Kita, orang Katolik, percaya dan yakin bahwa Bunda Maria “tetap perawan selamanya.” Ketekismus Gereja Katolik menegaskan, “Pengertian imannya yang lebih dalam tentang keibuan Maria yang perawan, menghantar Gereja kepada pengakuan bahwa Maria dengan sesungguhnya tetap perawan, juga pada waktu kelahiran Putera Allah yang menjadi manusia” (No. 499).
Ajaran ini, keperawanan Maria yang abadi menurut tradisi telah dibela dan dipelajari dalam tiga bagian: Maria mengandung Kristus (virginitas ante partum); Maria melahirkan Kristus (virginitas in partu); dan Maria tetap perawan setelah kelahiran Kristus (virginitas post partum). Rumusan ini dipergunakan oleh banyak bapa Gereja - St. Agustinus, St. Petrus Chrysologus, Paus St. Leo Agung, St. Gregorius Nazianze dan St. Gregorius Nyssa. Sebagai contoh, Katekismus mengutip penjelasan St. Agustinus: Bunda Maria “tetap perawan, ketika ia mengandung Puteranya, perawan ketika ia melahirkan-Nya, perawan ketika ia menyusui-Nya. Selalu perawan.” (No. 510).
Keperawanan Maria sebelum mengandung Yesus Kristus sudah cukup jelas dari kesaksian Injil St. Matius maupun St. Lukas di mana Maria secara jelas disebutkan sebagai “seorang perawan” (bdk. Luk 1:26-27, Mat 1:18). Di samping itu, ketika Malaikat Agung St. Gabriel memaklumkan kepada Maria bahwa ia akan menjadi Bunda Mesias, ia menjawab, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” menunjukkan keperawanannya.
Bagian terakhir adalah keperawanan Maria sesudah kelahiran Kristus. Dalam artikel sebelumnya mengenai apakah Yesus mempunyai saudara dan saudari kandung, “Apakah Yesus Mempunyai Saudara?” jawab atas pertanyaan ini telah diuraikan secara terperinci. Singkat kata, kita umat Katolik yakin bahwa Bunda Maria dan Santo Yosef tidak mempunyai anak-anak lain sesudah kelahiran Kristus. Tak ada bukti-bukti, baik menurut Kitab Suci maupun menurut Tradisi, yang menunjukkan sebaliknya.
Bagian yang paling rumit adalah bagian yang di tengah - keperawanan Maria dalam melahirkan Kristus. Kita ingat bahwa salah satu bentuk penderitaan yang diwariskan kepada kita akibat dosa asal adalah “sakit bersalin.” Tuhan Allah bersabda kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu” (Kej 3:16). Karena Bunda Maria bebas dari dosa asal sebab ia dikandung tanpa noda dosa, sebagai konsekuensinya adalah ia bebas dari “sakit bersalin”. Dalam bergumul mengenai keyakinan ini, para bapa Gereja berjuang untuk menjelaskan makna virginitas in partu. Sebagian besar bapa-bapa Gereja Barat tampaknya menekankan integritas fisik Maria. Sebagai contoh, Paus St. Leo Agung mengatakan, “… Ia (Bunda Maria) melahirkan-Nya tanpa kehilangan keperawanannya, …. (Yesus Kristus) dilahirkan dari rahim Santa Perawan karena kelahiran-Nya adalah kelahiran yang ajaib…” Mereka memperbandingkan kelahiran Kristus dengan munculnya Dia secara ajaib dari makam yang tertutup ataupun sekonyong-konyong menampakkan diri di ruang atas meskipun pintu-pintu terkunci. Beberapa bapa Gereja mengggunakan analogi kelahiran Kristus dengan seberkas cahaya matahari yang bersinar menembus kaca: sama seperti kaca tetap “tak berubah; karena berkas cahaya, demikian juga Bunda Maria karena kelahiran Kristus. (Bahkan Paus Pius XII dalam ensikliknya “Mystici Corporis” (1943) menegaskan, “Dialah [Bunda Maria] yang secara ajaib melahirkan Kristus Tuhan kita….”)
Sebaliknya, para Bapa Gereja Timur menekankan sukacita Maria dan bebasnya Maria dari sakit bersalin dalam melahirkan Yesus, Putra Allah. Mereka memandang Bunda Maria sebagai Hawa Baru, yang bebas dari siksa dosa asal. Di samping itu, mereka tidak hendak kehilangan gagasan akan Bunda Maria sebagai seorang ibu dalam arti sepenuh-penuhnya. Ingat, Injil St Lukas hanya menyebutkan, “ia melahirkan …” (Luk 2:7), yang tidak mengandaikan adanya suatu proses kelahiran yang ajaib.
Secara resmi, Gereja menjunjung tinggi keperawanan Maria yang abadi. Paus Siricius pada tahun 390 menulis: “Inilah perawan yang mengandung dalam rahimnya dan sebagai seorang perawan melahirkan seorang putera.” Konsili Kalsedon (451) mensahkan ajaran Paus Leo I bahwa Maria Tetap Perawan Selamanya. Konsili Lateran (649) (tidak termasuk dalam konsili umum) menyatakan: “Barangsiapa tidak, menurut para bapa suci, mengakui dengan sesungguhnya dan sepantasnya bahwa Maria Tersuci, yang tetap perawan selamanya dan yang dikandung tanpa noda dosa, adalah Bunda Allah, karena dalam hari-hari terakhir ini ia mengandung dalam realitas sebenarnya tanpa benih manusia, dari Roh Kudus, Allah Sabda Sendiri, yang dilahirkan dari Bapa sebelum segala waktu, dan melahirkan-Nya tanpa sakit, keperawanannya tetap utuh murni sesudah kelahiran Putranya, biarlah ia dikutuk.” Pada tahun 1555, Paus Paulus IV menegaskan keperawanan Maria sebelum, selama dan sesudah kelahiran Kristus. Namun demikian, Gereja tidak mendefinisikan secara khusus bagaimana Bunda Maria tetap virginitas in partu.
Sekitar tahun 1950-an, suatu kontroversi besar muncul di antara para teolog mengenai tafsiran atas virginitas in partu. Kontroversi yang dilakukan Albert Mitterer begitu menekankan kualitas fisik keperawanan sehingga orang gagal melihat keunggulan peran Maria sebagai bunda dan dalam melahirkan Yesus. Bebas dari “sakit bersalin” tidak menuntut bebas dari tindakan melahirkan. Dr. Ludwig Ott menyatakan, “Tampaknya hampir tak masuk akal membuktikan bahwa martabat Putra Allah ataupun martabat Bunda Allah menuntut adanya suatu kelahiran yang ajaib.”
Pastor Karl Rahner, tanpa mempelajari segala detail anatomi, memfokuskan diri pada realita rohani akan keperawanan Maria: Maria mengandung Putra Allah. Persalinannya pada intinya pastilah berbeda dari para wanita lainnya sebab ia bebas dari akibat dosa asal. Oleh sebab itu, keperawanannya, persalinannya, dan keibuannya, seluruhnya ada dalam persatuan dengan kehendak Allah.
Akhirnya, pada tanggal 27 Juli 1960, Biro Suci (sekarang Kongregasi untuk Ajaran Iman) mengeluarkan peringatan, “Beberapa studi teologis telah dipublikasikan di mana masalah keperawanan Maria virginitas in partu yang sensitif dibahas dengan istilah-istilah yang tak pantas, dan yang lebih buruk, dengan cara yang secara jelas bertentangan dengan tradisi doktrin Gereja dan perasaan devosi umat beriman.” Sejujurnya, pembahasan virginitas in partu yang berfokus pada segala detil anatomi tubuh tidak hanya gagal melihat keindahan teologi inkarnasi, melainkan juga memalukan.
Pada intinya, kita perlu menegaskan dan menghormati baik keperawanan maupun keibuan Bunda Maria. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II menegaskan bahwa kelahiran Kristus “tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya” (No. 57). Sebab itu, “dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut Bunda dan Perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan perawan maupun ibu” (No. 63).
Ajaran ini, keperawanan Maria yang abadi menurut tradisi telah dibela dan dipelajari dalam tiga bagian: Maria mengandung Kristus (virginitas ante partum); Maria melahirkan Kristus (virginitas in partu); dan Maria tetap perawan setelah kelahiran Kristus (virginitas post partum). Rumusan ini dipergunakan oleh banyak bapa Gereja - St. Agustinus, St. Petrus Chrysologus, Paus St. Leo Agung, St. Gregorius Nazianze dan St. Gregorius Nyssa. Sebagai contoh, Katekismus mengutip penjelasan St. Agustinus: Bunda Maria “tetap perawan, ketika ia mengandung Puteranya, perawan ketika ia melahirkan-Nya, perawan ketika ia menyusui-Nya. Selalu perawan.” (No. 510).
Keperawanan Maria sebelum mengandung Yesus Kristus sudah cukup jelas dari kesaksian Injil St. Matius maupun St. Lukas di mana Maria secara jelas disebutkan sebagai “seorang perawan” (bdk. Luk 1:26-27, Mat 1:18). Di samping itu, ketika Malaikat Agung St. Gabriel memaklumkan kepada Maria bahwa ia akan menjadi Bunda Mesias, ia menjawab, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” menunjukkan keperawanannya.
Bagian terakhir adalah keperawanan Maria sesudah kelahiran Kristus. Dalam artikel sebelumnya mengenai apakah Yesus mempunyai saudara dan saudari kandung, “Apakah Yesus Mempunyai Saudara?” jawab atas pertanyaan ini telah diuraikan secara terperinci. Singkat kata, kita umat Katolik yakin bahwa Bunda Maria dan Santo Yosef tidak mempunyai anak-anak lain sesudah kelahiran Kristus. Tak ada bukti-bukti, baik menurut Kitab Suci maupun menurut Tradisi, yang menunjukkan sebaliknya.
Bagian yang paling rumit adalah bagian yang di tengah - keperawanan Maria dalam melahirkan Kristus. Kita ingat bahwa salah satu bentuk penderitaan yang diwariskan kepada kita akibat dosa asal adalah “sakit bersalin.” Tuhan Allah bersabda kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu” (Kej 3:16). Karena Bunda Maria bebas dari dosa asal sebab ia dikandung tanpa noda dosa, sebagai konsekuensinya adalah ia bebas dari “sakit bersalin”. Dalam bergumul mengenai keyakinan ini, para bapa Gereja berjuang untuk menjelaskan makna virginitas in partu. Sebagian besar bapa-bapa Gereja Barat tampaknya menekankan integritas fisik Maria. Sebagai contoh, Paus St. Leo Agung mengatakan, “… Ia (Bunda Maria) melahirkan-Nya tanpa kehilangan keperawanannya, …. (Yesus Kristus) dilahirkan dari rahim Santa Perawan karena kelahiran-Nya adalah kelahiran yang ajaib…” Mereka memperbandingkan kelahiran Kristus dengan munculnya Dia secara ajaib dari makam yang tertutup ataupun sekonyong-konyong menampakkan diri di ruang atas meskipun pintu-pintu terkunci. Beberapa bapa Gereja mengggunakan analogi kelahiran Kristus dengan seberkas cahaya matahari yang bersinar menembus kaca: sama seperti kaca tetap “tak berubah; karena berkas cahaya, demikian juga Bunda Maria karena kelahiran Kristus. (Bahkan Paus Pius XII dalam ensikliknya “Mystici Corporis” (1943) menegaskan, “Dialah [Bunda Maria] yang secara ajaib melahirkan Kristus Tuhan kita….”)
Sebaliknya, para Bapa Gereja Timur menekankan sukacita Maria dan bebasnya Maria dari sakit bersalin dalam melahirkan Yesus, Putra Allah. Mereka memandang Bunda Maria sebagai Hawa Baru, yang bebas dari siksa dosa asal. Di samping itu, mereka tidak hendak kehilangan gagasan akan Bunda Maria sebagai seorang ibu dalam arti sepenuh-penuhnya. Ingat, Injil St Lukas hanya menyebutkan, “ia melahirkan …” (Luk 2:7), yang tidak mengandaikan adanya suatu proses kelahiran yang ajaib.
Secara resmi, Gereja menjunjung tinggi keperawanan Maria yang abadi. Paus Siricius pada tahun 390 menulis: “Inilah perawan yang mengandung dalam rahimnya dan sebagai seorang perawan melahirkan seorang putera.” Konsili Kalsedon (451) mensahkan ajaran Paus Leo I bahwa Maria Tetap Perawan Selamanya. Konsili Lateran (649) (tidak termasuk dalam konsili umum) menyatakan: “Barangsiapa tidak, menurut para bapa suci, mengakui dengan sesungguhnya dan sepantasnya bahwa Maria Tersuci, yang tetap perawan selamanya dan yang dikandung tanpa noda dosa, adalah Bunda Allah, karena dalam hari-hari terakhir ini ia mengandung dalam realitas sebenarnya tanpa benih manusia, dari Roh Kudus, Allah Sabda Sendiri, yang dilahirkan dari Bapa sebelum segala waktu, dan melahirkan-Nya tanpa sakit, keperawanannya tetap utuh murni sesudah kelahiran Putranya, biarlah ia dikutuk.” Pada tahun 1555, Paus Paulus IV menegaskan keperawanan Maria sebelum, selama dan sesudah kelahiran Kristus. Namun demikian, Gereja tidak mendefinisikan secara khusus bagaimana Bunda Maria tetap virginitas in partu.
Sekitar tahun 1950-an, suatu kontroversi besar muncul di antara para teolog mengenai tafsiran atas virginitas in partu. Kontroversi yang dilakukan Albert Mitterer begitu menekankan kualitas fisik keperawanan sehingga orang gagal melihat keunggulan peran Maria sebagai bunda dan dalam melahirkan Yesus. Bebas dari “sakit bersalin” tidak menuntut bebas dari tindakan melahirkan. Dr. Ludwig Ott menyatakan, “Tampaknya hampir tak masuk akal membuktikan bahwa martabat Putra Allah ataupun martabat Bunda Allah menuntut adanya suatu kelahiran yang ajaib.”
Pastor Karl Rahner, tanpa mempelajari segala detail anatomi, memfokuskan diri pada realita rohani akan keperawanan Maria: Maria mengandung Putra Allah. Persalinannya pada intinya pastilah berbeda dari para wanita lainnya sebab ia bebas dari akibat dosa asal. Oleh sebab itu, keperawanannya, persalinannya, dan keibuannya, seluruhnya ada dalam persatuan dengan kehendak Allah.
Akhirnya, pada tanggal 27 Juli 1960, Biro Suci (sekarang Kongregasi untuk Ajaran Iman) mengeluarkan peringatan, “Beberapa studi teologis telah dipublikasikan di mana masalah keperawanan Maria virginitas in partu yang sensitif dibahas dengan istilah-istilah yang tak pantas, dan yang lebih buruk, dengan cara yang secara jelas bertentangan dengan tradisi doktrin Gereja dan perasaan devosi umat beriman.” Sejujurnya, pembahasan virginitas in partu yang berfokus pada segala detil anatomi tubuh tidak hanya gagal melihat keindahan teologi inkarnasi, melainkan juga memalukan.
Pada intinya, kita perlu menegaskan dan menghormati baik keperawanan maupun keibuan Bunda Maria. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II menegaskan bahwa kelahiran Kristus “tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya” (No. 57). Sebab itu, “dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut Bunda dan Perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan perawan maupun ibu” (No. 63).
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Painless Birth of Christ” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar