Kamis, 12 Februari 2009

Bagaimana Maria memelihara imannya?

Dia terus menerus percaya, demikian juga seharusnya kita.

Dalam surat pastoral mereka tahun 1973, "Inilah Ibumu", para imam Amerika memberitahu kita tentang sesuatu yang menakjubkan. "Apapun yang kita katakan tentang Maria," tulis mereka, "Kita katakan tentang diri kita sendiri."

Apa yang kita katakan? Kita berkata bahwa Roh Kudus yang turun ke atas Maria pada saat dia mengandung, pada saat 'Kabar Malaikat' dan hidupnya sehari-hari, adalah Roh Kudus yang sama yang turun atas kamu dan saya pada saat Pembaptisan dan dalam kehidupan kita sehari-hari; bahwa Roh yang berdoa bagi Maria juga berdoa bagi kita.Cuplikan-cuplikan tentang kehidupan Maria dapat kita peroleh dari Injil, dan itupun sangat sedikit. Dalam Injil Yohanes kita belajar tentang dua hal mengeenai Maria: Pada masa permulaan pengajaran Yesus, dia menghadiri suatu perkawinan di Kana dan mengajak Dia untuk mengubah air menjadi anggur untuk menolong keluarga mempelai yang kehabisan anggur, dan pada akhir hidupNya, Maria berdiri di kaki salib dan melihatNya mati. Imajinasi kitalah yang akan menelusuri pola dari tahun-tahun yang ada di antaranya, dengan sedikit bantuan dari Injil lainnya.

Misalnya, Lukas bercerita tentang seorang malaikat yang datang ketika Maria yang masih muda dan tentang Yosef yang mengambil seorang wanita hamil menjadi istrinya setelah seorang malaikat muncul dalam mimpinya. Markus memberitahu kita bahwa ketika ibuNya sedang mencariNya, Yesus menyatakan bahwa pengikut-pengikutNya adalah ibu dan saudara-saudariNya. Tetapi bagaimana dengan hari-hari dan bulan-bulan dan tahun-tahun yang tidak pernah diceritakan kepada kita? Tidakkah mereka menjalani irama kehidupan yang sederhana seperti yang telah kita ketahui, hari-hari yang diselingi oleh kelahiran, perkawinan dan kematian?

Pertanyaan seputar Maria merupakan sesuatu yang menarik bagi banyak orang, termasuk para orang kudus. Pada tahun 1897, St. Theresia dari Liseux yang sedang menghadapi ajal berbicara tentang Maria kepada saudarinya, "Cukup jelas bahwa hidupnya sangat sederhana." Dia, tanpa ragu-ragu, hidup oleh iman, sama seperti kita sendiri."

Sebagai bukti, Theresia mengutip cerita tentang Kanak-Kanak Yesus dalam Bait Allah dimana Injil menulis,"Dan mereka (Maria dan Yosef) tidak mengerti apa yang dikatakanNya kepada mereka."

"Kebingungan seperti ini menunjukkan adanya sesuatu yang tak terduga, tidakkah engkau berpikir demikian?" tulis St.Theresia.

Dalam puisinya, Theresia menggambarkan kehidupan Maria sebagai kehidupan dalam "kesederhanaan, kerendahan hati dan pengabdian total kepada Yesus." Dia menunjukkan bagaimana Maria berjalan di jalan yang biasa dan dengan demikian dia dapat diikuti oleh 'orang-orang kecil'. Tidak ada mukjizat, tidak ada ledakan, tidak ada ekstasi - hanya pelayanan. Theresia memahami kegelapan yang dialami Maria di Kalvari adalah kegelapan yang dialaminya sendiri di ranjang kematian, dan dia sring meminta Maria untuk mendampingi di sisinya.

Dalam bukunya, Maria Bunda Allah, Romano Guardini merasa bahwa iman Maria yang tidak pernah goyah itu sungguh luar biasa. Dia berbicara tentang Yesus yang selalu meloncat satu langkah di depan ibuNya, dan tentang iman Maria yang membuatnya sanggup mengejar Dia. Ketika Dia meloncat ke atas salib, Maria melakukan loncatan iman yang terbesar dalam seluruh hidupnya: dia berdiri di sampingNya, tanpa mengetahui lebih banyak daripada apa yang kita ketahui, tetapi berdiri dalam iman, dihakimi, tanpa keraguan sebagai ibu dari seorang terhukum biasa.

Tetapi Maria berdiri di kaki salib, demikian kita diberitahu, memegang erat keyakinannya, mencoba untuk memahami kata-kata malaikat kepadanya ketika dia masih muda : "Dia akan menjadi Putera Allah."

"Bagaimana ini bisa terjadi," dia menjerit dalam hatinya karena dia telah memohon hari-hari yang cerah dalam kehadiran malaikat. Tetapi pada saat itu, dia mengulangi kata-kata, "Ya, aku ini milikmu. Aku mempercayai Engkau. Aku percaya."

Dalam persatuan cinta kasih itu, dia melakukan loncatan iman yang terbesar yang pernah dilakukannya. Dia pasti bersedia untuk mati bersama Puteranya, tetapi dirinya sudah diminta untuk sesuatu yang jauh lebih besar: untuk hidup bagiNya, untuk berdiri di sini hingga kematianNya, dan kemudian kembali ke rumah. Dia diminta untuk melakukan apa yang telah dilakukan oleh hampir semua orang selama berabad-abad: untuk menunggu bersama orang yang kita kasihi, dan ketika sudah menghembuskan nafas yang terakhir, pulang ke rumah untuk mengatur segala sesuatu, untuk bercerita, untuk memulai kehidupan baru tanpa satu orang ini yang telah berbagi hidupnya dengan kita. Jadi, dia pulang dan menunggu, untuk sesuatu yang tidak diketahuinya. Baginya, saat ini, yang ada hanyalah sebuah lubang besar yang menganga dari kematian. Dia tetap percaya. Dan menunggu. Dan berduka. Dan percaya.

Dikutip dari : Majalah Ave Maria No: AM-21 Edisi Maret-April 2004.

Tidak ada komentar: