelum nikah dengan Maria. Pendapat itu tersebar luas dalam Gereja Yunani dan sampai dengan hari ini ada ahli Kitab/teolog yang yakin bahwa keterangan itu paling memuaskan dan cukup meyakinkan. Pendapat lain – yang diperkembangkan Hieronimus melawan Helvidius – mengatakan bahwa saudara-saudari Yesus ialah keponakan-keponakanNya, anak-anak saudari (ipar) ibu Yesus, istri Klopas yang tampil dalam Yoh 19:25, dan anak-anak seorang Maria (dan suaminya) yang disebutkan Mrk 15:40.47 dan yang, entah bagaimana, berkerabat dengan ibu Yesus. Pendapat itu menjadi hampir saja umum dalam Gereja Katolik, kawasan Barat.

110. Tetapi mesti dipertanyakan dari mana tradisi tersebut? Amat sukar langsung mendasrkan tradisi itu pada Perjanjian Baru, seperti tersedia. Tidak jarang dikatkan bahwa tradisi tersebut merupakan hasil tendensi gnostik dan asketik di kalangan umat Kristen. Perkawinan, ialah persetubuhan, dan seluruh seksualitas dinilai jahat dan dosa. Penghayatan perkawinan, dalam pendekatan gnostik-asketik itu, “mencemarkan” kesucian Maria. Maka mustahillah Maria mendapat anak di samping Yesus yang dikandungnya sebagai perawan. Jadi tradisi itu mempunyai dasar palsu. Dan itulah a.l. pertimbangan mengapa sementara pemikir Katolik berpendapat tradisi itu mesti ditolak sebagai tradisi gadungan.
sebaiknya, begitu kata mereka, dengan mendasarkan diri pada Perjanjian Baru orang menganggap “saudara-saudari Yesus” sebagai anak-anak Maria dan Yusuf. Janganlah perkawinan Yusuf dan Maria dibuat menjadi perkawinan yang pura-pura saja. Tanpa seksualitas yang dihayati perkawinan bukan perkawinan lagi. Seluruh tradisi mengenai keperawanan tetap Maria sebenarnya menghina perkawinan dan seksualitas. Dan sikap macam itu tidak cocok dengan pendekatan modern (dan Alkitab) terhadap seksualitas dan perkawinan.

111. Boleh diterima bahwa pandangan negatif terhadap perkawinan pada umat Kristen dahulu turut berperan untuk membuat ajaran tentang keperawanan tetap Maria itu menjadi populer dan amat menarik bagi para asket dan para perawan pada umat Kristen. Namun suatu keterlaluan, yang kurang berdasar, kalau tendensi gnostik-asketik dibuat menjadi pencipta tradisi itu. Seorang asket seperti Hieronimus (RJ 1361) misalnya mati-matian membela keperawanan tetap Maria. Namun secara tegas ia berkata bahwa dengan itu tidak menghina perkawinan. Sebab keperawanan berasal dari perkawinan. Negativisme terhadap seksualitas dan perkawinan sebenarnya tidak begitu umum seperti kerap dikatakan. Dapat dikumpulkan banyak keterangan bernada positif yang malah berasal dari kalangan para asket (rahib).

112. Kalau demikian duduknya perkara tetap tinggal soal: Dari mana tradisi mengenai keperawanan tetap Maria? Bukankah tradisi itu berlawanan dengan apa yang dikatakan Perjanjian Baru?

113. Terlebih dahulu perlu diselidiki masalah kalau-kalau tradisi itu benar-benar berlawanan dengan Perjanjian Baru. Kalau Yesus dikatakan “anak sulung” (Luk 2:7), maka keterangan itu tidak perlu mengimplikasikan bahwa masih ada anak lain. Juga anak tunggal dapat disebut “anak sulung”. Gelar itu hanya menunjuk kepada kedudukan istimewa, yang, menurut hukum, dimiliki anak pertama, entahlah masih ada anak lain atau tidak (Kel 13:2; Bil 3:12; Yer 31:9; Kel 4:22). Gelar itu hampir saja searti dengan “anak yang terkasih” (Za 12:10; Yer 31:20). Jadi kalau Yesus disebut “anak sulung” orang belum tahu juga kalau-kalau Ia anak tunggal atau anak pertama dalam suatu rangkaian. Demikian pun Mat 1:25 tidak memberi pegangan. Dikatakan bahwa Yusuf tidak “mengenal” (bersetubuh dengan) Maria sampai Maria melahirkan seorang anak. Dari situ tidak dapat disimpulkan bahwa kemudian Yusuf bersetubuh dengan Maria. Mat hanya mau menekankan bahwa Maria tetap perawan sampai melahirkan Yesus. Bagaimana selanjutnya sama sekali di luar perhatian penginjil. Tidak dikatakan apa-apa mengenai hubungan Yusuf dan Maria setelah Yesus lahir.

114. Selanjutnya boleh diperhatikan bahwa dalam Perjanjian Baru “saudara-saudari Yesus” tidak pernah dikatakan anak-anak Maria. Maria selalu tampil bersama dengan “saudara-saudara Yesus” dan tidak pernah bersama dengan anak-anaknya. Padahal menurut Mrk (3:21) 3:31-55 (bdk. Yoh 7:5) jelas ada ketegangan antara Yesus di satu pihak dan ibu serta saudara-saudara Yesus di lain pihak, sehingga ibu Yesus lebih-lebih di pihak saudara-saudara Yesus daripada di pihak Yesus. Mengapa mereka tidak dikatakan “anak-anak Maria, anak-anak ibu Yesus”?

115. Tentu saja kata saudara/saudari dalam bahasa Yunani (adelphos, adelphé) biasanya berarti: saudara sekandung atau saudara seayah, seibu. Dalam bahasa Ibrani kata itu (‘ah,’aha) dapat mempunyai arti lebih luas dan menunjuk kepada sanak saudara lain (a.l. keponakan) (bdk. Kej 13:8; 14:14.16; 24:48; 29:12.15; 31:23; Im 10:4 dll.). terjemahan Yunani (LXX) biasanya menterjemahkan secara harafiah dengan kata Yunani: adelphos/adelphé, meskipun dalam bahasa Yunani tersedia kata-kata lain (yang tidak ada dalam bahasa Ibrani) untuk menunjuk hubungan kekeluargaan secara terperinci, misalnya: “anepsios” (keponakan). Tidak mustahil, kalaupun sukar dibuktikan, bahwa bahasa Yunani Perjanjian Baru dalam hal ini mengikuti kebiasaan Perjanjian Lama (Septuaginta).
Kecuali itu malah dalam bahasa Yunani kata “adelphos/adelphé” dapat dipakai dengan arti lebih luas. Hal itu dapat terjadi misalnya untuk meningkatkan kedudukan orang dengan meningkatkan relasi kekeluargaannya dengan seorang tokoh penting (raja, kaisar). Maka mungkinlah pada umat Kristen berkembang kebiasaan menyebut sanak-saudara Yesus sebagai “saudara-saudaraNya” untuk menghormati sanak-saudara itu, yang memegang peranan cukup penting pada umat perdana (bdk. 1Kor 9:5; Kis 1:14). Bahwasannya demikian duduknya perkara secara tuntas tidak dapat dibuktikan atas dasar teks Perjanjian baru. Teks itu tetap ambivalen dan dwiarti.

116. Maka Perjanjian Baru tidak usah bertentangan dengan tradisi tentang keperawanan tetap Maria yang mulai tampil pada umat Kristen sejak abad II. Duduknya perkara dapat dipikirkan sebagai berikut. Selama sanak-saudara Yesus masih hidup tidak ada soal. Umat Kristen (yang berkenalan dengan mereka) tahu bahwa julukan “saudara Tuhan”, hanya gelar kehormatan bagi sanak-saudara Yesus itu. Umum diketahui bahwa Maria tidak mempunyai anak selain Yesus. Tetapi setelah generasi pertama hilang (abad II) gelar kehormatan dapat membingungkan, sebab kata “saudara” dapat dipahami sesuai dengan arti kata Yunani yang biasa. Tetapi ingatan akan tradisi dahulu mencegah orang dari pemahaman itu. Seorang penulis abad II, yang termasuk generasi yang menyusul angkatan awal, yaitu Hegesippus (dikutip Eusebius dalam Sejarah Gerejanya), menyebut uskup (kedua) Yerusalem Simeon (= Simon, Mrk. 6:3) saudara Tuhan sebagai pengganti uskup pertama (yaitu Yakobus, saudara Tuhan) sebagai “keponakan Tuhan yang kedua” yang menjadi uskup di Yerusalem. Maka juga Yakobus, saudara Tuhan, menurut Hegesippus, seorang keponakan Yesus, anak pamanNya (dari sisi Yusuf?). Keterangan Hegesippus itu sedikit diperdebatkan para ahli, sehingga tidak menjadi bukti tuntas bahwa saudara-saudara Yesus itu bukan anak-anak Maria.

117. Dengan kurang tepat ada orang yang menemukan dalam Perjanjian Baru dasar untuk tradisi tentang keperawanan tetap Maria. Mereka menunjuk kepada Yoh 19:27. Menurut ayat ini Yesus mempercayakan ibuNya kepada “Murid yang dikasihiNya”. Ini – demikian argumentasinya – tidak masuk akal, kalau pada Maria ada anak-anak lain. Tetapi – seperti nanti akan dibahas – Yoh 19:25-27 terlalu simbolik cirinya dan masalah kalau-kalau masih ada anak-anak Maria sama sekali di luar perhatian penginjil. Demikian pun Luk 2:41-51 tidak dapat dimanfaatkan. Ada orang yang berpikir sebagai berikut. Mustahil Maria ikut berziarah ke Yerusalem bersama dengan Yusuf dan Yesus (yang berumur 12 tahun), kalau di rumah masih ada anak-anak kecil. Tetapi Luk 2:41-51 bukan suatu laporan dan tidak merepotkan diri dengan masalah adanya atau tidak adanya anak-anak Maria yang lain.

118. Tetapi ada suatu pertimbangan, bukan historik tetapi telebih teologik, yang mendukung umat Kristen untuk mempertahankan keperawanan tetap ibu Yesus. Setelah Maria sepenuh-penuhnya merelakan diri untuk menjadi hamba Tuhan dan ibu Yesus (keperawanan spiritual), boleh dianggap wajar dan pantas Maria tidak lagi merelakan diri untuk seorang yang lain. Seandainya Maria masih mendapat anak-anak lain, ia wajib merelakan diri sebagai ibu bagi anak-anak itu juga. Mendapat anak-anak lain tentu saja bersama dengan Yesus tidak berlawanan dengan kesucian Maria, seolah-olah tercemar olehnya. Tetapi mendapat anak-anak lain kurang sesuai dan cocok dengan “keperawanan spiritual” pada awal. Penyerahan total kepada Allah dan Yesus sukar disertai penyerahan kepada anak-anak lain. Jadi keperawanan tetap Maria dilihat sebagai konsekuensi dari keperawanan awal. Dan keperawanan tetap itu pun mempunyai dimensi fisik-biologik.

119. Janganlah dikatakan: Kalau demikian, maka perkawinan Maria dengan Yusuf suatu perkawinan pincang, perkawinan gadungan. Keberatan macam itu berasal dari pandangan yang l.k. mereduksikan perkawinan pada segi fisik-biologiknya, bahkan genitalnya. Cinta suami-istri tentu saja dapat diekspresikan melalui persetubuhan. Tetapi itu bukan satu-satunya jalan atau malah jalan utama. Pendapat bahwa perkawinan tanpa unsur genital kurang sempurna berlatar belakang suatu pandangan sempit yang terlalu terikat pada mentalitas zaman tertentu, zaman “revolusi sex”.

120. Dengan jujur mesti diakui bahwa keperawanan tetap Maria tidak dapat didasarkan pada Kitab Suci melulu. Maka teologi Reformasi yang secara eksklusif mau mendasarkan diri kepada Alkitab tidak dapat memecahkan soal keperawanan tetap Maria. Sebab juga tidak dapat secara tuntas dibuktikan bahwa “saudara-saudara Yesus” yang tampil dalam Perjanjian Baru benar-benar anak Maria dan Yusuf. Berdasarkan Kitab Suci melulu masalahnya tetap terbuka dan dua pengertian mungkin.

121. Teologi Katolik juga memandang Alkitab sebagai tolok ukur iman yang tertinggi. Tetapi Kitab Suci bukan satu-satunya tolok ukur. Pada tingkat kedua tradisi mantap dan l.k. umum menolong untuk mengartikan Kitab Suci ke arah tertentu, kapan saja ada dua (atau lebih) pengartian mungkin. Maka keperawanan tetap Maria melalui tradisi berpangkal pada Kitab Suci, bukan pada salah satu ayat atau nas, tetapi pada keseluruhan pandangan Alkitab tentang ibu Yesus. Maria menjadi ibu sebagai perawan. Pantaslah keperawanan (personal) awal itu seutuhnya diteruskan seumur hidup, juga dalam perkawinan utuh-sempurna dengan Yusuf. Tentu saja ajaran tentang keperawanan tetap Maria itu bukan suatu “dogma” yang didefinisikan, bukan pula suatu ajaran iman yang sama bobotnya dengan ajaran mengenai dikandunganya Yesus oleh perawan Maria, yang jelas terungkap dalam Kitab Suci. Tetapi ajaran tentang keperawanan tetap itu tidak berlawanan dengan Kitab Suci dan didukung suatu tradisi yang begitu kuat, sehingga tanpa bukti yang meyakinkan tidak dapat ditinggalkan oleh seorang teolog yang mengakui tradisi sebagai suatu prinsip teologi.

122. Relevansi teologik ajaran tentang keperawanan tetap itu terletak dalam hal ini: Karya penyelamatan Allah dapat mencetuskan dari pihak manusia suatu tanggapan dan penyertaan aktif yang bulat menyeluruh, sehingga orang yang bersangkutan tidak sempat melibatkan diri dalam suatu tugas yang tidak secara langsung bersangkutan dengan karya itu. Maria dinilai sebagai seorang yang sepenuh-penuhnya “Kristen”, yang merealisasikan segala kemungkinan yang terkandung dalam iman Kristen, termasuk keperawanan tetap yang dianjurkan dan dipraktekkan Yesus dan Paulus (bdk. 1Kor 7:7-8.26.32.34.40), sebagai suatu kemungkinan. Selayaknya itu terwujud pada diri dan kehidupan ibu Yesus, akibat relasi keibuan yang memang unik. Dalam rangka perkawinan Maria tetap perawan secara spiritual dan fisik.

-----
Sebelumnya : {BAB I : MARIA, IBU YESUS}
Selanjutnya : {BAB III : IBU YANG SUCI}

Tidak ada komentar: