Kamis, 19 April 2012

Maria Dan Muslim

Source: Google
"Redemptoris Mater" (Ibu Penebus), ensiklik Yohanes Paulus II menetapkan Tahun Maria bagi umat Katolik sedunia, mulai tanggal 7 Juni 1987 sampai 15 Agustus 1988. Menteri Agama, Munawir Sajadzali, akan hadir bersama ribuan wakil-wakil umat Katolik seluruh Indonesia, pada penutupan Tahun Maria di Maumere, Flores, 30 Juli nanti.

Apakah arti peristiwa ini bagi saudara-saudara lain, terutama yang memeluk agama Islam? Memang, suatu peristiwa yang dapat menggetarkan jiwa: merayakan Tahun Maria di tengah-tengah anak-anak Ibrahim dalam iman. Bukan karena kaum Muslim juga menghormati Maria dan kadang-kadang memohon bantuannya dengan khusuk. Juga bukan karena adanya perbedaan penafsiran tentang keseluruhan rahasia kehidupan ibu Yesus Kristus ini. Tetapi karena adanya peristiwa itu sendiri menantang kaum Muslim untuk berefleksi atau merenungkan kembali peranan Maria dalam sejarah keselamatan manusia. Adanya peristiwa Maria itu sendiri semakin meneguhkan kehidupan religius di negeri ini sendiri dalam terang Pancasila.

Memuja Maria
Berdasarkan Al Quran, kaum Muslim tak hanya menghormati Maria dalam teologi atau pemikiran spekulatif lainnya, tetapi juga memberikan tempat khusus dalam hidup keagamaan mereka. Pujaan terhadap Maria ini berdasarkan beberapa hal, misalnya: ibu Yesus Kristus, mengandung dan melahirkan Yesus dalam kuasa Roh Kudus, keutuhan morilnya, kesucian hidupnya. Maria menjadi sumber inspirasi bagi kaum Muslim dalam menghayati hidup imannya. Walaupun demikian, kaum Muslim tak melakukan devosi publik seperti dilakukan oleh kaum Katolik.


Pujaan terhadap Maria itu dapat diwujudkan dalam pelbagai cara yang pada dasarnya berbentuk: penghormatan, doa, peneladanan cara hidup. Hal berdoa kepada Maria ini kerap menjadi bahan diskusi hangat di kalangan kaum Sunni, Shiah maupun kelompok yang lebih dekat dengan kaum Sufi. Perbedaan ini antara lain karena pemahaman yang berbeda sekaligus berkembang mengenai "perantara" atau "penengah" antara manusia dan Allah sendiri. Dan soal ini menjadi lebih rumit bila dihubungkan dengan pengaruh kebiasaan atau kepercayaan asli bangsa tertentu sebelum agama Islam berkembang di situ, misalnya di Afrika Utara.

Pujaan terhadap Maria ini bukan soal psikologis saja, tetapi merupakan pengalaman akan keilahian dalam setiap agama atau kepercayaan. Pujaan terhadap Maria, yang juga disebut "sahabat Allah" tidaklah mengurangi transendensi dan kemahaesaan Allah, melainkan justru meneguhkannya.

Seorang teolog Islam yang hidup pada abad XIII, Nasir Tusi, antara lain berkata, "Ya Permaisuri yang bebas dari segala noda; ya Permaisuri dan Bunda, kepadamu kami mengarahkan doa permohonan kami kepada Allah; Maria yang terpuji, jadilah pengantara kami kepadaNya."


Penghormatan
Yang dimaksud dengan "penghormatan" di sini adalah memberikan penghargaan kepada Maria karena keunggulannya sebagai umat piulihan Allah. Dalam teologi Katolik, penghormatan kepada Maria ini disebut "hyperdulia" (catatan: ada beberapa istilah teologis tentang penghormatan ini, yaitu: "dulia" untuk para nabi, rasul atau para kudus lainnya; "latria" untuk Allah; "idololatria" untuk berhala; dan "observantia" untuk praktek takhayul).

Dengan istilah "hyperdulia" ini jelas bahwa kaum Katolik memberikan penghormatan istimewa kepada Maria, melebihi yang diberikan kepada para kudus lainnya. Jadi, dalam peristiwa penghormatan terhadap Maria ini yang menjadi unsur konstitutif adalah "keunggulan" Maria, baik dalam hal pilihan ilahi, maupun teladan hidup yang diberikan semasa hidupnya.

Perlu ditekankan bahwa untuk dapat melakukan penghormatan terhadap Maria secara benar dan baik sebagaimana mestinya dalam kerangka Karya Keselamatan Allah, seseorang harus memahami peristiwa Maria tak hanya secara intelektual, tetapi sekaligus dalam terang iman. Dengan kata lain, penghormatan terhadap ibu Yesus ini harus merupakan karya nalar yang diterangi iman atau iman yang menalar.

Kaum Muslim mengungkapkan penghormatan ini dengan pelbagai cara: memberikan nama "Maria" (Maryam, Merriem, Miryam, dan sebagainya) kepada anak-anaknya dan memohonkan perlindungan baginya, mengambil bagian dalam pembicaraan rohani tentang Maria di antara saudara-saudara yang beragama Kristen, melaksanakan devosi-devosi secara khas dengan kaum Kristen, mengadakan ziarah, mengunjungi gereja-gereja atau kapel dan berlutut di depan gambar-gambar dan patung-patung Maria, membuat karya-karya tulis, lagu-lagu dan sebagainya (lihat: T. Kirdi Dipojudo, Mary, in Islam, Rome, 1961; bdk. G. Basenti Sani, "La devotion populaire mariale on Egypte, dalam Maria, Paris, 1949).

Pada masa sekarang, di Palestina (baca:Israel), Mesir dan beberapa tempat di Timur Tengah, kerap dijumpai betapa kaum Muslim dan Katolik dengan khusuk berdoa dengan caranya sendiri-sendiri di tempat ziarah, kapel atau pada peristiwa-peristiwa keagamaan lainnya (misalnya: peringatan para kudus/martir, Elias, dan Maria sendiri). H. Harsa Surendra dalam HIDUP Nomor 21 tahun XL 25 Mei 1986 pernah penulis: "Di Jawa Barat pun ibu-ibu Sunda pada upacara tingkeban membacakan surah-surah Maryam. Rombongan Fatayah mengunjungi Makdis Maria di Fatima."

Kemuliaan dan keunggulan hidup Maria sebagai "ciptaan terpilih" memang mengandung rahasia ilahi yang maknanya tak pernah habis dibicarakan dan digali dalam bahasa manusiawi. Para Legioner setiap hari mengidungkan "Siapakah Puteri itu yang datang sebagai fajar menyingsing kemerah-merahan, indah penaka bulan, gemerlap laksana surya, dahsyat bagai balatentara yang siap sedia bertempur?"

Di Cairo, Mesir, pernah dikumandangkan dengan penuh keagungan yang menggetarkan jiwa sebuah hymne Maria gaya Islam, pada suatu peringatan Maria berdasarkan Al Quran dan tradisi. Hymne ini dipublikasikan dalam bahasa Jerman: "Ein Islamische Marienleid", dalam Die Welt des Islams, 1941. Dalam disertasinya untuk meraih gelar Doktor Misiologi, T. Kirdi D. juga menyebut secara indah sekali peristiwa-peristiwa pemujaan kepada Maria oleh kaum Muslim dari seluruh dunia.

Doa Permohonan
Mengalami kemuliaan, keagungan dan kesucian Maria, kaum Muslim tak ragu-ragu berseru memohonkan bantuannya pada waktu mereka mengalami kecemasan, kesulitan, baik material maupun spiritual. Seorang Gubernur Muslim di Mossul menyerukan permohonan kepada Maria tatkala dikepung oleh Shah Persia. Setelah bebas, ia membangun gereja yang dipersembahkan kepadanya. Mukjizat penyembuhan jasmani dan rohani juga banyak dialami kaum Muslim yang berziarah ke tempat tersebut.

Seperti kaum Katolik, saudara-saudara yang beragama Islam juga memandang Maria sebagai teladan hidup beriman. Kehidupan suci, keutuhan moril, kelembutan dan kesederhanaannya, ketaatannya pada Sabda Allah menjadi idola kaum perempuan, baik yang sudah berkeluarga maupun remaja putri. Dari Maria, kaum Muslim mendapat inspirasi dalam hal iman, harapan dan kasih. Dalam terang peristiwa Maria, eksistensi kaum perempuan mendapat peneguhannya sebagai ciptaan yang juga berperan serta dalam karya ilahi.
Tahun Maria

"Redemptoris Mater" (art. 48 dan seterusnya) antara lain mencatat, dalam Tahun Maria ini kaum beriman tak hanya berbicara tentang ajaran iman, tetapi juga tentang kehidupan iman itu sendiri.
Bagi umat Katolik Indonesia, peringatan Tahun Maria ini merupakan tantangan bagi kehidupan sebagai warga negara yang integral: tak hanya dalam soal religi, tetapi juga dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Apakah peristiwa yang agung dan mulia ini juga berbicara bagi saudara-saudara yang beragama lain ataukah sudah"diklaim" sebagai miliknya sendiri?

Peristiwa penutupan Tahun Maria di Maumere yang akan memakan biaya tak sedikit itu sungguh mempunyai makna jika mengungkapkan secara nyata dimensi misioner Gereja: membawa damai bagi masyarakat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya. Adakah masa Adven agung dan panjang ini menghantarkan bangsa Indonesia kepada suasana dan situasi Natal yang membawa damai? Melamunkan hal-hal yang akan terjadi di Maumere nanti, baik juga diingat dan direnungkan peristiwa 27 Oktober 1986 yang lalu.

Sebuah peristiwa yang sangat indah dalam sejarah manusia (walaupun bukan tanpa kritik sana-sini); yaitu peristiwa yang mementaskan salah satu kerinduan paling dalam umat manusia, yaitu perdamaian dan damai itu sendiri. Di kota Asisi, Italia, para pemimpin agama dari seluruh dunia berkumpul dan berdoa bersama dengan caranya sendiri-sendiri yang unik dan khas, memohon perdamaian. Seratus dua puluh utusan dari 12 agama besar berkumpul dalam kebersamaan, berdoa, memohonkan segala yang baik bagi kemajuan hidup masyarakat.

Kota Assisi telah menjadi saksi sejarah abad XX ini, bahwa peristiwa dan pesan Adven serta Natal, yakni perdamaian, tak saja berlaku di Assisi, tetapi juga menyentuh setiap hati di seluruh dunia.
Adakah Maumere, salah satu tempat utama umat beriman di Nusa Indah akan juga melahirkan damai melalui peristiwa penutupan Tahun Maria yang mahal itu? Bukan tak mungkin pada kesempatan yang istimewa itu seluruh umat beragama di Indonesia berseru kepada Maria untuk memohonkan segala yang indah dan baik bagi bangsa Indonesia dari kasih karunia Allah sendiri. Maria adalah ibu umat Kristen dan Muslim, bahkan ibu semua manusia. Kiranya tak ada yang lebih indah bila kesempatan itu menjadi sarana untuk berdoa bersama tanpa kontroversial.

Benar juga kata-kata Yohanes Paulus II, "Sementara kita berjalan tanpa bicara, kita merenungkan jalan yang dilalui keluarga umat manusia: jalan itu berupa permusuhan, jika kita gagal menerima orang lain dalam cinta; atau suatu perjalanan bersama ke tujuan kita yang mulia, jika kita sadar bahwa orang lain adalah saudara dan saudari kita... Entah kita belajar berjalan dalam damai dan serasi, entah kita terpencar-pencar dan menghancurkan diri sendiri dan orang lain."

Maumere, kota Nusa Indah, mungkinkah terbit keindahan Marial itu?
Artikel diambil dari: Perayaan Nasional Penutupan Tahun Maria 1988.
Penulis: Bunut O. Carm, Hidup, 29 Mei 1988.


Terkirim dari BlackBerry®


Tidak ada komentar: