tag:blogger.com,1999:blog-51689660461631400752024-03-14T02:18:43.649+07:00Bunda GerejaBunda Maria... Teladan pengikut Kristus sejati..Nice Lifeshttp://www.blogger.com/profile/17335471729949142250noreply@blogger.comBlogger43125tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-24823488668828069482016-01-01T21:34:00.001+07:002016-01-01T21:35:17.697+07:00Jutaan Rosario Untuk Mengalahkan ISISBagaimana engkau bisa mengalahkan organisasi teroris global seperti ISIS, yang anggota-anggotanya tersembunyi di seluruh dunia, dan rela mati dalam bom bunuh diri demi tujuan diabolik perusakan dan pembunuhan massal?<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-oOrHfIEtrJ4/VoaNc5JhikI/AAAAAAAANAM/Cs7TidxTp58/s1600/refugee.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-oOrHfIEtrJ4/VoaNc5JhikI/AAAAAAAANAM/Cs7TidxTp58/s320/refugee.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Photo Source: 1millionrosaries.com</td></tr>
</tbody></table>Jawabannya adalah melalui doa. Peperangan melawan ISIS, pada akarnya adalah peperangan rohani melawan Iblis dan seluruh kekuatan kegelapan (lih. Ef 6:12).<br />
<br />
Kita percaya bahwa Maria, Ibu Yesus dan Ibu Spiritual semua orang, telah diberikan kuasa oleh Allah untuk meremukkan kepala setan (bdk. Kej 3:15) dan sukses memimpin pertempuran spiritual melawan si naga besar (bdk. Why 12). Dalam sejarah, Ratu kita telah berulang kali menjadi perantara dalam kemenangan melawan invasi asing yang ingin menghancurkan Kekristenan dan peradaban Yudeo-Kristen (cth. Lepanto, 1571; Vienna, 1683).<br />
<br />
Bergabunglah dalam peperangan spiritual untuk menghentikan ISIS. Berdoalah Rosario setiap hari, dan masukkan intensimu dalam Rosario "untuk kekalahan ISIS dan untuk pertobatan anggota-anggotanya."<br />
<br />
Beberapa waktu yang lalu, Uskup Oliver Dashe Doeme dari Nigeria sedang berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus dan meminta Tuhan kita untuk memerangi serangan teroris mengerikan terkait ISIS, Boko Haram, terhadap umat di keuskupannya. Tiba-tiba, Yesus muncul di hadapan Uskup dengan sebuah pedang di tanganNya. Ketika Yesus menyerahkan pedang itu kepada Uskup, pedang berubah menjadi Rosario. Yesus mengulangi kata-kata ini tiga kali: "Boko Haram lenyap." Hal ini mengkonfirmasi arahan surgawi bahwa kita memerangi dan mengalahkan ISIS melalui kekuatan Rosario.<br />
<br />
Dalam ekspresi doa dan kesatuan sedunia, tambahkan namamu sebagai komitmen untuk berdoa Rosario setiap hari untuk mengalahkan ISIS. Mari mempercayakan kekalahan spiritual ISIS kepada perantaraan Maria yang penuh kuasa, Ibu spiritual semua orang dan Perantara Segala Rahmat.<br />
<br />
"Maria bergabung dengan kita; ia bertempur di sisi kita. Ia mendukung umat Kristiani dalam peperangan melawan kekuatan jahat. Terutama melalui doa, melalui Rosario. ... Apakah engkau berdoa Rosario setiap hari?" (Paus Fransiskus)<br />
<br />
Yuk kita partisipasi juga, nyatakan komitmenmu dengan mengisi form di link ini: <a href="http://www.1millionrosaries.com/petition/defeat-isis-english/" target="_blank">1 Million Rosaries</a><br />
<br />
Sumber info: <a href="https://www.facebook.com/gerejakatolik/posts/10154436913929638?pnref=story" target="_blank">Facebook Gereja Katolik</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-83036909672094446112014-03-05T19:49:00.000+07:002014-03-05T19:49:38.861+07:00Berdoa Rosario Untuk IndonesiaSudahkah <b>Berdoa Rosario</b> Hari Ini Untuk Indonesia?<br />
Marilah kita kumpulkan sebanyak-banyaknya orang yang akan berdoa DOA ROSARIO setiap hari mulai hari ini, 5 Maret 2014. Ajaklah keluarga, teman-teman, kelompok-kelompok doa, untuk berdoa Rosario setiap hari dengan ujud untuk:<br />
“Keamanan, Kemajuan, Kesejahteraan dan Bersihnya INDONESIA dari Korupsi serta dibebaskan dari bencana-bencana alam.”<br />
<br />
Kita tidak bisa hanya berdiam diri sambil membaca berita-berita dan bergumam, ‘kasihan ya, ah! Memang negara ini. Ah! Dasar si ini, si itu koruptor!’ Kita bisa bertindak bersama merubah Indonesia dengan <a href="https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=10152057326889332&id=39789114331" rel="nofollow" target="_blank">BERDOA ROSARIO</a> bersama. AJAKLAH kenalan anda sebanyak-banyaknya... dan sebanyak-banyaknya. Kumpulkan puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu atau bahkan jutaan orang. ALLAH bisa bertindak, jika kita sehati memintaNYA dengan doa yang tekun dan sungguh-sungguh.<br />
<br />
Setiap hari, jika anda, keluarga, teman-teman anda sudah berdoa Rosario, tulislah di tautan komentar ini (sesuai tanggal). Tulislah bahwa, anda, atau anda dan keluarga, anda dan kelompok doa sudah berdoa Rosario untuk Indonesia.<br />
<br />
Selain untuk INDONESIA, bagi semua pribadi yang rajin berdoa Rosario pun, ada <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2009/04/janji-maria.html" target="_blank">15 Janji Bunda Maria</a> bagi mereka yang berdoa Rosario dengan setia. Jadi, berkat-rahmat kita tentulah akan berlimpah.<br />
<br />
Jangan lupa... Setelah berdoa Rosario hari ini, tulislah di kolom komentar status tanggal HARI INI 5 Maret 2014 - SUDAHKAH BERDOA ROSARIO HARI INI UNTUK INDONESIA? (Saya sudah berdoa, atau saya dan keluarga saya sudah berdoa, atau kami 6 orang sudah berdoa).<br />
<br />
MARILAH BERDOA BERSAMA UNTUK INDONESIA. TUHAN YESUS DAN BUNDA MARIA MENYERTAIMU.<br />
<br />
Tulisan diambil dari <a href="https://www.facebook.com/pages/Novena-Tiga-Salam-Maria/39789114331" rel="nofollow" target="_blank">Facebook Page Novena Tiga Salam Maria</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-85222188662062871992012-05-01T17:09:00.000+07:002012-05-01T19:03:52.921+07:00Devosi Dan Novena Besar Maria 2012<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-qZyMD2CyLKM/T5-zc2i2XAI/AAAAAAAACzI/pk9nPZCONgc/s1600/novena-besar-maria-2012.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="221" width="320" src="http://3.bp.blogspot.com/-qZyMD2CyLKM/T5-zc2i2XAI/AAAAAAAACzI/pk9nPZCONgc/s320/novena-besar-maria-2012.jpg" /></a></div><br />
Acara Devosi Dan Novena Besar Maria 2012 diselenggarakan di Gedung Plaza Bappindo Lt.8 dan 9 Jakarta pada 8 - 16 Mei 2012. (<a href="http://maps.google.com/maps?q=plaza+bapindo+jakarta&hl=en&ll=-6.223124,106.807795&spn=0.002794,0.005284&sll=37.0625,-95.677068&sspn=36.452734,86.572266&t=h&hq=plaza+bapindo&hnear=Jakarta+Capital+Region,+Indonesia&z=18&iwloc=A" target="_blank">Lihat peta lokasi</a>)<br />
<br />
Jadwal Pengisi acara Devosi Maria 2012<br />
<br />
Hari I (8 Mei 2012)<br />
Tema : Ekaristi, sarana berkumpul untuk memuliakan Tuhan.<br />
Pembicara : Rm. AL.Andang Binawan, SJ<br />
Moderator : Inggrid W<br />
Selingan : Leo<br />
Koor : Serenity Choir<br />
<br />
Hari II (9 Mei 2012)<br />
Tema : Spiritualitas untuk menjadi bagian dari Ekaristi<br />
Pembicara : Rm. Jacobus Tarigan, Pr<br />
Moderator : Inggrid W<br />
Selingan : Sisi IDOL<br />
Koor : PS. Gita Swara Jaya<br />
<br />
Hari III (10 Mei 2012)<br />
Tema : Ekaristi : Panggilan untuk saling melayani<br />
Pembicara : Rm. Boscho da Cunha, O.Carm<br />
Moderator : Nining<br />
Selingan : Argie<br />
Koor : PS. Servus Servorum<span class="fullpost"><br />
<br />
Hari IV (11 Mei 2012)<br />
Tema : Ekaristi : Bertobat agar layak dihadapan Allah<br />
Pembicara : Rm. Madya Utama, SJ<br />
Sandra Louise<br />
Moderator : Mayong Suryo Laksono<br />
Selingan : Sandra Louise<br />
Koor : Angel’s Voice<br />
<br />
Hari V (12 Mei 2012)<br />
Tema : Liturgi Sabda : Mendengarkan ketika Allah berbicara<br />
Pembicara : Rm. BS. Mardiatmaja,SJ<br />
Monica Meifung<br />
Moderator : Markus Prasetyo (Kepra)<br />
Selingan : Band Crossfader<br />
Koor : PS. St. Michael<br />
<br />
Hari VI (13 Mei 2012)<br />
Tema : Ekaristi : Mendengarkan Tuhan melalui Kitab Suci<br />
Pembicara : Rm. Yohanes Subagyo, Pr<br />
Seto Marsunu<br />
Moderator : Mayong Suryo Laksono<br />
Selingan : Karina<br />
Koor : PS. Lausdeo<br />
<br />
Hari VII (14 Mei 2012<br />
Tema : Ekaristi : Persembahan seluruh pengalaman hidup dalam Ekaristi<br />
Pembicara : Rm. YR. Edy Purwanto, Pr<br />
Alexander Eddy Gosyanto<br />
Moderator : Samsi Darmawan<br />
Selingan : Intan AFI<br />
Koor : Northbless Choir<br />
<br />
Hari VIII (15 Mei 2012)<br />
Tema : Ekaristi : Komuni, kurba yang menyatukan<br />
Pembicara : Rm. A. Sunarko, OFM<br />
Pocky & Acu<br />
Moderator : Rosiana Silalahi<br />
Selingan : Kesya Henakin<br />
Koor : PS. Abdi Kristus<br />
<br />
Hari IX (16 Mei 2012)<br />
Tema : Ekaristi : Tugas perutusan untuk berbagi<br />
Pembicara : Rm. Sylvester, CICM<br />
Maria Ratnaningsh<br />
Moderator : Mayong Suryo Laksono<br />
Selingan : Hudson<br />
Koor : The Butterfly Symphony & Musicalista CHoir<br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "5509495192";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 60;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div></span>Unknownnoreply@blogger.com0Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Capital Region 10270, Indonesia-6.22379569355089 106.80788040161133-6.2277421935508892 106.80294490161133 -6.21984919355089 106.81281590161133tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-46264242184974320802012-04-30T19:35:00.000+07:002012-05-07T21:59:58.131+07:00Ziarah MariaAlangkah beruntungnya "nasib" orang-orang Kristiani, terutama orang-orang Katolik. Betapa tidak, mereka memiliki seorang ibunda yang setiap saat bisa ditemui, diminta bantuan, dan juga dijadikan tempat curhat. Ibunda yang baik itu adalah ibunda Yesus sendiri, Maria.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-O-z1_9q5SEY/T56GgVnHR9I/AAAAAAAACyg/BRuOfvuvgxI/s1600/DSCF2006.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="150" src="http://4.bp.blogspot.com/-O-z1_9q5SEY/T56GgVnHR9I/AAAAAAAACyg/BRuOfvuvgxI/s200/DSCF2006.JPG" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gua Maria Kanada</td></tr>
</tbody></table>Bagi umat Katolik, Maria, Ibu Yesus, yang kerap disapa Bunda Maria, merupakan perantara doa yang sangat dihormati dan diyakini dapat meneruskan setiap doa kepada Allah. Gereja mengkhususkan dua bulan dalam 1 tahun untuk memberikan kesempatan kepada umat untuk berdevosi kepada Bunda Maria. Bulan Mei disebut bulan Maria dan bulan Oktober dikhususkan sebagai bulan Rosario.<br />
<br />
Selama dua bulan itu umat biasanya berkumpul bersama untuk berdoa Rosario atau mengadakan ziarah ke gua Maria. Ziarah Maria saat ini sudah manjadi semacam tradisi yang banyak dilakukan oleh umat Katolik di seluruh dunia. Gua Maria Lourdes di Prancis, Fatima di Portugal, Kerep di Ambarawa ataupun Puh Sarang di Kediri merupakan tempat ziarah yang sering dikunjungi umat.<span class="fullpost"><br />
<br />
Tradisi ziarah Maria berawal pada abad-abad pertama oleh jemaat perdana yang meyakini bahwa Maria, sebagaimana orang-orang beriman lainnya, juga sudah masuk Surga seperti layaknya orang kudus. Makna ziarah adalah untuk mengungkapkan penghormatan secara khusus kepada Maria karena ia adalah orang kudus atau bahkan sangat kudus. Dengan begitu berarti Maria ditempatkan di atas orang-orang kudus. Bunda Maria begitu dihormati dengan sungguh-sungguh. Bentuk penghormatan itu bisa berupa devosi, doa rosario, pesta-pesta liturgis dan sebagainya.<br />
<br />
Belakangan ini ziarah memang bukan hanya dalam rangka bulan Maria saja, tetapi sudah sepanjang tahun orang-orang biasa melakukan ziarah. Perkembangan sarana transportasi seakan mendukung kegiatan ziarah dilakukan sepanjang tahun.<br />
<br />
Ada dua kemungkinan mengapa orang melakukan ziarah dewasa ini. Pertama, sebagai tur atau sarana refreshing. Namun agar tidak kelihatan terlalu profan maka disatukan dengan ziarah agar terlihat lebih kristiani. Kegiatan seperti itu masih cukup baik dilakukan dalam mengisi liburan sehingga menjauhkan kesan liburan yang profan. Usaha mencari kesempatan untuk menghormati Bunda Maria seringkali terganggu bila ziarah digabungkan dengan liburan.<br />
<br />
Kemungkinan kedua adalah ekstrem religius, yaitu orang-orang yang berziarah tidak hanya sekedar menghormati Bunda Maria, namun lebih dari itu, mereka mengharapkan sesuatu yang magis. Magis dalam arti ingin mendapatkan sesuatu yang dialami dalam hidupnya sendiri. Misalnya, minta untuk mendapatkan penglihatan Bunda Maria, memperoleh rahmat yang sungguh nyata dan dapat dirasakan. Seakan-akan menuntut bahwa Bunda Maria itu harus nampak dan dialami nyata.<br />
<br />
Dari dua kemungkinan di atas, ziarah sebagai tur nampaknya lebih disukai masyarakat perkotaan. Sedangkan masyarakat pedesaan yang umumnya lebih kuat tradisi religiusnya tidak semata-mata mencari penampakan Bunda Maria melainkan ada yang sungguh-sungguh diharapkan, yaitu rahmat yang sekaligus menyelesaikan masalah. Misalnya saja, mendapatkan mata air yang bisa menyembuhkan penyakit. Memang, esensi ziarah itu sudah mulai memudar. Sentuhan komersialisasi sudah begitu melekat pada paket-paket peziarahan baik dalam dan luar negeri. Ziarah kini telah dianggap sebagai tempat senang-senang dan kenikmatan-kenikmatan. Hal itu disebabkan adanya kemudahan mendapatkan fasilitas ziarah sehingga perjuangan dalam berziarah tidak lagi dirasakan peziarah.<br />
<br />
Berdoa kepada Bunda Maria bukanlah berarti bahwa Bunda Maria yang dapat menyelamatkan manusia beriman. Ataupun Bunda Maria menganugerahkan sesuatu seakan-akan tanpa sepengetahuan Allah. Dalam berdoa kepada Bunda Maria harus dipahami bahwa Bunda Maria yang dekat dengan Allah senantiasa mendoakan umat manusia. Ziarah pun harus ditempatkan dalam konteks yang normal. Orang-orang berziarah bukan hanya mengunjungi gua-gua Maria saja. Agar ziarah Maria dapat memberikan makna rohani yang dalam sebaiknya perlu disiapkan secara matang. Sebelum hari keberangkatan sebaiknya peserta ziarah sudah diberikan bimbingan mengenai Kitab Suci, sejarah tempat-tempat suci tersebut. Tujuannya adalah agar para peziarah dapat sunguh-sungguh memetik makna yang esensial.<br />
<br />
Terkirim dari BlackBerry®</span><br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "5509495192";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 60;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-10757243898467778192012-04-19T10:42:00.000+07:002012-05-07T21:58:18.945+07:00Maria Dan Muslim<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-ySSefDNGDjs/T4-JBRnwZnI/AAAAAAAACuI/Yb5ZxqaGhzE/s1600/mary-moslem.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="200" src="http://3.bp.blogspot.com/-ySSefDNGDjs/T4-JBRnwZnI/AAAAAAAACuI/Yb5ZxqaGhzE/s200/mary-moslem.jpg" width="146" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Source: Google</td></tr>
</tbody></table><i>"Redemptoris Mater" (Ibu Penebus)</i>, ensiklik Yohanes Paulus II menetapkan Tahun Maria bagi umat Katolik sedunia, mulai tanggal 7 Juni 1987 sampai 15 Agustus 1988. Menteri Agama, Munawir Sajadzali, akan hadir bersama ribuan wakil-wakil umat Katolik seluruh Indonesia, pada penutupan Tahun Maria di Maumere, Flores, 30 Juli nanti.<br />
<br />
Apakah arti peristiwa ini bagi saudara-saudara lain, terutama yang memeluk agama Islam? Memang, suatu peristiwa yang dapat menggetarkan jiwa: merayakan Tahun Maria di tengah-tengah anak-anak Ibrahim dalam iman. Bukan karena kaum Muslim juga menghormati Maria dan kadang-kadang memohon bantuannya dengan khusuk. Juga bukan karena adanya perbedaan penafsiran tentang keseluruhan rahasia kehidupan ibu Yesus Kristus ini. Tetapi karena adanya peristiwa itu sendiri menantang kaum Muslim untuk berefleksi atau merenungkan kembali peranan Maria dalam sejarah keselamatan manusia. Adanya peristiwa Maria itu sendiri semakin meneguhkan kehidupan religius di negeri ini sendiri dalam terang Pancasila.<span class="fullpost"><br />
<br />
<b>Memuja Maria</b><br />
Berdasarkan Al Quran, kaum Muslim tak hanya menghormati Maria dalam teologi atau pemikiran spekulatif lainnya, tetapi juga memberikan tempat khusus dalam hidup keagamaan mereka. Pujaan terhadap Maria ini berdasarkan beberapa hal, misalnya: ibu Yesus Kristus, mengandung dan melahirkan Yesus dalam kuasa Roh Kudus, keutuhan morilnya, kesucian hidupnya. Maria menjadi sumber inspirasi bagi kaum Muslim dalam menghayati hidup imannya. Walaupun demikian, kaum Muslim tak melakukan devosi publik seperti dilakukan oleh kaum Katolik.<br />
<br />
<br />
Pujaan terhadap Maria itu dapat diwujudkan dalam pelbagai cara yang pada dasarnya berbentuk: penghormatan, doa, peneladanan cara hidup. Hal berdoa kepada Maria ini kerap menjadi bahan diskusi hangat di kalangan kaum Sunni, Shiah maupun kelompok yang lebih dekat dengan kaum Sufi. Perbedaan ini antara lain karena pemahaman yang berbeda sekaligus berkembang mengenai "perantara" atau "penengah" antara manusia dan Allah sendiri. Dan soal ini menjadi lebih rumit bila dihubungkan dengan pengaruh kebiasaan atau kepercayaan asli bangsa tertentu sebelum agama Islam berkembang di situ, misalnya di Afrika Utara.<br />
<br />
Pujaan terhadap Maria ini bukan soal psikologis saja, tetapi merupakan pengalaman akan keilahian dalam setiap agama atau kepercayaan. Pujaan terhadap Maria, yang juga disebut "sahabat Allah" tidaklah mengurangi transendensi dan kemahaesaan Allah, melainkan justru meneguhkannya.<br />
<br />
Seorang teolog Islam yang hidup pada abad XIII, Nasir Tusi, antara lain berkata, "Ya Permaisuri yang bebas dari segala noda; ya Permaisuri dan Bunda, kepadamu kami mengarahkan doa permohonan kami kepada Allah; Maria yang terpuji, jadilah pengantara kami kepadaNya."<br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
<b>Penghormatan</b><br />
Yang dimaksud dengan "penghormatan" di sini adalah memberikan penghargaan kepada Maria karena keunggulannya sebagai umat piulihan Allah. Dalam teologi Katolik, penghormatan kepada Maria ini disebut <i>"hyperdulia"</i> (catatan: ada beberapa istilah teologis tentang penghormatan ini, yaitu: "dulia" untuk para nabi, rasul atau para kudus lainnya; "latria" untuk Allah; "idololatria" untuk berhala; dan "observantia" untuk praktek takhayul).<br />
<br />
Dengan istilah <i>"hyperdulia"</i> ini jelas bahwa kaum Katolik memberikan penghormatan istimewa kepada Maria, melebihi yang diberikan kepada para kudus lainnya. Jadi, dalam peristiwa penghormatan terhadap Maria ini yang menjadi unsur konstitutif adalah "keunggulan" Maria, baik dalam hal pilihan ilahi, maupun teladan hidup yang diberikan semasa hidupnya.<br />
<br />
Perlu ditekankan bahwa untuk dapat melakukan penghormatan terhadap Maria secara benar dan baik sebagaimana mestinya dalam kerangka Karya Keselamatan Allah, seseorang harus memahami peristiwa Maria tak hanya secara intelektual, tetapi sekaligus dalam terang iman. Dengan kata lain, penghormatan terhadap ibu Yesus ini harus merupakan karya nalar yang diterangi iman atau iman yang menalar.<br />
<br />
Kaum Muslim mengungkapkan penghormatan ini dengan pelbagai cara: memberikan nama "Maria" (Maryam, Merriem, Miryam, dan sebagainya) kepada anak-anaknya dan memohonkan perlindungan baginya, mengambil bagian dalam pembicaraan rohani tentang Maria di antara saudara-saudara yang beragama Kristen, melaksanakan devosi-devosi secara khas dengan kaum Kristen, mengadakan ziarah, mengunjungi gereja-gereja atau kapel dan berlutut di depan gambar-gambar dan patung-patung Maria, membuat karya-karya tulis, lagu-lagu dan sebagainya <i>(lihat: T. Kirdi Dipojudo, Mary, in Islam, Rome, 1961; bdk. G. Basenti Sani, "La devotion populaire mariale on Egypte, dalam Maria, Paris, 1949)</i>.<br />
<br />
Pada masa sekarang, di Palestina (baca:Israel), Mesir dan beberapa tempat di Timur Tengah, kerap dijumpai betapa kaum Muslim dan Katolik dengan khusuk berdoa dengan caranya sendiri-sendiri di tempat ziarah, kapel atau pada peristiwa-peristiwa keagamaan lainnya (misalnya: peringatan para kudus/martir, Elias, dan Maria sendiri). H. Harsa Surendra dalam HIDUP Nomor 21 tahun XL 25 Mei 1986 pernah penulis: <i>"Di Jawa Barat pun ibu-ibu Sunda pada upacara tingkeban membacakan surah-surah Maryam. Rombongan Fatayah mengunjungi Makdis Maria di Fatima."</i><br />
<br />
Kemuliaan dan keunggulan hidup Maria sebagai "ciptaan terpilih" memang mengandung rahasia ilahi yang maknanya tak pernah habis dibicarakan dan digali dalam bahasa manusiawi. Para Legioner setiap hari mengidungkan "Siapakah Puteri itu yang datang sebagai fajar menyingsing kemerah-merahan, indah penaka bulan, gemerlap laksana surya, dahsyat bagai balatentara yang siap sedia bertempur?"<br />
<br />
Di Cairo, Mesir, pernah dikumandangkan dengan penuh keagungan yang menggetarkan jiwa sebuah hymne Maria gaya Islam, pada suatu peringatan Maria berdasarkan Al Quran dan tradisi. Hymne ini dipublikasikan dalam bahasa Jerman: "Ein Islamische Marienleid", dalam Die Welt des Islams, 1941. Dalam disertasinya untuk meraih gelar Doktor Misiologi, T. Kirdi D. juga menyebut secara indah sekali peristiwa-peristiwa pemujaan kepada Maria oleh kaum Muslim dari seluruh dunia.<br />
<br />
<b>Doa Permohonan</b><br />
Mengalami kemuliaan, keagungan dan kesucian Maria, kaum Muslim tak ragu-ragu berseru memohonkan bantuannya pada waktu mereka mengalami kecemasan, kesulitan, baik material maupun spiritual. Seorang Gubernur Muslim di Mossul menyerukan permohonan kepada Maria tatkala dikepung oleh Shah Persia. Setelah bebas, ia membangun gereja yang dipersembahkan kepadanya. Mukjizat penyembuhan jasmani dan rohani juga banyak dialami kaum Muslim yang berziarah ke tempat tersebut.<br />
<br />
Seperti kaum Katolik, saudara-saudara yang beragama Islam juga memandang Maria sebagai teladan hidup beriman. Kehidupan suci, keutuhan moril, kelembutan dan kesederhanaannya, ketaatannya pada Sabda Allah menjadi idola kaum perempuan, baik yang sudah berkeluarga maupun remaja putri. Dari Maria, kaum Muslim mendapat inspirasi dalam hal iman, harapan dan kasih. Dalam terang peristiwa Maria, eksistensi kaum perempuan mendapat peneguhannya sebagai ciptaan yang juga berperan serta dalam karya ilahi.<br />
Tahun Maria<br />
<br />
<i>"Redemptoris Mater"</i> (art. 48 dan seterusnya) antara lain mencatat, dalam Tahun Maria ini kaum beriman tak hanya berbicara tentang ajaran iman, tetapi juga tentang kehidupan iman itu sendiri.<br />
Bagi umat Katolik Indonesia, peringatan Tahun Maria ini merupakan tantangan bagi kehidupan sebagai warga negara yang integral: tak hanya dalam soal religi, tetapi juga dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Apakah peristiwa yang agung dan mulia ini juga berbicara bagi saudara-saudara yang beragama lain ataukah sudah"diklaim" sebagai miliknya sendiri?<br />
<br />
Peristiwa penutupan Tahun Maria di Maumere yang akan memakan biaya tak sedikit itu sungguh mempunyai makna jika mengungkapkan secara nyata dimensi misioner Gereja: membawa damai bagi masyarakat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya. Adakah masa Adven agung dan panjang ini menghantarkan bangsa Indonesia kepada suasana dan situasi Natal yang membawa damai? Melamunkan hal-hal yang akan terjadi di Maumere nanti, baik juga diingat dan direnungkan peristiwa 27 Oktober 1986 yang lalu.<br />
<br />
Sebuah peristiwa yang sangat indah dalam sejarah manusia (walaupun bukan tanpa kritik sana-sini); yaitu peristiwa yang mementaskan salah satu kerinduan paling dalam umat manusia, yaitu perdamaian dan damai itu sendiri. Di kota Asisi, Italia, para pemimpin agama dari seluruh dunia berkumpul dan berdoa bersama dengan caranya sendiri-sendiri yang unik dan khas, memohon perdamaian. Seratus dua puluh utusan dari 12 agama besar berkumpul dalam kebersamaan, berdoa, memohonkan segala yang baik bagi kemajuan hidup masyarakat.<br />
<br />
Kota Assisi telah menjadi saksi sejarah abad XX ini, bahwa peristiwa dan pesan Adven serta Natal, yakni perdamaian, tak saja berlaku di Assisi, tetapi juga menyentuh setiap hati di seluruh dunia.<br />
Adakah Maumere, salah satu tempat utama umat beriman di Nusa Indah akan juga melahirkan damai melalui peristiwa penutupan Tahun Maria yang mahal itu? Bukan tak mungkin pada kesempatan yang istimewa itu seluruh umat beragama di Indonesia berseru kepada Maria untuk memohonkan segala yang indah dan baik bagi bangsa Indonesia dari kasih karunia Allah sendiri. Maria adalah ibu umat Kristen dan Muslim, bahkan ibu semua manusia. Kiranya tak ada yang lebih indah bila kesempatan itu menjadi sarana untuk berdoa bersama tanpa kontroversial.<br />
<br />
Benar juga kata-kata Yohanes Paulus II, "Sementara kita berjalan tanpa bicara, kita merenungkan jalan yang dilalui keluarga umat manusia: jalan itu berupa permusuhan, jika kita gagal menerima orang lain dalam cinta; atau suatu perjalanan bersama ke tujuan kita yang mulia, jika kita sadar bahwa orang lain adalah saudara dan saudari kita... Entah kita belajar berjalan dalam damai dan serasi, entah kita terpencar-pencar dan menghancurkan diri sendiri dan orang lain."<br />
<br />
Maumere, kota Nusa Indah, mungkinkah terbit keindahan Marial itu?<br />
<i>Artikel diambil dari: Perayaan Nasional Penutupan Tahun Maria 1988.<br />
Penulis: Bunut O. Carm, Hidup, 29 Mei 1988.</i><br />
<br />
Terkirim dari BlackBerry®</span><br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "5509495192";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 60;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-33071065205809968172012-04-12T12:00:00.000+07:002012-04-28T23:00:04.196+07:00PietaBasilika Vatikan dengan kubahnya. Kubah raksasa berwarna biru. Dari jauh nampak, kubah indah itu seakan tergantung di awan, dan diturunkan dari awan, jadi atap basilika. Genius seni. Michaelangelo yang menggarap kubah itu, sungguh berhasil memberikan kesan betapa langit dan basilika itu bersatu dalam satu kubah sebagai titik temu.<br />
<br />
Persatuan itu nampak dalam warna. Jika langit sedang biru, dan orang membiarkan diri puas memandang basilika dari kejauhan, serasa awan dan kubah itu bagaikan bergantung-gantungan. Pada waktu menggarap, Michaelangelo sendiri memang terserap dalam kerinduan bagaimana meraba "ke-Absolut-an". Ke-Absolut-an itu tak dapat diraba, kecuali dengan cara menyeret dunia semesta ini ke arahNya, mempersatukan semesta itu dalam gerak ke arah "sana". Gerak serta dinamika menuju ke ke-Absolut-an itu tercipta dalam kreasi genius sebuah seni. Dan itulah kubah Basilika Vatikan, yang juga dinamai kubah Michaelangelo.<br />
<br />
Di pelataran basilika, hari Jumat menjelang tepat pukul 12.00 siang, ribuan manusia berada. Pelataran basilika itu terbangun dan terbatasi oleh dua buah sayap, yang mengepak dari "tubuh" basilika sendiri. Sayap basilika yang tersusun dari pelbagai pilar-pilar simetris ini diciptakan oleh artis Bernini.<br />
<br />
Bernini berusaha, bagaimana kepakan sayap raksasa itu terasa sebagai sepasang lengan yang merentang dan melingkar sepanjang pelataran basilika. Maka pilar-pilar simetris itu membentuk satu kebulatan kesan, bagaikan tangan atau lengan basilika. Basilika yang bertangan, membentuk satu pelukan. Itulah hasrat Bernini, yang ingin menggambarkan, bagaimana wujud suatu pelukan universal, di mana manusia segenap penjuru dunia terpeluk dan tertampung di pelataran Basilika.<span class="fullpost"><br />
<br />
*****<br />
<br />
Matahari cukup menyengat untuk udara Roma. Menjelang tepat tengah hari ribuan mata tertengadah memandang jendela Paus di istananya. Sebentar lagi Paus akan muncul dari jendela. Lonceng gereja mengalun panjang menandai datangnya tengah hari. Jendela, yang terpencil di kejauhan itu membuka, serentak terdengar sorak sorai, dan ribuan tangan melambai-lambai. Paus sudah muncul dari jendela. Tak berapa lama lagi, suasana berbalik sunyi, dan Paus memimpin doa Angelus Domini.<br />
<br />
Angelus Domini, Malaikat Tuhan, adalah doa yang dulu selalu diucapkan oleh umat Katolik, tetapi di tengah hari. Doa ini mengenangkan kunjungan Tuhan pada Maria, lewat malaikatNya, untuk membawakan kabar kegembiraanNya. Dan tahun ini secara gerejani adalah tahun yang dipersembahkan untuk Maria. Itulah sebabnya umat Katolik yang kebetulan berada di Roma, menyempatkan diri untuk datang ke Basilika Vatikan, sejenak bersama Paus berdoa Angelus Domini. Hanya sekitar lima menit doa berlangsung. Paus memberikan berkat, dan jendela itu pun tertutup kembali.<br />
<br />
Yohanes Paulus II dikenal sebagai paus yang mencintai Maria. Menyambut tahun Maria, ia mengeluarkan sebuah ensiklik berjudul <i>Redemptoris Mater</i> (Bunda Penebus). Maret tahun lalu, saat diumumkannya ensiklik ini. Paus mengajak umat kristen agar senantiasa mengenang Maria sebagai teladan orang beriman.<br />
<br />
Tahun 2000 sudah diambang mata. Di tengah optimisme atau pesimisme menjelang tahun 2000, mungkin orang lupa, betapa bersejarah saat itu seharusnya buat orang kristen. Tahun 2000 adalah "jubelium dua puluh abad kelahiran Kristus di dunia". Selama sebulan menjelang Natal, orang katolik merayakan liturgi <i>advent</i>, semacam masa penantian dan harapan akan kedatangan Penebus Dunia. Maka, kata Paus, tahun-tahun menjelang tahun 2000 ini layak menjadi semacam advent yang panjang, masa penantian penuh harapan.<br />
<br />
Maria adalah tokoh advent. Dia adalah wanita sederhana yang dengan penuh kepercayaan dan kesetiaan menanti wujud Tuhan. Paus mengajak, agar di masa advent yang panjang menjelang pergantian 2000 tahun kelahiran Kristus di dunia ini umat kristen sudi meneladan Maria. Itulah sebabnya antara lain mengapa Paus menginginkan tahun 1987-1988 khusus dipersembahkan pada Maria.<br />
<br />
Mengenang Maria, seharusnya umat kristen yang terpecah belah rindu untuk bersatu. Ensiklik <i>Redemptoris Mater</i> mengingatkan, bahwa Maria adalah satu-satunya ibu bagi orang kristen. Darinya lahir seorang penebus yang diimani semua orang kristen, padanya terbulatkan satu iman dan harapan akan janji Tuhan yang ingin membebaskan umatnya. Satu ibu, mengapa mesti tidak bersatu?<br />
<br />
Paus menunjukkan satu fakta, bahwa baik gereja katolik, gereja katolik orthodoks dan gereja-gereja timur sama intensifnya dalam menghormati <i>theotokos</i>, Bunda Tuhan. Padanyalah gereja yang terpecah belah itu sama-sama terikat. Apalagi jika diingat, praktek penghormatan akan Maria ini biasanya dijalankan oleh umat yang sederhana. "Orang-orang sederhana selalu bisa meraba perlindungan dan kehadiran Bunda Penebus itu." kata Paus. Fakta ini seharusnya mendorong umat kristen untuk bersatu. <br />
<br />
<i>Redemptoris Mater</i> menekankan juga, bahwa ingatan akan Maria tak pernah terpisahkan dari ingatan akan cinta Tuhan, terutama pada mereka yang miskin, menderita dan tertindas. <i>Magnificat</i>, pujian Maria akan kebesaran Allah, adalah doa orang sederhana dan miskin, yang merasa bahagia, karena pada merekalah janji Allah terutama diarahkan dan mendapat perwujudannya. Tahun Maria adalah tahun di mana gereja perlu untuk sadar kembali, bahwa dalam gereja, si miskin harus mendapat tempatnya kembali.<br />
<br />
Maria, kata Paus, adalah gambaran dari kemerdekaan dan pembebasan manusia. Sebab pada Maria, makna dan arti hidup ini seluruhnya dicari dan digantungkan pada Penciptanya. Gereja perlu memandang untuk kembali sadar akan tugas sejatinya di dunia ini, terutama dalam rangka perjuangan kemerdekaan manusia.<br />
<br />
Ensiklik <i>Redemptoris Mater</i> itu selanjutnya memujikan Maria sebagai cermin dan eksistensi para wanita. "Memandang Maria," kata Paus, "Para wanita akan menemukan rahasia dirinya. Atas dasar rahasia itu para wanita akan tahu bagaimana mereka melayakkan diri dan mengembangkan dirinya. Dengan cahaya Maria, gereja memandang wajah wanita dalam keindahannya, keindahan yang menampilkan rasa terdalam. Rasa kedalaman kewanitaan inilah yang memampukan hati manusia untuk memberikan diri dalam cinta tanpa syarat. Rasa kedalaman itulah kekuatan, yang memungkinkan orang menanggung beban dan penderitaan terpedih sekalipun. Ia adalah kesetiaan tanpa batas, dan kemampuan untuk mempersatukan gejolak hati dengan kata-kata yang memberikan keberanian, harapan, dan penghiburan".<br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
<br />
<i>De Maria numquam satis!</i> Tentang Maria tak pernah cukup. Dari Maria selalu sesuatu bisa digali, bisa ditemukan. Itulah salah satu anggapan umum di gereja. Orang bisa mengetahui tentang Maria dari dogma, dari ajaran gereja, dari kehidupan umatnya. Tapi seni pun membuktikan, bahwa selalu ada rahasia dalam Maria, yang bisa diekspresikan dalam keindahan seni. Keindahan seni sering malah lebih membukakan kesan, betapa kaya kehidupan Maria itu.<br />
<br />
Semakin banyak lukisan tentang Maria di Galeri Accademia Venezia. Masing-masing berusaha menampilkan salah satu kesan yang ditangkap dari Maria. Salah satu lukisan gemilang tentang Maria adalah karya Giambattista Pittoni (1687-1767), yang menampilkan saat pewartaan kabar gembira oleh Tuhan lewat Malaikat Gabriel pada Maria.<br />
<br />
Dalam Injil, pewartaan kabar gembira itu memang menarik, tapi sering hanya memberikan kesan yang statis dan kurang dinamika. Dan dinamika inilah yang ditangkap oleh Pittoni yang kuasnya menggelapkan sebuah sisi, dan di sisi gelap inilah Maria berada. Malaikat datang, berwajah bidadari, sayapnya membentang, dan kegelapan pun berpijar dengan cahaya keemas-emasan. Awan emas menyapu kegelapan itu, dan bagaikan pusaran empat anak-anak kecil memutar dalam sapuan awan itu.<br />
<br />
Setitik putih dalam rupa burung merpati, menemani Malaikat mendekati Maria. Tubuh Maria miring ke arah kanan, dan tubuh sang malaikat miring ke arah kiri. Posisi berlawanan ini terbangun secara sangat simetris, sehingga menimbulkan kesan "gerak" dan "saat" kabar gembira itu merasuk ke dalam diri Maria, dan serentak mengangkat kesederhanaannya dalam keindahan sebuah gerak tari. Giambattista Pittoni telah membuat pewartaan kabar gembira itu bagaikan suatu balet.<br />
<br />
Tentu bukan maksud Pittoni "mensekularisasikan" tema religius itu. Ia hanya membayangkan bahwa momen pewartaan kabar gembira, di mana yang ilahi masuk ke dalam yang manusiawi itu, sebagai suatu ekstase rohani. Ekstase tak pernah bisa dilukiskan secara tepat. Dan Giambattista Pittoni menggambarkan ekstase itu bagaikan suatu tari balet. Dan inilah maksud Pittoni: betapapun sederhana Maria, ia menjadi indah dalam komposisi gerak lukisan yang bagaikan tarian balet itu.<br />
<br />
Maria indah dalam karya seni. Tapi tak ada rasanya seniman yang dapat menandingi kebesaran Michaelangelo dalam menampilkan keindahan diri Maria. Patung <i>Pieta</i>, karya genius Michaelangelo, yang sampai kini masih berada di Basilika Vatikan, menjadi saksi untuk itu. Tiap pengunjung basilika, kendati ia tak terlalu mengerti seni, tentu akan kagum sejenak melihat karya seniman zaman renaisance itu.<br />
<br />
Michaelangelo datang ke Roma pertama kali tahun 1496. Kendati saat itu namanya sudah terpandang, <i>Pieta</i>-lah yang kemudian mengantarkan keharuman namanya. Michaelangelo berusia 21 tahun. Ia telah membuat dua karya luar biasa, "Dewi Asmara yang tertidur" dan "Dewa Bachus yang mabuk". <br />
Kardinal Jean de Bilheres de Lagraulas sangat tertarik akan dua karya itu, dan ia ingin berkenalan dengan senimannya sendiri. De Lagraulas minta kepada Michaelangelo, agar ia membuat suatu patung <i>Pieta</i>. <i>Pieta</i> sudah cukup tersebar sebagai karya seni saat itu. <i>Pieta</i> pada pokoknya melukiskan Maria yang memangku jenasah Yesus, putranya, setelah peristiwa penyaliban.<br />
<br />
*****<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-yJa2_Qtg7u0/T4XIH5VZVoI/AAAAAAAACpU/dW_HSnTBF_I/s1600/pieta.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="182" width="200" src="http://4.bp.blogspot.com/-yJa2_Qtg7u0/T4XIH5VZVoI/AAAAAAAACpU/dW_HSnTBF_I/s200/pieta.jpg" /></a></div>Kardinal De Lagraulas akhirnya dapat berkenalan dengan Michaelangelo lewat perantaraan seorang pedagang bernama Japoco Galli. Pada kardinal, Japoco Galli bilang , bahwa Michaelangelo akan menyelesaikan karya itu dalam setahun, dan patung dari marmer itu akan menjadi patung terindah di Roma, serta tak ada karya seniman lain yang mampu menandingi karya Michaelangelo nanti.<br />
<br />
Kontrak ditandatangani, dan Michaelangelo mulai bekerja. Sayang De Lagraulas meninggal sebelum <i>Pieta</i> dari Michaelangelo selesai. Begitu <i>Pieta</i> dipasang, kekaguman mengalir dari mana-mana. Michaelangelo sendiri tak mengira, bahwa <i>Pieta</i>, ciptaannya, ternyata mengundang kekaguman luar biasa.<br />
<br />
Michaelangelo dengan <i>Pieta</i>nya melukiskan Maria sebagai gadis remaja, dengan wajah sederhana tapi jelita. Sementara lutut dan kaki gadis remaja ini dipahat sedemikian rupa, sehingga memberi kesan kekuatan yang luar biasa. Kekuatan kaki gadis remaja ini memungkinkan ia menyangga jenasah putranya setelah Ia diturunkan dari salib. Mayat Yesus dipahat dengan sangat realis, menderita, dewasa.<br />
<br />
Tubuh Maria dimiringkan ke kanan, menjorok ke dalam, dalam arah yang berlawanan dengan jenazah putranya. Komposisi arah yang berlawanan ini memungkinkan Maria yang menyangga putranya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menyerah pasrah. Betapa kokoh pangkuan gadis muda ini, meski di sana tersangga sesosok mayat yang sangat menderita.<br />
<br />
Maria adalah ibu Yesus. Tapi dalam <i>Pieta</i> Michaelangelo ia seperti <i>the daughter of the Son</i>, anak dari putranya. Seorang ibu menjadi anak putranya, justru ketika penderitaan mencapai puncaknya: kematian putranya. Wajah Maria adalah wajah yang jelita, dengan visi seorang bidadari. Wajah putranya adalah wajah manusia, yang menderita, kalah dan mati, kendati Dia diimani sebagai Tuhan yang menjelma di dunia.<br />
<br />
Saat itu Michaelangelo juga mendapat kecaman pedas dari para kritisi. Mengapa ia membuat kontras luar biasa antara sang ibu dan anaknya? Mengapa ia begitu tegam melukiskan seorang gadis remaja, berwajah jelita, menampilkan kesan tak bersalah seperti seorang bidadari, padahal di pangkuannya tergeletak jenazah putranya yang begitu menderita. Mengapa Michaelangelo sampai hati meletakkan seorang gadis tak bersalah dalam penderitaan yang begitu dahsyat? Dan masih lagi: mengapa gadis remaja tak bersalah itu mempunyai pangkuan yang begitu kokoh dan kuat di mana tersangga jenazah putranya?<br />
<br />
Kontras itulah yang memang justru ingin ditekankan oleh Michaelangelo. Maka ia menjawab kecaman para kritisi. Kata Michaelangelo, ia sungguh sengaja menekankan keremajaan, kejelitaan, dan kesegaran wajah sang ibu, yang mekar bagai bunga-bunga di musim semi.<br />
<br />
"Anak dari Putra" ini sebenarnya berasal dari puisi penyair Dante, <i>In Paradiso</i>. Michaelangelo memang sangat dipengaruhi oleh Dante, sekurang-kurangnya menurut Vassari. Dalam <i>In Paradiso</i>, Dante melukiskan saat terakhir ia memandang keilahian. Saat itu Beatrix, yang menyertai Dante menghilang. Dante tak mungkin lagi melukiskan keindahan Beatrix: Di sini puisiku mesti berhenti, tak mungkin lagi ia mengikuti keindahanmu, berhenti seperti setiap seniman di ujung tujuannya.<br />
<br />
<i>The Daughter of The Son</i> itu telah terpahat dalam <i>Pieta</i> Michaelangelo. "Anak dari Putra" itu terjelma dalam penderitaan <i>Pieta</i>. Dan dalam penderitaan bahkan kematian inilah Michaelangelo melukiskan dialog antara ibu dan anaknya. Dialog sungyi, diam tanpa kata, dialog antara yang hidup dan yang mati. <i>Pieta</i> memaparkan apakah nilai dan arti dari sebuah dialog yang sunyi.<br />
<br />
Mata Maria terpejam. Tapi seluruh wajahnya berbicara. Kesunyian dan ke-diam-an ini memampukan dia untuk meraba kedalaman tersembunyi, hakikat terdalam pribadi putranya. Pribadi seseorang tak dapat diraba lewat kata atau pernyataan, ia tersembunyi sangat dalam, ia adalah keintiman diri orang itu sendiri. Kata-kata hanya mendangkalkan kepribadian yang penuh rahasia itu. Hanya dengan "diam", "dialog" tanpa kata, yang dapat meraba kepribadian itu, karena di sinilah terjadi penyerahan diri kepada pribadi yang tak ia mengerti. Dan hal inilah yang dipahat secara dramatis oleh Michaelangelo dalam <i>Pieta</i>: dialog itu bisa terjadi, bahkan dialog ini dialog sejati, ketika Maria, kaya dengan seribu pengertian tapi terdiam dalam kata, memandang putranya di pangkuannya, yang sudah mati.<br />
<br />
*****<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-LX_aluG2LeY/T4XIhkBBN9I/AAAAAAAACpc/fkXsN1_Jq4M/s1600/PIETA-DI-SANTA-MARIA-DEL-FIORE-1547-55-FIRENZE-DUOMO.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="200" width="126" src="http://3.bp.blogspot.com/-LX_aluG2LeY/T4XIhkBBN9I/AAAAAAAACpc/fkXsN1_Jq4M/s200/PIETA-DI-SANTA-MARIA-DEL-FIORE-1547-55-FIRENZE-DUOMO.jpg" /></a></div>Mengapa kau tak mau berjaga? Tanya puisi Giovanni Strozzi kepada Michaelangelo, yang waktu itu habis menyelesaikan karyanya <i>Fajar di Pagi Hari</i>. Dan dalam puisi pula Michaelangelo menjawab pertanyaan Giovanni Strozzi:<br />
"Kusuka tidur, tapi lebih kusuka, jika aku jadi batu, sementara di luar derita dan celaka terjadi. Tak melihat, tak mendengar suatu apa, bagiku adalah hiburan luar biasa. Jangan bangunkan aku, bicaralah pelan dan diam..."<br />
<br />
Michaelangelo memang telah menciptakan pelbagai karya besar. Tapi sejak pengalamannya di Roma tak bisa lagi ia pisah dari <i>Pieta</i>. <i>Pieta</i> menuntun dia melacak corak dan garis seni yang khas bagi dirinya. <i>Pieta</i> pula yang menjadi tema di senja usianya. Kecuali <i>Pieta</i> di Roma, Michaelangelo mencipta di saat tuanya: <i>Pieta di Santa Maria del Fiore</i>, <i>Pieta da Palestriana</i>, dan <i>Pieta Rondanini</i>.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-1NHp9LZ7UAY/T4XIwfG4qmI/AAAAAAAACpo/TXL3yp2wnnc/s1600/pieta-da-palestrina.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="200" width="135" src="http://1.bp.blogspot.com/-1NHp9LZ7UAY/T4XIwfG4qmI/AAAAAAAACpo/TXL3yp2wnnc/s200/pieta-da-palestrina.jpg" /></a></div>Ketiga <i>Pieta</i> ini masih segaris dengan <i>Pieta</i> di Roma. Tapi dalam karyanya yang terakhir ini tak nampak lagi perpisahan antara teknik dan <i>spiritualitas</i> Michaelangelo, yang telah mencapai kematangannya. Malah serasa teknik itu tak mampu lagi mengungkapkan kematangan spiritualitas itu.<br />
<br />
Michaelangelo telah meraih segala kemampuan teknik zaman renaisance. Tak mungkin lagi ia diungguli. Setelah Michaelangelo, mau tak mau seni harus menatap medannya yang baru. Michaelangelo sudah menguras habis keampuhan zaman renaisance. Dan itu berarti ia telah memberi tempat baru bagi perkembangan seni selanjutnya. Di ujung kehebatan yang sekaligus "keterbatasannya" ini Michaelangelo memberi kenang-kenangan pada dunia ketiga patung <i>Pieta</i>.<br />
<br />
"Kini kulihat betapa palsu pikiranku tentang seni selama ini. Aku ditunggui oleh kematian ganda. Kematian yang pertama aku tahu pasti. Kematian yang kedua sedang mengancam aku. Tak ada lukisan, tak ada manusia, yang dapat menahan diri dari cinta Tuhan, yang merentang di kayu salib untuk menerima kita," kata Michaelangelo setelah ia menyelesaikan <i>Pieta Rondanini</i>, beberapa saat sebelum ia mati.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-6WkG2yPjSDc/T4XI898eAcI/AAAAAAAACp0/6-PspA48KMU/s1600/PIETA-RONDANINI-1552-64-MILANO-CASTELLO-SFORZESCO.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="200" width="97" src="http://1.bp.blogspot.com/-6WkG2yPjSDc/T4XI898eAcI/AAAAAAAACp0/6-PspA48KMU/s200/PIETA-RONDANINI-1552-64-MILANO-CASTELLO-SFORZESCO.jpg" /></a></div>Tak nampak "kecantikan" dalam <i>Pieta Rondanini</i>. Tak ada pemisahan lagi, mana yang ilahi, mana yang manusiawi, mana ibu mana putra. Guratan teknik pun tak bernafsu lagi untuk melukiskan wajah. <i>Pieta Rondanini</i> hanyalah ekspresi dari kesatuan Yesus dan Maria. Wajah mereka berdua melebur dalam penderitaan, tubuh mereka menyatu dalam kesunyian dan kesendirian. Tak ada kata yang dapat melukiskan rasa kedalaman seni besar itu yang mencapai kematangan spiritualitasnya dalam <i>Pieta</i>, kecuali mungkin kata-kata Dante ini: kata dan bahasaku jadi makin miskin, apa yang kutahu, kuketahui seperti anak kecil, yang memainkan lidahnya pada buah dada ibunya.<br />
<br />
Tulisan diambil dari "Perayaan Nasional Penutupan Tahun Maria 1988"<br />
<br />
(Ditulis oleh Sindhunata, Kompas, 6 Februari 1988) <br />
</span><br />Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-13270496153973840202012-04-11T21:41:00.001+07:002012-05-01T15:02:45.706+07:00Masa Kecil Maria<blockquote>Protoevangelium Santo Yakobus merupakan sumber cerita-cerita mengenai Maria yang tidak tertulis dalam Injil.</blockquote><br />
Liturgi Katolik, seniman dan penulis sering mengemukakan peristiwa mengenai Maria yang tidak ditulis dalam Injil. Misalnya Gereja menghormati Santa Anna dan Santo Yoakim sebagai orang tua Maria, merayakan pesta Maria dipersembahkan dalam kenisah pada usia tiga tahun. Pelukis-pelukis Katolik sering menggambarkan Maria sedang memintal benang ketika mendapat berita dari malaikat Gabriel. Dari mana diperoleh data-data semacam ini?<br />
<span class="fullpost"><br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
Jawabannya diperoleh dalam sebuah buku bahasa Yunani sekitar tahun 150. Penulisnya kurang jelas dari Mesir atau Syria. Namanya Protoevangelium Yakobus atau Cerita Yakobus mengenai kelahiran Maria.<br />
<br />
Buku ini termasuk apokrip dengan isinya campuran antara dongeng, cerita dan tradisi. Buku apokrip tidak diakui sebagai Injil tetapi Protoevangelium Yakobus diinilai oleh ahli Kitab Suci berkebangsaan Perancis Henri Daniel Rops sebagai buku yang patut diperhitungkan di antara buku-buku apokrip karena isinya yang begitu serius dan mengandung devosi yang mendalam. Ia menilai buku ini: “sangat dekat dengan tulisan-tulisan kanonik”. Boleh dikatakan satu dari mutiara tulisan-tulisan apokrip.<br />
<br />
Masa kecil Maria dengan sengaja ditulis untuk melawan tulisan-tulisan yang menyerang keperawanan Maria. Penulis menggunakan Injil, Perjanjian Lama dan tradisi-tradisi pada masa itu.<br />
<br />
Sebagian dari isi buku itu dapat dikemukakan di bawah ini. Nomor dibelakangnya adalah nomor bab dan ayat dalam buku ini.<br />
<br />
Yoakim dan Anna adalah pasangan kaya, mandul dan berdoa dengan tekun untuk mendapat anak (1-3).<br />
Keduanya mendapat penampakan dari malaikat yang mengatakan mereka akan mendapat seorang anak (4).<br />
Anna melahirkan seorang anak bernama Maria (5).<br />
Orang tua itu berikrar mempersembahkan Maria kepada Tuhan dalam Kenisah (6).<br />
Maria dipersembahkan dalam Kenisah pada usia tiga tahun dan mempesonakan setiap orang dengan menari (7).<br />
Ketika Maria genap 12 tahun, imam-imam diminta oleh Tuhan untuk mencarikan seorang duda untuk dijadikan suaminya dan menunggu sebuah tanda dari Tuhan. Tanda itu jatuh pada Yosef, seorang pria tua yang anak-anaknya sudah dewasa: seekor merpati terbang dari sambuknya dan bertengger di kepalanya(8).<br />
Agak segan (karena usianya) Yosef menjadi tunangan Maria dan menerimanya dalam rumahnya. Ia kemudian pergi membangun rumah-rumah (9).<br />
Maria dipilih oleh imam-imam untuk menenun selubung Kenisah Tuhan karena ia berasal dari Rumah David dan seorang perawan. Ia membawa kain ke rumahnya (10).<br />
Maria pergi mengambil air dan mendengar bagian pertama dari pesan malaikat yang ditulis dalam Injil Lukas tetapi tidak nampak orangnya dan pergi ke rumah. Ia mulai memintal dan mendengar lagi malaikat menyampaikan pesan inkarnasi: “Jangan takut, Maria....” (11).<br />
Maria menyelesaikan tenunannya dan imam agung menyebutnya terberkati di antara semua wanita (12).<br />
Maria mengunjungi Elisabet, sepupunya dan ceritanya dapat dibaca dalam Injil Lukas, kecuali Maria tidak mengucapkan “Magnificat” (12).<br />
Ketika kandungan Maria 6 bulan, Yosef pulang dan mengetahui Maria mengandung. Ia menghibur Maria dan menanyakan sebab dari kejadian itu. Maria mengatakan ia tidak tahu bagaimana hal itu terjadi (13).<br />
Pada bagian berikutnya Yosef bimbang dan berniat mengembalikan Maria ke orang tuanya secara diam-diam untuk mengurangi resiko (14).<br />
Yosef dalam mimpi (penampakan) diberitahu bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus dan anak itu akan menyelamatkan manusia dari dosa mereka. Yosef berterima kasih kepada Allah dan melindungi Maria (14).<br />
Anna ketika mengetahui Maria mengandung, menuduh Yosef mengingkari janjinya. Ketika Maria dan Yosef mengatakan mereka tidak bersalah, mereka disuruh minum air sumpah oleh imam agung. Mereka minum tapi tidak menimbulkan efek negatif. Dan dengan demikian mereka membuktikan diri tidak bersalah (15-16).<br />
Maria dan Yosef pergi ke Betlehem sesuai dengan perintah Agustus. Maria duduk di atas keledai selama perjalanan tiga mil ke Betlehem; dan tibalah saat melahirkan bagi Maria. Yosef menempatkan Maria di sebuah gua dijaga anak-anaknya, ia sendiri mencari bidan (17-18)<br />
Pada bagian ini tokoh cerita diganti dari orang ketiga menjadi orang pertama, Yosef sebagai pembicara (18-19).<br />
Kembali membawa bidan, Yosef melihat sebuah awan menyelubungi gua dan sebuah cahaya muncul. Dari dalamnya keluar seorang anak. Bidan menjadi saksi keperawanan Maria (20).<br />
Tiga raja dipimpin oleh sebuah bintang datang untuk melihat raja baru menghadap Herodes, menerima informasi dan mengikuti bintang ke gua: Mereka menemukan kanak-kana dan Maria dan mempersembahkan emas dupa dan mur (21).<br />
Herodes memerintahkan pembunuhan semua anak di bawah dua tahun. Maria membungkus kanak Yesus dan menyembunyikanNYa dalam palungan (22).<br />
Yohanes Pembaptis luput dari kematian secara ajaib tapi ayahnya Zakarias dibunuh sedadu-serdadu Herodes. Simeon dipilih menggantikan Zakarias sebagai imam Kenisah dan berjanji ia tidak akan mati sebelum melihat Mesias (23-24).<br />
Penulis menyebut dirinya Yakobus Rasul anak Alphaeus dan memberi berkat kepada semua pengikut Kristus (25).<br />
<br />
Bila buku ini dibaca dengan teliti, kita akan menemukan beberapa informasi penting mengenai kehidupan orang beriman pada awal Gereja. Yang menonjol dalam cerita-cerita Protoevangeium Yakobus ini ialah Gereja dari awalnya memberi perhatian besar terhadap Maria dan menghormatinya. Suatu bukti bagaimana orang beriman menempatkan Maria dalam kehidupan umat purba. <br />
<br />
<blockquote>Tulisan diambil dari "Perayaan Nasional Penutupan Tahun Maria 1988".<br />
<br />
(Penulis: Maria Husni CD – dimuat di majalah Hidup, 2 Agustus 1987).</blockquote></span><br />Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-26057046210610395552011-12-08T15:03:00.000+07:002012-05-01T09:21:13.016+07:00Yang Dikandung Tanpa Dosa (Immaculate Conception)<blockquote>8 DESEMBER : HR SP MARIA DIKANDUNG TANPA DOSA<br />
<br />
<span class="Apple-style-span" >"Akulah Yang Dikandung Tanpa Dosa"<br />
"Que Soy Era Immaculada Conceptiou"<br />
"I Am The Immaculate Conception"<br />
<br />
<span style="font-style:italic;">Pesan Bunda Maria dalam suatu penampakan kepada St. Bernadette</span></span></blockquote><br />
<br />
Salah satu hal yang khas yang membedakan kita, umat Katolik, dari saudara-saudari kita yang Protestan adalah cinta dan penghormatan yang kita persembahkan kepada Bunda Yesus. Kita percaya bahwa Maria, sebagai Bunda Allah, sudah selayaknya memperoleh penghormatan, devosi dan penghargaan yang sangat tinggi. Salah satu dogma (dogma = ajaran resmi gereja yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan Paus) Gereja Katolik mengenai Bunda Maria adalah Dogma Dikandung Tanpa Dosa. Pestanya dirayakan setiap tanggal 8 Desember. Masih banyak orang Katolik yang belum paham benar mengenai dogma ini. Jika kalian bertanya kepada beberapa orang Katolik, "Apa itu Dogma Dikandung Tanpa Dosa?", maka sebagian besar dari mereka akan menjawab, "Yaitu bahwa Yesus dikandung dalam rahim Santa Perawan Maria tanpa dosa, atau tanpa seorang bapa manusia." Jawaban demikian adalah jawaban yang salah yang perlu dibetulkan. Ya, tentu saja Yesus dikandung tanpa dosa karena Ia adalah Allah Manusia. Tetapi Dikandung Tanpa Dosa adalah dogma yang menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung dalam rahim ibunya, Santa Anna, tanpa dosa asal. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang dianugerahi karunia ini. Bunda Maria memperoleh keistimewaan ini karena ia akan menjadi bejana yang kudus dimana Yesus, Putera Allah, akan masuk ke dunia melaluinya. Oleh karena itu, Bunda Maria sendiri harus dihindarkan dari dosa asal. Sejak dari awal mula kehadirannya, Bunda Maria senantiasa kudus dan suci - betul-betul"penuh rahmat". Kita menggunakan kata-kata ini ketika kita menyapa Maria dalam doa Salam Maria, tetapi banyak orang yang tidak meluangkan waktu untuk memikirkan apa arti sebenarnya kata-kata ini. Ketika Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Bunda Maria untuk menyampaikan kabar sukacita, dialah yang pertama kali menyapa Maria dengan gelarnya yang penting ini,<span class="fullpost"><br />
<span style="font-weight:bold;">Lukas 1:28 "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau."</span><br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
Kata-kata "penuh rahmat" ketika diterjemahkan dari teks bahasa Yunani, sesungguhnya digunakan sebagai nama yang tepat untuk menyapa Maria. Istilah Yunani yang digunakan menunjukkan bahwa Maria dalam keadaan penuh rahmat atau dalam keadaan rahmat yang sempurna sejak dari ia dikandung sampai sepanjang hayatnya di dunia. Bukankah masuk akal jika Tuhan menghendaki suatu bejana yang kudus, yang tidak bernoda dosa untuk mengandung Putera-Nya yang Tunggal? Bagaimana pun juga, Yesus, ketika hidup di dalam rahim Maria, tumbuh dan berkembang sama seperti bayi-bayi lainnya tumbuh dan berkembang dalam rahim ibu mereka masing-masing. Ia menerima darah Maria dan menerima makanan untuk pertumbuhan-Nya dari tubuh Maria sendiri.<br />
<br />
Sebagian kaum Protestan menolak dogma ini dengan mengatakan bahwa Maria berbicara tentang "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku." Mengapa Maria memerlukan seorang Juruselamat, tanya mereka, jika ia tanpa noda dosa? Gereja mengajarkan bahwa karena Maria adalah keturunan Adam, maka menurut kodratnya ia mewarisi dosa asal. Hanya oleh karena campur tangan Allah dalam masalah yang unik ini, Maria dibebaskan dari dosa asal. Jadi, sesungguhnya Maria diselamatkan oleh rahmat Kristus, tetapi dengan cara yang sangat istimewa. Rahmat tersebut dilimpahkan ke atasnya sebelum ia dikandung dalam rahim ibunya.<br />
<br />
Kaum Protestan juga akan menyanggah dengan mengatakan bahwa dogma ini tidak sesuai dengan ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa "semua orang telah berbuat dosa" (Roma 3:23). Namun demikian, jika kita mempelajari masalah ini dengan sungguh-sungguh, kita akan menemukan beberapa pengecualian. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa meskipun semua orang telah berbuat dosa, Yesus yang adalah sungguh-sungguh manusia tidak berbuat dosa. Logis jika kita melanjutkannya dengan mengatakan bahwa Maria juga tidak berdosa dan dihindarkan dari dosa asal agar ia dapat tetap senantiasa menjadi bejana yang kudus untuk mengandung bayi Yesus.<br />
<br />
Secara sederhana Dogma Dikandung Tanpa Dosa dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />
Seperti kita ketahui, Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Tuhan memberikan kepada mereka apa saja yang mereka inginkan di Firdaus, Taman Eden. Tetapi Allah berfirman bahwa mereka tidak diperbolehkan makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Lucifer, raja iblis, datang kepada mereka dan membujuk mereka makan buah pohon tersebut. Adam dan Hawa memakan buah itu; mereka tidak taat kepada Tuhan dan karenanya mereka diusir dari Firdaus. Oleh karena dosa pertama itu, semua manusia yang dilahirkan sesudah Adam dan Hawa mewarisi apa yang disebut "dosa asal". Itulah sebabnya, ketika seorang bayi lahir, ia segera dibaptis supaya dosa asal itu dibersihan dari jiwanya sehingga ia menjadi kudus dan suci, menjadi anak Allah.<br />
<br />
Ketika Tuhan hendak mengutus Putera-Nya, Yesus, ke dunia untuk menyelamatkan kita, Tuhan memerlukan kesediaan seorang perempuan yang kudus untuk mengandung Yesus dalam rahimnya. Tuhan memutuskan bahwa perempuan ini harus dibebaskan dari dosa asal Adam dan Hawa. Ia juga memutuskan bahwa perempuan ini haruslah seseorang yang istimewa serta amat suci dan kudus. Sama halnya seperti jika kalian mempunyai satu termos air jeruk segar, maka kalian tidak akan menuangkannya ke dalam gelas yang kotor untuk meminumnya, ya kan? Kalian akan menuangkan air jeruk segar itu ke dalam gelas yang bersih untuk meminumnya. Demikian juga Tuhan tidak ingin Putera Tunggal-Nya itu ditempatkan dalam rahim seorang perempuan berdosa. Oleh karena itulah, Tuhan membebaskan Maria dari dosa asal sejak Maria hadir dalam rahim ibunya, yaitu Santa Anna. Inilah yang disebut Dogma Dikandung Tanpa Dosa - memang suatu istilah yang sulit, tetapi artinya ialah Maria tidak mewarisi dosa Adam dan Hawa, sehingga Maria dapat menjadi seorang bunda yang kudus yang mengandung Yesus dalam rahimnya."<br />
<br />
<br />
Sumber : “In Defense of the Blessed Virgin Mary”; www.qni.com/~catholic/defense.htm<br />
Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”</span><br />Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-44649720398827947722011-07-17T22:29:00.000+07:002012-04-23T19:07:41.127+07:00Santa Perawan Maria dari La Vang<div style="text-align: justify;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-tFCjga6HlDk/TiMBk9xhtZI/AAAAAAAACe0/L_UkZ0NkNuU/s1600/bunda%2Bmaria%2Bdari%2Bla%2Bvang.gif" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-tFCjga6HlDk/TiMBk9xhtZI/AAAAAAAACe0/L_UkZ0NkNuU/s200/bunda%2Bmaria%2Bdari%2Bla%2Bvang.gif" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5630345693712463250" /></a>Para misionaris Katolik pertama tiba di Vietnam pada tahun 1553. Beberapa tahun kemudian, telah terdapat lebih dari seratus ribu umat Katolik di bumi Vietnam. Seminari-seminari didirikan dan pada tahun 1668, dua imam pribumi ditahbiskan. Selanjutnya, kelompok religius perempuan dibentuk pada tahun 1670.<br />
<br />
Santa Perawan Maria dari La Vang pertama kali menampakkan diri kepada kaum beriman di Vietnam pada tahun 1798. Ini adalah tahun ketika Raja Canh 'Minh menerbitkan maklumat anti-Katolik dan mengeluarkan perintah untuk membumi-hanguskan semua gereja dan seminari Katolik. Di tengah penganiayaan dahsyat ini, yang berlangsung antara tahun 1798-1801, banyak umat Katolik pergi mengungsi ke hutan belantara La Vang, dekat dusun Quang Tri, di Vietnam tengah. Mereka hidup sengsara karena cuaca yang dingin menggigit, serangan binatang buas, aneka rupa penyakit oleh sebab tinggal di alam liar dan menderita kelaparan. Meski demikian, mereka tetap bertekun dalam iman. Pada malam hari, mereka biasa berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil untuk mendaraskan rosario dan berdoa bersama.<br />
<br />
Sekonyong-konyong, suatu malam sementara berdoa bersama, mereka dikunjungi oleh suatu penampakan seorang perempuan yang sangat cantik dalam lingkupan cahaya. <span class="fullpost">Perempuan ini mengenakan áo dài - gaun tradisional Vietnam - dan menggendong seorang Kanak-kanak dalam buaiannya, dengan disertai dua malaikat di masing-masing sisinya. Ia menghadirkan diri sebagai Bunda Allah yang datang untuk menyemangati dan menghibur mereka, serta memberikan kepada mereka suatu tanda istimewa akan kasih pemeliharaannya. Orang banyak segera mengenalinya sebagai Bunda Maria. Bunda Maria menyuruh mereka merebus sejenis daun pakis yang banyak tumbuh di sekitar sana untuk dipergunakan sebagai obat. Santa Perawan juga mengatakan bahwa sejak dari saat itu, mereka semua yang datang ke tempat itu untuk berdoa, doa-doanya akan didengarkan dan dikabulkan. Peristiwa ini terjadi di padang rumput dekat pohon banyan tua besar di mana para pengungsi berdoa bersama. Mereka semua yang hadir menyaksikan fenomena ajaib ini.<br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
Bunda Maria menampakkan diri beberapa kali di tempat yang sama ini. Sesudah masa penganiayaan berakhir, pada tahun 1802, umat Kristiani meninggalkan hutan tempat persembunyian mereka dan kembali ke dusun-dusun mereka. Berita mengenai penampakan dan pesan-pesannya mereka bawa serta dan sebarluaskan hingga ke tempat-tempat lain.<br />
<br />
Pada tahun 1820, sebuah kapel dari jerami didirikan di tempat terjadinya penampakan. Kendati lokasinya yang terpencil di pegunungan tinggi, kelompok-kelompok orang terus berdatangan mencari jalan menembus hutan belantara yang berbahaya untuk berdoa kepada Santa Perawan Maria dari La Vang. Lambat-laun, para peziarah yang datang dengan kapak, tombak, tongkat dan drum untuk menakut-nakuti binatang buas digantikan oleh para peziarah yang datang dengan panji-panji, aneka bunga dan rosario.<br />
<br />
Pada tahun 1820-1885 terjadilah lagi penganiayaan dan pembantaian dahsyat terhadap umat Kristiani. Lebih dari 100.000 orang wafat sebagai martir. Pada tahun 1885 kapel Santa Perawan Maria dari La Vang dihancur-luluhkan.<br />
<br />
Setelah penganiayaan secara resmi berakhir, Uskup Gaspar memerintahkan agar sebuah gereja didirikan demi menghormati Santa Perawan dari La Vang. Pembangunan dimulai pada tahun 1886, namun karena lokasinya yang sulit dan dana yang terbatas, diperlukan limabelas tahun lamanya untuk menyelesaikan Gereja La Vang. Gereja baru ini pada akhirnya selesai dan ditahbiskan oleh Uskup Gaspar dalam suatu upacara khidmad dengan lebih dari 12.0000 umat ikut ambil bagian di dalamnya yang berlangsung dari tanggal 6 hingga 8 Agustus 1901. Uskup memaklumkan Santa Perawan dari La Vang sebagai Perlindungan Umat Kristen. Pada tahun 1928, sebuah gereja yang lebih besar dikonsekrasikan guna menampung jumlah peziarah yang semakin bertambah.<br />
<br />
Penampakan Santa Perawan Maria dari La Vang semakin mendapatkan perhatian dengan banyak disahkannya kesaksian orang-orang yang doanya dikabulkan dan mukjizat penyembuhan yang terjadi di sana. Pada bulan April 1961, Konferensi Waligereja Vietnam memilih Gereja La Vang - terletak sekitar 60 km dari kota Hue yang sebelumnya adalah ibukota dari Vietnam - sebagai tempat ziarah nasional demi menghormati Santa Perawan Maria yang Tak Bernoda. Pada tanggal 22 Agustus 1961, Paus Yohanes XXIII menaikkan status Gereja La Vang menjadi Basilika Minor La Vang. Sayang, semua bangunan yang ada kemudian dihancurkan pada musim panas tahun 1972 dalam perang saudara Vietnam antara Utara dan Selatan.<br />
<br />
Pada tanggal 19 Juni 1988, Paus Yohanes Paulus II dalam upacara kanonisasi 117 martir Vietnam, secara publik memaklumkan pentingnya peran Santa Perawan Maria dari La Vang dan mengungkapkan kerinduan untuk dibangunnya kembali Basilika La Vang dalam rangka memperingati 200 tahun peringatan penampakan pertama Santa Perawan Maria dari La Vang yang jatuh pada bulan Agustus 1998.<br />
Tempat ziarah La Vang direnovasi pada tahun 2008.<br />
<br />
Disarikan dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”</div></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-55420590962416458582011-07-10T14:16:00.000+07:002012-04-23T19:11:03.315+07:00Santa Maria dari CzestochowaIkon Bunda Maria yang mukjijat dari <b>Czestochowa, Polandia</b><br />
<br />
Asal usul tepatnya dari ikon yang mukjijat ini tidak diketahui, akan tetapi ada cerita yang menarik yang telah berlangsung sepanjang jaman. Dikatakan bahwa setelah peristiwa penyaliban Yesus, ketika Rasul Yohanes membawa Bunda Maria ke rumahnya, Bunda Maria membawa sedikit milik pribadinya, diantaranya adalah meja yang dibuat Yesus di bengkel kayu ayahnya St.Yusuf. Ketika para wanita saleh dari Yerusalem berhasil mendesak St.Lukas untuk melukis gambar sang Bunda Allah, lukisan ini dulunya ditaruh di atas meja tersebut. Ketika sedang meluskis, St.Lukas menyimak baik-baik cerita sang bunda tentang hidup Puteranya, beberapa hal yang nantinya dituliskannya dalam Injilnya.<br />
<br />
Legenda juga mengatakan bahwa lukisan itu tetap berada di seputar wilayah Yerusalem sampai ditemukan nantinya oleh St.Helena di abad ke empat. Bersama-sama dengan relikwi yang kudus lainnya, lukisan itu dikirim ke Konstantinopel dimana puteranya, Kaisar Konstantinus Agung membangun sebuah gereja untuk mentahtakan lukisan tersebut.<br />
<br />
Para penduduk menghormati lukisan sang Bunda bersama Puteranya tersebut. Sejarah mencatat bahwa selama pengepungan kota oleh kaum Saracen, para senator dan warga kota membawa ikon tersebut dalam suatu prosesi sepanjang jalan. Diceritakan bahwa ketika ikon tersebut sedang diarak keliling kota, kaum Saracen melarikan diri.<br />
<br />
Kemudian pada masa pemerintahan Kaisar Izauryn, dia sangat tidak menyukai benda-benda religius dan membakar banyak diantaranya. Lukisan itu berhasil diselamatkan oleh istrinya, Permaisuri Irene. Dengan cerdik, lukisan itu disembunyikannya di istana kaisar sehingga luput dari pencarian orang-orang suruhan kaisar.<span class="fullpost"><br />
<br />
Lukisan itu tetap berada di Konstantinopel selama 500 tahun, sampai sempat berkali-kali dijadikan mas kawin mempelai wanita dan akhirnya terbawa ke Russia dan wilayah Russia yang nantinya menjadi Polandia.<br />
<br />
Setelah lukisan itu menjadi hak milik seorang pangeran Polandia, Santo Ladislaus, di abad ke-15, lukisan itu dipasang di sebuah ruangan di kastilnya di Belz. Tidak lama sesudahnya ketika kastil itu dikepung oleh orang-orang Tartar, sebuah panah musuh memasuki kapel melalui jendela yang mengenai lukisan tersebut dan meninggalkan goresan di bagian leher Sang Perawan. Goresan itu masih nampak hingga saat ini meskipun sudah beberapa kali diusahakan untuk diperbaiki.<br />
<br />
Para penulis juga menceritakan bahwa Santo Ladislaus memutuskan untuk menyelamatkan lukisan tersebut dari ancaman invasi orang-orang Tartar dengan membawanya ke Opala, kota kelahirannya yang lebih aman. Perjalanan ini membawanya melalui kota Czestochowa dimana dia memutuskan untuk beristirahat barang semalam. Selama perhentian ini lukisan itu dibawa ke tempat yang disebut Jasna Gora, yang artinya "Bukit Terang". Disana lukisan itu diletakkan di dalam suatu gereja kecil yang dinamakan peristiwa Maria diangkat ke surga. Pagi hari berikutnya setelah lukisan itu ditaruh dengan hati-hati diatas kereta kuda, kuda-kudanya tidak mau bergerak. Santo Ladislaus percaya bahwa ini adalah suatu tanda dari surga bahwa ikon tersebut harus tetap berada di Czestochowa. Dia membawa ikon itu dengan khidmat kembali ke gereja Maria diangkat ke surga. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 Agustus 1382 dan hingga sekarang masih dirayakan sebagai hari raya ikon Maria tersebut. Sejak itu Santo Ladislaus meminta supaya ikon itu dijaga oleh orang-orang saleh dan dia memerintahkan dibangunnya sebuah gereja dan biara bagi para imam-imam Paulus, yang dengan penuh dedikasi memelihara lukisan tersebut selama enam ratus tahun berikutnya.<br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
Meskipun selamat dari angkara murka Kaisar Izauryn dan dicelakai oleh panah orang Tartar, ikon ini kembali mendapat ancaman penghancuran dari orang-orang Hussite yang mengikuti ajaran bidaah. Mereka menyerang biara para imam Paulus di tahun 1430 dan panti imam yang penuh dengan dekorasi yang indahpun dihancurkan oleh mereka. Diantara benda-benda yang dirampok adalah ikon Bunda Maria. Setelah menaruhnya di atas kereta mereka, kuda-kuda mereka hanya bergerak sedikit dan lantas tidak mau bergerak maju. Teringat pada insiden yang sama yang terjadi pada Pangeran Ladislaus sekitar 50 tahun yang lalu dan menyadari bahwa lukisan inilah penyebabnya, para penganut bidaah tersebut membuang ikon itu ke tanah. Lukisan itu pecah menjadi tiga bagian. Salah satu perampok mengayunkan pedangnya dan menghantam ikon tersebut dan menyebabkan dua goresan yang dalam. Ketika ia akan menghantam untuk ketiga kalinya, diapun jatuh ke tanah dan meregang nyawa dengan penuh derita hingga wafat.<br />
<br />
Dua goresan dalam di bagian pipi Sang Perawan, berikut goresan sebelumnya di bagian leher, selalu muncul kembali meskipun telah berulang kali diperbaiki.<br />
<br />
Ikon tersebut kembali menghadapi bahaya kehancuran di tahun 1655. Pada saat itu 12.000 gerombolan orang Swedia menyerbu tempat ziarah yang dipertahankan oleh 300 orang. Meskipun jumlah mereka jauh kalah banyak, namun dengan mukjijat mereka dapat mengalahkan pihak penyerbu. Setahun sesudahnya, Sang Perawan Suci dinyatakan sebagai Ratu Polandia.<br />
<br />
Pada tanggal 14 September 1920 ketika balatentara Rusia menggerombol di tepi sungai Vistula dan bersiap-siap untuk menyerbu Warsawa, rakyat setempat meminta pertolongan Bunda Maria. Sehari sesudahnya yaitu pada hari pesta Bunda Sengsara, balatentara Russia menarik diri segera setelah melihat rupa Bunda Maria yang muncul di atas awan-awan di atas kota. Dalam sejarah Polandia peristiwa kemenangan ini dikenal dengan sebutan Mukjijat di Vistula.<br />
<br />
Tidak seperti balatentara Russi yang gagal menaklukan kota, orang Jerman ternyata berhasil menyerbu dan menaklukan Polandia. Setelah mereka menguasai kota Warsawa, salah satu perintah Hitler adalah larangan berziarah. Dalam suatu demonstrasi cinta mereka kepada Bunda Maria dan kepercayaan mereka akan perlindungan beliau, setengah juta warga Polandia secara rahasia berziarah ke Czestochowa melanggar perintah Hitler. Segera setelah negara Polandia dibebaskan dari penjajahan Jerman di tahun 1945, satu setengah juta warga Polandia menyatakan rasa terima kasih mereka kepada Bunda Maria dengan berdoa di depan ikon yang mukjijat tersebut.<br />
<br />
Dua puluh delapan tahun setelah usaha orang Russia yang gagal menaklukan kota, mereka berhasil menguasai Polandia di tahun 1948. Selama tahun tersebut 800.000 umat dengan berani berziarah ke Czestochowa pada hari pesta Maria diangkat ke surga, yaitu satu diantara tiga hari raya ikon tersebut dirayakan, meskipun mereka berada dibawah sorotan para serdadu-serdadu komunis yang secara rutin berpatroli di jalan-jalan. Sekarang, orang-orang masih terus menghormati ikon Bunda Maria dan Kanak-kanak Yesus yang mereka kasihi, terutama pada tanggal 26 Agustus, hari yang telah ditetapkan sebagai hari rayanya sejak jaman Pangeran Ladislaus.<br />
<br />
Karena kedua tangan dan wajah Bunda Maria telah menjadi kehitaman, ikon tersebut juga dikenal dengan sebutan akrab Madonna Hitam. Gelapnya wajah dan tangan ikon tersebut disebabkan oleh berbagai kondisi, salah satu diantaranya adalah umur lukisan tersebut. Selama kurun waktu yang lama, lukisan itu disimpan di berbagai tempat demi keamanan yang jauh dari kondisi ideal untuk perawatannya. Lebih jauh lagi, tidak terhitung banyaknya lilin yang dibakar di depan lukisan tersebut sehingga lukisan itu selalu diekspos terus menerus dengan asap lilin. Akhirnya, lukisan itu dibawa kesana kemari tak terhitung kali banyaknya sehingga kerusakanpun tak terhindari lagi.<br />
<br />
Tanpa bingkai, lukisan itu kira-kira tingginya 48cm dan lebarnya 33cm dan hampir 1.5cm tebalnya. Seberkas kain yang direntangkan di sisi sebaliknya memperlihatkan adegan-adegan dan desain yang menceritakan sejarah lukisan dan beberapa diantara mukjijat yang terjadi karena perantaraan Bunda Maria lewat lukisan ini.<br />
<br />
Mukjijat-mukjijat yang dinyatakan terjadi lewat ikon yang mukjijat ini sangat banyak dan spektakuler. Kesaksian-kesaksian asli dari penyembuhan dan mukjijat yang terjadi, disimpan di arsip para imam-imam Paulus di Jasna Gora.<br />
<br />
Pengakuan Sri Paus terhadap ikon mukjijat ini dilakukan oleh Paus Klemen XI pada tahun 1717. Mahkota yang diberikan kepada lukisan tersebut oleh Sri Paus digunakan dalam peristiwa pemahkotaan resmi pertama lukisan tersebut, tetapi simbol derajat keratuan Bunda Maria ini sayangnya dicuri pada tahun 1909. Mahkota itu lantas digantikan dengan mahkota emas yang ditaburi batu permata, hadiah dari Sri Paus Pius X.<br />
<br />
Diantara para pengunjung tingkat tinggi ke Czestochowa adalah raja Polandia, Jan Casimir yang melakukan perjalan ke sana pada tahun 1656. Setelah meletakan mahkotanya sendiri di kaki altar Bunda Maria, sang raja berkaul, "Aku, Jan Casimir, Raja Polandia, mengambil engkau sebagai Ratu dan Pelindung kerajaanku; Aku meletakan rakyatku dan balatentaraku dibawah perlindunganmu." Tanggal 3 Mei dimana kaul ini diucapkan, didedikasikan oleh Paus Pius IX sebagai pesta Bunda Maria dibawa titel "Ratu Polandia".<br />
<br />
Pada jaman modern, Paus Yohanes Paulus II, putera asli Polandia, berdoa di hadapan ikon Bunda Maria pada kunjungan historisnya di tahun 1979, beberapa bulan setelah pengangkatannya sebagai penerus Tahta Petrus. Sri Paus kembali berkunjung ke Czestochowa pada tahun 1983 dan juga tahun 1991. Film Ocean of Mercy juga menyebutkan bahwa tiga orang kudus dari Polandia, Santa Faustina yang terkenal dengan devosi Koronka (Kerahiman Ilahi), Santo Maximilian Kolbe yang mendirikan apostolat Milisi Imakulata, bahkan Karol Wojtyla (Paus Yohanes Paulus II) pada masa mudanya, pernah berziarah ke Santa Maria dari Czestochowa ini.<br />
<br />
Santa Maria dari Czestochowa, doakanlah kami...<br />
<br />
Sumber: <a href="http://www.gerejakatolik.net/devosi/czestochowa.htm" target="_blank">Gereja Katolik</a></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-88828556845614946382011-03-24T23:50:00.000+07:002012-04-23T19:13:44.007+07:00Maria dalam Injil<div style="text-align: justify;">Ada suatu ayat dalam Injil yang mungkin membuat sebagian besar dari kita terperanjat, sehingga diperlukan penjelasan. Ketika Yesus sedang berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.” (Luk 11:27). <br />
<br />
Yesus membenarkan, tetapi bukannya tinggal dalam pujian perempuan ini, Ia lalu mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Yesus berbicara tentang kebahagiaan yang lebih besar. Kata-Nya, “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.”<br />
<br />
Sekarang, perkataan Yesus ini perlu kita pahami dengan baik, sebab banyak orang yang sekarang ini beranggapan bahwa perkataan tersebut dimaksudkan untuk merendahkan kemuliaan dan kebahagiaan Santa Perawan Maria Tersuci; seolah-olah Yesus telah mengatakan, “Bunda-Ku berbahagia, tetapi hamba-hamba-Ku yang sejati lebih berbahagia daripadanya.”<br />
<br />
Oleh sebab itu, aku akan menyampaikan sedikit komentar atas ayat ini, dan dengan ketepatan yang sepantasnya, sebab kita baru saja melewatkan pesta Bunda Maria, hari raya di mana kita mengenangkan Kabar Sukacita, yaitu, kunjungan Malaikat Gabriel kepadanya, dan perkandungan ajaib Putra Allah, Tuhan dan Juruselamatnya, dalam rahimnya.<br />
<br />
Sekarang, sedikit penjelasan saja sudah akan cukup untuk menunjukkan bahwa perkataan Kristus bukanlah untuk meremehkan martabat dan kemuliaan Bunda-Nya, sebagai yang paling unggul dari antara ciptaan dan Ratu dari Semua Orang Kudus.<br />
<br />
Renungkanlah, Ia mengatakan bahwa lebih berbahagia melakukan perintah-Nya daripada menjadi Bunda-Nya, dan apakah kalian pikir bahwa Bunda Allah yang Tersuci tidak melakukan perintah-perintah Allah? Tentu saja tak seorang pun - bahkan seorang Protestan sekalipun - dapat menyangkal bahwa ia melakukannya.<br />
<br />
Jadi, jika demikian, apa yang dikatakan Kristus adalah bahwa Santa Perawan lebih berbahagia karena ia melakukan perintah-perintah-Nya daripada karena ia menjadi Bunda-Nya. Dan apakah orang Katolik menyangkal hal ini? Sebaliknya, kita semua mengakuinya. Segenap umat Katolik mengakuinya. Para Bapa Gereja yang kudus mengatakan lagi dan lagi bahwa Bunda Maria lebih berbahagia dalam melakukan kehendak Allah daripada menjadi Bunda-Nya. Bunda Maria berbahagia dalam dua hal. Ia berbahagia karena menjadi Bunda-Nya; ia berbahagia karepa dipenuhi dengan semangat iman dan ketaatan. Dan kebahagiaan yang terakhir itu lebih besar dari yang pertama. Aku katakan bahwa para bapa yang kudus menyatakannya dengan begitu jelas.<span class="fullpost"><br />
<br />
St Agustinus mengatakan, “Bunda Maria lebih berbahagia dalam menerima iman Kristus, daripada dalam menerima daging Kristus.” Serupa dengan itu, St Elisabet mengatakan kepada Bunda Maria saat kunjungannya, “Beata es quee credidisti - berbahagialah ia, yang telah percaya”; dan St Krisostomus lebih jauh mengatakan bahwa ia tak akan berbahagia, meskipun ia mengandung tubuh Kristus dalam tubuhnya, jika ia tidak mendengarkan sabda Tuhan dan melaksanakannya.<br />
<br />
Sekarang, aku mempergunakan kalimat “St Krisostomus lebih jauh mengatakan,” bukan berarti bahwa pernyataannya bukanlah suatu kebenaran yang nyata. Aku mengatakan pernyataannya merupakan kebenaran yang nyata bahwa Bunda Maria tidak akan berbahagia, meskipun ia menjadi Bunda Allah, jika ia tidak melakukan kehendak-Nya; tetapi pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan yang ekstrim, dengan mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin, dengan mengandaikan bahwa ia dapat demikian dihormati namun tidak dipenuhi dan dirasuki oleh rahmat Allah, padahal malaikat, ketika datang kepadanya, dengan jelas memberinya salam sebagai yang penuh rahmat. “Ave, gratia plena.”<br />
<br />
Kedua kebahagiaan di atas tak dapat dipisahkan. (Sungguh luar biasa bahwa Bunda Maria sendiri berkesempatan untuk membedakan dan memilahnya, dan bahwa ia memilih untuk melakukan perintah-perintah Tuhan lebih daripada menjadi Bunda-Nya, seandainya saja ia harus memilih salah satu diantaranya). Ia, yang dipilih untuk menjadi Bunda Allah, juga dipilih untuk gratia plena, penuh rahmat.<br />
<br />
Kalian lihat, inilah penjelasan dari doktrin-doktrin penting yang diterima di antara umat Katolik mengenai kemurnian dan ketakberdosaan Santa Perawan. St Agustinus tidak akan pernah mau mendengarkan gagasan bahwa Bunda Maria pernah melakukan suatu dosa pun, dan Konsili Trente memaklumkan bahwa oleh rahmat istimewa, Bunda Maria sepanjang hidupnya bebas dari segala dosa, bahkan dosa ringan sekali pun. Dan kalian tahu bahwa hal tersebut merupakan keyakinan Gereja Katolik, yaitu bahwa ia dikandung tanpa dosa asal, dan bahwa perkandungannya tanpa noda dosa.<br />
<br />
Lalu, darimanakah doktrin-doktrin ini berasal? Doktrin-doktrin tersebut berasal dari prinsip utama yang terkandung dalam perkatan Kristus yang aku komentari ini. Ia mengatakan, “adalah lebih berbahagia melakukan kehendak Allah daripada menjadi Bunda Allah.” Jangan katakan bahwa umat Katolik tidak merasakan hal ini secara mendalam - begitu mendalam kita merasakannya hingga kita memperluasnya hingga ke keperawanan, kemurnian, perkandungannya yang tanpa dosa, iman, kerendahan hati dan ketaatannya. <br />
<br />
Jadi, jangan pernah mengatakan bahwa umat Katolik melupakan ayat Kitab Suci ini. Setiap kali kita merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa, atau semacamnya, kita memperingatinya karena kita memandang begitu dalam pada kebahagiaan kekudusan. Perempuan di antara orang banyak itu berseru, “berbahagialah rahim dan susu Maria.” Perempuan ini berbicara dalam iman; ia tidak bermaksud menolak kebahagiaan Bunda Maria yang lebih besar, tetapi perkataannya hanya mengarah pada satu maksud saja.<br />
<br />
Oleh sebab itu, Kristus menyempurnakannya. Dan karena itu, Gereja-Nya sesudah Dia, yang tinggal dalam misteri Inkarnasi-Nya yang agung dan sakral, merasa bahwa ia, yang begitu cepat menanggapinya, pastilah seorang yang terkudus. Dan karenanya, demi menghormati Putra, perempuan itu menyanjung kemuliaan Bunda. Seperti kita memberikan yang terbaik bagi-Nya, sebab segala yang terbaik berasal dari-Nya, seperti di dunia kita menjadikan gereja-gereja kita agung dan indah; seperti ketika Ia dirurunkan dari salib, para hamba-Nya yang saleh membungkus-Nya dengan kain kafan yang baik dan membaringkan-Nya dalam suatu makam yang belum pernah dipakai; seperti tempat kediaman-Nya di surga murni dan tak bernoda, begitu terlebih lagi selayaknya dan begitulah adanya - bahwa tabernakel darimana Ia mengambil rupa daging, di mana Ia terbaring, kudus dan tak bernoda dan ilahi. Sementara tubuh dipersiapkan bagi-Nya, demikian juga wadah bagi tubuh itu dipersiapkan pula. Sebelum Bunda Maria dapat menjadi Bunda Allah, dan guna menjadikannya seorang Bunda, ia disisihkan, dikuduskan, dipenuhi rahmat, dan dibentuk agar layak bagi kehadiran yang Kekal.<br />
<div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
Dan para bapa suci mempelajari dengan seksama ketaatan dan ketakberdosaan Bunda Maria dari kisah Kabar Sukacita, saat ia menjadi Bunda Allah. Sebab ketika malaikat menampakkan diri dan memaklumkan kepadanya kehendak Allah, para bapa suci mengatakan bahwa Bunda Maria menunjukkan teristimewa empat karunia - kerendahan hati, iman, ketaatan dan kemurnian. Rahmat-rahmat ini merupakan prasyarat persiapan untuknya dalam menerima penyelenggaraan yang begitu luhur.<br />
<br />
Jadi, seandainya ia tidak mempunyai iman dan kerendahan hati dan kemurnian dan ketaatan, ia tidak akan memperoleh rahmat untuk menjadi Bunda Allah. Oleh sebab itu wajarlah dikatakan bahwa ia mengandung Kristus dalam benaknya sebelum ia mengandung Kristus dalam tubuhnya, artinya bahwa kebahagiaan iman dan ketaatan mendahului kebahagiaan menjadi seorang Bunda Perawan. Para bapa suci bahkan mengatakan bahwa Tuhan menantikan kesediaannya sebelum Ia datang ke dalam dirinya dan mengambil daging darinya. Sama seperti Ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan ajaib di suatu tempat sebab mereka tidak memiliki iman, demikian juga mukjizat agung ini, di mana Ia menjadi Putra dari makhluk ciptaan, ditangguhkan hingga ia dicoba dan didapati layak untuk itu - hingga ia taat sepenuhnya.<br />
<br />
Ada satu hal lagi yang perlu ditambahkan di sini. Baru saja aku katakan bahwa kedua kebahagiaan tersebut tak dapat dipisahkan, bahwa keduanya itu satu. “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau,” dst.; “Yang berbahagia ialah,” dst. Memang benar demikian, tetapi perhatikanlah ini. Para bapa suci senantiasa mengajarkan bahwa dalam peristiwa Kabar Sukacita, ketika malaikat menampakkan diri kepada Bunda Maria, Santa Perawan menunjukkan bahwa ia memilih apa yang disebut Tuhan sebagai kebahagiaan yang terbesar dari antara kedua kebahagiaan itu.<br />
<br />
Sebab ketika malaikat memaklumkan kepadanya bahwa ia dipersiapkan untuk memperoleh kebahagiaan yang dirindukan para wanita Yahudi selama berabad-abad, untuk menjadi Bunda dari Kristus yang dinantikan, ia tidak menangkap kabar tersebut seperti yang dilakukan dunia, melainkan ia menanti. Ia menanti hingga dikatakan kepadanya bahwa hal tersebut bersesuaian dengan keadaannya yang perawan. Bunda Maria tidak bersedia menerima kehormatan yang paling mengagumkan ini, tidak bersedia hingga ia dipuaskan dalam hal ini, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Para bapa suci beranggapan bahwa ia telah mengucapkan kaul kemurnian, dan menganggap kesucian lebih tinggi daripada melahirkan Kristus.<br />
<br />
Demikianlah ajaran Gereja, menunjukkan dengan jelas bagaimana cermatnya Gereja memeriksa doktrin dari ayat Kitab Suci yang aku komentari ini, betapa mendalamnya Gereja memahami bahwa Bunda Maria merasakannya yaitu bahwa meskipun berbahagia rahim yang mengandung Kristus dan susu yang menyusui-Nya, namun demikian lebih berbahagialah jiwa yang memiliki rahim dan susu itu, lebih berbahagialah jiwa yang penuh rahmat, yang karena demikian dipenuhi rahmat diganjari dengan hak istimewa luar biasa dengan menjadi Bunda Allah.<br />
<br />
Sekarang, suatu pertanyaan lebih lanjut muncul, yang mungkin patut kita renungkan. Mungkin orang bertanya, mengapa Kristus tampaknya meremehkan kehormatan dan hak istimewa Bunda-Nya? Ketika perempuan itu mengatakan, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau”, dst. Ia sesungguhnya menjawab, “Ya.” Tetapi, Ia mengatakan, “Yang berbahagia ialah ...” Dan dalam suatu peristiwa lain, Ia menjawab ketika orang memberitahukan kepada-Nya bahwa ibu-Nya dan saudara-saudaranya berusaha menemui Dia, “Siapa ibu-Ku?” dst. Dan di masa yang lebih awal, ketika Ia mengadakan mukjizat-Nya yang pertama di mana Bunda-Nya mengatakan kepada-Nya bahwa para tamu dalam perjamuan nikah kekurangan anggur, Ia mengatakan: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, perempuan? Saat-Ku belum tiba.” Ayat-ayat ini sepertinya merupakan perkataan yang dingin terhadap Bunda Perawan, meskipun maknanya dapat dijelaskan secara memuaskan. Jika demikian, apa maknanya? Mengapa Ia berbicara demikian?<br />
<br />
Sekarang saya akan memaparkan dua alasan sebagai penjelasan:<br />
Pertama, yang segera muncul dari apa yang saya katakan adalah ini: bahwa selama berabad-abad para wanita Yahudi masing-masing mengharapkan untuk menjadi ibunda sang Kristus yang dinantikan, dan tampaknya mereka tidak menghubungkannya dengan kekudusan yang lebih tinggi. Sebab itu, mereka begitu merindukan pernikahan; sebab itu pernikahan dianggap sebagai suatu kehormatan yang istimewa oleh mereka.<br />
<br />
Sekarang, pernikahan merupakan suatu penetapan Tuhan, dan Kristus menjadikannya suatu sakramen - namun demikian, ada sesuatu yang lebih tinggi, dan orang Yahudi tidak memahaminya. Seluruh gagasan mereka adalah menghubungkan agama dengan kesenangan-kesenangan dunia ini. Mereka tidak tahu, sesungguhnya, apa itu merelakan dunia ini demi yang akan datang. Mereka tidak mengerti bahwa kemiskinan lebih baik dari kekayaan, nama buruk daripada kehormatan, puasa dan matiraga daripada pesta-pora, dan keperawanan daripada perkawinan. Dan karenanya, ketika perempuan dari antara orang banyak itu berseru mengenai kebahagiaan rahim yang telah mengandung dan susu yang telah menyusui-Nya, Ia mengajarkan kepada perempuan itu dan kepada semua yang mendengarkan-Nya bahwa jiwa lebih berharga daripada raga, dan bahwa bersatu dengan-Nya dalam Roh, lebih berharga daripada bersatu dengan-Nya dalam daging.<br />
<br />
Itu satu alasan. Alasan yang lain lebih menarik. Kalian tahu bahwa Juruselamat kita selama tigapuluh tahun pertama hidup-Nya di dunia tinggal di bawah satu atap dengan Bunda-Nya. Ketika Ia kembali dari Yerusalem pada usia duabelas tahun dengan Bunda-Nya dan St Yosef, dengan jelas dikatakan dalam Injil bahwa Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Pernyataan ini merupakan pernyataan tegas, tetapi asuhan ini, yang adalah kehidupan keluarga yang lazim, tidak untuk selamanya. Bahkan dalam peristiwa di mana penginjil mengatakan bahwa Ia hidup dalam asuhan mereka, Ia telah mengatakan dan melakukan hal yang dengan tegas menyampaikan kepada mereka bahwa Ia mempunyai tugas kewajiban yang lain. Sebab Ia meninggalkan mereka dan tinggal di Bait Allah di antara para alim ulama, dan ketika mereka menunjukkan ketercengangan mereka, Ia menjawab, “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Ini, menurutku, merupakan suatu antisipasi akan masa pewartaan-Nya, saat ketika Ia harus meninggalkan rumah-Nya. Selama tigapuluh tahun Ia tinggal di sana, tetapi sementara Ia dengan tekun menjalankan tugas kewajiban-Nya dalam rumah tangga yang menjadi tanggung-jawab-Nya, Ia begitu merindukan karya Bapa-Nya, saat ketika tibalah waktu bagi-Nya untuk melaksanakan kehendak Bapa. Ketika saat perutusan-Nya tiba, Ia meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, dan meskipun Ia sangat mengasihinya, Ia tak mengindahkannya.<br />
<br />
Dalam Perjanjian Lama, kaum Lewi dipuji karena mereka tidak kenal lagi ayah ataupun ibu mereka ketika tugas dari Tuhan memanggil. Tentang mereka dikatakan sebagai “berkata tentang ayahnya dan tentang ibunya: aku tidak mengindahkan mereka; ia yang tidak mau kenal saudara-saudaranya dan acuh tak acuh terhadap anak-anaknya” (Ulangan 33). Jika demikian perilaku kaum imam di bawah Hukum, betapa terlebih lagi yang dituntut dari Imam agung sejati dari Perjanjian Baru guna memberikan teladan keutamaan tersebut yang didapati serta diganjari dalam diri kaum Lewi. Ia Sendiri juga telah mengatakan: “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Dan Ia mengatakan kepada kita bahwa “setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19). Oleh sebab itu, Ia yang menetapkan perintah haruslah memberikan teladan dan seperti telah dikatakan-Nya kepada para pengikut-Nya untuk meninggalkan segala sesuatu yang mereka miliki demi Kerajaan Allah, Diri-Nya Sendiri harus melakukan segala yang Ia dapat, meninggalkan segala yang Ia miliki, meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, ketika tiba saatnya Ia harus mewartakan Injil.<br />
<br />
Sebab itu, sejak saat awal pewartaan-Nya, Ia meninggalkan Bunda-Nya. Pada saat Ia melakukan mukjizat-Nya yang pertama, Ia menyatakannya. Ia melakukan mukjizat atas permintaan Bunda-Nya, tetapi secara tak langsung atau lebih tepat menyatakan, bahwa saat itulah Ia mulai memisahkan Diri darinya. Kata Yesus, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, perempuan?” dan lagi, “Saat-Ku belum tiba”; yakni “akan tiba waktunya di mana Aku akan mengenalimu kembali, oh BundaKu. Akan tiba waktunya ketika engkau dengan sepantasnya dan dalam kuasa akan dipersatukan dengan-Ku. Akan tiba waktunya ketika atas permintaanmu, Aku akan melakukan mukjizat-mukjizat; akan tiba waktunya, tetapi bukan sekarang. Dan hingga tiba waktunya, Mau apakah engkau dari pada-Ku? Aku tidak mengenalmu. Untuk sementara waktu Aku telah melupakan engkau.”<br />
<br />
Sejak saat itu, kita tidak mendapati catatan mengenai perjumpaan-Nya dengan Bunda-Nya hingga Ia melihatnya di bawah salib. Ia berpisah dengannya. Satu kali Bunda-Nya berusaha menemui-Nya. Dikisahkan bahwa Ia tidak sendirian. Murid-murid ada di sekeliling-Nya. Bunda Maria tampaknya kurang suka ditinggalkan sendiri. Ia juga pergi mendapatkan-Nya. Pesan disampaikan kepada-Nya bahwa ibunda dan saudara-saudara-Nya berusaha menemui-Nya, tetapi tidak dapat mencapai-Nya karena orang banyak. Kemudian Ia mengatakan perkataan yang serius ini, “Siapakah ibu-Ku?” dst, artinya, seperti tampaknya, Ia telah meninggalkan segalanya demi melayani Tuhan, dan bahwa seperti Ia telah dikandung dan dilahirkan dari Santa Perawan demi kita, demikian pulalah Ia tidak mengindahkan Bunda-Nya yang Perawan demi kita, agar Ia dapat memuliakan Bapa Surgawi-Nya dan melakukan karya-Nya.<br />
<br />
Demikianlah perpisahan-Nya dengan Bunda Maria, tetapi ketika di salib Ia berkata, “Sudah selseai.” Saat perpisahan telah berakhir. Dan sebab itu, karena Bunda-Nya telah bergabung dengan-Nya, dan Ia, melihat Bunda-Nya, mengenalinya kembali. Waktunya telah tiba, dan Ia berkata kepadanya tentang St Yohanes, “Perempuan, inilah anakmu!” dan kepada St. Yohanes, “Inilah ibum!”<br />
<br />
Dan sekarang, saudara-saudaraku, sebagai kesimpulan aku hanya akan mengatakan satu hal. Aku tidak ingin kata-kata kalian melebihi perasaan kalian yang sesungguhnya. Aku tidak menghendaki kalian mengambil buku-buku berisi puji-pujian kepada Santa Perawan dan mempergunakannya serta menirunya dengan tergesa tanpa merenungkannya. Melainkan, yakinlah akan hal ini, yaitu apabila kalian tidak dapat masuk ke dalam kehangatan buku-buku devosi asing itu, hal itu akan merupakan kelemahan bagimu.<br />
<br />
Menggunakan kata-kata yang kuat tidak berarti akan menyelesaikan masalah; hal ini merupakan suatu kesalahan yang hanya akan dapat diatasi secara perlahan-lahan, tetapi tetap merupakan suatu kelemahan. Bergantunglah pada cara kalian masuk ke dalam sengsara Putra yang adalah dengan masuk ke dalam sengsara Bunda. Tempatkanlah dirimu di bawah kaki salib, pandanglah Bunda Maria yang berdiri di sana, menengadah ke salib dan dengan jiwanya ditembusi pedang. Bayangkanlah perasaan-perasaan hatinya, jadikan itu perasaan hatimu. Jadikan ia teladanmu yang istimewa. Rasakanlah apa yang ia rasakan dan kalian akan dengan layak menangisi sengsara dan wafat Juruselamatmu dan Juruselamatnya. Teladanilah imannya yang bersahaja dan kalian akan percaya dengan baik. Berdoalah agar dipenuhi rahmat seperti yang dianugerahkan kepadanya. Sayang sekali, kalian pasti akan merasakan banyak perasaan seperti yang tak dimilikinya, perasaan atas dosa pribadi, atas penderitaan pribadi, atas tobat, atas penyangkalan diri, tetapi hal-hal ini dalam diri seorang berdosa pada umumnya akan disertai dengan iman, kerendahan hati, kesahajaan yang adalah perhiasannya yang utama. Menangislah bersama Bunda Maria, berimanlah bersamanya, dan pada akhirnya engkau akan mengalami kebahagiaannya seperti yang dimaksud dalam ayat Kitab Suci. Tak seorang pun sungguh-sungguh dapat memperoleh hak istimewanya yang khusus dengan menjadi Bunda Yang Mahatinggi, tetapi kalian akan ikut ambil bagian dalam kebahagiaanya yang lebih besar, yaitu kebahagiaan dalam melaksanakan kehendak Allah dan mentaati perintah-perintah-Nya.<br />
<br />
Disampaikan oleh: Kardinal Yohanes Henry Newman di Katedral St. Chad, 1848<br />
<br />
Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Information Network</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-80526433017685260602010-05-19T17:45:00.000+07:002012-04-23T19:15:24.265+07:00Pelayanan Doa<div style="text-align: justify;">Dalam kehidupan memang selalu ada hal yang menyenangkan tentu pantas dikenang, ada pula hal yang tidak menyenangkan yang tentu melukai perasaan kita. Kesemuanya itu adalah anugerah dariNya yang selayaknya kita syukuri, karena membuat kita semakin dewasa. Untuk semuanya itu pantaslah kita bersyukur dan membawanya ke dalam doa. Bila Anda merasa kurang mantap berdoa sendirian maka Anda dapat menyampaikannya melalui form berikut ini : </div><p><span class="fullpost"><iframe src="http://spreadsheets.google.com/embeddedform?formkey=dFBkaC0xSExieER5OXdzcmI4Q2w1c1E6MQ" marginheight="0" marginwidth="0" frameborder="0" height="650" width="760">Loading...</iframe></span></p><div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-72981532505192960722010-05-07T14:39:00.001+07:002012-04-23T19:33:59.558+07:00Mariologi – Devosi Marial – 3<p align="center"><strong>BAB VIII <br />
BERBAGAI GEJALA DEVOSI MARIAL</strong> </p><p align="justify">348. Devosi, khususnya devosi rakyat mengucapkan diri dalam seratus seribu bentuk dan rupa. Nama Maria (ibu Yesus) misalnya diberi kepada orang, baik putri maupun putra (sebagai nama kedua), kepada kota, desa, jalan, lapangan, sumber, sungai. Ada macam-macam kebiasaan rakyat Kristen, yang tercetus oleh devosi kepada Maria dan yang dengannya rakyat menempatkan dirii dan segala sesuatu di bawah naungan Maria. Ada macam-macam <em>“devotionalia”</em>, patung, medali (ajaib), gambar, skapulir, rosario, berkas bunga-bunga tertentu, lilin, lampu, pakaian. Ada macam-macam “tarekat” dan perkumpulan Marial, dsb. Tidak semua gejala dapat diutarakan di sini. Hanya beberapa gejala yang paling umum dan menyolok boleh diuraikan sedikit. </p><p align="justify"></p><p align="center"><strong>A. DOA KEPADA MARIA </strong></p><strong></strong> <p align="justify"><br />
349. Yang paling biasa dan umum ialah doa kepada Maria. Sudah dikatakan bahwa doa, puji-pujian, syukur, permohonan yang ditujukan kepada Allah oleh karena (alasan) Maria, ibu Yesus, tidak menjadi problem. Maria kan termasuk karya ciptaan Allah dan hasil karya penyelamatan. Contoh doa macam itu sudah ada dalam Kitab Suci. Maria sendiri memuji Allah dan bersyukur kepadaNya, karena Yang Mahakuasa melakukan perbuatan besar kepada Maria (Luk 1:46-47). Elisabet pun memuji Maria sebagai “yang diberkati” (oleh Tuhan), sehingga pantas dipuji bahagia (Luk 1:42.45). Problem baru muncul, kalau Maria sendiri menjadi sasaran doa. </p><p align="justify"></p><p align="justify">350. Struktur dasar setiap doa kepada Maria terdapat dalam doa yang paling umum dan resmi (dalam Liturgi jarang dipakai!). Yaitu: “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin”. Doa itu selengkapnya baru muncul menjelang tahun 1500. Bagian pertama disusun dengan mempersatukan dua ayat Injil Luk, yakni: Salam yang disampaikan Malaikat kepada Maria (Luk 1:28) dan pujian yang diucapkan Elisabet (Luk 1:42). Hanya ditambah nama Yesus. Jauh sebelum abad XIV penggabungan itu sudah biasa (sejak abad VI). Maksudnya memuji Maria sebagai orang pilihan Allah dan ibu Yesus. Pujian itu terarah kepada Maria sendiri, tetapi pada dasarnya bukan Maria, melainkan Allah dan Yesus Kristus. Maria tidak terisolasikan sama sekali. Terungkap rasa kagum terhadap Maria sebagai hasil karya Allah. Dengan cara demikian setiap manusia, bahkan setiap mahluk boleh secara religius dikagumi dan dipuji. Bagian kedua barulah menjadi doa (permohonan) yang tertuju kepada Maria sendiri. Apa yang diminta ialah: supaya Maria mendoakan si pendoa, diminta doa syafaat. </p><p align="justify"></p><p align="justify">351. Dalam bagian pertama karya ini sudah dibahas bahwa sejak Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sudah biasa orang beriman saling mendoakan dan minta didoakan. Dijelaskan pula bagaimana secara manusiawi orang dapat berkata bahwa para orang kudus mendoakan manusia yang masih di dunia ini. Ditunjuk pula mana dasar doa syafaat macam itu (persekutuan orang kudus). Jadi tidak ada masalah prinsipal bahwa orang beriman berdoa kepada Maria dengan arti: meminta perantaraannya (doa syafaatnya). Dan sejauh mana “doa Maria” unggul menjadi jelas juga mengingat kedudukan dan peranannya dalam tata penyelamatan serta kesuciannya yang unggul. Sekarang halnya boleh dipikirkan sedikit. </p><p align="justify"></p><p align="justify">352. Apa yang sebenarnya terjadi bila orang beriman minta doa Maria (dan orang kudus lainnya)? Pertama-tama mesti dicatat bahwa doa itu tidak mengubah Maria, melainkan (seharusnya) si pendoa yang minta doa. Kasih Maria yang menanggapi kasih Allah kepada Maria (dan semua manusia), sebagaimana menjadi nyata terwujud dalam Yesus Kristus, tentu saja seluas kasih Allah itu sendiri. Ini implikasi dari kasih sejati kepada Allah, kasih yang utuh sempurna pada Maria. Kasih maria yang terwujud selama hidupnya di dunia diabadikan dalam eksistensi surgawinya. Sama seperti kasih Allah dan kasih Kristus merangkul semua orang beriman, bahkan semua manusia dalam situasi nyata, demikian pun kasih balasan Maria (kasih ilahi) merangkul mereka semua yang dirangkul kasih Allah dan Kristus. Maria menjadi peserta dalam kasih ilahi itu. Bila orang “minta doa Maria”, maka ia menyatakan, mengeksplisitkan bahwa nyatanya terangkul oleh kasih utuh sempurna Maria, yang menjadi peserta unggul dalam kasih Allah (dan segala apa yang menjadi sasaran kasih ilahi). Orang menyatakan diri tersedia menerima kasih Allah (tawaran diri Allah) dengan segala implikasinya, sama seperti telah diterima oleh ibu Yesus. Atau dengan lain perkataan: Si pendoa menempatkan diri dalam lingkup kasih balasan Maria. Secara metafor orang mengatakan, bahwa menempatkan diri dalam naungan Maria, di bawah perlindungannya. Si pendoa mengatakan bahwa ingin pada dirinya menjadi terwujud apa yang sudah terwujud pada Maria. </p><p align="justify"></p><p align="justify">353. Tetapi segera harus ditambah satu unsur yang penting. Si pendoa memang mengharapkan bahwa terjadi sesuatu yang baru dengan dirinya. Ia sadar bahwa kasih balasannya terhadap kasih Allah tidaklah sedalam, seutuh, sebulat kasih balasan Maria yang merangkul si pendoa. Ia malah merasa dirinya tidak mampu membalas kasih Allah semestinya, seperti dibalas oleh Maria. Tetapi ada juga “persekutuan para kudus” dengan Maria sebagai orang kudus yang unggul. Masing-masing orang terdapat dalam keseluruhan itu, baik Maria maupun si pendoa. Dan yang paling penting justru keseluruhan itu, juga di hadapan Allah, yang seolah-olah “melihat” dahulu keseluruhan dan masing-masing orang dalam keseluruhan dan dalam kaitannya dengan keseluruhan. Allah melihat keseluruhan yang terserap oleh kasih Kristus dan kasih mereka semua yang menjadi peserta dalam kasih Allah dan Kristus. Di antaranya Marialah yang menjadi unggul. Dalam keseluruhan itu yang satu (dapat) melengkapi yang lain dan menjadi peserta dalam kasih orang lain menuju ke Allah. Maka, jika si pendoa tidak mampu membalas kasih Allah sepenuh-penuhnya seperti ibu Yesus, kekurangannya di hadapan Allah dilengkapi oleh kasih balasan yang secara unggul terwujud pada Maria. Dengan menyatakan (dalam doa) dirinya solider dengan kasih Maria, kekurangannya, ketidakmampuannya dilengkapi di hadapan Allah oleh kasih ibu Yesus. Dalam persekutuan dengan Maria orang membalas kasih Allah melampaui kemampuannya sendiri. Dengan berdoa kepada Maria (dan orang kudus lainnya) orang sebenarnya berdoa kepada Allah, supaya demi kasih balasan Maria, si pendoa diberi kasih balasan (rahmar dari segi manusia) melebihi kemampuannya sendiri. </p><p align="justify"></p><p align="justify">354. Devosi rakyat, doanya kepada Maria, biasanya amat konkret dan realistik. Devosi itu bertitik tolak hidup sehari-hari dengan segala kebutuhannya. Orang minta kepada Maria penyembuhan, pekerjaan, jodoh, lulus ujian, tambahan penghasilan/gaji, pertobatan orang tertentu, dibebaskan dari hama, wabah, perang, bencana alam, dsb. Struktur dasar seperti dijelaskan di muka dan dengan bagus terungkap dalam doa “Salam Maria ...”, biasanya tidak menjadi sadar, meski orang justru mengucapkan doa “Salam Maria...” itu sekali pun. Dalam doa tertua yang tersedia <em>(Sub tuum praesidium...)</em> Maria tampil sebagai otonom, yang langsung disapa sendiri dan sendiri mampu memberi apa yang diminta. Doa itu berbunyi sebagai berikut: “Kami mengungsi di bawah naunganmu, hai Bunda Allah, yang suci (sancta), janganlah memandang hina doa permohonan kami, tetapi bebaskanlah kami selalu dari segala bahaya, hai Perawan yang mulia dan terberkati/terpuji”. Doa macam itu oleh orang kafir dapat diarahkan kepada dewi perlindungannya. Hanya secara amat tidak langsung Allah masih diikutsertakan (sebutan Bunda Allah). Hanya kalau tetap terpasang dalam keseluruhan iman Kristen doa macam itu dapat dibenarkan. Doa devosi rakyat yang amat spontan memang biasanya demikianlah ciri-coraknya dan menjadi lebih konkret dan personal lagi. </p><span class="fullpost"> <p align="justify"></p><p align="justify">355. Haruskah doa macam itu dinilai kurang baik? Tidak! Sebab dengan doa yang amat konkret (minta macam-macam) orang mengungkapkan harapannya, yang dilihatnya terwujud pada ibu Maria. Ia menyatakan bahwa kekurangan apa saja yang dialaminya tidak sesuai dengan kasih Maria, dengan kasih Allah. Kasih Allah dan Kristus, seperti kasih balasan Maria (orang kudus, orang beriman) bukan suatu kasih abstrak yang mengawang, tetapi merangkul manusia konkret. Dan kasih itu tidak dapat menyetujui kemalangan yang dialami yang terkasih. Doa permohonan kepada Allah dan kepada Maria tidak berarti: “pasrah kepada nasib” seolah-olah demikian dikehendaki Allah (dan Maria). Sebaliknya si pendoa demi Allah dan Maria memprotes keadaan nyata, kekurangan, kemalangan yang dialaminya. Sebab ia yakin bahwa kemalangan tidak dikehendaki kasih Allah dan kasih mereka semua yang menjadi peserta dalam kasih Allah itu, terutama ibu Yesus. Kerap kali doa konkret nyatanya tidak jadi dikabulkan. Namun si pendoa bersama dengan ibu Yesus dan melalui Yesus Kristus tetap membawa protesnya ke hadapan Allah dengan keyakinan bahwa kasih penebusan Allah dalam Kristus, entah kapan dan entah bagaimana akan mengatasi setiap kemalangan, jasmani dan rohani, seperti sudah diatasi dalam Maria yang diangkat ke surga. Terangkat oleh kasih balasan Maria orang kini pada dasarnya sudah menjadi peserta dalam keadaan ibu Yesus yang ikut serta secara utuh dalam keadaan Yesus Kristus sendiri. Maka doa permohonan rakyat yang amat konkret dalam analisis terakhir menjadi penghayatan iman berupa harapan yang tak tergoncangkan, yang turut didasarkan pada kasih ibu Yesus yang secara sempurna menjadi peserta dalam kasih Allah dan Kristus. </p><p align="justify"></p><div style="text-align: center;"><script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "2891838017";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 15;
//-->
</script><br />
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script></div><br />
<p align="center"><strong>B. BEBERAPA BENTUK DOA KEPADA MARIA </strong></p><p align="justify"></p><p align="justify"><strong>1. “Malaikat Tuhan ...” </strong></p><p align="justify">356. Sejak abad XVI dan akibat pengaruh para pengikut Fransiskus tersebar luas di seluruh kekristenan Barat kebiasaan untuk tiga kali sehari mengucapkan doa “Malaikat Tuhan...”. Doa itu suatu rumus ibadat rakyat, yang mengganti bagi rakyat ibadat resmi (Doa harian liturgik). Ibadat rakyat itu terdiri atas tiga ayat serta tanggapannya yang disusul doa “Salam Maria...”. Rangkaian itu berakhir dengan suatu seruan kepada Maria serta tanggapannya disusul doa penutup, yang tertuju kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus. Ketiga ayat serta tanggapannya tersebut sebenarnya suatu pewartaan, yang setiap kali disambut dengan doa (Salam Maria). Ini sesuai dengan struktur Doa Harian. Di situ ada pewartaan (bacaan) dan doa (mazmur). Ayat pertama serta tanggapannya (Maria diberi kabar oleh malaikat Tuhan, dan ia mengandung dari Roh Kudus) berdasarkan Luk 1:28-35. Ayat kedua serta tanggapannya (Lihatlah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu) diambil dari nas yang sama (Luk 1:38), sedangkan ayat ketiga serta tanggapannya (Sabda telah menjadi daging, dan tinggal di antara kita) mengutip Yoh 1:14. Dengan lain perkataan: Misteri inkarnasi serta peranan Maria di dalamnya diberitakan dan ditanggapi. Penutup terdiri atas sebuah seruan kepada Maria serta tanggapannya (Doakanlah kami, ya Bunda Allah, supaya kami layak menerima janji Kristus = apa yang dijanjikan Kristus), yang disusul doa yang mengenangkan misteri inkarnasi, penderitaan dan wafatnya Yesus di salib serta kebangkitan yang menjadi antisipasi kebangkitan manusia di akhir zaman serta jaminannya. Bunyinya: “Kami mohon, ya Tuhan, sudilah kiranya mencurahkan rahmatMu ke dalam hati <em>(mens)</em> kami, supaya kami yang mengenal inkarnasi AnakMu berkat kabar dari malaikat, melalui penderitaan dan salibNya, diantar kepada kemuliaan kebangkitan...”. </p><p align="justify"></p><p align="justify">357. Doa “Malaikat Tuhan...” itu diucapkan rakyat pada pagi hari, tengah hari, dan senja hari. Lonceng gereja-gereja dengan cara khusus dibunyikan, sebagai tanda waktu. Sejak awal, paling tidak sejumlah jemaah (bdk. <em>Didakhe</em>, VIII) sudah biasa berdoa (Bapa Kami) tiga kali sehari, sesuai dengan adat (salat) Yahudi. Dari situ berkembanglah “Doa Harian”, yang diselenggarakan para rohaniwan dan rahib. Di zaman pertengahan di gereja-gereja besar dan biara-biara rahib ada sembahyang pagi hari, tengah hari dan senja hari (sebagian Doa Harian tersebut). Melalui sembahyang “Malaikat Tuhan...” umat yang tidak sempat (atau mampu karena misalnya buta huruf) menggabungkan diri dengan sembahyang resmi itu. Seperti sudah dicatat unsur-unsurnya sama: Bacaan (ayat-ayat serta tanggapannya), mazmur (Salam Maria...), penutup. Dengan demikian sembahyang “Malaikat Tuhan...” menjadi semacam “Doa Harian” umat. Di zaman pertengahan sembahyang pagi (dari Doa Harian) dianggap mengenangkan kebangkitan Yesus; sembahyang di tengah hari mengenangkan wafatnya Yesus dan sembahyang senja hari mengenangkan inkarnasi. Jadi melalui sembahyang “Malaikat Tuhan...” umat mengenangkan peristiwa-peristiwa penyelamatan yang paling penting dan mengikutsertakan diri di dalamnya. Karena itu ketiga peristiwa tersebut (dalam urutan terbalik) juga disebutkan. Tetapi umat, melalui “Salam Maria...” juga mengikutsertakan peranan yang dipegang ibu Yesus dalam peristiwa-peristiwa penyelamatan itu, sesuai dengan tempat Maria dalam sejarah penyelamatan. Maria tampil sebagai “perantara” (dengan arti yang sudah dijelaskan). Ia sendiri tidak mengabulkan doa, tetapi hanya turut berdoa. Perhatian si pendoa berpusatkan Yesus Kristus serta hal ihwal penebusan. Maka tidak mengherankan bahwa sembahyang “Malaikat Tuhan...” dianjurkan oleh pimpinan Gereja (seperti misalnya P. Yohanes Paulus II, yang setiap tengah hari tampil untuk bersama umat – berziarah – mendoakan <em>“Angelus Domini”</em> itu). </p><p align="justify"></p><p align="justify"><strong>2. Doa Rosario</strong><br />
358. Doa Rosario berdekatan dengan “Malaikat Tuhan...” tersebut sejauh juga dimaksudkan sebagai doa rakyat yang sejalan dengan dan pengganti “Doa Harian” resmi. </p><p align="justify"></p><p align="justify">359. Doa yang berbentuk “rosario” (bukan nama itu) merupakan suatu gejala devosi rakyat yang hampir saja pada semua agama terdapat. Yaitu butir-butir berangkai yang dipakai untuk menghitung sejumlah tertentu rumus doa, pujian, seruan, yang mesti didaras. Serentak rangkaian itu menjadi sarana konsentrasi. Tidak jarang rumus-rumus yang sama diulang-ulang dan jumlah tertentu itu dianggap “sakti” dan berdaya guna. Pada umat Islam misalnya (khususnya di kalangan para tarekat) terkenal “tasbih”, seuntai 99 butir untuk menghitung 99 nama Allah yang diucapkan serangkaian (zikir). Tasbih serupa <em>(monologistos)</em> ada pada umat Kristen di kawasan Timur, yang sekian kali mengulang doa pendek tertentu, nama Allah, nama Yesus dan sebagainya. </p><p align="justify"></p><p align="justify">360. Pada umat Kristen di kawasan Barat pun alat dan sarana itu tersebar luas dalam macam-macam bentuk. Biasanya tidak disebutkan “rosario”, tetapi “karangan” (<em>corona</em>; misalnya <em>corona</em> lima luka Yesus; <em>corona</em> tujuh dukacita Maria, <em>corona</em> tujuh sukacita Maria dsb.) Rumus-rumus yang diulang-ulang pun dapat berbeda-beda. </p><p align="justify"></p><p align="justify">361. “Rosario” (artinya: karangan bunga mawar, boleh putih atau merah, kuning; warna itu mempunyai arti simbolik) yang terkenal ialah: serangkaian 150 Salam Maria, terbagi atas 15 sepuluhan yang masing-masing didahului Bapa kami dan ditutup “Kemuliaan kepada Bapa..” Keseluruhan biasanya dibuka dengan mendaras syahadat 12 Rasul dan tiga kali “Salam Maria”, yang bermaksud membangkitkan ketiga keutamaan ilahi (iman, harapan, kasih). Sementara “rosario”didaras 15 peristiwa penyelamatan, kehidupan Yesus, (mau) direnungkan, yang juga berturut-turut diberitahukan. Dalam prakteknya kerap kali hanya 5 sepuluhan didaras pada satu hari. Kadang-kadang doa Rosario dimeriahkan dengan menyanyikannya dan diselingi dengan kotbah-kotbah pendek mengenai peristiwa-peristiwa penyelamatan. Jumlah 150 “Salam Maria...” sesuai dengan jumlah 150 mazmur yang tercantum dalam Kitab Mazmur. Karena itu Rosario kadang-kadang disebut dengan “Psalterium/Kitab Mazmur Maria”. Bapa kami berperan sebagai Antifon dan “Kemuliaan kepada Bapa...” sebagai doa tanggapan. Jadi Rosario meniru Doa Harian resmi. </p><p align="justify"></p><p align="justify">362. Menjelang tahun 1500 Rosario seperti sekarang lazim mulai menjadi laris, khususnya didukung oleh para pengikut Dominikus. Tetapi tidak benar apa yang kerap kali dikatakan seolah-olah Dominikus “penemu” Rosario. Sejak abad XIII memang ada pelbagai “pendahulu” Rosario yang lazim sejak abad XV. Serangkaian Paus (Leo X, Pius V, Pius IX, Leo XIII, Pius XI, Pius XII, Yohanes XXII) sangat menganjurkan doa Rosario, khususnya sebagai semacam “liturgi keluarga”. Bulan Mei dan Oktober dikhususkan untuk doa itu. Memang bulan Mei adalah musim semi (minta kesuburan tanah) dan bulan Oktober musim rontok (bersyukur atas panen). Paus itu l.k. secara teratur mengeluarkan “surat Edaran” tentang doa Rosario. Tetapi rupa-rupanya Paus terakhir berpendapat bahwa bentuk devosi marial itu tidak lagi digemari banyak umat katolik. </p><p align="justify"></p><p align="justify">363. Doa Rosario yang begitu lama populer pada rakyat Katolik (sampai menjadi semacam tanda pengenal, tanda kekatolikan) tentu saja ada masalahnya juga. Dapat dinilai sebagai semacam magi, mekanik dan obat penenang serta obat tidur (memang nyatanya dipakai oleh mereka yang sukar tidur untuk menimbulkan kantuk!). Terus mengulang-ulang rumus yang sama, bagaimana itu dapat menjadi doa hati dan doa sejati? Oleh karena orang yang berdoa diharapkan memusatkan diri pada peristiwa-peristiwa penyelamatan, Yesus Kristus tidak disingkirkan dan tidak diganti Maria. Ibu Yesus tetap pada tempatnya dalam sejarah dan tata penyelamatan. Tetapi itu hanya secara formal saja. Dapatkah Rosario dalam prakteknya masih dikatakan “doa”, yang dengannya orang beriman secara personal menghayati (dan menyadari) relasinya dengan Allah? Orang memang diandaikan “merenungkan” peristiwa penyelamatan yang mencetuskan doa, tetapi banyak rakyat tidak biasa dan malah tidak mampu “merenung”. Dan kalau orang dapat merenung, maka renungannya terus terganggu oleh rumus yang didaras bersama orang lain. Dan gunanya apa bagi renungannya? Kalau orang dapat merenung tidak perlu didukung oleh pendarasan rumus-rumus belaka. Dan kalau tidak dapat merenung, gunanya apa mendaras rumus yang terulang-ulang, yang tentu saja tidak dapat memikat perhatian orang. Orang dapat berkata: Mengulang-ulang rumus yang sama (zikir) dapat menenangkan dan menentramkan hati, mengosongkan orang dari segala pikiran. Barangkali pada orang tertentu dan di kalangan para “asket” “zikir” macam itu dapat membawa orang kepada puncak pengalaman religius, mistik (orang boleh berpikir pada praktek zikir pada tarekat-tarekat Islam tertentu, kepada “doa Yesus” seperti dipraktekkan di kalangan para rahib di kawasan Timur). Tetapi hati tentram dan tenang saja belum berarti “berdoa”. Dan bagaimana rakyat yang repot dan sibuk dengan urusan harian dapat “berzikir”? </p><p align="justify"></p><p align="justify">364. Hanya perlu diingat bahwa doa ada macam-macam. Ada doa yang intensif yang terpusat Allah (yang ilahi), yang menyerap dan mengisi seluruh kesadaran orang berdosa. Doa macam itu tidak membutuhkan doa Rosario, kecuali barangkali sebagai teknik belaka untuk berkonsentrasi. (Boleh ditanyakan: kalau demikian, masih boleh disebut “doa”?). Tetapi teknik itu sendiri sulit dipakai oleh dan tidak cocok dengan “rakyat jelata” yang banyak bersembahyang Rosario. Tetapi juga ada doa sejati yang serba kabur, tidak berkonsentrasi dan kurang intensif mendalam. Doa itu terlebih terdiri atas suatu keterarahan dasar yang serba kabur dan serba tidak menentu kepada Allah (yang ilahi). Doa itu mungkin dan kiranya cocok dengan mereka yang kurang mampu berkonsentrasi, lelah, repot dengan ini dan itu. Justru doa macam itulah yang ditunjang oleh doa lahiriah seperti Rosario (dan juga Doa Harian!!). Mendaras (bersama dengan orang lain) rumus yang sama (atau berbeda-beda) dengan suara redup, menciptakan suasana lahiriah dan batiniah yang mendukung keterarahan dasar tapi tidak menentu kepada Tuhan. Oleh karena sana sini dalam sembahyang itu ada “kelainan” (Bapa kami; disebutkannya peristiwa penyelamatan), maka orang setiap kali sedikit disadarkan (dan diarahkan) kembali. Pikiran dan daya khayal dapat melantur kemana-mana, mata dapat mengantuk, namun hati orang seolah-olah bernafas dalam suasana religius dan Tuhan, meski serba kabur sekali pun, toh masih hadir bagi kesadarannya, sedikit teralami oleh pendoa. </p><p align="justify"></p><p align="justify">365. Doa Rosario merupakan sarana penunjang doa macam itu dan kiranya cocok dengan orang yang terbenam dalam hidup real di dunia ini. Dalam lubuk hati mereka terarah kepada Tuhan yang diimani umat Kristen, terarah kepada ibu Yesus yang serentak ibu mereka. Kalau orang dapat berkonsentrasi sebentar, syukurlah, kalau tidak belum juga celaka besar. Sikap hati sejati tetap terbina oleh suatu sarana yang nampaknya mekanik belaka. Rosario dan cara berdoa itu merupakan suatu sarana yang mendukung sikap religius doa sejati. Dunia “Barat” dengan pendidikan intelektualistiknya barangkali kurang mampu menilai doa macam itu oleh karena lupa pada manusia dan religiositas sejati justru terutama dihayati di dimensi lain itu. Religiositas rakyat dalam segala macam agama mencari dan menciptakan sarana untuk menyalurkan dan membina religiositas itu. Kalau rakyat Kristen menemukan a.l. Rosario, tidak perlu ditolak selama berperan sebagai penunjang religiositas rakyat Kristen. </p><p align="justify"></p><p align="justify"><strong>3. Litani S. Maria</strong><br />
366. Dengan Rosario kerap kali bergabung “Litani S. Maria (di Loreto)”. Litani ini adalah satu di antara enam litani yang secara resmi diterima dalam Gereja Roma Katolik. Di sampingnya ada Litani para kudus, Litani Nama Yesus, Litani Hati Kudus, Litani Darah Mulia, Litani S. Yusup. Tetapi yang umumnya paling dipakai justru Litani S. Maria itu dan, dalam liturgi resmi, Litani para kudus. Yang lain-lain kurang digemari. Di samping enam litani resmi itu ada puluhan macam litani lain yang (pernah) beredar di kalangan terbatas. </p><p align="justify"></p><p align="justify">367. Adapun doa berbentuk litani (Latin: <em>litania/litaniae</em>) ialah suatu doa yang terdiri atas serangkaian permohonan atau seruan, yang dibawakan oleh seorang pemimpin, lalu oleh para hadirin ditanggapi dengan rumus/seruan yang sama (misalnya: Kasihanilah kami, Doakanlah kami. Dengarkanlah kami, dan sebagainya). Cara berdoa macam itu ditemukan dalam banyak agama, juga pada bangsa yang amat sederhana. Jauh sebelum zaman masehi “litani” sudah ada dan dipakai. Maka tidak terlalu mengherankan bahwa pada umat Israel terdapat, misalnya Mzm 136. Pada umat Kristenn doa berupa litani pasti ada sejak abad IV, dahulu di kawasan Timur dan sejak abad V juga di kawasan Barat. Pujangga Gereja Tertullianus (abad III di Afrika Utara) masih keberatan terhadap cara berdoa itu, yang dinilainya sebagai “adat kafir”. Cara berdoa itu banyak dipakai dalam liturgi, dahulu dan sekarang (misalnya: doa umat), khususnya di kawasan Timur, tetapi juga di kawasan Barat. </p><p align="justify"></p><p align="justify">368. Litani S. Maria, seperti sekarang ada dan diresmikan, sejak sekitar tahun 1550 beredar, meskipun di kemudian hari masih ditambah sedikit. Tetapi sejak sekitar tahun 1200 sudah ada pendahulu-pendahulunya. Pada abad XV sudah hampir saja terbentuk seperti sekarang. Litani S. Maria itu khususnya mulai dipakai sejak tahun 1531, di tempat ziarah marial Loreto (Italia Tengah). Di situ dihormati “Rumah Maria dan Yesus serta Yusuf”, yang menurut legenda pada tahun 1291 di malam hari dipindahkan dari Nazaret, dahulu ke Dalmatia (Yugoslavia), tetapi kemudian secara ajaib dipindahkan ke Racanati dan akhirnya, pada tahun 1295 ke Loreto sampai dengan hari ini. Tetapi banyak dikunjungi umat Katolik. Dari Loreto Litani itu tersebar ke mana-mana. </p><p align="justify"></p><p align="justify">369. Litani itu dibuka dengan serangkaian seruan (Kasihanilah kami) kepada Kristus dan Allah Tritunggal (masing-masing Diri ilahi disebut). Kemudian disusul serangkaian seruan kepada Maria, yang diminta doanya (Doakanlah kami). Keseluruhan ditutup dengan seruan kepada Kristus sebagai Anak Domba Allah. Jadi ada semacam lingkaran. Dengan bertitik tolak Kristus (Tuhan pada awal memang Kristus) melalui Allah Tritunggal dan Maria orang kembali kepada Kristus. Dengan demikian Maria tetap ditempatkan dalam rangka Kristologi dan Soteriologi. Maria hanya tampil sebagai “pendoa”, jadi penerima “rahmat” yang mendukung mereka yang berdoa dan menggabungkan diri dengan doa Maria. Maka si pendoa tetap terarah kepada Kristus dan Allah. </p><p align="justify"></p><p align="justify">370. Melalui macam-macam julukan Maria disoroti dari pelbagai segi, sebagai Bunda Allah dan Perawan yang unggul (terjemahan Indonesia kurang tepat). Ciri-corak keibuan dan keperawanan Maria diperincikan lebih lanjut. Pada akhir, dengan julukan Ratu, Maria disoroti sebagai yang unggul di antara para kudus, termasuk malaikat, baik para kudus Perjanjian Lama (bapa bangsa, nabi) maupun Perjanjian Baru (Rasul, martir, pengaku iman – confessors -, perawan), </p><p align="justify"></p><p align="justify">371. Barangkali ada baiknya beberapa julukan Maria diperdalam sedikit, oleh karena janggal bunyinya. </p><p align="justify">Dengan julukan <em>Cermin Kebenaran (speculum justitiae)</em> dimaksudkan bahwa diri Maria bagaikan cermin, mencerminkan, memantulkan, memperlihatkan bagi orang beriman “kebenaran Allah”, artinya “tindakan Allah (berupa Yesus Kristus, bdk. 1Kor 1:30), yang “membenarkan”, menyelamatkan, menguduskan manusia. Bagaimana manusia yang seluruhnya “benar” dan kudus berkat tindakan Allah melalui Yesus Kristus, sepenuhnya nampak pada Maria. </p><p align="justify">Maria dijuluki juga <em>“Tahta Kebijaksanaan” (sades sapientiae)</em>. Orang teringat akan Sir 24:4. Kebijaksanaan ilahi berkata tentang dirinya sendiri bahwa bertahta di atas tiang awan (yang menyertai umat Israel di gurun menurut Alkitab). Umat Kristen sudah lama (bdk. 1Kor 1:30) menyamakan Kristus dengan Kebijaksanaan ilahi. Dengan menjadi manusia Kebijaksanaan ilahi tidak lagi bertahta di atas tiang awan, tetapi dalam rahim ibuNya. </p><p align="justify">Juga julukan <em>“Bejana Rohani” (Vas spirituale)</em> menyinggung inkarnasi. Maria kan mengandung dari Roh Kudus (Mat 1:18) dan dituruni Roh Kudus (Luk 1:35). Jadi “bejana rohani” tidak diperlawankan dengan “bejana jasmani”, tetapi berarti: Bejana yang penuh dengan Roh Kudus. </p><p align="justify">Terjemahan Indonesia yang berkata tentang “Bejana Kebaktian utama” kiranya kurang jelas (dan kurang tepat. <em>“Vas insigne devotionis”</em> berarti bahwa Maria merupakan tempat unggul (<em>vas insigne</em>) penyerahan diri, keterarahan diri manusia kepada Allah semata-mata. Maria sepenuh-penuhnya merelakan diri bagi maksud Allah. </p><p align="justify">Kalau Maria dipuji sebagai <em>“Benteng (menara, turris) Daud”</em> dan “Benteng gading (<em>turris eburneus</em>)” orang berpikir kepada Kidung Agung (4:4; 7:4). Di sana pengantin perempuan disebutkan sebagai “menara Daud” dan “menara gading”. Sudah lama (sejak abad IX) Kidung Agung suka ditafsirkan begitu rupa, sehingga pengnatin laki-laki disamakan dengan Kristus dan pengantin perempuan dengan Gereja, jiwa orang beriman dan dengan Maria. Dengan menyebut Maria sebagai “menara Daud” dan “menara gading” Litani S. Maria melukiskan cinta hangat antara Maria dan Kristus, seperti yang berlangsung antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang hanya ingin bersatu. Tentu saja sedikit janggal rasanya bahwa ibu Yesus serentak “pengantin” Kristus. Adapun sebabnya ialah: Maria disamakan dengan Gereja yang dalam Kitab Suci (2Kor 11:1-3; Ef 5:31-32) sudah disebut “pengantin/istri Kristus”. Maria pun disebut “pengantin Kristus” (ataupun “pengantin Roh Kudus”, oleh karena mengandung Yesus dari Roh Kudus). Kalau Litani itu juga menyebut Maria “menara gading” dan “menara Daud”, mirip pengantin dari Kidung Agung, maka maksudnya ialah: menonjolkan cinta kasih Maria yang hangat, yang bersama dengan Kristus melahirkan kita dalam tata penyelamatan. </p><p align="justify">Julukan <em>“Rumah Kencana”</em> mengingatkan orang kepada Bait Allah (bagian belakang) yang menurut 1Raj 6:20-22 dilapisi dengan emas. Maria yang mengandung Yesus, Allah dan manusia, mirip dengan bagian terdalam Bait Allah itu, tempat Allah dianggap hadir di tengah-tengah umatNya.<br />
Dalam bagian Bait Allah itu pun disimpan Tabut Perjanjian. Sudah diuraikan dalam bagian pertama karya ini, bahwa ada sementara penafsir yang berpendapat bahwa Luk 1:39-43 memang mau melukiskan Maria sebagai Tabut Perjanjian. Meskipun tafsiran itu kiranya sebagai tafsiran Kitab Suci kurang berdasar, namun tradisi sudah lama menilai Maria sebagai <em>“Tabut Perjanjian”</em>. Tradisi itulah yang diambil alih dalam Litani S. Maria. Dalam Tabut Perjanjian dahulu disimpan loh-loh (batu) Perjanjian antara Allah dengan umatNya. Adapun Perjanjian Baru, ia terjalin dalam Yesus Kristus, yang sebagai Allah dan manusia mempersatukan Allah dengan (umat) manusia secara tak terbatalkan. Dalam rahim Marialah Perjanjian itu diikat, sehingga ibu Yesus mirip Tabut Perjanjian. </p><p align="justify">Maria pun disebut <em>“Pintu Surga”</em>. Artinya: Tempat Allah “keluar dari surga” untuk mendekati manusia. Dan serentak “Pintu Surga” itu tempat manusia dapat “masuk surga” berkat Anak Maria. </p><p align="justify">Dengan tampilnya Maria di muka bumi dalam sejarah penyelamatan untuk menjadi ibu Yesus, Juru selamat, fajar penyelamatan menyingsing (bdk. Luk 1:79). Maka Litani menjuluki Maria sebagai <em>“Bintang Timur/Kejora”</em> (atau: <em>Stella Matutina</em>). Sebab bintang itu memang tampil di ufuk sebelum matahari terbit (Venus). Venus oleh orang Roma dahulu dipuja sebagai dewi kecantikan dan cinta. </p><p align="justify">Kalau Maria juga disebutkan sebagai <em>“Bunga Mawar yang ajaib” (Rosa Mystica)</em> dalam rangkaian julukan yang mengenai Maria yang mengandung Yesus, maka orang teringat akan suatu lagu terkenal yang mengartikan Yes 11:1 begitu rupa sehingga mengenai Maria, ibu Yesus. Bunyi ayat Yes tersebut sebagai berikut: Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. “Tunas” (keturunan baru dari Isai, ayah Daud) serta “taruk” diartikan sebagai mengenai Maria yang menghasilkan Yesus sebagai buah. Tunggul (mati) pohon mawar, yang secara ajaib (rosa mystica) mulai bersemi dan berbunga, mirip dengan tongkat Harun dahulu (Bil 17:8). Dalam tradisi (apokrip) ibu Maria, Anna, memang mandul dan secara ajaib mengandung Maria sedangkan Maria sebagai perawan “berbuah” Yesus. Pokok mawar yang ajaib. </p><p align="justify">Akhirnya Maria masih dijuluki <em>“Perlindungan orang berdosa” (refugium peccatorum)</em>. Orang berdosa yang dalam doanya bergabung dengan kasih Maria, tentu saja tidak terkena “murka” Allah, Hakim. </p><p align="justify">Kalau Kristus diberi gelar <em>“Raja Damai”</em> (Yes 9:5), wajarlah juga ibu suri, Maria, yang melahirkanNya, dijuluki <em>“Ratu Damai”</em>, artinya damai-sejahtera, keselamatan, yang berpancar dari Anak ibu suri itu. </p><p align="justify"></p><p align="justify">372. Kalau Litani yang memang marial, dianalisis sedikit, kentaralah sudah betapa kristosentrik seluruh doa kepada Maria itu. Maria terus disoroti dalam relasinya dengan Kristus, sehingga Maria tidak dapat tidak mengantar orang yang berdoa kepadanya kepada Kristus dan begitu kepada Allah Tritunggal, sebagaimana dengan tegas ditonjolkan pembukaan seluruh Litani itu. Maka doa penutup yang biasanya ditambah pada Litani langsung tertuju kepada Allah sendiri sebagai berikut: “Ya Tuhan dan Allah, kami mohon: berilah agar kami, hamba-hambaMu ini, senantiasa bergembira atas kesehatan jiwa dan raga. Semoga berkat doa syafaat yang luhur Bunda Maria tetap perawan, kami dibebaskan dari keadaan sedih sekarang serta diperkenankan menikmati sukacita yang kekal, dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin”. </p><p align="justify"></p><p align="center"><strong>C. PATUNG/GAMBAR MARIA </strong></p><p align="justify"></p><p align="justify">373. Devosi marial umat Katolik kerap kali dihayati seputar patung dan gambar Maria. Gereja-gereja Katolik biasanya dihiasi dengan macam-macam gambar dan patung Kristus dan para kudus. Di antara patung/gambar para kudus patung/gambar Marialah yang menempati kedudukan paling depan. Patung dan gambar itu bukan hiasan belaka dan tidak hanya (kadang-kadang) amat berharga sebagai karya seni rupa yang jitu. Sebaliknya, bagi rakyat Katolik patung/gambar (betapapun jeleknya ditinjau dari segi seni rupa) menjadi sasaran devosi, yang dapat sangat hangat dan emosional. Orang beriman berlutut di depan patung/gambar itu, asyik berdoa; dibakar dupa dan lilin di depannya. Patung/gambar itu dicium, dipeluk, dilambai-lambai, dielus-elus. Patung diberi pakaian serba indah dan mahal, dimahkotai oleh uskup dan malah oleh Sri Paus sendiri (sejak tahun 1630 “pemahkotaan” dan “pentahtaan” patung Maria menjadi semacam “adat”). Patung/gambar Maria diarak-arak berkeliling disertai massa rakyat, para pejabat sipil, militer dan agama, dengan pengawal prajurit kehormatan dsb. Patung/gambar kerap dianggap “sakti”, dapat menyembuhkan orang sakit dan ternak serta mengerjakan macam-macam “mukjizat”. Di sekitar patung/gambar dapat berkembang macam-macam legenda, yang mesti mengilustrasikan kesaktiannya, secara ajaib ditemukan atau dibuat dan sebagainya. </p><p align="justify"></p><p align="justify">374. Gejala devosional tersebut tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memancing pikiran. Agama monoteis, seperti agama Yahudi dan Islam, blak-blakan menolak dan menentang segala macam patung/gambar, entah patung/gambar Allah entah patung/gambar manusia atau mahluk lain, biar Musa atau Muhammad sekali pun, sebagai sasaran sikap keagamaan atau dalam rangka ibadat. Orang Yahudi membaca dalam Kitab Sucinya, bagi orang Kristen Perjanjian Lama (Kel 20:4; Ul 5:8): Jangan membuat patung bagimu yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Larangan itu diartikan secara mutlak, tanpa kecuali. Islam tidak kurang mutlak dalam larangannya. Umat Kristen yang berpangkal pada Reformasi (kecuali Anglikan, yang sikapnya mendua) juga tidak mengizinkan gambar dan patung menjadi berperan dalam agama. Mereka amat mencurigai dan tidak menyetujui praktek yang ada pada umat Katolik dan Yunani-Ortodoks, di mana berkerumunlah patung dan gambar (ikon-ikon), dalam ibadat resmi maupun dalam devosi perorangan. </p><p align="justify"></p><p align="justify">375. Pada umat Kristen selama dua abad pertama sikap Yahudi – antipatung/gambar – diteruskan. Tetapi sejak abad II di kawasan Timur, kemudian di kawasan Barat, patung/gambar Kristus dan tokoh-tokoh yang tampil dalam Kitab Suci, mulai dipasang pada kuburan dan ruang tempat jemaah berkumpul. Selama abad IV-V patung/gambar semakin besar peranannya dan dihormati. Terhadap kritik yang dilontarkan, gambar dan patung dibela. Dinilai sebagai sarana pendidikan religius orang sederhana dan pada gambar/patung ada daya pengudus. Selama abad VII gambar/patung semakin menjadi sasaran devosi dan ibadat umat beriman. Patung/gambar dinilai sebagai berdaya gaib, yang melindungi orang, tempat, kota dan sebagainya terhadap malapetaka dan bencana. </p><p align="justify"></p><p align="justify">376. Pada abad VIII tercetuslah reaksi dan suatu krisis yang hebat (disebut: ikonoklasme). Pimpinan sipil dan religius mulai menentang dan melarang patung/gambar, yang banyak dihancurkan dan dibakar. Kaisar Konstantin V (tahun 726) melarang dengan undang-undang pemakaian gambar/patung. Suatu sinode uskup di Konstatinopolis pada tahun 754 dan 815 dengan keras mengutuk dan melarang patung/gambar. Allah tidak mungkin digambarkan. Dengan menggambarkan Kristus orang atau nyatanya mau menggambarkan keilahian (yang tidak mungkin) atau memisahkan kemanusiaan (yang digambarkan) dari keilahian. Dengan demikian orang jatuh ke dalam bidaah yang menyangkal kesatuan Kristus. Akhirnya dengan menghormati gambar dan patung orang sebenarnya menyembah berhala. </p><p align="justify"></p><p align="justify">377. Tetapi juga ada tokoh-tokoh besar yang mati-matian membela pemakaian gambar/patung. Paling berjasa dalam hal itu ialah Yohanes dari Damsyik (± tahun 749) dan Theodorus Sang Studites (± tahun 826). Mereka menekankan bahwa yang rohani dan yang jasmani tidak boleh dipisahkan. Mereka yang melawan gambar/patung menghina kejasmanian dan jatuh ke dalam “gnosis” kuno yang menilai kejasmanian jahat, bukan ciptaan Allah. Mereka pun menyangkal bahwa Yesus benar-benar manusia. Berkat inkarnasi Allah menjadi kelihatan, sehingga dapat digambarkan juga. Dengan demikian larangan Perjanjian Lama sudah dicabut Allah sendiri. Oleh karena selagi hidup para kudus penuh dengan Roh Kudus, maka setelah mereka meninggal Roh Kudus tidaklah jauh dari kubur-kubur mereka serta gambar mereka. Tentu saja gambar/patung tidaklah sama dengan apa/siapa yang digambarkan. Bukan gambar/patung yang dihormati, tetapi penghormatan melalui gambar/patung tertuju kepada orang yang digambarkan. Orang kudus pun tidak disembah, seperti Allah disembah. Tetapi gambar/patung, sama seperti tempat-tempat Yesus dahulu hidup, mendapat semacam “daya ilahi”. Melalui gambar/patung itu Allah mengerjakan keselamatan manusia. Gambar/patung kini berperan seperti dahulu mukjizat Yesus berperan. Waktu suci dahulu itu seolah-olah kembali bagi kaum beriman melalui gambar/patung itu. Baiklah diingat bahwa para teolog Gereja di kawasan Timur membedakan antara (zat) Allah, yang tidak tercapai oleh manusia, dan daya <em>(energeia)</em> Allah yang ada di dunia ini demi untuk ekselamatan menyeluruh manusia. </p><p align="justify"></p><p align="justify">378. Pertikaian sengit itu diputuskan oleh konsili Nikea II, tahun 787 (DS 600-603). Konsili itu mendukung pendirian Yohanes dari Damsyik dan Theodorus Sang Studites. Konsili membela dan mempertahankan pemakaian gambar/patung dalam ibadat dan sebagai sarana devosi. Di zaman Reformasi “ikonoklasme” hidup kembali dan banyak patung/gambar yang amat bernilai (sebagai hasil kebudayaan) dimusnahkan. Konsili Trente pada tahun 1563 (DS 1821-1824) mengulang dan mempertahankan pendirian konsili Nikea II. Selama tahun 1960-1970-an di sebagian gereja Roam Katolik “ikonoklasme” itu sekali hidup kembali, khususnya di kalangan rohaniwan, yang membuang gambar dan patung dari gerejanya. Konsili Vatikan II (SC n. 125.128) tetap mempertahankan pemakaian gambar/patung dalam ibadat gereja. </p><p align="justify"></p><p align="justify">379. Maka, menurut pendekatan Katolik yang tradisional, tidak ada kesulitan terhadap gambar/patung Maria sebagai sasaran devosi (rakyat). Tentu saja tidak ada “kewajiban” memakai sarana itu, tetapi juga tidak dapat dilarang dan kurang bijaksana menentangnya. Religiositas dan iman rakyat justru paling hangat dihayati, jika dapat disalurkan melalui objek konkret yang dapat dilihat dan diraba-raba. Semuanya terjadi secara spontan dan tidak menjadi refleks. Namun sasaran devosi itu bukanlah gambar/patung, melainkan diri Maria. Seperti rakyat memakai objek konkret, demikian pun Allah dapat memakai objek konkret untuk menjalin relasi dengan diriNya dan dengan para kudus, yang – menurut ajaran tentang persekutuan para kudus – memang ada dan dapat menjadi dihayati dan dialami. Bagi umat sarana itu menjadi jalan untuk menghayati “persekutuan para kudus”. Tentu saja devosi itu dapat bercampur dengan takhayul dan magi. Hanya sukar sekali dalam praxis membedakan dan memisahkan iman sejati dari takhayul. Kalau misalnya Maria atau Antonius “dihukum” oleh karena doa tidak terkabul, dengan menjemur patung mereka atau menempatkannya di hujan deras, sukar mengatakan apakah itu suatu gejala “familiaritas” rakyat dengan Maria/Antonius, atau suatu magi belaka. </p><p align="justify"></p><p align="justify">380. Sedapat mungkin (tentu saja sukar sekali) kebiasaan tersebut mesti diawasim supaya devosi dan sarana kerakyatan tetap tinggal pada tempatnya dan jalur tepat. Maria mesti tinggal pada tempatnya (yang unggul dalam sejarah dan tata penyelamatan) dan tidak boleh menjadi terisolasikan dari Kristus dan Allah. Gambaran/patung/lukisan dahulu hampir selalu mengikutsertakan Yesus, Anak Maria, sehingga jarang Maria menjadi tersendiri. Gambar/patung yang menampilkan Maria tersendiri masih relatif baru dalam sejarah ikonografi. Kalau tampil seorang diri gambar Maria itu biasanya diinspirasikan oleh Why 12 atau ajaran/dogma tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal. Juga dogma tentang Maria yang diangkat ke surga dan menjadi Ratu mengispirasikan patung/gambar Maria seorang diri saja. Barangkali perkembangan itu boleh disesalkan sedikit. Ada kemungkinan bahwa dalam devosi rakyat Maria menjadi terisolasikan dan objek devosi yang tidak lagi terarah kepada Kristus dan Allah. </p><p align="justify"></p><p align="justify">381. Apa yang dikatakan mengenai gambar/patung Maria berlaku pula untuk medali yang bergambar Maria dalam salah satu rupanya. Di sini pun amat sukar membedakan dan memisahkan penyalahgunaan sebagai jimat belaka atau penggunaan tepat. Iman sejati dan takhayul secara psikologik kerap kali berdekatan satu sama lain. Orang (cendikiawan) Roma dahulu menilai orang Kristen sebagai penuh takhayul <em>(superstitio)</em>. Beberapa ratus tahun kemudian orang Kristen menilai orang Roma sebagai penuh dengan takhayul. Ini hanya sebagai ilustrasi bagaimana pendirian orang yang bersangkutan menentukan penilaiannya terhadap orang lain. Kalau dewasa ini umat Protestan kerap menilai umat Katolik sebagai “penuh takhayul” (karena memanipulasikan rosario, medali, skapulir, gambar, patung dan sebagainya), maka ejekan itu berkata banyak tentang oran yang melontarkannya, tetapi sedikit sekali tentang rakyat Katolik. Boleh jadi orang Katolik menilai caranya umat Reformasi “memanipulasikan” Alkitab sebagai “takhayul”. Tetapi itu pun tidak mengatakan apa-apa mengenai iman umat Protestan. Baiklan semua orang selalu ingat akan kebebasan anak-anak Allah, juga dalam cara menghayati imannya. </p><p align="justify"></p><p align="center"><strong>D. ZIARAH </strong></p><p align="justify"></p><p align="justify">382. Suatu gejala religius, teristimewanya dalam agama rakyat, ialah berziarah ke tempat keramat. Entah secara perorangan entah secara berkelompok (yang paling disukai) orang beriman (bukan wisata) mengunjungi tempat tertentu, yang dianggap “suci/keramat”. Di tempat itu Yang Ilahi (Allah) hadir secara khusus dan berkarya. Orang mengharapkan mendapat, di tempat itu, macam-macam berkat, entah yang amat spiritual – seperti pengalaman akan persatuan dengan Yang Ilahi/Allah atau pengampunan dosa, entah berkat yang paling material (penyembuhan, keberhasilan dalam usaha dan karya, jodoh, anak, dsb.). Di tempat ziarah itu selalu ada sesuatu yang menjadi objek dan sasaran khusus devosi, misalnya: makam keramat, pohon keramat, batu keramat, patung/gambar ajaib, peninggalan salah satu “penampakan” dari “yang kudus”, yang masih ada, peninggalan (relikwi) orang kudus. Biasanya di tempat ziarah itu terdapat tiga unsur, yaitu air (sumber, perigi, sungai ajaib), batu (mezbah, gua, tiang batu) dan pohon (keramat, aneh bentuknya, tua sekali dan sebagainya). Begitu semua unsur kosmik ada (air, materi, hidup). Begitu menjadi nyata bahwa adat “berziarah” itu berurat berakar dalam religi kosmik. Adat itu malah begitu kuat, sehingga dewasa ini turut “disekulerkan”. Makam Lenin, Mao Ze Dong, Washington, Sukarno, Lubang Buaya dsb. sudah menjadi “tempat ziarah” yang kuasi-religius sifatnya. </p><p align="justify"></p><p align="justify">383. Kebiasaan “berziarah” tidak hanya terdapat pada agama-agama “primitif”. Sebaliknya kebiasaan religius itu paling matang dalam agama-agama yang paling berkembang. Orang-orang Hindu berziarah ke sungai-sungai “suci”, khususnya sungai Gangga sekitar Benares dan lain-lain tempat untuk mendapat pembersihan yang paling mendalam dan radikal. Agama Yahudi/Israel sejak awal mempraktekkan “ziarah”, seperti diceritakan dan diatur dalam Perjanjian Lama. Para nenek moyang berziarah ke tempat-tempat suci, tempat kehadiran dan penampakan Allah (Kej 12:6-8; 13:3-4.18; 35:6; 28:19-21). Di zaman para Hakim ada pelbagai tempat ziarah (Hak 21:19-21; 1Sam 1:21; 2:19). Akhirnya Yerusalem menjadi tempat ziarah utama, bahkan satu-satunya yang legal. Semua laki-laki dewasa (sejak berumur 12 tahun) wajib berziarah ke Yerusalem tiga kali setahun (1Raj 12:27; Kel 34:23; Ul 16:16). Menurut Luk 2:41-42 Yesus pun, setelah menjadi <em>“bar mizwot”</em>, 12 tahun, menunaikan kewajiban itu. Sejak Bait Allah hancur (tahun 70 Mas.) dan tidak dibangun kembali, orang Yahudi masih juga berziarah ke sisa Rumah Allah (Tembok Ratapan). Pertobatan para bangsa di masa mendatang dilukiskan sebagai suatu ziarah ke Sion, Yerusalem (Yes 2:2-4; 60:3-5; bdk. Mat 8:11). Setiap orang Indonesia tahu betapa penting bagi saudara-saudara Muslimin untuk “naik haji”, berziarah ke “Baitullah” dan mendapat di sana pengampunan segala dosa dan berdekatan dengan Allah, memupuk iman Abraham, moyang sekalian orang beriman. </p><p align="justify">384. Ziarah mempunyai suatu peranan sosio-religius yang amat penting. Tempat suci dan keramat itu mempersatukan seluruh umat beriman. Terasalah misalnya peranan itu pada umat Islam. Kerap kali “persaudaraan” Muslimin nampaknya suatu cita-cita yang tidak terjangkau. Namun (bersama dengan Al-Quran) justru ziarah yang terus-menerus memupuk dan menyadarkan kembali persaudaraan seluruh umat Islam. Ziarah pun menghilangkan semua perbedaan sosial. Semua orang yang ikut serta dalam ziarah menjadi setingkat dan seharga. Pria dan wanita, orang yang berkuasa dan yang tidak berkuasa, kaya dan miskin, tua dan muda, semua sama-sama ikut serta dalam ziarah dan upacara-upacara yang bersangkutan. Unsur ini paling menyolok pada ziarah kaum Muslimin ke Mekkah, yang mewajibkan semua orang mengenakan pakaian yang sama. Akhirnya di tempat ziarah itu langit dan bumi, yang ilahi dan ciptaannya (makam, pohon, patung, relikwi) melebur menjadi satu. Melalui tempat suci/keramat itu Yang Ilahi merasuki hidup sehari-hari dengan segala keperluan dan kesusahannya yang kecil-kecil. Dalam rangka ini tidak mengherankan bahwa ziarah yang pada intinya religius sifatnya disertai “keprofanan” yang menyolok. Ziarah serentak rekreasi dan piknik (wisata), menjadi pasar (malam), warung-warung di sekitar tempat ziarah biasanya berkerumun. Orang dapat berkecil hati karena “profanisasi” macam itu, tetapi juga dapat melihatnya sebagai tanda bahwa langit dan bumi memang melebur dan Yang Ilahi merasuki hidup yang nyata. </p><p align="justify"></p><p align="justify">385. Mula-mula agama Kristen (setelah terpisah dari agama Yahudi) tidak tahu akan ziarah. Yerusalem pada tahun 70 Mas. sebagai pusat religius hilang dan penggantinya belum ada. Tidak ada bukti bahwa misalnya makam Yesus berperan (kecuali barangkali bagi jemaah di Yerusalem). Sebab ingatan akan tempat Yesus dikubur nyatanya tidak ada di kemudian hari. Meskipun Stefanus (Kis 7:54-60) dan rasul Yakobus (Kis 12:2) menjadi “martir”, namun tidak ada bekasnya dalam Perjanjian Baru, bahwa kubur atau peninggalan mereka (dan rasul-rasul lain) selanjutnya berperan dalam penghayatan iman umat Kristen. Demikian pun dalam Perjanjian Baru tidak ada bekasnya bahwa umat Kristen berziarah ke tempat suci orang Yahudi. </p><p align="justify"></p><p align="justify">386. Kebiasaan berziarah baru mulai berkembang pada umat Kristen setelah para martir menjadi sasaran devosi rakyat (sekitar tahun 200). Selama abad IV-VI kebiasaan berziarah ke makam para martir dan relikwi mereka (yang dibawa ke mana-mana) di seluruh kawasan Timur dan Barat menjadi populer sekali. Sepanjang zaman pertengahan (dan sesudahnya) unsur itu menjadi penting sekali dalam hidup keagamaan rakyat. Tempat ziarah yang paling penting selama zaman pertengahan ialah Tanah Suci, yang telah dikuduskan oleh kehadiran Tuhan sendiri dahulu, sehingga tetap secara khusus berharga. Ditentukan saja – sebab tidak ada ingatan – tempat Yesus lahir, dikubur, mengerjakan mukjizat, mengalami pencobaan, mau dilempar dari tebing, berubah rupa, dsb. Tempat ziarah kedua adalah makam S. Yakobus di Santiago de Compostella dan akhirnya Roma. Itu bersangkutan dengan semakin menonjolnya uskup Roma (Paus). Secara formal tujuan ziarah itu ialah makam Petrus dan Paulus, tetapi semakin Paus sendiri menjadi tujuannya, ia kan dinilai sebagai <em>“Vicarius Christi”</em> (wakil Kristus di bumi) sehingga menjadi “keramat”. Sampai dengan dewasa ini Roma dan Sri Paus menjadi tujuan ziarah umat Katolik (dipupuk dengan diadakannya “tahun suci”, “tahun Yubilé). Roma lebih penting daripada Tanah Suci! Dalam Gereja Roma Katolik “berziarah ke Roma” berperan sebagai pemersatu umat, mirip dengan “naik haji” pada umat Islam. Tidak mengherankan bahwa kebiasaan Katolik itu menjengkelkan umat Reformasi, yang menilainya sebagai “kultus individu”. </p><p align="justify"></p><p align="justify">387. Setelah ibu Yesus tampil dan semakin menonjol sebagai sasaran devosi rakyat, maka Maria pun menjadi sasaran devosi yang disalurkan melalui “berziarah”. Jumlah tempat, di mana Maria secara khusus “berkarya” dan mengabulkan doa terus tambah banyak, akhirnya tidak terbilang jumlahnya. Hampir saja setiap kota dan desa yang penting sedikit menjadi tempat ziarah. Setiap tempat mempunyai keistimewaan sendiri dengan menekankan salah satu segi pada ibu Yesus atau berkat khusus yang di tempat itu dapat diperoleh dan keperluan khusus yang mau dilayani. Maria pun diberi nama baru, yaitu nama kota, desa yang bersangkutan. Misalnya: Maria dari Lourdes, Maria dari Loreto, dsb. Tempat tertentu menjadi tempat ziarah, oleh karena ada keyakinan bahwa Maria pernah nampak di situ, atau patungnya ditemukan di situ. Ada juga “relikwi” khusus Maria dan sebagainya. Daya khayal rakyat memang tidak ada habis-habisnya. Tempat-tempat ziarah, yang kerap kali hanya mempunyai arti lokal atau regional saja, sepanjang sejarah mengalami pasang naik dan pasang surut, maju-mundur. Banyak juga yang berhenti berperan sama sekali, mati dan macet. Kerap kali tidak jelas mengapa. </p><p align="justify"></p><p align="justify">388. Tempat ziarah marial yang dewasa ini mempunyai makna internasional ialah: Guadalupe (Meksiko sejak tahun 1531), Lourdes (Perancis sejak 1858), Fatima (Portugal, sejak tahun 1917) dan Loreto (Italia, sejak 1295). Terkenal juga “Madonna Hitam” di Czestochowa di Polandia. Tempat ini terlebih mempunyai arti nasional, bahkan nasionalis dan politik. Kebanyakan tempat ziarah itu bersangkutan dengan kepercayaan bahwa Maria pernah menampakkan diri di situ. Di Indonesia tempat ziarah marial terus bertambah banyak, padahal tempat ziarah lain belum ada (barangkali Sandjojo di Muntilan). Semua gejala “devosi rakyat” tampil di situ (batu, pohon, air mesti ada juga); pasang lilin, membakar surat permohonan, dupa, jaga malam, doa rosario, tanda terima kasih – exvotum –, campuran religius-profan dan sebagainya. Secara spontan gejala-gejala itu muncul dan terus berkembang. Ada Sendangsono, Sriningsih, Gua Kerep Jawa Tengah, Sumatera Selatan. Di mana-mana “tempat ziarah” seolah-olah diusahakan, tentunya atas dasar pertimbangan bahwa berguna sebagai saluran devosi rakyat. Hanya “usaha” yang disengaja sama sekali tidak terjamin berhasil. Devosi rakyat bersifat spontan. </p><p align="justify"></p><p align="justify">389. Setiap tempat ziarah biasanya mempunyai “legendanya” sendiri, yang mesti menjelaskan asal usul tempat itu. Sebagai contoh dapat diambil “legenda” tempat ziarah Renya Rosario di Larantuka. Begini isinya: Di Malaka sebuah gereja (Portugis) dilanda banjir. Patung Maria terhanyut ke laut. Patung itu mengarungi laut dan singgah di Kalimantan, Minahasa, Ternate, Ambon, tetapi akhirnya terdampar di pantai Larantuka, yang masih kafir belaka. Putri raja Larantuka (Resino) pergi ke pantai dan mendengar nyanyian yang serba merdu. Nampaklah seorang wanita berpakaian putih dan berwajah berkilau-kilauan. Resino terkejut, lari pulang ke kampung. Bersama ayahnya ia kembali ke pantai. Wanita itu masih juga berdiri di situ. Waktu ditanyakan siapa dia, wanita itu menulis di pasir pantai. Tetapi tidak terbaca oleh rakyat yang masih buta huruf. Tulisan itu diberi pagar batu, supaya jangan terhapus. Setengah tahun kemudian tibalah seorang misionaris Katolik. Ia segera diantar ke tulisan itu. Ternyata apa yang tertulis ialah: Renya Rosario. Demikianlah devosi rakyat terdukung oleh legenda. </p><p align="justify"></p><p align="justify">390. Suatu gejala lain yang sepanjang sejarah ditemukan ialah sebagai berikut: Suatu tempat suci/keramat yang sudah ada, diambil dalih dan disesuaikan seperlunya, kalau ada agama lain yang menjadi unggul. Demikian terjadi misalnya dengan tempat suci-ziarah umat Israel dahulu. Waktu suku-suku itu masuk daerah Palestina, mereka mengambil alih saja tempat keramat yang sudah ada. Lalu diciptakan ceritera bahwa tempat suci itu dibuat oleh nenek moyang Israel sendiri. Sampai dengan tempat Bait Allah di Yerusalem menempuh proses itu. Demikian pun Muhammad “mengislamkan” tempat keramat dan ziarah orang-orang Arab sebelumnya, Ka’ba di Mekkah. Dalam hal itu agama Kristen tidak berbeda. Kebanyakan tempat ziarah marial sebenarnya sebelumnya sudah tempat keramat. Tetapi dikristenkan saja. Yang sama terulang sampai hari ini. Sendangsono, Gua Kerep memang tempat keramat tradisional. </p><p align="justify"></p><p align="justify">391. Meskipun kebiasaan berziarah kerap kali didukung dan dimanipulasikan oleh pemimpin Katolik (pastor, uskup, paus), namun sepanjang sejarah adat kerakyatan itu tidak terluput dari kritik juga. Sejak abad IV kritik terhadap praktek nyata dilontarkan, meskipun umumnya prinsip diterima. Kecaman misalnya dilontarkan oleh Agustinus, Gregorius uskup Nisa, Yohanes Chrisostomus, Hieronimus, Iminatio Christi, dsb. Ada juga yang tidak hanya mengecam praktek, tetapi juga menolak prinsip ziarah sendiri. Siapa yang menolak Allah yang transenden, yang dapat berkarya di dunia, mesti menolak dasar ziarah. Jika devosi kepada orang-orang kudus, termasuk Maria, ditolak, ziarah turut ditolak. Para Reformator menolak praktek itu oleh karena dinilai sebagai “prestasi” manusia yang dengan jalan itu mau mengerjakan kekudusannya sendiri. </p><p align="justify"></p><p align="justify">392. Kritik atas praxis yang nyata selalu mungkin dan perlu. Spontanitas devosi rakyat, juga dalam kebiasaan berziarah, perlu diawasi dan dikritik atas dasar unsur-unsur dasariah iman kepercayaan Kristen. Salah satu praxis nyata, seperti berziarah, tidak dapat dinilai mutlak perlu apalagi “diwajibkan”. Dalam hal “devosi marial” orang boleh memilih atau tidak memilih salah satu praxis. Benar juga bahwa praxis berziarah tidak tercetus oleh iman kepercayaan Kristen. Praxis itu berurat berakar dalam religiositas wajar dan alamiah serta kebutuhan manusia yang jasmaniah. Ia mesti mengekspresikan diri secara jasmaniah.<br />
Jikalau orang menganggap seluruh religiositas wajar sebagai hasil dosa dan kesombongan manusia (seperti pernah diajarkan K. Barth serta pendukung-pendukungnya), tentu saja praxis ziarah turut dikutuk dan ditolak. Sebaliknya, jikalau orang yakin (ini pendirian Katolik), bahwa manusia seadanya ada kemungkinan yang baik dan bahwa Allah, Juru selamat umum dan Roh Kudus berkarya di luar rangka kekristenan, dan jika orang yakin bahwa dunia semesta diikutsertakan dalam misteri inkarnasi, maka tidak ada keberatan prinsipal terhadap religiositas rakyat serta pengungkapannya, termasuk ziarah. Iman mesti menjelma pada manusia seadanya, maka tidak ada keberatan prinsipal bahwa iman itu diungkapkan dan disalurkan melalui praxis tradisional. Serentak nyata pula bahwa ekspresi itu dapat dan nyatanya berubah sesuai dengan kebutuhan dan situasi. Umat beriman “berziarah” dalam sejarah, dan ciri itu dapat diekspresikan melalui praxis berziarah ke tempat suci, tempat orang atas dasar imannya dapat mengalami karya Allah yang mengikutsertakan ibu Maria dalam karya penyelamatan dan sejarah. </p><p align="justify"></p><p align="center"><strong>E. PENAMPAKAN MARIA</strong> </p><p align="justify"></p><p align="justify">393. Suatu gejala yang berperan besar dalam devosi marial rakyat Kristen-Katolik ialah “penampakan Maria”. Sejak abad IV gejala itu sudah ada dan tersedia amat banyak ceritera k.l. legendarik dan berita tentang penampakan semacam itu. Banyak tempat ziarah dikaitkan pada salah satu penampakan. Sampai dengan hari ini gejala itu berlangsung dan terdapat di banyak negeri, khususnya di kawasan Barat. Hampir setiap tahun diberitakan penampakan lain lagi. Amat banyak berita macam itu adalah palsu. Kalau diteliti dengan seksama, penampakan itu oleh pimpinan Gereja dinilai “tidak benar”, artinya: entah bagaimana tidak berasal dari Allah. Yang akhir-akhir ini ditolak (oleh karena ada akibatnya pada umat) ialah di Lipa, Filipina, tahun 1948; Garabandal, Spanyol, tahun 1961-1965; S. Damiano, Italia, tahun 1961-1965; Cabra, Filipina 1966-1968. Masih (sejak tahun 1981) berlangsung penampakan Maria di Medjugorje, Yugoslavia, yang belum secara definitif dinilai. Penampakan-penampakan paling padat terjadi, bila dunia atau umat Katolik mengalami situasi gawat. </p><p align="justify"></p><p align="justify">394. Ada sejumlah “penampakan Maria” yang oleh pimpinan Gereja Katolik dinilai “sejati”, “benar”, yaitu: “Penampakan di Guadalupe, Meksiko pada tahun 1531. Ceritanya begini: Seorang petani pribumi, Juan Diego Nahuatl (=rajawali) “melihat” Maria yang meninggalkan gambarannya pada sepotong kain yang sedang dipakai petani itu. Ada penampakan di Paris, tahun 1830-1832 kepada Katarina Labouré, yang mencetuskan tersebarlah “medali ajaib”, yang di atasnya tertera gambar Maria seperti dialami Katarina. Penampakan Maria kepada tiga anak di Salette, Perancis, tahun 1846. Penampakan kepada tiga anak di Beauraing, Perancis, tahun 1932-1933 dan sekali lagi di Baneux, Belgium, tahun 1933. Penampakan di Pontmain, Perancis, tahun 1871, dan di Pompeji, Italia, 1876. Paling terkenal dewasa ini ialah Penampakan Maria kepada Bernardette di Lourdes, Perancis, tahun 1858, dan kepada tiga anak di Fatima, tahun 1917. </p><p align="justify"></p><p align="justify">395. Orang (teolog) berkata tentang “penampakan” manakala sesuatu/seseorang, yang secara wajar dan alamiah serta inderawi tidak dapat diamati, “diamati” (dilihat, didengar, dicium, diraba) oleh orang bersangkutan menurut kesan dan keyakinan orang itu. Dalam rangka teologi perkaranya sesuatu/seseorang yang bersangkutan dengan Allah, yang ilahi. Bentuk dan rupa dapat berbeda-beda, dapat misalnya berupa simbol belaka atau berupa manusiawi. Biasanya “penampakan” <em>(apparitio)</em> dan “penglihatan” <em>(visio)</em> disamakan saja. Orang juga dapat membedakannya. Kalau dibedakan, maka “penglihatan” <em>(visio)</em> ialah sesuatu/ seseorang yang disadari menjadi dapat diamati, sedangkan “penampakan” <em>(apparitio)</em> ialah seseorang/sesuatu menjadi diamati, padahal secara aktual tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. Dalam Kitab Suci ada ceritera tentang “penampakan” semacam itu (Bil 24:3-4; Amos 7:1-9; 8:1-3; Yes 6; Yer 1:11-19; Yeh 1; Ayb 4:12-21; Kis 10:10-15; 11:5-7; 22:17; 2Kor 12:1-3). Tetapi, kalau dikecualikan 2Kor 12:1-3, sedikit sukar menentukan sejauh mana suatu peristiwa dilaporkan dan sejauh mana ceritera itu merupakan sarana kesusteraan belaka.</p><p align="justify">Demikian pun halnya dengan “penampakan/penglihatan” yang mengisi kitab Wahyu Yohanes. </p><p align="justify"></p><p align="justify">396. Penampakan/penglihatan yang dimaksud dalam rangka ini secara dasariah berbeda dengan “penampakan” Yesus yang dibangkitkan, seperti diceritakan dalam keempat Injil dan Kis 1 dan yang disebutkan dalam 1Kor 9:1; 15:5-8. Penampakan itu – entahlah apa persis terjadi dan bagaimana – termasuk ke dalam karya penyelamatan dan mencetuskan iman (matang) kepada Yesus Kristus. Yang sama tidak dapat dikatakan tentang penampakan lain dalam rangka iman kepercayaan.<br />
Penampakan yang dimaksud juga berbeda dengan pengalaman “mistik”. Pengalaman mistik merupakan suatu pengalaman batiniah belaka bagi orang yang bersangkutan dan tidak termasuk ke dalam apa yang – menurut keyakinan orang yang bersangkutan – secara lahiriah dan inderawi diamati. Tentunya seorang mistikus dapat memperolah “penampakan” juga, tetapi kalau demikian pengalaman itu berbeda dengan pengalaman mistiknya. </p><p align="justify"></p><p align="justify">397. Suatu penampakan Maria dinilai “sejati” atau “benar”, bilamana cukup pasti (secara manusiawi) bahwa gejala itu berasal dari Allah (melalui Maria). Padahal penampakan dinilai “tidak sejati”, “tidak benar”, kalau cukup pasti bahwa gejala itu cukup dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor psikologik/para-psikologik. Dalam prakteknya agak sukar menentukan kapan suatu penampakan boleh dinilai “sejati/benar”, kapan “tidak sejati/benar”. Penyelidikan dari pihak Gereja kerap kali hanya sampai berkesimpulan: <em>“non constat de veritate”</em> (tidak pasti benar). Kalau cukup pasti “tidak sejati/benar”, kesimpulannya berbunyi: <em>“constat de non veritate”</em> (pasti tidak benar). Tidak dapat diragukan bahwa gejala yang disebut “penampakan (Maria)” seluruhnya dapat berasal dari orang yang bersangkutan sendiri, khususnya pada orang yang struktur jiwanya secara tetap atau insidential tidak seimbang, tidak sehat, amat sugestibel, emosional, dsb. Maka pada “penampakan Maria” mesti diterapkan baik tolok ukur psikologik/kedokteran maupun teologik, a.l. tetap tinggal dalam rangka iman sejati dan benar dan moral yang sehat, serta menghasilkan hal-hal yang baik, bagi orang yang bersangkutan dan bagi lain-lain orang. Meskipun penipuan dapat dan nyatanya terjadi, namun tidak perlu orang yang mendapat penampakan tidak benar juga dengan sengaja menipu dan menyesatkan. Boleh jadi ia sendiri benar-benar yakin, bahwa “melihat Maria”. Hanya keyakinan pribadi belum menjaminn kesejatian penampakan itu. Jadi pelbagai tolok ukur perlu dipasang sebelum ada kepastian yang cukup terjamin. Maka janganlah orang terlalu cepat percaya pada penampakan Maria. </p><p align="justify"></p><p align="justify">398. Kalau ada kepastian yang cukup mengenai “penampakan Maria”, bagaimana dapat, mesti dipahami? Pastilah Maria tidak dilihat dalam eksistensi aktualnya (surgawi). Tidak mungkin Maria dilihat dalam keadaan itu oleh manusia yang berada dalam keadaan “dunia”. Tetapi, menurut keyakinan Kristen, Allah dengan Roh KudusNya memang hadir dan berkarya di dunia ini dan di dalam orang beriman. Pengaruh ilahi itu dapat menyebabkan bahwa hubungan yang ada antara orang beriman dan Maria (persekutuan para kudus) secara personal dihayati, secara amat intensif terpengaruh oleh Roh Kudus. Pengaruh itu (dapat) menyebabkan bahwa orang yang bersangkutan “memproduksi” dari dalam dirinya bentuk dan rupa konkret Maria. Jadi pada penampakan itu ada unsur objektif, yaitu pengaruh/rahmat ilahi, dan unsur subjektif (caranya pengaruh/rahmat itu menjadi terwujud). Nyatanya hampir selalu duduknya perkara yang sebenarnya, bahwa Maria nampak dalam bentuk dan rupa yang sudah dikenal orang yang bersangkutan (misalnya melalui gambar, patung, lukisan dan sebagainya yang pernah dilihat). Inti penampakan berasal dari Allah (melalui Maria), tetapi bentuk dan rupa berasal dari orang yang bersangkutan. “Rahmat” dan “kodrat” memang tidak terpisah dan sukar dibeda-bedakan. Struktur jiwa orang yang bersangkutan memegang peranan tidak kecil. Cukup menarik perhatian bahwa “penampakan” kerap kali, bahkan biasanya, terjadi pada anak muda, wanita dan orang yang struktur jiwanya amat sederhana. Pengaruh Allah/Roh Kudus yang berkarya pada orang lain juga, pada orang macam tersebut menghasilkan penampakan padahal pada orang lain tidak mencetuskan gejala itu. Seolah-olah mesti ada suatu “praedispositio” untuk mendapat “penampakan” Maria. Rahmat berkarya sesuai dengan kodrat. </p><p align="justify"></p><p align="justify">399. Apabila suatu penampakan “diakui” oleh pimpinan Gereja Katolik, maka “penampakan” itu tidak dimasukkan ke dalam “syahadat” iman dan tidak diangkat menjadi “dogma”. Berarti: penampakan tidak menjadi sasaran iman Kristen-Katolik. Dasar kepastian tersebut bukan “wahyu” yang diimani, melainkan keyakinan manusiawi yang (boleh) dipercaya. Dengan lain perkataan: Pengakuan resmi itu hanya berarti: ada cukup dasar manusiawi (bukan kepastian mutlak) bahwa dalam kasus itu Allah (turut) berkarya. Maka pantas dan layak orang percaya, bahwa demikian duduknya perkara, selama tidak ada cukup alasan untuk menjadi ragu-ragu lagi. Seperti dikatakan dengan istilah Latin <em>“pie creditur”</em>. Tetapi seandainya orang tidak percaya kendati pengakuan resmi itu, ia tidak “murtad” dari iman Kristen-Katolik dan tidak menjadi “bidaah”. Paling-paling boleh dikatakan: orang itu kurang bijaksana. Ia tidak berhak melarang orang lain percaya atau mengganggu orang lain oleh karena percaya. Akhirnya: orang bebas dalam mengambil pendirian. </p><p align="justify"></p><p align="justify">400. Karena itu “penampakan Maria” tidak menambah apa-apa pada isi iman Kristen. Boleh jadi – nyatanya sering terjadi – bahwa penampakan itu memberi suatu “pesan”, yang kadang-kadang disebut “wahyu” (wangsit). Tetapi isi pesan itu tidak pernah sesuatu yang serba baru. Pesan/wahyu itu hanya mempertegas, menonjolkan salah satu segi pada apa yang sudah diimani umat Kristen, tetapi kurang dihayati atau malah “terlupa” dalam praktek kehidupan. Suatu “wahyu” yang benar-benar baru tidaklah mungking lagi menurut keyakina Kristen, setelah “Firman Allah” sendiri tampil di muka bumi ini (bdk. konsili Vatikan II DV N. 17). Hanya apa yang dengan Kristus dinyatakan, oleh umat dapat lebih disadari, diperdalam, dipahami, khususnya dalam implikasi praktisnya. Dalam hal ini penampakan Maria dapat turut berperan. </p><p align="justify"></p><p align="justify">401. Dengan demikian jelas pula mana peranan yang dipegan oleh “penampakan sejati dalam keseluruhan penghayatan iman Kristen (Katolik). Gejala itu merupakan salah satu segi (kemungkinan) yang ada pada karunia kenabian. Peranan karunia itu (dan gejala penampakan) ialah: mengaktualkan Injil, mendorong umat untuk dalam situasi nyata mewujudkan Injil Yesus Kristus dengan cara tertentu yang sesuai. Sudah dikatakan bahwa biasanya penampakan itu terjadi pada saat situasi umat, manusia atau kelompok tertentu gawat. Umat bingung, tidak tahu lagi mesti berbuat apa, merasa terancam, menjadi terhanyut oleh situasi. Maka oleh “penampakan” itu Roh Kudus melalui orang tertentu memberi bimbingan, pengarahan, pembinaan, semangat, dorongan dan kekuatan. Gereja Yesus Kristus selalu dibimbing oleh Roh Kudus dengan berbagai sarana. Salah satu sarana ialah jabatan (hierarkik) Gereja. Tetapi di samping itu tetap ada juga bimbingan karismatik. Penampakan Maria boleh dimasukkan ke dalam bimbingan karismatik itu. Meskipun penampakan Maria amat personal, namun bukan perkara perorangan dan individual belaka. Penampakan – sesuai dengan corak dasar karunia Roh Kudus – selalu menyangkut jemaah, umat, orang lain. Karisma selalu dikaruniakan guna membina umat, jemaah Yesus Kristus. </p><p align="justify"></p><p align="justify">402. Serentak jelas pula bahwa peranan “penampakan Maria” dalam kekristenan amat relatif. Gejala itu bukan perkara hidup dan mati. Penampakan ibu Yesus dapat membakar semangat rakyat beriman dan menyalakan devosi kepada Maria. Sejauh itu gejala itu ada artinya dan manfaatnya untuk menghayatan iman. Tetapi akhirnya semuanya hanya sarana sampingan, yang dapat dipakai karya penyelamatan Allah kapa dan selama itu sesuai dengan situasi nyata. Dan dengan demikian “penampakan Maria” cocok dengan diri Maria yang hanya mau menjadi Hamba Tuhan, hanya mau melayani Allah dan AnakNya guna menyelamatkan umat manusia seadanya, termasuk “religiositas popularis”. </p><p align="justify"></p><p align="justify">403. Memanglah seluruh Mario-duli dengan segala gejalanya yang nyata itu pada dasarnya cukup ambivalen: dapat baik dan dapat buruk. Iman sejati dan benar dapat diekspresikan dalam dan disalurkan melalui devosi itu, tetapi juga dapat menjadi bengkok. Teologi, Mariologi, dapat menunjukkan dasar legal dovosi itu, dapat dan mesti menjernihkan duduknya perkara. Hanya teologi macam itu biasanya tidak sampai kepada rakyat, yang tanpa refleksi dan secara serba kabur mengekspresikan kepercayaan dan kasihnya kepada ibu Yesus dengan cara yang sebagian besar dipinjam dari “agama rakyat”. Teologi dan pimpinan boleh mengerutkan keningnya, tetapi rakyat meneruskan devosinya. Baiklah orang, khususnya para teolog dan cendikiawan serta para rasionalis, ingat akan Yesus seperti ditampilkan Luk 5:17-19. Yesus dengan kedua belas rasul turun ke suatu tempat datar. Di situ berkerumunlah sejumlah besar dari murid-muridNya dan banyak orang lain, yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai, Tirus dan Sidon. Mereka datang untuk mendengarkan Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka. Juga mereka yang dirasuk roh-roh jahat beroleh kesembuhan. Dan semua orang banyak itu berusaha menjamah Dia, karena ada kuasa yang keluar dari padaNya dan semua orang itu disembuhkanNya. Dalam ceritera itu <em>“religiositas popularis”</em>, agama kerakyatan, kentara sekali. Para ahli Taurat kiranya mengerutkan keningnya. Tetapi Yesus tidak. Yesus kiranya hanya berkata: “Hai, anak-anakKu, imanmu telah menyelamatkan kalian, pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakit kalian” (Mrk 5:34). Apa yang menentuka ialah iman, bukan teologi, biar iman itu disalurkan dengan jalan yang menurut para “ahli” berbau takhayul. Kalau rakyat berkerumun sekitar patung Maria di tempat berziarah oleh karena merasa “suatu kuasa keluar dari padanya” dan oleh karena itu mengelus-elus kaki patung itu, kalau rakyat berarak-arakan ke sumber sakti, tempat yang keramat, mereka kiranya toh masih juga boleh mendengar suara Yesus: “Hai anak-anakKu, imanmu menyelamatkan kalian”.</p><p align="center">-----------------------------------------------------------------------<br />
Sebelumnya : {BAB VII : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/04/mariologi-devosi-marial-2.html" target="_blank">SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI MARIAL</a>}<br />
-----------------------------------------------------------------------<br />
Ingin baca selengkapnya? Klik <a href="http://www.ziddu.com/download/9798322/MARIOLOGI.pdf.html" target="_blank">di sini</a>.<br />
</p></span><br />
<script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "pub-3538432492786481";
google_ad_slot = "9435581044";
google_ad_width = 468;
google_ad_height = 60;//--></script> <br />
<script type="text/javascript" src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-5649477961285218082010-05-01T13:02:00.000+07:002010-11-11T03:36:44.694+07:00Mariologi - Devosi Marial - 2<center><span style="font-weight: bold;">BAB VII<br />SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI MARIAL</span></center><br /><br /><div style="text-align: justify;">329. Maria bukan orang kudus pertama yang secara tegas diikutsertakan dalam penghayatan iman, kasih dan harapan yang berpusatkan Allah dan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru yang mengakui kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan (Luk 1-2) tidak ada bekas suatu “devosi” kepada orang kudus atau khususnya Maria. Sebaliknya, Luk 11:17 rupanya malah dengan tegas menolak devosi rakyat kepada ibu Yesus. Bukan ibu bioligik Yesus pantas dipuji bahagia, melainkan orang yang percaya. Tetapi, seperti sudah dibahas, Luk agaknya mengikutsertakan ibu Yesus juga dalam pujian itu justru oleh karena percaya. Surat kepada orang Ibrani (11:4-40) menyajikan sebuah daftar “orang kudus” Perjanjian Lama, orang beriman yang dipuji dan dikagumi dan disodorka sebagai suatu teladan. Tetapi mereka, sama seperti sudah terjadi dalam kitab Yesus bin Sirakh dalam Perjanjian Lama (Sir 44-50), diingat sebagai orang dari masa lampau, tetapi tidak menjadi sasaran kebaktian orang beriman. Hanya perlu diingat bahkan malah Yesus Kristus sendiri dalam Perjanjian Baru relatif jarang menjadi sasaran kebaktian uamt beriman (bdk. Kis 7:59-60; 2Kor 12:8; Why 5:8.12-13; 7:10; Mat 28:9.17; Luk 24:52).</div><br /><div style="text-align: justify;">330. Sekitar tahun 150 para martir mulai diikutsertakan dalam kebaktian (ibadat) umat. Hari peralihan mereka, hari “kelahirannya” (dies natalis) mulai dirayakan. Mereka menjadi serupa dengan Kristus (bdk. Kis 7:59-60) dan dinilai sebagai orang yang menjadi peserta dalam penyelamatan Yeus Kristus. Dalam ibadat resmi (liturgi) mereka belum menjadi sasaran kebaktian, tetapi terlebih menjadi alasan untuk memuji Allah dan bersyukur kepadaNya karena apa yang dikerjakanNya dalam para martir itu. Semua doa ditujukan kepada Allah atau Kristus. Ini malah menjadi suatu aturan hukum sejak abad IV (konsili/sinode Hippo, tahun 393, Kartago, tahun 397) yang lama sekali dipertahankan. Doa resmi pada altar mesti diarahkan kepada Allah-Bapa. Sang martir mendorong umat untuk beribadat kepada Tuhan. Mula-mula orang malah segan menghormati sang martir sendiri, sebab itu hanya pantas bagi Kristus saja. Itu terbaca dalam laporan tertua yang tersedia mengenai seorang martir, yaitu uskup Smirna, Polycarpus (± 155) (Mart. Polyc. 17:2). Laporan itu berupa sepucuk surat yang dikirim jemaah di Smirna kepada jemaah di Philomelium. Surat itu ditulis tak lama setelah peristiwa itu terjadi. Kemudian hari tulisan itu berulang kali disadur. Dalam penyaduran itu menjadi jelas bukan saja bahwa setiap tahun kemartiran Polycarpus resmi (dalam ibadat) dikenangkan (Mart. Polyc. 18:3), tetapi juga bahwa sang Martir sendiri menjadi sasaran devosi rakyat, yang ingin memiliki sebagian dari “tubuhnya” (Mart. Polyc. 17:1). Artinya umat ingin memiliki “relikwi”. Dan jelaslah sejak sekitar tahun 200 di luar ibadat resmi devosi rakyat diarahkan kepada para Martir sendiri. Ini berdasarkan keyakinan rakyat bahwa Sang Martir, sebagai sahabat Yesus Kristus, masih tetap “kuat” untuk menolong. Makam mereka dan peninggalan mereka (mayat, pakaian, apa saja yang pernah kena pada Sang Martir) dianggap dimuati dengan daya ilahi yang sangat berguna untuk melayani segala macam kebutuhan rakyat beriman. Semua itu dapat mengerjakan “mukjizat”. Maka muncullah kebiasaan “berziarah” ke makam kudus (kramat), perebutan “relikwi”, yang dipakai sebagai semacam “jimat”. Lama-kelamaan devosi rakyat itu masuk ke dalam ibadat resmi (liturgi) juga, meskipun ibadat itu tetap terarah kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, Sang Martir diikutsertakan sebagai orang kudus yang mencetuskan ibadat resmi itu, tetapi juga dengan “doa dan jasanya” mendukung ibadat itu. Doa umat bergabung dengan doa Sang Martir.</div><br /><div style="text-align: justify;">331. Devosi rakyat kepada dan ibadat jemaat seputar seorang martir secara lahiriah mengingatkan devosi rakyat dan ibadat yang berpusatkan pada “pahlawan” (Heros) yang tersebar luas dalam dunia Yunani-Romawi. “Pahlawan” itu ialah tokoh-tokoh k.l. legendarik di masa yang lampau, yang misalnya mendirikan sebuah kota, menemukan suatu keterampilan khusus, memulai upacara tertentu dan sebagainya. Hal ihwal “pahlawan” (umpamanya Akhilles, Theseus, Agamemnin, Romulus-Remus) diceritakan. Dikisahkan kelahiran pahlawan secara luar biasa, disertai macam-macam tanda gaib, hal ihwal dan perbuatan besarnya dan khususnya kematiannya yang biasanya terjadi dengan kekerasan. “Pahlawan” itu bukan dewa tetapi juga bukan manusia biasa saja. Mereka semacam mahluk di tengah antara dewa dan manusia. Makam dan peninggalan lain “pahlawan” rajin dikunjungi dan disekitarnya diselenggarakan ibadat yang mempunyai ciri khusus, berbeda dengan ibadat kepada dewa-dewi.</div><br /><div style="text-align: justify;">332. Mungkin sekali devosi rakyat Kristen terhadap para martir terpengaruh oleh devosi rakyat Yunani-Romawi kepada pahlawan mereka. Pada abad IV-V ada sementara pemimpin umat (uskup) yang kuatir kalau-kalau devosi rakyat (dan ibadat resmi) sekitar para martir menghidupkan kembali kekafiran kuno. Namun ada perbedaan dasariah antara ibadat dan devosi kepada pahlawan dan devosi serta ibadat sekitar para martir. Para pahlawan yang mati sama sekali tidak berhubungan dengan dunia kedewataan. Mereka berdiri sendiri dan mempunyai semacam otonomi religius. Sebaliknya para martir justru dianggap beralih kepada Allah, meskipun tetap manusia saja. Karena itu mereka dilihat sebagai semacam penyambung antara Allah dan Kristus dan orang beriman. Makam dan peninggalan (relikwi) mereka dianggap sebagai tempat (barang) terpilih, di mana surga (Allah) dan bumi (manusia) bergabung, tempat Allah dan daya ilahi lebih dekat pada manusia untuk menolong dan mengerjakan mukjizat. </div><br /><div style="text-align: justify;">333. Selama abad IV-VI devosi kepada dan ibadat sekitar para martir semakin tersebar luas, baik di kawasan Timur maupun di kawasan Barat. Di mana-mana didirikan gereja khusus pada “makam” (benar atau tidak) seorang martir dengsan sebuah altar di tengah. Rakyat berkerumun (berziarah) ke tempat “kramat” dan sakti, mengharapkan mukjizat. Relikwi amat dihargai dan dihormati, oleh karena memuat daya gaib yang mampu mengerjakan mukjizat. Malah “relikwi”, benar atau tidak, diperdagangkan. Ada macam-macam upacara sekitar makam dan relikwi para martir. Semangat rakyat (yang kadang kala agak liar dan melampaui batas yang wajar) oleh para pemimpin (uskup) gereja sedapat-dapatnya diintegrasikan ke dalam ibadat resmi dan ke dalam iman kepada Yesus Kristus. Dalam rangka itu devosi rakyat itu malah dimajukan dan dipupuk oleh para pemimpin. Sebuah contoh ialah Agustinus (Abad V). Mula-mula uskup Hippo itu tidak begitu senang dengan devosi rakyat kepada para martir dan kepercayaaan akan daya gaib yang ada pada relikwi yang asyik diperdagangkan di Afrika Utara. Tetapi setelah “relikwi” Stefanus (pasti gadungan) dipindahkan ke Hippo, sang uskup malah membela dan membenarkan devosi rakyat serta kepercayaan kepada daya gaib yang terkandung dalam relikwi para martir.</div><span class="fullpost"><br /><div style="text-align: justify;">334. Devosi kepada dan ibadat sekitar ibu Yesus merupakan perkembangan dan lanjutan devosi kepada para martir. Setelah agama Kristen (abad IV) secara resmi diakui dan bahkan didukung oleh negara, zaman para martir (saksi iman) berakhir. Maka gagasan “martir” “dirohanikan”. Tidak hanya mereka yang mati demi untuk Kristus dan begitu menjadi serupa denganNya, tetapi juga mereka yang hidup demi untuk Kristus dan menjadi serupa denganNya menjadi sahabatNya dan “orang kudus”. Maka selama abaad IV juga “orang kudus” lain dari para martir mulai dihormati sebelum dan sesudah mati. Dapat dipahami bahwa ibu Yesus dinilai sebagai “orang kudus”, “martir” secara rohani. Umat mulai menghormati Maria dan berdoa kepadanya. Doa tertua yang dikenal dan masih terus dipakai (Sub tuum praesedium, Deigenitrix ...; Santa Maria, Bunda Allah – bukan: Kristus!) berasal dari abad IV. Sejak awal abad III rakyat suka menyebut Maria sebagai “Theotokos”, “Deigenitrix”, “Deipara” dan sapaan itu tampil dalam doa tersebut. Waktu Batrik Konstatinopolis, Nestorius, pada tahun 428 mulai mengecam sebutan populer itu, maka terpancing reaksi hebat dari pihak rakyat (dan para rahib), yang gemar akan sebutan itu.</div><br /><div style="text-align: justify;">335. Konsili Efesus (tahun 431) meresmikan gelar “theotokos”, “Deigenitrix”, “Bunda Allah” itu. Tidak mustahil ketua konsili (Cyrillus, Batrik Alexandria) memanfaatkan semangat rakyat itu untuk menekan para uskup, supaya meresmikan gelar Maria itu. Di luar gedung sidang para uskup rakyat memang menunggu keputusan, tentu saja keputusan positif. Setelah keputusan dimaklumkan, rakyat di kota Efesus berkeliling sambil berteriak-teriak: “Maria Theotokos”. Ini mengingatkan suatu adegan yang diceritakan Kis 19:23 dst. Di kota yang sama, Efesus, rakyat berteriak-teriak: “Besarlah Artemis, dewi orang-orang Efesus”. Adapun Artemis ialah dewi kesuburan, ibu-perawan yang disamakan dengan Kibele, “Ibu Besar”.</div><br /><div style="text-align: justify;">336. Ada sementara ahli sejarah agama yang pernah berpendapat, bahwa devosi kepada dan ibadat sekitar ibu Yesus sebenarnya hanya lanjutan devosi dan ibadat rakyat Yunani dan Romawi kepada dewi kesuburan dan keibuan mitologi kafir, khususnya dewi Artemis tersebut. Di muka sudah dikatakan bahwa devosi dan ibadat seputar Maria berurat berakar pada devosi dan ibadat seputar para martir, yang merupakan ciptaan umat Kristen sendiri. Di lain pihak tidak perlu disangkal bahwa devosi rakyat Kristen kepada ibu Yesus turut dipengaruhi oleh devosi kepada dewi Ibu dalam mitologi kafir. Dewi-dewi itu diganti dengan ibu Yesus. Di Efesus misalnya di atas (puing-puing) kuil Artemis dibangun sebuah gereja yang pelindungnya Maria. Demikian pun terjadi di Roma. Di tempat kuil Vesta dibangun gereja untuk menghormati Maria (Maria Antiqua). Tidak perlu mengherankan bahwa beberapa ciri dewi-dewi itu oleh rakyat dipindahkan kepada ibu Yesus. Tetapi nyatanya di lain pihak devosi dan ibadat sekitar ibu Yesus justru terhalang dalam perkembangannya oleh kekuatiran bahwa rakyat menilai Maria sebagai dewi kesuburan dan keibuan. Pada abad IV pujangga Gereja Epiphanius melawan sementara orang Kristen yang, menurut penilaian Epiphanius, membuat Maria menjadi seorang dewi, sama dengan dewi dalam mitologi kafir.</div><br /><div style="text-align: justify;">337. Sejak abad VII dan sepanjang zaman pertengahan devosi marial pad rakyat Kristen terus berkembang, hampir saja tanpa kendali. Pada gilirannya devosi rakyat mempengaruhi ibadat resmi, sejauh misalnya pesta-pesta Maria terus bertambah banyak (ada ribuan). Tetapi pada umumnya (ada kekecualian) ibadat resmi itu tertuju kepada Allah sendiri, bukan kepada Maria, dan mengenangkan pelbagai peristiwa yang menyangkut ibu Yesus. Sejalan dengan “dies natalis” para martir muncul juga “dies natalis” Maria (abad IV). Satu demi satu segala macam peristiwa dari riwayat hidup Maria dikenangkan, baik peristiwa yang diceritakan dalam Injil, maupun, bahkan terutama peristiwa yang tercantum dalam injil-injil apokrip. Injil-injil itu pun sangat mempengaruhi ikonografi, seni rupa. Begitu sebagai misal disebutkan saja: Pesta Kabar Malaikat, Maria mempersembahkan Yesus di bait Allah, Pengungsian ke Mesir, Maria mengunjungi Elisabet, pertunangan Maria, Maria dipersembahakn di Bait Allah, kelahiran Maria, Maria dikandung secara ajaib – ibunya yang diberi nama Ana dikatakan mandul -, pertemuan Maria dengan Yesus di jalan salib, Maria di bawah salib, Bunda Dukacita, Peralihan Maria, dsb. Devosi rakyat terus menekan pimpinan Gereja untuk menambah pesta dan hari raya Maria, sejalan misalnya dengan Kristus Raja muncul Maria Ratu, Hati Kudus Yesus – hati Maria-tak bernoda, Jum’at pertama (Hati Kudus)-Sabtu pertama. Kerap kali pimpinan gereja mengalah, tetapi juga selalu sedikit banyak melawan tendensi itu dengan misalnya menangkis usul untuk menambah pesta baru lagi atau juga dengan mencabut yang pernah diterima. Khususnya konsili Vatikan II banyak pesta Maria dicoret dari penanggalan resmi Gereja atau perayaan pesta tertentu dibatasi untuk daerah atau kelompok tetentu saja. Tetapi juga dewasa ini devosi rakyat (dan sementara uskup) terus menekan pimpinan gereja untuk mencantumkan pesta baru lagi dalam penanggalan Gereja.</div><br /><div style="text-align: justify;">338. Ciri khas devosi rakyat (berbeda dengan ibadat resmi) ialah: Maria sendiri menjadi sasarannya. Doa diarahakan kepada Maria, bukan melalui Maria kepada Allah atau Kristus. Awalnya sudah ada pada abad IV, seperti dicatat di muka. Tetapi dalam karangan-karangan Agustinus (abad IV/V) misalnya tidak terdapat satu pun doa kepada Maria sendiri. Tetapi justru itulah yang dalam devosi rakyat sejak abad V subur berkembang. Dan itulah yang menimbulkan masalah bagi teologi, yang nanti dibahas sedikit. Selama Maria hanya menjadi alasan untuk berdoa dan beribadat tidak ada soal teologik. Tetapi dalam devosi rakyat Maria bukan alasan, melainkan sasaran. Dalam penghayatan iman oleh rakyat Maria lebih menonjol daripada Kristus sendiri. Tentu saja boleh diandaikan bahwa di bawah sadar kaitan Maria dengan Allah tetap ada, tetapi kaitan itu tidak secara tegas dihayati. Maka Kristus seolah-olah “diliburkan” oleh ibuNya. Ibu Yesus seolah-olah berdiri di depan Anaknya. Menonjolnya Maria dalam penghayatan iman oleh rakyat a.l. disebabkan oleh karena sejak abad VII tidak hanya keilahian Yesus ditekankan, tetapi juga oleh karena Yesus suka digambarkan sebaga Raja Mahadahsyat dan Hakim yang menakutkan. Maka rakyat berlindung di bawah naungan ibu Maria.</div><br /><div style="text-align: justify;">339. Sama seperti devosi rakyat demar akan “makam” kramat para martir dan “relikwi” yang sakti, demikian pun devosi itu ingin memiliki “relikwi” ibu Yesus. Sayanglah “peninggalan” ibu Yesus tidak ada. Tetapi devosi rakyat tidak kehilangan akal dan menciptakan peninggalan yang diinginkan. Sudah dikatakan bahwa tersedia tidak kurang dari tiga makam Maria (dua di Yerusalem, satu di Efesus, yang sebenarnya masih “baru” benar, sebab “diketemukan” oleh Sang Pelihat Catharina dari Emmerich). “Relikwi” Maria juga cukup banyak tersedia, kadang-kadang memang aneh juga. Misalnya: cincin pertunangan, baju, rambut, sabuk, malah “lac de ubere Mariae”. Rumah Maria lengkap dari Nazaret dipindahkan ke Loreto! Dan di mana-mana ada tempat khusus (dengan patung/gambar ajaib, sumber atau pohon dst.), di mana Maria terasa lebih dekat dan pertolongannya lebih hebat dan terjamin. Di mana-mana muncul tempat “ziarah” (nanti masih dibahas) – ada ribuan – di mana umat berkerumun mencari bantuan ibu surgawi atau “Ratu surgawi” (mengingatkan dewi Astarte) untuk keperluan-keperluan kecil hidup sehari-hari. Maria dirasakan justru terlibat dalam dan prihatin terhadap keperluan harian, yang seolah-olah tidak mau dilayani langsung oleh Allah dan Kristus. Sebab itu pun suatu ciri khas devosi rakyat: Ia berurat berakar dalam hidup sehari-hari rakyat dengan segala kebutuhan realnya. Ibadat resmi bertitik tolak peristiwa-peristiwa penyelamatan yang diwartakan dan dengan iman dan doa ditanggapi. Padahal devosi rakyat justru bertitik tolak hidup sehari manusia dengan segala kebutuhannya.</div><br /><div style="text-align: justify;">340. Meskipun perkembangan devosi marial pada umat Kristen tidak seluruhnya terpuji dan sehat, namun tidak perlu seluruhnya ditolak atau dikecam. Sepanjang sejarah selalu ada suara yang k.l. menentang devosi marial para rakyat (bdk. DS 2335-2336; D 1316). Terkenal misalnya karya A Widenfeld, Monita salutaria B. Mariae Virginis ad cultores suos indiscretos, 1673. Para Reformator melawan devosi rakyat yang dinilainya tidak berdasarkan Kitab Suci, terlepas dari Kristus dan terlalu liar. Karena itu mereka hanya mau mempertahankan devosi marial dalam rangka Kristologi. Karena itu (dalam ibadat) hanya dikenangkan peristiwa-peristiwa kristologik-marial tertentu (Maria menerima Kabar Gembira, Maria mengunjungi Elisabet, Yesus dipersembahkan oleh Maria). Sudah dikatakan bahwa habis zaman Reformasi sikap antimarial diperuncing dalam polemik dengan umat Katolik Roma dan akhir-akhir ini barulah pendekatan di kalangan Reformasi mulai berubah sedikit.</div><br /><div style="text-align: justify;">341. Namun devosi rakyat berhak mendapat tempatnya dalam penghayatan konkret iman Kristen, termasuk dan terutama devosi marial. Biar dalam praxis devosi itu menyerap pelbagai unsur yang aslinya kafir dan biar praxis itu kadang-kadang menjurus ke takhayul, manusia yang terdiri atas jiwa dan ragan dan yang begulat dengan hidup sehari-hari, membutuhkan hal-hal konkret yang dapat diraba-raba dan dipegang-pegang, yang langsung berkaitan dengan hidup real. Dengan praxis yang kalau ditimbang dengan rasio teologik barangkali tidak tahan uji, rakyat toh mengungkapkan dan menghayati imannya kepada Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus. Allah penyelamat dan Juru selamat seluruh manusia juga memperhatikan keperluan-keperluan yang amat manusiawi dan kesusahan yang tidak disetujui Allah juga. Dengan praxis yang ambivalen rakyat mengungkapkan harapannya sambil melihat kepada ibu Yesus yang seluruh harapannya sudah terpenuhi. Devosi marial pada rakyat juga menggarisbawahi serta menonjolkan segi kewanitaan dan keibuan Allah dan Kristus, yang kurang terasa dalam gambaran Allah sebagai “Bapa” dan Kristus yang nyatanya seorang laki-laki.</div><br /><div style="text-align: justify;">342. Tidak mengherankan bahwa dalam rangka devosional yang konkret devosi marial kadang kala mendapat ciri erotik juga. Ciri itu misalnya pada zaman tertentu tampil pada patung dan gambar Maria, yang kuat-kuat menampilkan kewanitaan dan keibuan Maria. Demikian pun ciri erotik tampil kalau orang (laki-laki) berkata tentang “pernikahan rohani” dengan Maria, seperti misalnya dianjurkan Alanus de Rupe (tahun 1475). Malah pernah tampil kelompok (yang terkutuk oleh pimpinan) yang secara seksual mempraktekkan devosi marial. Tetapi penyalahgunaan (abusus) tidak menghilangkan pengunaan tepat (usus). Setelah devosi rakyat (religiositas popularis) lama sekali dikecam dan dilawan oleh para ahli (teolog) dan pimpinan Gereja Katolik, akhir-akhir ini orang mulai melihat nilai positif yang ada pada devosi itu, justru sebagai sarana untuk membuat iman menjadi real dan relecan bagi hidup sehari-hari. Meskipun pada permukaan kesadaran religius rakyat ibu Yesus barangkali terlalu menonjol dan terisolasikan, namun di bawah sadar relasi hakiki Maria dengan Kristus jarang sekali seluruhnya hilang. Itu misalnya nampak pada gambar-gambar Maria yang biasanya menggambarkan bersama Anaknya ataupun bersama malaikat yang memberi Kabar Germbira.</div><br /><div style="text-align: justify;">343. Kalau dewasa ini teologi feminis mau “memperbaiki” gambaran Allah dengan menyebutNya “Ibu-Bapa” dan rupanya menyesal sekali bahwa Yesus nyatanya seorang laki-laki, maka jalan yang sudah lama ditempuh devosi rakyat, lebih sehat daripada jalan yang ditunjuk kaum elite, para feminis, yang rupanya tidak dapat menerima kenyataan seperti diberitakan Kitab Suci, yang menyapa Allah sebagai Bapa, bukan sebagai Ibu, dan memperkenalkan Kristus sebagai pria, bukan wanita, meskipun Allah tentu saja bukan “ayah” seperti manusia, dan Kristus lebih dari pria.</div><br /><div style="text-align: justify;">344. Kritik atas devosi marial yang tradisional akhir-akhir ini justru datang dari sementara penganut teologi feminis dan teologi pembebasan. Mereka berpendapat bahwa gambaran Maria seperti hidup dalam hati dan devosi umat tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Dalam devosi tradisional Maria disodorkan sebagai “model” orang beriman, khususnya wanita beriman. Maria dijadikan “Hawa Baru”, tetapi dengan demikian wanita (Hawa) tetap ditonjolkan sebagai “biang keladi” segala kejahatan. Keperawanan tetap Maria digarisbawahi sebagai cita-cita (moral asketik) yang sebenarnya paling cocok bagi wanita, padahal istri dan ibu tampil sebagai sesuatu yang dengan “izin” Allah masih dapat berguna juga. Maria digambarkan sebagai ibu yang taat, yang mengurus anak dan rumah tangga dalam persembunyian di Nazaret. Maria mendapat peranan pasif belaka, didominasi oleh pria (Allah Bapa dan Kristus). Semuanya itu dinilai sebagai ciptaan pria selibater, tetapi tidak dapat menjadi “model”, apalagi “inspirasi” bagi wanita modern yang diemansipasikan sudah dan membebaskan diri dari peranan tradisionalnya: pasif, taat, terkurung di rumah tanpa kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya sebagai manusia. Sementara teolog pembebasan mendukung kritik macam itu. Maria seharusnya digambarkan sebagai “wanita pejuang”, revolusioner. Sebab, menurut tafsiran mereka atas Lagu Maria (Magnificat), Kitab Suci memperkenalkan ibu Yesus sebagai yang memprotes terhadap yang berkuasa dan yang kaya dan ingin mereka ditumbangkan serta dikirim kembali dengan tangan kosong. Maria sebenarnya wanita pejuang yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan rakyat jelata.</div><br /><div style="text-align: justify;">345. P. Paulus VI (Marianus cultus, 1974) menyetujui “gambaran” Maria, seperti nyata hidup dalam hati dan devosi umat (Katolik) turut ditentukan oleh situasi nyata dan cita-cita zaman tertentu. Maka sepanjang sejarah gambaran itu berubah-ubah. Yang sama berlaku untuk “gambaran” Kristus dan Allah. Gambaran Maria yang disajikan Perjanjian Baru, termasuk Luk 1-2, memang cukup abstrak juga. Tentang hidup sehari-hari, tentang psikhe (psyche), emosi Maria, tentang relasinya dengan Yusuf, tentang pendiriannya dalam masalah sosial dan politik dan sebagainya tidak dikatakan apa-apa. Satu-satunya emosi Maria (serta Yusuf) yang dicatat Luk ialah rasa “heran” (2:33) dan “cemas” (2:48). Satu-satunya yang ditonjolkan Perjanjian Baru ialah iman Maria yang sepenuh-penuhnya merelakan diri bagi maksud dan rencana Allah serta segala implikasinya (Luk 1:38.45) serta rasa syukur atas penyelamatan Allah (Luk 1:46-55). Tidak mengherankan devosi rakyat mengisi gambar itu sesuai dengan cita-citanya sendiri (Maria sebagai ibu rumah tangga yang suci, sebagai ibu yang melayani Anaknya, sebagai perawan yang suci murni yang tidak tahu-menahu tentang kehidupan nyata, terkurung dan tersembunyi di rumah: sebagai wanita saleh yang banyak membaca Alkitab dan bersembahyang, sebagai ibu dukacita yang bersedih duduk dengan jenazah Anaknya di pangkuan dsb.)</div><br /><div style="text-align: justify;">346. Tetapi ada beberapa hal yang kiranya dapat dipertanyakan. Boleh disetujui bahwa dalam devosi marialnya rakyat memproyeksikan diri kepada ibu Yesus. Tetapi bagaimana rakyat melihat Maria? Sebagai “model” yang mau diteladani, atau sebagai ibu yang tahu kesusahan rakyat dan tersedia menolong? Kalau sementara teolog feminis dan pembebasan mau melihat Maria secara lain, bukankah mereka pun memproyeksikan dirinya (dan frustasinya) kepada ibu Yesus yang digambarkan sebagai semacam “Debora” dan “Yael” serta “Yudit” baru yang (penuh dengan Roh Kudus) mendobrak dan meninggalkan segala konvensi dan kebiasaan masyarakat. Adakah mereka kurang berkhayal daripada devosi rakyat tradisional, kalaupun buah khayal disajikan sebagai “teologi”? Adakah “gambaran” Maria macam itu lebih “inspiratif” daripada gambaran Maria yang diciptakan devosi rakyat? Sayanglah sepanjang sejarah para teolog (Mariolog) jarang sekali menjadi “inspiratif” bagi rakyat beriman, yang menyatakan devosi hangat kepada ibu Yesus, yang dirasakan dekat pada mereka, prihatin dengan nasib dan keperluan rakyat jelata, laki-laki dan perempuan.</div><br /><div style="text-align: justify;">347. Bagaimanapun juga bentuk dan rupa devosi marial, ia selalu harus berdasarkan gambaran Maria seperti tampil dalam Kitab Suci. Maria nampak sebagai seorang beriman yang merelakan diri bagi Allah dan karyanya. Itulah diri dasar ibu Yesus. Setiap devosi dan setiap teologi yang melepaskan dasar itu menempuh jalan keliru. Sebagai orang beriman Maria menjadi “model” bagi semua, sebab setiap orang beriman menghayati sikap dasar yang sama dalam dirinya seadanya dan dalam situasi hidup yang nyata. Tetapi Maria dalam devosi rakyat tidak hanya, bahkan tidak pertama-tama suatu “model” yang secara moralistik mesti “diteladani”. Maria terutama ibu Yesus, yang menampung dan membantu rakyatnya. Devosi marial mempunyai sejarah panjang dan cukup berbelit-belit juga. Tetapi intinya tetap sama: Ibu Yesus “membantu” rakyatnya.</div><br />----------------<br />Sebelumnya: {BAB VI : <b><a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/04/mariologi-devosi-marial-1.html">TEOLOGI DAN “DEVOSI” MARIAL</a><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;">}</span></b><br />Selanjutnya: {BAB VIII : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/05/mariologi-devosi-marial-3.html" target="_blank"><b>BERBAGAI GEJALA DEVOSI MARIAL</b></a>}</span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-10844869240010248112010-04-27T16:30:00.000+07:002010-11-11T03:37:49.558+07:00Mariologi - Devosi Marial - 1<div align="center">BAB VI<br />TEOLOGI DAN “DEVOSI” MARIAL<br /></div><div align="justify"><br />316. Bagian kedua karya ini membahas apa yang boleh diistilahkan sebagai “Mario-duli”. Kata itu boleh diterjemahkan dengan “kebaktian kepada Maria”, berbeda dengan “Mario-logi” ialah refleksi teologik dan ajaran tentang ibu Yesus. Kata Yunani “doulia” bersangkutan dengan “doulos”, artinya: Budak, hamba, atau “douleuein”, berhamba, berbakti sebagai budak kepada orang/lembaga lain. Dalam tradisi teologi Kristen kata “douleia” itu menjadi istilah dengan arti “kebaktian kepada seseorang manusia (orang kudus)”. “Douleia” dalam peristilahan itu secara hakiki berbeda dengan “latreia” ialah kebaktian yang hanya boleh disampaikan kepada Allah semata-mata. Pada dirinya “douleia” dan “latreia” hampir saja searti. Tetapi dalam peristilahan teologi kedua kata itu dikhususkan: “Latreia” (Latin: “adoratio”) ialah kebaktian yang hanya mengenai Allah saja, sedangkan sasaran “douleia” ialah seseorang lain yang “diabdi” demi untuk Allah. Oleh karena ibu Yesus menjadi yang paling kudus di antara semua orang kudus, maka bagi kebaktian kepada Maria terbentuk istilah khusus, yaitu: “hyper-douleia”, artinya “adi-kebaktian”.<br /><br />317. Teologi berusaha secara rasional dan teratur menjernihkan dan memikirkan kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah dan tata penyelamatan. Apa yang pada dasarnya dipersoalkan dalam teologi tentang Maria, Mariologi, ialah: Sejauh mana, manusia yang ditebus/diselamatkan, sebagai subjek mandiri (otonom) dihadapan Allah berperan secara aktif dalam penyelamatan? Kristus tentunya manusia dan Juru selamat. Tetapi justru sebagai Juru selamat dan Penebus Kristus bukan manusia belaka menurut iman kepercayaan Kristen. Maka Kristus bukan jawaban atas masalah tersebut: mana peranan manusia dalam penyelamatan? Adapun ibu Yesus, Maria, ia menjadi contoh jitu yang dengannya masalah itu mendapat jawabannya berdasarkan apa yang dalam Maria dinyatakan oleh Allah, sehingga Maria memang termasuk ke dalam penyataan/pewahyuan ilahi. Sebab Maria adalah manusia belaka, manusia yang diselamatkan, ditebus Allah melalui Yesus Kristus. Pada Maria secara dasariah menjadi nyata mana peranan manusia dalam penyelamatan.<span class="fullpost"><br /><br />318. Sebagai teologi (pemikiran dan ajaran tentang Allah) ilmu itu memikirkan ibu Yesus dalam relasinya dengan Allah dan peranannya dalam relasi Allah dengan manusia dan sebaliknya. Dalam bagian pertama karya ini secara teologik kedudukan dan peranan tetap itu ialah: Kristus, Juru selamat umat manusia, tidak terpikir tanpa ibuNya, sama seperti ibuNya tidak terpikir terlepas dari Yesus Kristus.<br /><br />319. Teologi merupakan pengolahan ilmiah iman umat Kristen, dasarnya, isinya dan tolok ukurnya. Maka teologi mengandaikan iman umat (sepanjang sejarah) dan mesti serta mau melayani iman umat itu. Hanyalah iman umat itu bukan pertama-tama perkara otak dan akal, melainkan perkara hati; iman pertama-tama dihayati. Penghayatan iman itu namanya “devosi”. “Devosi” (Latinnya: devotio, kata kerjanya: devovere) berarti: suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri kepada sesuatu atau seseorang, yang dihargai, dijunjung tinggi, dicintai dan ditujui. Bila sasaran “devosi” itu ialah Allah dan apa yang bersangkutan dengan Allah dan sejauh bersangkutan, maka “devosi” menjadi devosi religius, keagamaan. Devosi itu mencakup keterlibatan personal yang meliputi seluruh manusia, khususnya segi emosional dan afektif dan tidak hanya atau terutama otak dan akal serta pemikiran.<br /><br />320. Adapun cabang teologi spekulatif yang disebutkan “Mariologi”, ia memikirkan dan menjernihkan dan mau melayani “devosi” umat beriman terhadap ibu Yesus, Maria: bagaimana relasi dengan maria dihayati oleh umat beriman di dalam keseluruhan penghayatan iman. Teologi selalu mesti menempatkan Maria dalam keseluruhan, selalu menyorotinya dari segi relasinya dengan Allah dan Kristus serta dalam relasinya berkenaan hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Maria tidak pernah (boleh) menjadi terisolasikan. Sebaliknya dalam devosi, penghayatan iman, ibu Yesus (dapat) didekati sedikit banyak terisolasikan sebagai sasaran penghayatan iman. Bukan “relasi” Maria, tetapi Maria sendiri menjadi sasaran devosi, rasa kagum, rasa hormat, rasa kasih, sehingga terjalinlah relasi personal dengan ibu Yesus, sasaran iman, kasih, pengharapan.<br /><br />321. Di satu pihak Mariologi memperlihatkan bahwa “devosi marial” (yang biasanya spontan dan kurang refleks) memang legitim. Nyatanya Maria mempunyai peranan unggul dan tunggal dalam tata penyelamatan, yang tidak dipegang seorang pun di samping Maria.secara unggul pun Maria tetap bermakna bagi umat beriman berdasarkan pokok iman mengenai persekutuan “orang kudus” dan “barang kudus”. Ungkapan Latin “communio sanctorum” dan Yunani “koinônia hagiôn” kiranya mencakup dua-duanya “orang” dan “barang” kudus. Kata “sanctorum/hagiôn” pada dirinya dwiarti. Dapat berarti “orang-orang kudus” (sancti/hagioi) dan dapat berarti “barang kudus” (sancta/hagia). Tetapi dua-duanya dimaksudkan. Sebab antara para (orang) kudus berlangsunglah tukar-menukar di bidang “kekudusan” (penyelamatan, rahmat). Justru, atas dasar “persekutuan para kudus” itu Maria bukan hanya seorang tokoh di masa lampau, yang dengan rasa hormat dan kagum dapat “diingat”, seperti misalnya seorang pahlawan nasional. Sebaliknya Maria (dan para kudus) secara aktual tetap berarti bagi kaum beriman dan secara personal (dalam iman) dapat dihubungi.<br /><br />322. Mariologi juga memperlihatkan bahwa devosi marial bukanlah sembarangan devosi yang setingkat misalnya dengan devosi kepada Antonius atau Filomena. Jika seorang secara utuh mengakui iman Kristen dan menghayatinya, maka penghayatan itu mau tidak mau mencakup juga Maria, ibu Yesus, karena kedudukan dan peranannya yang istimewa dan tunggal, sehingga Kristus tidak terpikir lepas dari Maria. Maria dalam sejarah dan tata penyelamatan bukanlah suatu unsur yang serba kebetulan, yang boleh ada dan boleh tidak ada, seperti Antonius atau Filomena. Tentu saja pusat dan poros penghayatan iman (devosi) Kristen sejati ialah Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi kalau benar bahwa Kristus tidak terpikir lepas dari ibuNya, maka devosi kepada Kristus mau tidak mau mencakup juga ibuNya. Itu dapat menjadi l.k., eksplisit dan sadar, tetapi juga dapat tinggal implisit saja, seperti nyatanya ratusan tahun terjadi. Tetapi devosi kepada ibu Yesus menjadi bagian integral (bukan hakiki) penghayatan iman Kristen. Maka devosi marial tidak boleh begitu saja disebutkan “fakultatif”. Ini ditegaskan P. Pius XII (Fulgens Corona, 1953), seperti “devosi” kepada orang kudus lain “fakultatif” (bdk. konsili Trente, DS 1821: bonum et utile). Ibu Yesus kan termasuk ke dalam sejarah dan tata penyelamatan sebagai unsur konstituitif. Devosi marial tentu saja tidak menjadi unsur hakiki dalam penghayatan iman Kristen, tetapi boleh dinilai sebagai unsur pelengkap dan integral bagi penghayatan iman itu. Kasih kepada Allah dan Kristus mencakup juga apa yang secara khas menjadi sasaran kasih Allah dan Kristus. Oleh karena kasih Allah memberi ibu Yesus kedudukan istimewa dalam tata kasih Allah kepada manusia, maka kasih balasan dari pihak manusia secara khusus tertuju kepada Maria. Dan pengakuan eksplisit terhadap kedudukan ibu Yesus itu tidak dapat tidak memancing kasih eksplisit juga.<br /><br />323. Di lain pihak Mariologi bertugas sedikit banyak menjaga, supaya devosi marial (yang spontan) tetap tinggal di dalam rangka penghayatan utuh seluruh iman Kristen. Devosi marial tidak boleh menjadi terisolasikan dalam penghayatan, oleh karena sasarannya, ibu Yesus, tidak terisolasikan dari Yesus Kristus, satu-satunya Juru selamat, pusat dan poros seluruh iman Kristen serta penghayatannya. Dalam devosi (khususnya dalam devosi rakyat, tetapi juga dalam devosi gerejani resmi) Maria berperan sebagai suatu simbol, semacam “arkhi-typos”. Ia tampil dan dilihat sebagai “Ibu Kehidupan” (Ibu asali); “Manusia utuh sempurna” (tanpa dosa dan noda); “Wanita unggul” yang serentak perawan dan ibu; ia tetap ada (diangkat ke surga), simbol pengharapan manusia, bahwa hidup sementara tidaklah sia-sia dan akhirnya akan bebas dari kefanaan. Ciri-ciri mitologik Maria cukup mencolok. Dan “mitos” tidak menjelaskan fakta, tetapi memberi makna kepada kehidupan. Dalam rangka ini tugas Mariologi ialah: Memperlihatkan bahwa dalam rangka keseluruhan uman Kristen tentang Allah Pencipta dan Penyelamat, Maria bukan tokoh mitologik belaka. Teologi justru memberi dasar kepada Maria yang dalam devosi berperan selaku sebuah mitos. Hanya teologi tidak memberi dasar historik, melainkan dasar teologik. Karena itu hanya bagi orang beriman Maria, seperti hidup dalam devosi (rakyat), menjadi suatu realitas, bukan realitas historik, melainkan realitas teologik, realitas iman.<br /><br />324. Sebuah mitos, “arkhi-typos” sejati merupakan suatu ciptaan struktur dasar manusia, yang mengobjektivasikan diri dalam mitos arkhi-typos macam itu. Mariologi (mesti) memperlihatkan bahwa Maria lain sifatnya. Maria bukan ciptaan struktur dasar manusia, tetapi realitas objektif Maria sesuai dengan struktur dasar manusia sesuai dengan realitas yang (dalam Allah Pencipta dan Penyelamat) mendahuluinya. Maka Mariologi bertugas menjamin objektivitas devosi marial, yang dipertahankan sebagai salah saru unsur dalam keseluruhan iman Kristen dan penghayatannya.<br /><br />325. Khususnya dewasa ini Mariologi bertugas membela dan memupuk devosi marial. Di masa yang lampau Mariologi bertugas (kadang-kadang nyatanya tidak berperan demikian, justru sebaliknya) membendung devosi marial yang khususnya sejak abad XIII kadang-kadang menjadi liar. Dalam Gereja Roma Katolik selama abad XIX dan awal abad XX devosi marial mencapai semacam puncak terdukung oleh P. Leo XIII, Pius X, Benedictus XV, Pius XI, Pius XII. Tetapi sejak konsili Vatikan II secara agak mendadak devosi itu mengalami suatu krisis yang parah dan kemerosotan hebat di kalangan (sebagian) Gereja Roma Katolik. Konsili Vatikan II (LG N. 66-67) bermaksud menempatkan devosi marial pada jalur yang tepat. Tetapi konsili itu jelas tidak mengantisipasikan krisis dan kemerosotan yang menyusul konsili. Di luar maksudnya konsili toh memupuk krisis dan kemerosotan mendadak itu. P. Paulus VI (Marianus Cultus, 1974) menganalisis krisis itu sedikit. Sambil membela devosi marial Paus mengakui bahwa banyak bentuk rupa dan bentuk devosi itu, yang secara tradisional, kerap kali memang tidak berfungsi lagi pada sementara umat. Ada pelbagai faktor yang menyebabkan krisis itu. Ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu jiwa, memberi sumbangannya, sekularisasi dan sekularisme pun ikut berperan seperti juga perubahan sosial, teristimewa yang menyangkut kedudukan dan peranan wanita dalam masyarakat. Tetapi juga krisis dalam teologi, khususnya dalam Kristologi, tidak dapat tidak mempengaruhi Mariologi dan devosi marial. Jika Yesus Kristus menjadi kabur bagi umat beriman, terpaksa ibuNya turut menjadi kabur. Kalau Kristologi tradisional dirongrong, tidak dapat tidak Mariologi dan devosi marial menjadi terlibat dalam pengrongrongan itu. Sampai dengan hari ini ibu Yesus telibat dalam hal ihwal Anaknya.<br /><br />326. Gejala terbalik tampil dalam umat Reformasi. Secara tradisional umat Protestan sangat anti-Mariologi dan terlebih anti devosi marial dalam Gereja Roma Katolik. Tetapi akhir-akhir ini ada semacam tendensi terbalik. Dicari-cari suatu kemungkinan untuk, berdasarkan Perjanjian Baru dan perdirian para Reformator, mengintegrasikan ibu Yesus dalam keseluruhan teologi dan penghayatan iman. Sikap negatif lambat laun diganti dengan sikap positif dan pendekatan simpatik. Dalam hal itu kiranya umat dan pemikir Reformasi turut dipengaruhi oleh Gereja Yunani/Timur Ortodoks. Gereja itu sudah lama secara aktif ikut serta dalam gerakan ekumene dan turut berbicara dalam Dewan Gereja-gereja Sedunia. Tetapi devosi marial dalam Gereja Ortodoks secara tradisional sangat menyolok dan tidak dapat begitu saja dilewatkan atau disingkirkan oleh teman berbicara dari pihak Protestan. Demikian umat Reformasi mulai sedikit mendekati tradisi Gereja Katolik dan Ortodoks. Tetapi, seperti sudah dikatakan, ada jurang teologik yang tidak begitu mudah dijembatani.<br /><br />327. Baiklah dibedakan dua macam devosi marial, yaitu: devosi yang secara resmi ditampung oleh umat seluruhnya dan devosi rakyat Kristen-Katolik. Devosi boleh dikatakan menjadi resmi dan umum bila Maria, ibu Yesus, diikutsertakan dalam penghayatan iman oleh seluruh umat. Devosi macam itu terpasang dalam ibadat (liturgi) resmi Gereja. Dalam merayakan ibadat, terutama ibadat Ekaristi dan Doa Harian, Maria diberi tempatnya juga, seperti lain-lain orang kudus, tetapi sesuai dengan kedudukan istimewa Maria dalam tata penyelamatan. Di samping itu ada “devosi rakyat”, artinya: secara tegas ibu Yesus diikutsertakan dalam penghayatan iman oleh orang beriman, entah secara perorangan entah secara berkelompok k.l. besar, yang boleh jadi terikat pada daerah tertentu. Boleh jadi devosi itu didukung atau dianjurkan oleh para pemimpin tanpa dijadikan devosi resmi. Misalnya: Sri Paus dan uskup-uskup berziarah ke Fatima, memahkotai patung Maria, mengajak umat berdoa rosario dan sebagainya. Dalam sejarah devosi marial, devosi rakyat biasanya mendahului devosi resmi menyeluruh.<br /><br />328. Devosi rakyat yang amat spontan dan afektif-emosional jauh lebih bebas bergerak daripada devosi resmi. Devosi rakyat juga amat mejemuk dalam pengungkapannya. Justru devosi rakyat itu di satu pihak mudah dapat menjadi liar sedikit (oleh karena hanya secara negatif diawasi oleh penghayatan iman dari pihak seluruh umat, berarti melalui instansi-instansi k.l. resmi), tetapi di lain pihak justru devosi rakyat menyumbangkan banyak kepada devosi marial resmi dan bagi pemmikiran teologi sekitar Maria serta peranannya dalam tata penyelamatan. Umumnya devosi rakyat jauh lebih memikat hati orang beriman daripada devosi marial resmi. Misalnya: Bagi banyak orang beriman berziarah ke Lourdes dan meminum air sumber di sana jauh lebih penting daripada perayaan kelahiran Maria. Boleh jadi salah satu devosi rakyat masuk ke dalam devosi resmi, tetapi kehilangan daya tariknya. Adapun sebabnya ialah: devosi rakyat sudah mulai mengendur waktu diambil alih dalam devosi resmi. Suatu ciri khas devosi rakyat ialah: devosi itu suka akan banyak simbolik yang dipinjam dari kebudayaan dan alam pikiran rakyat setempat. Simbolik pinjaman itu kerap kali cukup kabur (ciri dasar simbolik) dan dwiarti. Tidak mengherankan bahwa simbolik itu sebenarnya berasal dari agama rakyat setempat yang dalam devosi rakyat kepada Maria dapat mempertahankan diri lama setelah agama asal sudah mati. Justru sehubungan dengan devosi rakyat yang amat eksistensial, emosional dan konkret itu Mariologi mendapat peranan khusus, bukan untuk mematikan devosi serta pengungkapannya, tetapi guna sedikit banyak menjernihkan devosi itu serta pengungkapannya, serta membimbing perkembangannya, agar supaya jangan menjadi liar, terisolasi dari keseluruhan iman serta penghayatannya. Demikian Mariologi melaksanakan pendirian yang diambil konsili Vatikan II (LG N. 67) dan diteruskan oleh P.Yohanes Paulus II melalui surat edaran “Mater Redemptoris” dan diproklamasikannya pada tahun 1987-1988 sebagai “Tahun Maria”.<br />---------<br />Sebelumnya: {BAB V: <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/04/mariologi-teologi-marial-5.html" target="_blank">PERAWAN YANG MENJADI GEREJA}</a><br />Selanjutnya: {BAB VII: <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/04/mariologi-devosi-marial-2.html">SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI MARIAL</a>}<br /></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-12775000832661774632010-04-05T11:42:00.000+07:002010-11-11T03:38:21.990+07:00Mariologi - Teologi Marial - 5<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">BAB V<br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">PERAWAN YANG MENJADI GEREJA</span><br /></div><br />266. Maria termasuk keturunan Adam dan selalu mesti ditempatkan di pihak umat manusia yang diselamatkan Allah melalui satu-satunya pengantara ialah Yesus Kristus. Manusia diselamatkan Allah berdasarkan iman. Namun di tengah keturunan Adam dan orang beriman yang berkumpul menjadi Gereja, ibu Yesus toh bukan sembarangan keturunan Adam dan bukan sembarangan orang beriman dalam Gereja Yesus Kristus dan Allah. Kedudukan unggul Maria dalam Gereja boleh diuraikan sedikit.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">A. MARIA, “TYPOS” GEREJA</span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">1. Misteri Gereja yang terwujud</span><br /><br />267. Konsili Vatikan II (LG N. 60-65) menguraikan hubungan antara Maria dengan Gereja Yesus Kristus. Dalam rangka ini Gereja terutama dipahami sebagai “misteri” ialah penyelamatan yang berlangsung terus dan yang tanda serta sarananya (sakramen) ialah Gereja Lembaga, kelompok orang beriman dalam sejarah yang terorganisasikan secara kelihatan. Relasi yang seba majemuk antara Maria dengan Gereja serta simboliknya oleh konsili (LG N.63) dipadatkan dengan berkata: Maria merupakan <span style="font-style: italic;">“typos”</span> atau <span style="font-style: italic;">“exemplar” </span>(bdk. LG 53).<br /><br />268. Adapun <span style="font-style: italic;">“typos/exemplar”</span> (citra) merupakan istilah yang amat padat artinya. Kata itu tidak (pertama-tama) mempunyai arti “citra”, “teladan” moral/asketik, seolah-olah Maria (hanya) dilihat sebagai tokoh yang perlu diteladani kaum beriman. Tentu saja itu tidak dipungkiri, tetapi dengan menyebut Maria sebagai <span style="font-style: italic;">“typos/exemplar”</span> Gereja konsili Vatikan II agak lain pikirannya. <span style="font-style: italic;">“Typos/exemplar”</span> berarti: pada tingkat terbatas, pribadi, sudah menjadi nyata real apa yang masih ditujui oleh yang dipralambangkan itu. Kalau Maria disebut <span style="font-style: italic;">“typos/exemplar”</span> Gereja, maka maksudnya: Pada tingkat pribadi dalam Maria sudah menjadi real terwujud apa yang sedang dijalani dan ditujui Gereja secara menyeluruh sepanjang sejarah dan yang secara kolektif-gerejani belum juga terwujud. Dalam Maria sudah menjadi real Gereja seperti tampil sebahai hasil seluruh sejarah penyelamatannya.<br /><br />269. Dalam pendekatan ini diri Maria diambil secara menyeluruh: Maria sebagaimana menjadi terwujud selama dan oleh eksistensi serta hal ihwalnya sampai dengan pengangkatannya ke dalam kemuliaan surgawi. Pada Maria itulah oran (beriman) dapat melihat apa itu “Gereja” Yesus Kristus. Konsili (LG N.56) menjelaskan pikiran tersebut dengan berkata sebagai berikut: Dalam Perawan tersuci Gereja telah meraih kesempurnaan, sehingga sudah menjadi tanpa noda dan keriput (Ef 5:27). Pada tingkat pribadi karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus sudah sampai kepada tujuannya dalam diri Maria, buah matang penebusan umat manusia. Kalau Gereja menjadi terwujud oleh karena manusia menanggapi karya penyelamatan dengan iman dan kasih serta persatuan dengan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, maka iman, kasih dan persatuan itu sudah secara unggul menjadi nyata pada diri Maria melalui seluruh hidupnya, baik di bumi maupun dalam kemuliaan surgawi.<br /><br />270. Dengan demikian konsili Vatikan II di satu pihak menempatkan Maria di dalam Gereja berhadapan dengan Kristus, satu-satunya Pengantara, Penebus dan Juru selamat, tetapi di lain pihak Maria diberi tempat yang unggul di dalam Gereja. Maria di satu pihak anggota Gereja, tetapi di lain pihak anggota Gereja yang unik dan unggul (LG N.53) oleh karena dalam anggota ini seluruh misteri Gereja sudah menjadi terwujud. Maka orang boleh (harus) membedakan antara: Gereja termasuk Maria dan Gereja tanpa Maria. Gerejaa, yang sepanjang sejarah menuju ke kesempurnaan yang terakhir, dalam diri Maria sudah merangkul dirinya sebagai Gereja yang sampai sudah.<br /><br />271. Dengan memandang Maria sebagai “typos/exemplar” Gereja konsili Vatikan II mengangkat suatu pikiran teologik yang sebenarnya sudah lama. Istilahnya (Maria typos Gereja) untuk pertama kalinya (sejauh diketahui) dipakai oleh Ambrosius pada abad IV (dikutip konsili Vatikan II). Di zaman pertengahan pikiran itu diperkembangkan lebih lanjut, misalnya oleh Ambrosius Auspertus, Haymo dari Auxerre, Paschasius Radbertus. Menjelang konsili Vatikan II pikiran itu dihidupkan kembali, misalnya oleh O. Semmelroth, H. de Lubac, Y. Congar, J. Galot, H. Schmaus, E. Schillebeeckx, Ch. Journet. Akhirnya konsili Vatikan merestui pendekatan itu, sehingga menjadi ajaran resmi dan unsur penting dalam Mariologi.<br /><br />272. Bagaimana tradisi sampai ke typologi macam itu? <span class="fullpost">Sejak abad II para pujangga suka memparalelkan Maria dengan Gereja. Dengan melanjutkan pikiran Paulus (Rm 5:12-21; 1Kor 15:20-22.45-47) tentang Kristus sebagai “Adam kedua” pujangga-pujangga mencari “Hawa kedua” yang juga berperan dalam sejarah penyelamatan. Mula-mula Gereja seluruhnya dilihat sebagai “Hawa kedua”. Sama seperti Hawa lahir dari sisi Adam di firdaus (Kej 2:21) demikian pun Gereja lahir dari sisi Adam kedua (Yoh 19:34). Hawa menjadi ibu segala yang hidup (Kej 3:20) dan Gereja juga menjadi ibu segala yang hidup dalam tata penyelamatan. Hanya Hawa dengan menyebabkan dosa menjadi rekan Adam dalam membawa kematian, padahal Gereja, Hawa yang baru, sebagai teman Adam baru membawa kehidupan.<br /><br />273. Tetapi juga Maria dilihat sebagai Hawa yang baru dan secara negatif diparalelkan dengan Hawa pertama seperti Kristus, Adam kedua, secara negatif diparalelkan dengan Adam pertama. Serentak Maria secara positif diparalelkan dengan Gereja. Hawa pertama sebagai perawan tidak menaati firman (perintah) Allah, tetapi mendengar Ular, ialah Iblis, dan dengan demikian menyebabkan kematian. Sebaliknya Maria, Hawa kedua, sebagai perawan taat kepada firman (malaikat) Tuhan dan dengan demikian sebagai ibu yang subur mengandung dan melahirkan kehidupan, yaitu Yesus Kristus.<br /><br />274. Setelah baik Gereja maupun Maria sebagai Hawa kedua diperlawankan dengan Hawa pertama, maka Gereja dan Maria mudah disejajarkan secara positif. Epiphanius (abad IV) untuk pertama kalinya (sejauh diketahui) menampilkan Maria sebagai Hawa baru di samping Kristus. Lalu apa yang dikatakan mengenai Gereja dipindahkan kepada Maria dan sebaliknya: apa yang dikatakan tentang Maria dipindahkan kepada Gereja. Sejak Yustinus (abad II) ada pujangga Gereja (Ireneus, abad II, Cyrillus, uskup Yerusalem, abad IV, Epiphanius, abad IV) memparalelkan Gereja dengan Hawa. Sejak Ireneus ada sejumlah pujangga yang meyejajarkan Perawan-ibu yang subur, Maria, dengan perawan-ibu yang subur, ialah Gereja. Seperti Maria oleh karena imannya dan berkat Roh Kudus melahirkan Kristus, demikian pun Gereja oleh karena imannya dan berkat Roh Kudus melahirkan orang-orang Kristen. Kesejajaran antara Gereja dan Maria khususnya diperkembangkan oleh Agustinus (abad IV/V). Pikirannya adalah sebagai berikut: Kristus dan tubuhNya adalah satu. Dengan mengandung dan melahirkan Kristus, Maria melahirkan Gereja. Gereja melahirkan anggota-anggota tubuh Kristus, sehingga ada kesejalanan (sebagian) antara Maria – sejauh melahirkan anggota-anggota (tubuh) Kristus – dan Gereja yang melahirkan anggota-anggota (tubuh) Kristus. Maka dari sisi itu Maria dan Gereja sangat terbatas pada Agustinus dan Maria tidak dinilai sebagai typos Gereja paripurna. Ambrosius untuk pertama kalinya menilai Maria demikian. Tetapi lambat laun terjadilah semacam simbiose, perikohorese Maria dan Gereja. Kedua realitas itu dalam pemikiran melebur menjadi satu. Demikian jadinya Maria dilihat sebagai pengrealisasian Gereja dalam anggotanya yang pertama. Maria dinilai sebagai “Gereja” yang mendahului Gereja.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Mana dasar “typologi”?</span><br /><br />275. Boleh dipertanyakan kalau-kalau tradisi mengenai Maria sebagai “typos Gereja” teologi yang sehat atau terlebih suatu ideologi ciptaan umat Kristen (Katolik). Bukankah Gereja memproyeksikan dan mengobjektivasikan dirinya dalam Maria? Bukankah dengan demikian Gereja hanya mau mengamankan dirinya dan menjadikan dirinya terluput dari hal ihwal sejarah? Gereja kan sudah seluruhnya terwujud dalam Maria, cita-cita sudah terealisasikan. Dalam Maria Gereja seluruhnya sudah selamat; iman Gereja sepenuhnya sudah dihayati; kasih ilahi Gereja sebagai balasan kepada Kasih Allah sudah menjadi kenyataan, dan kesucian utuh sempurna sudah tercapai. Apa saja yang terjadi, dalam Maria Gereja aman sentosa. Bukankah dengan menghormati dan memuja Maria Gereja akhirnya menghormati dan memuja dirinya? Semacam <span style="font-style: italic;">“Ecclesiolatria”, “Ecclesio-dulia”</span>? Soalnya terletak dalam hal berikut ini: Mana dasarnya satu anggota Gereja (memang Maria oleh tradisi dan konsili Vatikan II dinilai sebagai anggota Gereja; dalam Kis 1:14 Maria tampil sebagai anggota jemaah perdana) dinilai dan diangkat menjadi pempribadian seluruh Gereja sepanjang masa? Mengapa para rasul, para saudara Yesus, perempuan lain yang disebutkan Kis 1:4 tidak dinilai demikian? Bahwasannya Maria dinilai sebagai “model” kaum beriman tidak menjadi masalah, tetapi “typos Gereja” tidak sama artinya dengan “model kaum beriman”.<br /><br />276. Setelah dalam tradisi Maria, ibu Yesus, dinyatakan perawan-ibu Allah, tidak terkena dosa asal atau dosa mana saja ataupun <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> dan seluruhnya selesai sudah dalam kemuliaan surgawi, lalu Maria dinyatakan (oleh konsili Vatikan II) sebagai pempribadian, pengrealisasian Gereja. Bukankah Gereja, yang tidak suci, bukan perawan, tetapi menurut sementara pujangga Gereja “pelacur”, tidak bebeas dari kedosaan umum dan dosa-dosa khusus gerejani, bukankah Gereja yang sebenarnya gagal dalam menampung karya penyelamatan Kristus, memproyeksikan frustasinya dalam Maria sebagai pengrealisasian cita-cita yang tidak terjangkau? Dan apakah dengan cara demikian Maria tidak ditempatkan antara Yesus Kristus dan umat Kristen, sebagai semacam “wadah”, tempat segala sesuatu yang dimaksudkan untuk menjadi terlaksana dalam Gereja, sudah tertampung seluruhnya?<br /><br />277. Untuk teologi yang menganggap Kitab Suci sebagai tolok ukur seluruh tradisi lanjutan, tentu saja mahapenting menemukan bagi teologi sekitar Maria sebagai “typos Gereja” suatu dasar, paling tidak secara implisit, dalam Alkitab.<br /><br />278. Sudah dikatakan bahwa dalam perkembangan Mariologi kesejajaran rangkap dua antara Gereja-Hawa/Maria-Hawa memainkan peranan penting. Kitab Suci, maklumlah karangan Paulus, mengembangkan paralelismus antitetik antara Adam dan Yesus Kristus. Boleh jadi Paulus memikirkan jemaah sebagai paralel dengan Hawa (bdk. 2Kor 11:1-13; Ef 5:22-33). Tetapi soalnya kalau-kalau Kitab Suci menilai ibu Yesus sebagai “Hawa kedua” sejalan dengan Adam kedua? Ada orang yang menunjuk ke Gal 4:4 yang mengatakan bahwa Anak Allah lahir dari seorang perempuan. Katanya dengan menggunakan kata “perempuan” untuk menyebutkan ibu Yesus Paulus berpikir kepada perempuan pertama, Hawa, yang terkutuk. Tetapi sukar dibuktikan secara tuntas bahwa Paulus berpikir demikian. Kecuali itu “perempuan” itu pasti tidak diperlawankan dengan “perempuan pertama” yang terkutuk itu. Dalam Yoh 2:4 dan 19:26 Yesus menyapa ibunya sebagai “perempuan”. Ada orang yang berpikir bahwa penginjil sebenarnya berpikir kepada perempuan pertama, Hawa, yang dengannya ibu Yesus disejajarkan. Tetapi itu pun mustahil dibuktikan, sehingga tidak dapat menjadi titik tolak teologi.<br /><br />279. Namun hemat kami, Kitab Suci memberikan pegangan sedikit bagi teologi untuk menilai ibu Yesus sebagai puncak dan pempribadian umat Allah, umat Israel. Menurut tafsiran yang sudah kami sajikan, orang boleh berpendapat bahwa dalam kisah Yoh (2:1-10; 19:25-27) ibu Yesus memang dipentaskan sebagai lambang real-pribadi umat Israel. Ibu Yesus menjadi titik sambung antara umat Allah yang lama dan umat Allah yang baru.<br /><br />280. Dalam Why 12 dipentaskan suatu tanda besar di langit, seorang perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki lalu dikejar-kejar oleh seekor naga. Tidak dapat diragukan bahwa perempuan itu suatu lambang umat Allah, baik yang lama maupun yang baru, yang melahirkan Mesias dan dengan sia-sia dikejar oleh Iblis, yang dalam ayat 9 disamakan dengan Ular firdaus. Sejak abad IV semakin tersebar suatu tafsiran Why 12 yang berpendapat bahwa perempuan yang dipentaskan itu tidak hanya melambangkan umat Allah, tetapi juga dan serentak ibu Yesus, Maria. Maria melambangkan dan mempribadikan umat Allah. Hanya sampai dengan hari ini para ahli Kitab belum sepakat kalau-kalau Why 12 berpikir kepada ibu Yesus sebagai pempribadian umat Allah, Gereja. Kepastian tidak ada, sehingga nas ini tidak dapat menjadi titik tolak Mariologi.<br /><br />281. Demikian pun para ahli tafsir tidak sepakat dalam tafsiran atas Luk 1-2. Tidak sedikit tetap mempertahankan bahwa Luk 1-2 menampilkan ibu Yesus sebagai “putri/perawan Sion” (bdk. konsili Vatikan II, LG N.56), puncak dan pempribadian Israel, umat Allah. Khususnya ditunjuk Luk 1:28-30 (salam malaikat kepada Maria), yang dibandingkan dengan Zef 3:14-17, kalau “salam” <span style="font-style: italic;">(khairè)</span> diartikan sebagai “bersukacitalah”, seperti juga terdapat pada Zef 3:14. Nabi Zefanya bernubuat tentang “Putri Sion”,”Putri Yerusalem”, ialah umat Allah, di zaman keselamatan kelak. Menurut tafsir itu Luk 1:28-30 disusun dengan berlatar belakang nas Zef tersebut. Dan maksud penginjil ialah: kini nubuat itu digenapi dan Marialah yang tampil sebagai “Putri Sion”, pempribadian umat Allah. Tetapi lain-lain ahli Kitab berpendapat tafsiran tersebut tidak berdasar oleh karena – khususnya kalau teks Yunani Luk dan teks Yunani Zef dibandingkan – kesamaan antara kedua nas itu hampir tidak ada.<br /><br />282. Namun demikian jelas pulalah bahwa Luk 1-2 tidak menampilkan Maria sebagai individu belaka, biar ibu Yesus sekali pun. Bila orang membaca Lagu Maria (<span style="font-style: italic;">Magnificat</span>, Luk 1:46-55), jelaslah Maria tidak hanya berbicara atas namanya sendiri. Sebaliknya ia tampil sebagai juru bicara sekelompok orang, yaitu orang yang telah mengalami kesusahan dan penderitaan serta penindasan, namun tetap percaya kepada Allah, yang juga menyelamatkan mereka. Di muka sudah diuraikan bahwa Luk 1-2, khususnya Luk 1:46-55 mementaskan ibu Yesus sebagai juru bicara <span style="font-style: italic;">“kaum anawim”</span>. Apakah Maria dengan demikian ditampilkan sebagai “<span style="font-style: italic;">typos</span> Gereja” Allah? Dalam rangka pertanyaan itu tidak hanya perlu membaca Zef 3:14-15, tetapi terlebih Zef 3:12-13.<br /><br />283. “Kaum hina-dina” tampil dalam Zef 3:12-13. Mereka digambarkan sebagai umat Israel yang selamat di masa mendatang, sisa umat Allah, Israel sejati. Luk dalam nas tersebut kiranya menilai ibu Yesus sebagai juru bicara “kaum hina-dina”, wakil dan pempribadiannya, yang oleh Allah melalui anak Maria, Juru selamat (Luk 2:11), diselamatkan (Luk 1:47). Di zaman Perjanjian Baru, waktu Luk ditulis, kaum “hina-dina” <span style="font-style: italic;">(Ebyonim)</span>, khususnya jemaah di Qumran, menilai dirinya sebagai Israel sejati, yang pada akhir zaman diselamatkan oleh Allah. Kalau Luk 1-2 terpengaruh oleh spiritualitas “kaum hina-dina” itu (yang masuk Kristen) dan mengambil alih lagu-lagu (Zakharia, Luk 1:68-79; Maria, Luk 1:46-55) dari kalangan mereka, maka tidak terlalu gegabah menduga bahwa Luk 1 mau mementaskan ibu Yesus sebagai pempribadian Israel sejati, yang terwujud oleh jemaah Yesus nanti. Meskipun juga lagu Zakharia, ayah Yohanes Pembaptis, menyuarakan spiritualitas “kaum hina-dina”, namun Luk 1 cukup jelas tidak melihat Zakharia sebagai pempribadiannya. Sebab Zakharia jelas diperlawankan dengan Maria, yang unggul dalam imamnnya (Luk 1:20.38.45)<br /><br />284. Maka ibu Yesus, pempribadian kaum hina-dina dalam Luk 1, tampil sebagai antisipasi jemaah Yesus. Maria dipentaskan sebagai model orang beriman. Setelah Maria digambarkan demikian alam Luk 1-2; ia kembali dipentaskan dalam Kis 1:4 di tengah jemaah perdana yang menantikan Roh Kudus. Antara Luk 1-2 dan Kis 1-2 ada kesejalanan yang cukup menyolok dan disepakati para ahli tafsir. Itu tentu saja tidak serba kebetulan, tetapi dengan sengaja diciptakan penulis Luk-Kis. Dengan demikian ibu Yesus menjadi sambungan antara masa kelahiran Yesus dan masa kelahiran jemaah Yesus, Israel sejati, kaum hina-dina. Maria mengantisipasikan jemaah Kristen, Gereja Yesus Kristus. Dan justru fungsi sebuah <span style="font-style: italic;">“typos”, “exemplar”</span>, yaitu secara real mengantisipasikan realitas definitif yang menyusul.<br /><br />285. Maka boleh disimpulkan bahwa Mariologi yang melihat ibu Yesus sebagai <span style="font-style: italic;">“typos/exemplar”</span> Gereja dapat menemukan dasarnya dalam Kitab Suci. Yoh 2:1-10; 19:25-27 menampilkan ibu Yesus sebagai Israel sejati, yang menjadi kesinambungan antara umat Allah yang lama dan umat Allah yang baru, jemaah Kristen. Tetapi Luk 1-2 serta Kis 1 maju selangkah. Ibu Yesus dipentaskan sebagai model orang beriman dan antisipasi real jemaah Kristen, ialah Gereja. Dan Maria “typos/exemplar Gereja” lebih dari ajaran bahwa Maria adalah “ibu kaum beriman”, “ibu Gereja”. Sudah dikatakan bahwa di zaman pertengahan, yang dirintis oleh Origenes dan Ambrosius, Yoh 9:25-27 biasanya diartikan begitu rupa, sehingga Maria dilihat sebagai ibu kaum beriman, Gereja, yang dilambangkan oleh “murid yang dikasihi Yesus”. Meskipun teologi yang terungkap dalam tafsiran itu tepat, namun teologi itu tidak dapat dinilai sebagai tafsiran Yoh 19:25-27. Namun demikian, juga dalam Yoh 19:25-27 ibu Yesus mempunyai dimensi eklesial dan menjurus kepada typologi yang menjadi matang dalam Luk 1-2; Kis 1.<br /><br />286. Oleh karena teologi mengenai Maria sebagai <span style="font-style: italic;">“typos/exemplar”</span> Gereja mendapat pangkalnya dalam Kitab Suci, maka teologi itu dapat diterima juga. Mariologi boleh mengembangkan gagasan itu, asal tetap diawasi Kitab Suci. Teologi itu sungguh-sungguh terancam bahaya menjadi ideologi. Yaitu ideologi eklesial, yang sebenarnya hanya menyanjung-nyanjung Gereja, yang dalam “typosnya”, Maria diidealkan di luar batas. Bahaya itu terhindar kalau teologi itu tidak hanya mendasarkan diri pada sebagian kecil Kitab Suci, tetapi juga terus diawasi oleh realitas objektif, yaitu Maria, seperti digambarkan Kitab Suci, khususnya Luk dan Yoh, tanpa menyingkirkan ayat-ayat yang kurang positif. Dari realitas Maria itu dapat dijabarkan bahwa pada Maria karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus sepenuh-penuhnya terlaksana dan berhasil. Sebab pada ibu Yesus karya itu memancing dan memungkinkan tanggapan sepenuh-penuhnya dari pihak manusia yang bernama Maria, ibu Yesus. Apa yang tidak jadi terwujud dalam persekutuan kaum beriman sepanjang sejarah, ialah Gereja, menjadi nyata dalam Maria. Dengan demikian Maria menjadi <span style="font-style: italic;">“typos”</span> bagi Gereja yang tidak berhasil dan <span style="font-style: italic;">“typos”</span> itu tidak berperan sebagai ideologi, melainkan sebagai kritik ideologi yang mengancam Gereja, dan suatu teguran tetap yang oleh Tuhan ditujukan kepada GerejaNya.<br /><br />287. Sebab hanya dalam Maria sajalah Gereja Yesus Kristus menjadi nyata seutuhnya. Ibu Yesus, yang oleh Allah diciptakan menjadi tanda kegagalan umat Allah, bukan ciptaan Gereja untuk dibanggakan. Teologi typologik tentang Maria maunya menempatkan dia di dalam Gereja, tetapi akhirnya menempatkan ibu Yesus terlebih di pihak Allah dan Yesus Kristus berhadapan dengan Gereja. Di sana kan Gereja melihat betapa jauh ia dari maksud Allah. Hanya Maria sepenuh-penuhnya mewujudkan Gereja, oleh karena terbawa oleh tawaran diri Allah melalui anaknya, Yesus Kristus, Juru selamat umat manusia, Maria sebulat-bulatnya merelakan diri untuk ditawari dan menerima tawaran diri Allah. Hanya Maria sajalah merelakan diri dengan cara demikian, bukan Gereja sejauh lain dari Maria.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Ibu Gereja</span><br />288. Kalau maria boleh disebutkan “<span style="font-style: italic;">typos</span> Gereja”, pengrealisasian pribadi seluruh Gereja, yang berhadapan dengan Allah dan Kristus sebagai Juru selamat, maka Maria sukar diberi gelar “ibu Gereja”, apalagi oleh karena Gereja itu sendiri sudah lazim digelari “ibu” orang-orang beriman, sejalan dengan Maria. Konsili Vatikan II, yang mengatakan Maria anggota Gereja sekaligus “<span style="font-style: italic;">typos</span> Gereja”, menolak memberi Maria gelar “ibu Gereja”. Soal itu hangat-hangat dan secara amat emosional dipertikaikan oleh para Bapa konsili. Adegan itu sebenarnya kurang sedap rasanya. Ada tawar-menawar sekitar ibu Yesus, seolah-olah sepotong barang yang diperdagangkan, seolah-olah Bapa konsili berhak menentukan kalau-kalau Maria boleh diberi “tanda jasa”, “lencana penghargaan” dan “penghormatan”, atau tidak. Cukup banyak Bapa konsili ternyata merasa betapa kurang sedapnya Maria diperdagangkan. Habis penolakan oleh konsili, maka P. Paulus VI pada akhir sidang yang bersangkutan tanggal 21/XI/1964, toh secara resmi menyatakan Maria “ibu Gereja”.<br /><br />289. Tetapi Paus dengan cermat menjelaskan gelar itu. Maria adalah ibu Gereja, artinya: ibu kaum beriman, kecuali Maria sendiri. Dengan demikian Maria adalah ibu umat Kristen seluruhnya, baik orang beriman maupun para Gembala (yang baru saja mempertikaikan ibu mereka). Dibedakan antara Gereja yang mencakup Maria sendiri sebagai anggota dan <span style="font-style: italic;">“typos”</span> dan Gereja, umat beriman tanpa Maria. Sebagaimana di muka sudah diuraikan, Maria boleh disebut “ibu semua orang beriman”, malah “ibu semua manusia” dalam tata rahmat oleh karena Maria menjadi ibu Kristus, Juru selamat. Dengan melahirkan Juru selamat, Maria secara tak langsung “melahirkan “ mereka semua yang (mau) diselamatkan Kristus. Oleh karena Maria tidak hanya secara fisik-biologik menjadi ibu Yesus, tetapi juga secara personal dan sebulat-bulatnya melibatkan diri dalam keibuannya, maka keterlibatan bulat dan personal dengan Yesus sebagai Juru selamat berarti juga keterlibatan personal dan bulat dengan mereka semua yang (mau) diselamatkan. Relasi khas dengan Yesus itu mengimplikasikan relasi khas dengan mereka semua yang menjadi sasaran karya anak Maria.<br /><br />290. Gelar Maria “ibu Gereja” sebenarnya baru muncul dalam tradisi sejak abad VIII. Gelar itu tidak dapat langsung didasarkan pada Kitab Suci. Meskipun Yoh 19:26 kerap kali dimanfaatkan, namun, seperti sudah diuraikan, nas Yoh itu tidak dapat dipakai sebagai dasar alkitabiah. Adapun sebabnya mengapa lama sekali orang enggan menyebut Maria “ibu Gereja” ialah: Maria dianggap “putri Gereja” dan “anggota Gereja”. Kalau kata “Gereja” diambil dengan arti selengkap-lengkapnya, ialah keseluruhan kaum beriman (sejak awal dunia) yang mendahului masing-masing anggota, Maria memang mesti disebut “putri” dan “anggota” Gereja. Sebab Maria pun diselamatkan, termasuk ke dalam kalangan mereka yang “ditebus” oleh karya penyelamatan Allah. Sebagai orang beriman Maria termasuk ke dalam persekutuan orang beriman yang menampakkan karya penyelamatan Kristus yang mendahului mereka semua. Tetapi jika kata “Gereja” diambil dengan arti terbatas, ialah “kumpulan orang beriman”, maka Maria boleh dikatakan “ibu mereka”, oleh karena menjadi ibu Juru selamat mereka dan mereka semua turut “dilahirkan” oleh Maria. Sebab “misteri Gereja” pertama-tama terwujud dalam anak Maria, Yesus Kristus yang di dalam diriNya mempersatukan Allah dan manusia.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">B. MARIA, GEREJA YANG JAYA DALAM DOA</span><br /><br /></div><span style="font-weight: bold;">1. Maria “pengantara” (mediatrix)</span><br />291. Konsili Vatikan II (LG N.62) menegaskan bahwa peranan Maria sebagai “ibu” dalam tata penyelamatan berlangsung terus. Jadi kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan (sebagai ibu Juru selamat dan “rekanNya” dalam karya penyelamatan) tidak berhenti dengan hilangnya Maria dari panggung sejarah.<br /><br />292. Dalam hal ini ada kesejalanan antara Maria dan Yesus. Meskipun Yesus lenyap dari sejarah, namun Ia tetap aktual masih juga berperan, seperti berulang kali ditandaskan Perjanjian Baru (bdk. Kis 2:33; 9:15; Rm 8:34; Ibr 7:24-25; 9:14; 5:9; 1Yoh 1:7-9; 2:1-2) dan selalu diandaikan. Kedudukan dan peranan aktual Yesus Kristus sepanjang masa itu berdasarkan karya penyelamatanNya dahulu, kehidupan, wafat dan kebangkitanNya, dalam kesetiaan serta ketaatan kepada BapaNya. Yang sama harus dikatakan tentang Maria: Kedudukan dan peranan aktualnya dalam tata penyelamatan berdasarkan kedudukan dan peranannya dalam sejarah penyelamatan dahulu. Dan seperti kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan seluruhnya bergantung pada Allah dan Yesus Kristus, Juru selamat, demikian pun kedudukan dan peranan Maria yang aktual tetap bergantung pada kedudukan dan perananan aktual Yesus Kristus.<br /><br />293. Konsili Vatikan II (LG N.62) merumuskan peranan aktual Maria itu sebagai berikut: “Karena, setelah diangkat ke surga, ia (Maria) tidak menanggalkan tugas penyelamatan ini, melainkan melanjutkannya melalui syafaatnya yang berganda-ganda dan memperoleh bagi kita anugerah-anugerah keselamatan kekal. Dengan cintanya sebagai seorang ibu ia memprihatinkan saudara-saudara Anaknya yang kini masih musafir...... Oleh sebab itu di dalam Gereja Santa Perawan menyandang gelar: pengacara <span style="font-style: italic;">(advocata)</span>, pembantu <span style="font-style: italic;">(auxiliatrix)</span>, penolong <span style="font-style: italic;">(adiutrix)</span> dan pengantara <span style="font-style: italic;">(mediatrix)</span>.” Sebelum konsili ada suatu tendensi kuat, supaya Sri Paus (atau konsili) meresmikan suatu dogma marial yang baru, yaitu Maria sebagai “pengantara segala rahmat” <span style="font-style: italic;">(mediatrix omnium gratiarum)</span>. Tetapi konsili akhirnya tidak hanya menolak membuat dogma baru, tetapi amat merelativasikan gelar <span style="font-style: italic;">“mediatrix”</span> dengan menempatkannya serangkai dengan gelar-gelar devosional lain <span style="font-style: italic;">(advocata, auxiliatrix, adiutrix)</span>, yang k.l. searti dan saling melengkapi. Maka <span style="font-style: italic;">“mediatrix” </span>berarti: Maria berperan sebagai “pembicara baik”,”pembantu” dan “penolong” kaum beriman. Dengan demikian Maria ditempatkan di antara para “kudus” (orang beriman yang sudah selesai, sampai), yang menurut kepercayaan tradisional, paling tidak dalam tradisi Katolik (DS 1821), tetap berperan sebagai pembantu, penolong, pembicara baik dan pengantara bagi orang beriman, yaitu dengan mendoakan mereka. Secara resmi halnya dirumuskan oleh konsili Trente (DS 1821-1825) (terulang konsili Vatikan II LG N.50). Sekaligus dijelaskan bagaimana peranan para kudus perlu dipahami, sehingga Yesus Kristus tetap satu-satunya Penebus dan Juru selamat.<br /><br />294. Jemaah-jemaah Reformasi dewasa ini umumnya tidak menerima, atau paling tidak, tidak menghayati, tradisi Kristen yang amat kuno itu. Pada awal Reformasi – seperti terungkap misalnya dalam “Augustana Confesio”, juga jemaah-jemaah Reformasi mengakui peranan aktual para kudus dan tidak segan mengakui bahwa peranan Maria memang unggul. Tetapi akibat pertikaian sengit Gereja Roma Katolik dan umat Reformasi, unsur itu hampir seluruhnya hilang dari praktek jemaah-jemaah Protestan, yang melawan praktek seperti lazim dalam Gereja Roma Katolik. Dan umat Reformasi amat alergik terhadap gelar-gelar, khususnya gelar “pengantara” yang diberi kepada para kudus dan khususnya kepada ibu Yesus.<br /><br />295. Dan memang membaca segala gelar yang, menurut konsili Vatikan II, disandang Maria, orang terkejut sedikit. Sebab gelar-gelar <span style="font-style: italic;">“advocatus”, “auxiliator”, “adiutor”</span> secara tradisional diberikan kepada Roh Kudus. Jelaslah bahwa gelar yang sama tidak boleh sama artinya kalau diberikan kepada Roh Kudus dan kalau diterapkan pada ibu Yesus. Roh Kudus kan adalah Allah sendiri yang aktif tetap berkarya dalam sejarah dan dalam Gereja serta menjadi daya penyelamatan Yesus Kristus yang tetap aktual. Sebaliknya Maria seluruhnya di pihak manusia dan sebagai teman manusia ada di samping mereka sebagai “pengacara”, “pembantu”, “penolong” dan “pengantara”. Boleh disesalkan bahwa pada umat Katolik kesadaran akan Maria sebagai “pembantu”, “pengacara” dan sebagainya jauh lebih kuat daripada kesadaran akan Roh Kudus.<br /><br />296. Kesulitan utama yang diajukan terhadap semua gelar tersebut, terutama terhadap gelar “pengantara” <span style="font-style: italic;">(mediatrix)</span>, justru kesan bahwa Maria mengganti Roh Kudus dan khususnya mengganti satu-satunya Pengantara <span style="font-style: italic;">(Mediator)</span> ialah Yesus Kristus (bdk. 1Tim 2:5-6) atau bahwa Maria ditempatkan di samping Yesus Kristus menjadi sepasang pengantara. Kesan itu sekuat tenaga mau dicegah konsili Vatikan II (LG N.60) dengan menekankan bahwa ibu Yesus tidak mengurangi kedudukan Yesus Kristus atau bersaing denganNya, kalau diberi gelar “pengantara” <span style="font-style: italic;">(mediatrix)</span>.<br /><br />297. Gelar <span style="font-style: italic;">“mediatrix”</span> itu sejak abad VI mulai dipakai untuk mengungkapkan bahwa Maria surgawi mendoakan orang beriman, sama seperti para kudus (yang sejak abad IV kadang-kadang digelari <span style="font-style: italic;">“mediator”</span>, pengantara). Pikiran (tanpa gelar) bahwa Maria mendoakan orang lain (khususnya Hawa) sudah diungkapkan Ireneus (abad II). Gelar <span style="font-style: italic;">“mediatrix”</span> dan khususnya <span style="font-style: italic;">“mediatrix omnium gratiarum”</span> mulai laku sejak abad XII/XIII dan teristimewanya sejak abad XVII digemari umat Katolik. Maria sebagai pengantara suka ditempatkan antara Gereja (ialah kaum beriman) dan Kristus, sehingga kadang-kadang (sejak Bernardus, abas biara Clairvaux) disebutkan sebagai “leher” tubuh mistik (kepala ialah Kristus). Gambaran (yang cukup materalistik) ialah: Segala rahmat dari Kepala (Kristus) melalui leher (Maria) mengalir kepada tubuh (Gereja, kaum beriman). Dalam rangka ini dipakai juga gambaran “saluran air” (aquaeductus). Gambaran-gambaran macam itu dapat menyesatkan, sebab orang berkesan ada serangkaian pengantara antara Allah dan manusia sebagai berikut: Allah ---- > Kristus --- > Maria --- > manusia. Gambaran serupa (yang a.l. dipakai P. Pius X, DS 3370) melukiskan duduknya perkara sebagai berikut: Kristus memang “memperoleh segala rahmat”. Tetapi semuanya dipercayakan kepada ibuNya untuk “dibagi-bagikan” kepada manusia. Maka muncul juga gelar <span style="font-style: italic;">“dispensatrix”</span> (pembagi) rahmat. Gambaran itu pun dipakai P.Leo XIII (DS 3274) dan P.Pius XII (DS 3916).<br /><br />298. Maria tidak hanya ditempatkan antara Kristus dan umat beriman di garis menurun, tetapi juga di garis mengatas. Gambarannya sebagai berikut: Umat beriman menghadap Maria, lalu Maria menghadap Kristus dan Kristus (bersama dengan ibuNya) menghadap Allah. Gambaran itu a.l. dipakai oleh P.Leo XIII (DS 3274) dan P. Pius X (DS 3370) yang menyebut Maria pengantara <span style="font-style: italic;">(mediatrix)</span> dan “penyambung” <span style="font-style: italic;">(conciliatrix)</span>.<br /><br />299. Tentu saja gelar “mediatrix” dan gambaran tersebut (leher, saluran air) dapat diartikan dengan baik. Paus-paus (Leo XIII, Pius X, Benedictus XV, Pius XI, Pius XII) yang mendukung gelar itu dan memakai gambaran tersebut biasanya menjelaskan begitu rupa, sehingga kedudukan dan peranan tunggal Kristus tidak dirongrong. Gelar (dan gambaran) itu hanya berarti Maria di surga “mendoakan” umat beriman seperti para kudus, meski dengan cara yang unggul sekali pun. Itu misalnya cukup kentara kalau orang membaca keterangan yang diberikan P. Leo XIII (bdk. DS 3220-3221).<br /><br />300. Namun demikian cara bicara semacam itu mudah saja menyesatkan. Pertama kalinya, “rahmat” dipikirkan semacam barang atau benda, yang dikumpulkan oleh Kristus, lalu disimpan dalam semacam “khezanah” dan oleh Maria dibagi-bagikan. Padahal rahmat bukanlah “barang”, melainkan relasi personal dan pribadi antara Allah yang menawarkan diri dan manusia yang sambil menyerahkan diri menerima tawaran itu, yang diserap olehnya sehingga Allah dan manusia bersatu. Kedua kalinya, orang berkesan seolah-olah umat beriman tidak lagi langsung berhubungan dengan Yesus Kristus dan begitu dengan Allah, tetapi hubungan itu terjalin melalui Maria. Umat beriman menjadi terpisah dengan Yesus Kristus, yang terlalu “jauh” dari manusia, padahal Maria dirasakan “dekat”. Sudah dicatat di muka bahwa peranan amat besar yang dimainkan Maria dalam agama rakyat Katolik pasti berkaitan dengan tekanan yang sejak abad IV diletakkan pada keilahian Kristus, sehingga kemanusiaanNya menjadi kabur. Secara emosional dan eksistensial Kristus semakin jauh dari umat beriman. “Kelowongan” yang dengan cara demikian tercipta diisi oleh para kudus, khususnya oleh ibu Yesus yang dirasakan “manusiawi” benar.<br /><br />301. Salah paham macam itu kiranya menyebabkan bahwa P. Pius XII mulai amat hati-hati dalam menggunakan gelar “pengantara segala rahmat”. P. Yohanes XXIII malah sama sekali tidak menggunakannya lagi. Sudah dikatakan bahwa konsili Vatikan II mempertahankan gelar “pengantara” <span style="font-style: italic;">(mediatrix)</span>, tetapi merelativasikannya begitu rupa, sehingga pengantaraan Maria berarti: Ia (bersama dengan orang kudus lainnya) mendoakan umat beriman. Dengan tegas pikiran itu diungkapkan oleh Pius XII yang menyebut Maria <span style="font-style: italic;">“Omnipotentia suplex”</span>, “pemohon yang adikuasa”. Maria hanya “pemohon”, seperti semua orang beriman, tetapi dalam hal “memohon” Maria unggul.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Caranya Maria “mengantara”</span><br />302. Jadi Maria boleh saja disebut “pengantara” malah “pengantara segala rahmat”, asal saja istilah itu dijelaskan seperlunya. Maria tidak menyingkirkan Yesus Kristus, satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia dan sebaliknya. Sehubungan dengan Maria (dan para kudus) istilah yang sama mempunyai arti yang berbeda sekali. Kalau Yesus Kristus, berdasarkan Kitab Suci, disebutkan “pengantara” <span style="font-style: italic;">(mediator)</span>, maka maksudnya sudah diuraikan di muka dan boleh diringkaskan sebagai berikut: Secara aktif dan dinamik Yesus Kristus mempersatukan Allah dengan manusia dan sebaliknya. Ia mewakili, bahkan mengganti manusia semua pada Allah dan menghadirkan Allah bagi manusia. Dan itu pun begitu rupa, sehingga Yesus Kristus tidak berdiri di antara Allah dan manusia, tetapi justru mempersatukan kedua ujung itu di dalam diriNya secara dinamik dan untuk selama-lamanya. Pengantaraan Yesus Kristus seolah-olah berjalan di dua jurusan, dari atas (Allah) ke bawah (manusia) dan dari bawah (manusia) ke atas (Allah). Dari pihak Allah Kristus menjadi tawaran diri Allah kepada manusia; dari pihak manusia Kristus sebagai Kepala, wakil dan “repraesentans” umat manusia menerima tawaran itu demi untuk manusia. Hanya Yesus Kristus sajalah yang mempunyai kedudukan yang sungguh-sungguh tunggal itu.<br /><br />303. Kalau Maria (dan para kudus, bahkan semua orang beriman) juga disebut “pengantara”, maka arti istilah itu sudah lain. Maria (dan para kudus) tidak pernah di pihak Allah sebagai “wakilNya” yang secara langsung menjadi “tawaran diri Allah” kepada manusia seperti Kristus atau di samping Kristus. Maria (dan para kudus) hanya di pihak manusia yang oleh Kristus dan dalam Kristus dipersatukan dengan Allah dan dalam ketergantungan pada penerimaan tawaran diri Allah oleh Kristus juga menerima tawaran yang sama. Sebagai manusia mereka tentunya juga aktif, sejauh dengan iman secara pribadi mengikutsertakan diri dalam penerimaan tawaran diri Allah oleh Kristus. Hanya kemampuuan untuk menjadi peserta masih juga hasil dari pengantaraan Kristus.<br /><br />304. Dalam rangka ini perlu diingat kembali apa yang sudah diuraikan sedikit. Seperti dalam tata penciptaan demikian pun dalam tata penyelamatan ada suatu kesetiakawanan, persekutuan dinamik, antara mereka semua yang oleh dan dalam Kristus dipersatukan dengan Allah. Ada “persekutuan para kudus”, ialah semua orang beriman yang oleh Allah dengan perantaraan Kristus dikuduskan, yaitu dengan menerima tawaran diri Allah yang juga disebut “rahmat”. Sambil dengan cara demikian dipersatukan dengan Allah, mereka pun dipersatukan satu sama lain. Mereka bersatu dalam Roh Kudus, ialah kasih dan rahmat (bdk. Flp 2:11; 2 Kor 13:13). Persatuan itu bukanlah suatu persatuan statik, melainkan persekutuan dinamik. Berlangsunglah suatu tukar-menukar satu sama lain. Seperti dikatakan Paulus (1Kor 12:26): Jika satu anggota (tubuh Kristus) menderita, semua anggota menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Menurut keyakinan Kristen persekutuan tersebut tidak hanya berlangsung di antara “para kudus” di bumi, tetapi juga antara mereka yang sudah “selesai” dan mereka yang masih di perjalanan menuju ke penyelesaian.<br /><br />305. Seperti sudah diuraikan dalam rangka pembahasan tentang peranan Maria dalam tata penyelamatan, tukar-menukar penyelamatan antara para kudus di garis mendatar (dalam ketergantungan mutlak dan terus-menerus pada Allah dan Kristus) diikutsertakan dalam tukar-menukar antara Allah dan manusia yang berlangsung dalam Kristus. Dengan iman berkasih manusia menerima tawaran diri Allah. Tetapi pada gilirannya manusia yang dengan cara demikian “dikuduskan” menjadi (sarana) tawaran diri Allah bagi sesama. Melalui dirinya tawaran diri Allah dalam Kristus mendekati sesama manusia, yang pada gilirannya menerima atau menolak tawaran Allah itu.<br /><br />306. Dengan istilah Katekismus yang lebih dikenal: Orang yang dirahmati oleh Allah menjadi rahmat bagi sesama manusia. Tentu saja bukanlah secara “otonom” dan terlepas (seperti Kristus), tetapi dalam ketergantungan pada Kristus, tawaran diri Allah dan penerima serentak. Tetapi lain manusia dapat diikutsertakan dalam Yesus Kristus, mengambil bagian dalam tukar-menukar antara Allah dan manusia. Hanyalah sejak Yesus Kristus hilang dari panggung sejarah, tawaran diri Allah dalam Kristus hanya sampai kepada manusia melalui mereka yang telah menerima tawaran diri Allah itu. Itulah peranan “Gereja”, persekutuan mereka yang dengan iman menyerap rahmat Allah.<br /><br />307. Jelas kiranya bahwa semakin orang secara pribadi menerima tawaran diri Allah, semakin melalui dia tawaran Allah itu disampaikan kepada sesama, kepada dunia. Dalam persekutuan para kudus (kaum beriman) ada perbedaan mutu dan bobot dalam hal menjadi “pengantara” (sekunder) penyelamatan. Mengingat kebulatan iman dan kasih ibu Yesus, jelas pulalah bahwa di antara para kudus Marialah yang paling unggul.<br /><br />308. Dengan macam-macam cara Kitab Suci mengungkapkan bahwa manusia (beriman) berperan (aktif) dalam tata penyelamatan. Dan itu pun tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Cukuplah orang mendengar keterangan Paulus ini: Kami adalah kawan sekerja Allah, kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah (1Kor 3:9) ... kami sebagai hamba Allah, yang kepadanya dipercayakan rahasia (penyelamatan) Allah (1Kor 4:1; bdk. Kol 1:24). Tetapi manusia selalu hanya menjadi pengantara penyelamatan dalam ketergantungan pada Allah dan Kristus. Justru segi itu terungkap dalam kebiasaan “mendoakan orang lain”. Itu kerap kali tampil dalam Kitab Suci. Biasa saja bahwa yang satu mendoakan yang lain. Cukuplah orang melihat nas-nas berikut: Kej 18:16 dst.; 19:20 dst.; Ul 9:18 dst.; 1Sam 12:18 dst.; Yudit 8:28 dst.; Yer 29:7; Kis 7:59; 12:5; Rm 15:30; 2Tes 3:1; Kol 4:3; 1Tim 2:1-3. Pada seluruh umat Kristen sampai dengan hari ini ada praxis saling mendoakan, baik di kalangan Katolik maupun di kalangan Protestan. Liturgi sebagian (besar) berupa doa syafaat. Dan doa itu, entahlah bagaimana dipikirkan, berdaya guna. Tetapi oleh karena berupa doa, sekaligus terungkaplah ketergantungan pada Allah dan Kristus. Tentu saja Kitab Suci biasanya berkata tentang orang beriman di dunia yang saling mendoakan. Umat Reformasi umumnya sekarang (mula-mula memang lain) tidak menerima bahwa juga yang sudah mati mendoakan mereka yang masih hidup. Untuk hal itu mereka tidak menemukan bukti dalam Kitab Suci. Hanya dalam 2Mak 15:12-14 dikatakan bahwa orang mati mendoakan orang hidup. Tetapi Kitab itu oleh jemaah-jemaah Reformasi tidak diterima sebagai Kitab Suci.<br /><br />309. Boleh disimpulkan bahwa pada umat Kristen sejak awal ada kepercayaan berdasar: pada garis mendatar berlangsunglah suatu persekutuan penyelamatan antara semua yang secara pribadi berkat karunia iman menerima tawaran diri Allah, ialah rahmat. Maka pada garis mendatar ada juga ketergantungan satu sama lain dalam tata penyelamatan. Tiap-tiap orang bergantung pada semua dan semua bergantung pada tiap-tiap orang. Tetapi keseluruhan di garis tegak lurus bergantung pada Allah dalam Kristus Yesus. Dan semakin bulat dan utuh keselamatan diterima dan terwujud pada seseorang semakin yang lain bergantung padanya. Sudah pasti juga tidak semua dengan dengan sama bulatnya dan keterlibatan persosnal yang sama menjadi peserta dalam penerimaan keselamatan oleh Yesus Kristus. Adapun Maria, seperti sudah menjadi jelas kiranya, kebulatan dan keterlibatan personal menjadi unggul. Maka dalam tata penyelamatan di garis mendatar orang lain bergantung, paling bergantung pada ibu Yesus.<br /><br />310. Dengan arti demikian Maria menjadi pengantara penyelamatan, pengantara rahmat, bahkan “segala rahmat”, bukan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif. Sebab kata “segala” dalam ungkapan “segala rahmat” berarti bahwa Maria menjadi peserta paling “intensif” dalam “pertukaran” yang berlangsung dalam persekutuan para kudus. Pengantaraan itu pada pokoknya sama dengan apa yang dimaksudkan jika Maria digelari “ibu rohani semua manusia dan semua orang beriman” (LG N.53.54) dalam tata penyelamatan.<br /><br />311. Persekutuan antara Maria (serta para kudus) dan kaum beriman, jadi pengantaraannya, berlangsung terus setelah Maria hilang dari panggung sejarah. Keyakinan itu diungkapkan dengan berkata: Maria (dan para kudus) di surga “mendoakan” orang beriman dan Gereja dan doanya sangat kuat serta pasti dikabulkan. Cara bicara memang hanya cara bicara. Apa yang berlangsung antara antara kaum beriman (dan manusia) di bumi (saling mendoakan) begitu saja dipindahkan kepada Maria (dan para kudus). Sebenarnya kita tidak tahu (secara terperinci) bagaimana keadaan orang “di surga” dan bagaimana mereka “berdoa”. Pastilah sudah bahwa “doa” di surga lain daripada “doa” di bumi. Sudah secukupnya dibahas bahwa melalui “pengangkatan ke surga” seluruh eksistensi keduniaan Maria “diabadikan”. Karena itu persatuan utuh Maria dengan Allah dalam Kristus diabadikan pula. Keadaan definitif itu pasti bukan suatu keadaan statis dan pasif belaka, kalaupun kita tidak tahu bagaimana semuanya berlangsung. Relasi penyelamatan antara Maria dengan Allah melalui Yesus Kristus juga tetap menyangkut semua orang beriman, baik di bumi maupun di “surga”. Kasih Maria kepada Allah yang utuh sempurna terus merangkul segala apa yang dikasihi Allah.<br /><br />312. Dengan bahasa antarmanusia di bumi hal itu diungkapkan dengan berkata: Maria, ibu Yesus, dengan kasih keibuan mencintai dan memprihatinkan semua anaknya, semua saudara Yesus. Dengan cara manusiawi itu mau dikatakan bahwa maria tetap berarti dan bermakna bagi semua orang, sama seperti dalam eksistensi keduniaannya berarti dan bermakna bagi semua. Dan arti dan makna itu memang unggul oleh karena kedudukan dan peranan Maria dalam eksistensi keduniaannya unggul, melebihi semua orang lain. Sebab keadaan surgawi semua orang kudus ditentukan oleh eksistensi keduniaannya. Maka tidak ada kesamaan antara semua orang kudus. Meskipun semua “sempurna” dan “bahagia secara sempurna”, namun kesempurnaan dan kebahagiaannya tidaklah sama. Maka kasih Maria dalam sejarah penyelamatan melandaskan kasihnya dalam tata penyelamatan aktual.<br /><br />313. Kalau Gereja Yesus Kristus mencakup semua orang percaya, mulai dari Abel sampai dengan manusia terakhir, maka di dalam keseluruhan Gereja itu Maria tetap mempunyai kedudukan dan peranan yang unggul. Relasi antara maria sebagai ibu dan Yesus sebagai anaknya, ialah relasi yang tunggal, menentukan makna dan arti Maria yang selalu aktual bagi seluruh Gereja Yesus Kristus. Gereja itu terus diciptakan oleh Tuhan surgawinya dengan Roh KudusNya. Sebagai penerima keselamatan Gereja itu pun terus berperan dalam perwujudan keselamatan itu. Ketergantungan menyeluruh pada Allah dalam Yesus Kristus disadari dan terungkap dalam Gereja yang terus menerus berdoa. Menurut hakikatnya Gereja itu ialah suatu Gereja beribadat, berdoa. Menurut gambaran Kis 2:42-46 jemaah perdana “selalu berkumpul untuk ... berdoa. Tiap-tiap hari jemaah berkumpul dalam Bait Allah”. Segala aktivitas Gereja yang lain, yang tentu ada artinya, seolah-olah terbungkus dalam doa. Dengan jalan itu Gereja mengakui bahwa makna seluruh eksistensinya datang dari Allah melalui Yesus Kristus. Mereka yang “sudah sampai”, malah lebih mengakui ketergantungannya, kalaupun kita tidak tahu bagaimana bentuk dan rupa “pengakuan” dan “doa” mereka. Dan di tengah-tengah mereka Maria pun tetap berdoa di dalam dan demi untuk Gereja AnakNya. Ia menjadi <span style="font-style: italic;">“typos”</span> Gereja yang berdoa.<br /><br />314. Sebab Maria, juga sebagai <span style="font-style: italic;">“typos”</span> Gereja, di satu pihak tetap diciptakan oleh karya penyelamatan Kristus, tetapi di lain pihak sekaligus berperan untuk mewujudkan penyelamatan itu di dalam dan sekaligus berperan untuk mewujudkan penyelamatan itu di dalam dan demi untuk Gereja. Maka anggota-anggota Gereja yang lain mencerminkan anggota yang unggul, yang di dalam dirinya sebagai “typos” merealisasikan Gereja itu, kalaupun ia tidak identik dengan Gereja. Dalam hal ini Maria, sama seperti anggota-anggota Gereja yang lain, tidak pasif, tetapi dalam ketergantungan pada Kristus aktif dalam menerima penyelamatan demi untuk anggota-anggota Gereja yang lain.<br /><br />315. Maka itulah “pengantaraan Maria” dan begitulah ia “mendoakan Gereja”. Maria bukan seorang pengantara di samping Kristus, tetapi ia pengantara berkat persatuan dan persekutuannya dengan Kristus dan di dalam Gereja sebagai persekutuan orang beriman yang mencakup semua, dari awal sampai akhir. Di dalam Gereja itu, di antara para kudus, ibu Yesus menjadi unggul sebagai “pengantara”, yang “mendoakan” semua yang terangkul oleh karya penyelamatan.<br /><br />-------<br />Sebelumnya : {BAB IV : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/03/mariologi-teologi-marial-4.html" target="_blank">IBU YANG JAYA</a>}<br />Selanjutnya : {BAB VI : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/04/mariologi-devosi-marial-1.html">TEOLOGI DAN “DEVOSI” MARIAL</a>}<br /></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-4912313211268058942010-03-17T10:28:00.000+07:002010-11-11T03:38:51.475+07:00Mariologi - Teologi Marial - 4<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB IV</span><br /><span style="font-weight: bold;">IBU YANG JAYA</span><br /></div><br /><br /><div style="text-align: justify;">196. Paulus (2Kor 2:14) menyatakan bahwa dalam kehidupannya sebagai rasul merasa dirinya sebagai seorang hamba, tawanan perang, yang oleh Kristus dibawa serta berkeliling dalam pawai kemenangaNya sendiri. Sang rasul merasa dirinya terlibat dalam hal ihwal Kristus yang mirip dengan jalan kejayaan. Yang sama boleh dikatakan tentang semua orang beriman, khususnya mengenai ibu Yesus yang sebagai orang beriman unggul, secara unggul terlibat dalam pawai kejayaan anaknya. Memang hal ihwal Yesus, yang memuncak dalam wafat dan kebangkitanNya diartikan sebagai drama kosmik, perjuangan Allah yang berjaya (Kol 2:15). Kehidupan orang beriman pun dilihat sebagai keterlibatan dalam perjuangan kosmik itu menuju kemenangan (Ef 6:10-17).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">A. MARIA DALAM PERISTIWA PENYELAMATAN</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Terlibat dalam hal ihwal Yesus</span><br />197. Mariologi (dan terlebih devosi) selalu bertendensi memparalelkan ibu Yesus dan anaknya. Tendensi itu misalnya tampil dalam dokumen konsili Vatikan II (LG N. 57-59). Maksud tendensi itu ialah melibatkan Maria dalam hal ihwal Yesus Kristus. Maka konsili Vatikan II dengan meringkaskan pendekatan itu tidak segan menyebut Maria “rekan” <span style="font-style: italic;">(socia)</span> dan “pekerja sama” <span style="font-style: italic;">(cooperata)</span> Juru selamat (LG N. 58.61). Oleh karena puncak penyelamatanNya ialah penderitaan/kematian dan kebangkitanNya, maka tidak mengherankan Mariologi berusaha memperlihatkan keterlibatan Maria justru dalam kedua hal ihwal Yesus itu. Seperti Kristus (harus) menderita dan demikian masuk ke dalam kemuliaanNya (Luk 24:26), demikian Maria secara khusus turut menderita dan turut dimuliakan (bdk. Rm 8:29-30). Dipertanyakan sejauh mana keterlibatan Maria itu bermakna bagi orang-orang lain, mana peranan Maria dalam karya penyelamatan?<br /><br />198. Di muka sudah diuraikan bahwa Maria tentu saja terlibat dalam tampilnya Yesus di muka bumi ini. Maria kan ibu Yesus, tidak hanya secara fisik dan biologik, tetapi juga secara personal dan spiritual. Maria sepenuhnya merelakan diri menjadi ibu Yesus dengan sepenuh-penuhnya menerimaNya. Keibuan Maria itu pasti menyangkut semua manusia. Sebab anaknya nyatanya Juru selamat dunia. Maka adanya Juru selamat itu dan adanya penyelamatan dalam umat manusia bergantung pada ibu Yesus, meskipun Yesus sebagai Juru selamat tentu saja tidak bergantung pada Maria. Dengan arti demikian konsili Vatikan II mengulang apa yang dikatakan Ireneus pada abad II: Maria adalah sebab <span style="font-style: italic;">(causa)</span> penyelamatan <span style="font-style: italic;">(salutis)</span> (LG N.56).<br /><br />199. Cara bicara macam itu hanya mau menonjolkan relasi “ibu-anak”, yang terjalin antara Maria dan Yesus, Juru selamat. Maria tidak terpaksa, tetapi dengan bebas menjadi ibu Juru selamat itu. Di garis mendatar Yesus bergantung pada ibuNya, seperti setiap anak bergantung pada ibunya. Tetapi di garis tegak lurus Maria (dan Yesus) bergantung pada Allah, Pencipta dan Juru selamat dasar. Meskipun dengan rela Maria menjadi ibu Yesus, namun oleh Allah ia dipilih dan disanggupkan secara personal menjadi ibu Juru selamat. Dan kesanggupan itu serta keselamatan Maria tergantung pada pilihan Allah demi Juru selamat dunia, Yesus, anak Maria. Dan dengan demikian kesanggupan dan keselamatan Maria bergantung pada Yesus, anaknya. Dalam tata ketergantungan ada suatu dialektik antara Maria dan Yesus.<span class="fullpost"><br /><br />200. Selanjutnya Maria terlibat dalam hal ihwal anaknya di masa mudanya, seperti digambarkan Mat 1-2 dan Luk 1-2. Hanya, seperti sudah dicatat, dalam kisah Mat Maria sebenarnya tidak berperan aktif; yang tampil ke depan ialah Yusuf (Mat 1:20.24.25; 2:13-14.20.22-23). Satu-satunya ayat yang menonjolkan Maria ialah Mat 2:11. Para majus itu melihat “Anak itu bersama Maria ibuNya”. Yusuf hilang dari panggung. Sebaliknya dalam kisah Luk 1-2 Marialah yang berperan aktif. Ia mempertemukan anak dalam kandungannya dengan Yohanes Pembaptis dalam rahim ibunya (Luk 1:39-45). Marialah aktif waktu Yesus dilahirkan (Luk 2:6-7). Simeon memberkati Maria dan Yusuf (Luk 2:34), tetapi hanya mengikutsertakan ibuNya dalam hal ihwal Yesus nanti, yang menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel (Luk 2:34.35). Hanya Maria sampai menegur Yesus (Luk 2:48) dan hanya dialah yang menyimpan segala peristiwa itu dalam hati dan merenungkannya (Luk 2:19.52). Di lain pihak, menurut Luk 2:49, Yesus menolak keterlibatan Maria (dan Yusuf) dalam tindakanNya sebagai unsur penentu.<br /><br />201. Dalam Injil-injil Sinoptik Maria tidak tampil sebagai terlibat dalam hal ihwal Yesus. Bahkan menurut Mrk 3:21.31-35 Yesus dengan tegas menolak campur tangan dari pihak familiNya, termasuk ibuNya. Meskipun Mat 12:46-50 dan terutama Luk 8:19-21 memperlunak ketegasan Mrk, namun Mat dan Luk pun tidak mementaskan Maria secara aktif terlibat dalam hal ihwal Yesus. Maria, ibu Yakobus dan Yoses, yang tampil dalam Mrk 15:40, agaknya bukan ibu Yesus. Bagaimanapun juga Maria bersama dengan perempuan lain berdiri jauh dari salib, penonton pasif saja.<br />Sebaliknya dalam Injil Yoh ibu Yesus sampai dua kali dipentaskan setelah Yesus mulai tampil, yaitu pada awal (Yoh 2:1-10.12) dan pada akhir karya Yesus (Yoh 19:25-27). Tetapi nama Maria tidak pernah disebutkan Injil keempat, meskipun tidak segan menyebut nama wanita-wanita lain, misalnya Maria Magdalena (Yoh 19:25) Maria, istri Klopas (Yoh 19:25), Maria, saudari Marta (Yoh 11:1 dst.; 12:3). Dan kalau ada hubungan antara Yesus dan ibuNya, maka Yesus menyapa dia sebagai “wanita” <span style="font-style: italic;">(guné)</span>, suatu sapaan yang memang tidak kasar, tetapi juga bukan sapaan mesra (Yoh 2:4; 19:26). Mau tidak mau orang bertanya: mengapa penginjil berbuat demikian? Ada maksud khusus?<br /><br />202. Dugaan itu tambah kuat, hampir saja menjadi kepastian, kalau Yoh 2:1-10.12; 19:25-27 diselidiki dengan metode kritik-historik. Hasil penyelidikan – yang di sini tidak dapat dijalankan – ialah: Ibu Yesus dalam Yoh 2:1-10.12 ternyata dimasukkan oleh penginjil ke dalam suatu ceritera mukjizat asli, di mana ibu Yesus tidak tampil. Demikian pun Yoh 19:25-27 dimasukkan penginjil ke dalam suatu kisah sengsara yang tidak tahu-menahu tentang ibu Yesus. Bagian ini oleh penginjil sendiri disusun atas dasar tradisi tentang hadirnya sejumlah perempuan pada saat Yesus wafat. Kalau demikian duduknya perkara pastilah sudah bahwa penginjil mempunyai maksud khusus dan ibu Yesus menjadi suatu simbol. Juga “murid yang dikasihi Yesus” (yang sejak bab 13 tampil dalam Injil keempat) hampir pasti sebuah simbol dan bukan seorang pengikut Yesus (apalagi rasul Yohanes) yang hadir di bawah salib Yesus.<br /><br />203. Jadi pertama kalinya ibu Yesus dipentaskan dalam ceritera tentang pesta (perjamuan) nikah yang diadakan di Kana (Yoh 2:1-10). Ibu Yesus sudah hadir. Yesus serta murid-muridNya (yamg menurut Yoh 7:5 tidak percaya kepada Yesus) turun ke Kapernaum dan agak lama tinggal di sana (Yoh 2:12). Tampilnya “saudara-saudara Yesus” di sini agak mengherankan. Sebelumnya mereka tidak dipentaskan dalam ceritera Yoh 2:1-10. Tidak menjadi jelas bagaimana sikap saudara-saudara itu terhadap Yesus, percaya atau tidak percaya. Menduga bahwa saudara-saudara itu bukan saudara-saudara yang tampil dalam Yoh 7:5, melainkan sekelompok pengikut Yesus, kurang berdasar.<br />Menurut penginjil (Yoh 2:11) mukjizat yang dikerjakan Yesus di Kana, menjadi yang pertama dari “tanda-tanda” yang dibuat Yesus. Murid-murid percaya kepada Yesus. Tetapi tidak dikatakan ibuNya termasuk mereka yang percaya akibat “tanda” itu. Ibu Yesus disebut (Yoh 2:12) bersama dengan “saudara-saudara Yesus”, yang menurut Yoh 7:5 tidak percaya, dan murid-murid yang percaya.<br /><br />204. Yoh 2:1-10 kiranya tidak melapor suatu peristiwa, seperti sudah dikatakan di muka. Maka yang penting hanyalah apa yang mau disampaikan penginjil dengan ceriteranya. Cukup umum disepakati di kalangan para ahli tafsir, bahwa ceritera-ceritera Yoh (hampir) selalu mempunyai ciri simbolik dan tokoh-tokoh yang dipentaskan (entahlah mereka historik atau tidak) melambangkan sesuatu yang lain, sesuatu yang ada pada jemaah-jemaah orang Kristen. Ciri simbolik Yoh 2:1-10 disarankan oleh beberapa istilah yang khusus digemari Injil keempat. Yaitu “saatKu” (ay 4), ialah saat kematian yang serentak saat permuliaan Yesus. Dan seluruh peristiwa dinilai sebagai suatu “tanda”, yang menunjuk kepada dan menyatakan “kemuliaan” Yesus. “Kemuliaan” itu ialah “kemuliaan”, daya penyelamatan yang berpancar dari salib Yesus.<br /><br />205. Maka boleh dipertanyakan apa yang sebenarnya dilambangkan ibu Yesus dalam Yoh 2:1-10? Boleh dikatakan bahwa penginjil mempunyai minat khusus bagi ibu Yesus, sehingga justru dia yang dipilih untuk dipentaskan dalam ceritera itu. Ibu Yesus dipentaskan antara mereka yang sudah hadir dalam pesta pernikahan (Yoh 2:1), padahal Yesus dan murid-muridNya (yang dalam Injil keempat selalu melambangkan jemaah-jemaah Kristen) belum hadir. Pernikahan sudah menjadi lambang yang melukiskan hubungan (perjanjian) antara Allah dengan Israel. Dalam ceritera “penganten laki-laki” sebentar tampil (ay 9-10), tetapi tidak berperan, kecuali sebagai sasaran teguran. Penganten laki-laki merupakan simbol Allah. Anggur menjadi lambang biasa untuk keselamatan (nanti) (Kej 27:28; Yoel 2:24; 3:18; Amos 9:13; Za 10:7). Oleh karena ibu Yesus sudah hadir, maka ia dianggap termasuk umat Israel. Pesta pernikahan kehabisan anggur. Itu kiranya berarti: Perjanjian Lama mendekati akhirnya. Ibu Yesus mengajak Dia untuk menyediakan anggur tambahan (entahlah dari mana). Permintaan itu ditolak Yesus (ay 3-4). Ucapan Yesus (ay 4): Mana urusan antara engkau dan Aku, hai wanita? SaatKu belum tiba!, mesti diartika sebagai penolakan. Jangan dibaca sebagai pertanyaan rhetorik sebagai berikut: Mengapa, hai wanita, engkau menyusahkan Aku? Bukankah saatKu telah tiba? Kalau demikian Yesus tidak menolak permintaan ibuNya. Ia hanya berkata: Tidak perlu minta apa-apa. Tafsiran itu terlalu dicari-cari. Jadi Yesus menolak ibuNya. Kalau kemudian Yesus mengubah air menjadi anggur, tidak berarti penolakan semula dicabut. Yesus menyediakan anggur lain (ay 10). Ibu Yesus mengajak pelayan-pelayan berbuat apa saja yang diperintahkan Yesus. Dengan demikian ia mencabut permintaannya semula. Artinya: Ibu Yesus tersedia menerima apa saja yang dikerjakan Yesus. Ibu Yesus terbuka untuk yang baru, bagaimanapun juga ciri-coraknya. Kemudian Yesus mengubah air pembasuhan menjadi anggur, bahkan anggur baik dari yang dahulu dan yang habis (ay 10). Air pembasuhan itu agaknya melambangkan Hukum Musa, seluruh tata penyelamatan lama. Itu tidak dibuang, tetapi diangkat menjadi sesuatu yang lebih baik, yaitu anggur, simbol keselamatan yang dikerjakan Yesus (melalui kematian-permuliaanNya). “Saat” Yesus itu diantisipasikan oleh “tanda pertama” yang menyatakan kemuliaan Yesus (ay 11). Dan dengan demikian peristiwa di Kana sudah memperlihatkan kemuliaan Yesus, daya penyelamatan yang berpancar dari salib.<br /><br />206. Kalau tafsiran tersebut kurang lebih tepat, maka ibu Yesus dalam Yoh 2:1-10.12 melambangkan umat Israel, Israel sejati, yang terbuka bagi Yesus dan rela menerima apa yang nyatanya diberikan Yesus, meskipun yang lama mesti ditinggalkan. Ibu Yesus menjadi peralihan antara tata penyelamatan lama dan tata penyelamatan baru. Ibu Yesus memang termasuk umat Israel, tetapi ia melahirkan Yesus dan begitu membuka yang baru. Dan, seperti ditegaskan Luk 1:38.45, Maria memegang peranan kunci itu justru oleh karena percaya. Boleh diduga penulis Injil keempat memilih ibu Yesus sebagai lambang umat Israel lama, justru oleh karena ia pun tahu tentang iman kepercayaan Maria, yang merelakan diri menjadi ibu Yesus. Dalam Yoh 2:12 ibu Yesus memang terdapat dalam rombongan yang mengikuti Yesus turun ke Kapernaum, meninggalkan pernikahan.<br /><br />207. Boleh jadi – meskipun dipertikaikan para penafsir – bahwa Yoh 2:1-10 juga berpikir kepada perjamuan Tuhan yang dirayakan jemaah Kristen dan yang merupakan pancaran dari salib Yesus juga. Tetapi kalau demikian, maka peranan ibu Yesus tetap sama. Ia mengantar orang (Israel) untuk menerima apa saja yang disediakan Yesus Kristus dan caranya Ia menyediakannya. Anggur perjamuan Tuhan mengganti air pembasuhan lama bagi mereka yang percaya kepada Yesus. Memanglah salib Yesus (anggur perjamuan Tuhan) membersihkan dari dosa (bdk. 1Yoh 1:7).<br /><br />208. Ibu Yesus tampil kembali dalam Yoh 19:25-27 bersama dengan sejumlah wanita dan “murid yang dikasihi Yesus”. Injil-injil lain tahu akan sejumlah wanita yang “dari jauh” menyaksikan wafatNya Yesus (Mrk 15:40; Mat 27:55; Luk 23:49). Menurut Yoh 19:25-27 “di dekat salib Yesus berdiri ibu Yesus, saudari ibuNya ...... dan murid yang dikasihi Yesus”. Tiga tokoh itu tidak ada bekasnya dalam Injil-injil lain. Oleh karena, seperti sudah dikatakan, baik dalam Yoh 2:1-10.12 maupun dalam Yoh 29:25-27 penginjil sendiri memasukkan ibu Yesus, maka kedua bagian Injil keempat ini berkaitan satu sama lain.<br /><br />209. Dan kiranya simbolik kedua nas itu sama juga. “Murid yang dikasihi Yesus” (bdk. murid-murid yang tampil dalam Yoh 2:1-10.12) melambangkan jemaah Kristen (Yoh) dan ibu Yesus melambangkan umat Israel sejati. Dalam Yoh 2:1-10 ibu Yesus, yang tersedia menerima Yesus seadanya, mengantar kepada Yesus dan tata penyelamatan baru, yang ditegakkan Yesus. Dalam Yoh 19:25-27 “murid yang dikasihi Yesus” menerima ibu Yesus, ialah Israel sejati, Israel yang percaya. Kematian Yesus mempersatukan dua golongan yang asal-usulnya berbeda (Israel/Yahudi, jemaah bukan keturunan Yahudi). Kedua golongan itu saling menerima dan berbaur.<br /><br />210. Meskipun Yoh 2:1-10.12 dan Yoh 19:25-27 tidak memberi informasi historik mengenai Maria, namun nampaklah bagaimana penginjil menilai ibu Yesus. Kalau tafsiran kami tersebut atas kedua nas Yoh itu tepat, maka penginjil keempat memberi ibu Yesus peranan khusus dalam sejarah dan tata penyelamatan. Ibu Yesus dilihat sebagai simbol real, suatu personifikasi Israel sejati, yang menjadi titik sambung antara umat Allah dan tata penyelamatan lama dan umat Allah serta tata penyelamatan baru yang dimulai oleh Yesus. Ibu Yesus menjadi kesinambungan antara yang lama dan yang baru. Yang baru tidak meniadakan yang lama, tetapi mengangkat sambil melampauinya. Peranan Maria itu sesuai dengan peranan yang diberikan kepadanya oleh silsilah Yesus yang disajikan Mat 1:1-16 (18-23). Di situ pun Maria berperan sebagai kesinambungan antara tahap sejarah penyelamatan lama dan tahap sejarah penyelamatan baru, yang dimulai dengan tampilnya Yesus sebagai anak Maria tetapi berkat Roh Kudus.<br /><br />211. Tetapi jelas pulalah Yoh 2:1-10.12 dan Yoh 19:25-27 tidak dapat dipakai untuk merekonstruksikan semacam psikologi Maria. Nas-nas ini tidak melukiskan bagaimana Maria secara personal konkret terlibat dalam karya penyelamatan Yesus. Tentu saja gambaran Maria (dan Yohanes) di bawah salib Yesus sebagai <span style="font-style: italic;">“mater dolorosa”</span> (Ibu Dukacita) dengan jenazah anaknya di pangkuan <span style="font-style: italic;">(pietá)</span> secara devosional boleh mengharukan hati. Tetapi ini sungguh-sungguh “devosi” dan merupakan buah angan-angan hati umat Kristen, bukan tafsiran Injil. Dalam hal itu Injil tidak memberi informasi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Peranan Maria dalam karya penyelamatan/penebusan</span><br />212. Justru Yoh 19:25-27 banyak dipergunakan para teolog-mariolog dalam debat sekitar peranan Maria dalam karya penebusan, dalam “penebusan objektif”. Debat itu hangat-hangat berkecamuk menjelang konsili Vatikan II. Debat itu berpusatkan dua gelar yang diberikan kepada Maria, yaitu <span style="font-style: italic;">“corredemptrix”</span> (rekan-penebus) dan <span style="font-style: italic;">“mediatrix omnium gratiarum”</span> (pengantara segala rahmat). Masalah mengenai Maria sebagai “pengantara segala rahmat”, ialah masalah tentang peranan aktual Maria dalam “penebusan subjektif”, nanti dibahas seperlunya. Sekarang mau diselidiki masalah pertama, yakni soal tentang Maria sebagai <span style="font-style: italic;">“Corredemptrix”</span> (rekan-penebus), ialah masalah tentang peranan Maria dalam “penebusan objektif, dalam karya penyelamatan (historik).<br /><br />213. Konsili Vatikan II mencegah diri dari memakai gelar “corredemptix” (rekan-penebus), kalaupun juga tidak langsung menolak gelar itu atau mengecamnya. Salah satu pertimbangan mengapa konsili tidak senang dengan gelar itu ialah: gelar itu mudah menyesatkan orang dan menyakiti hati saudara-saudara dari kalangan Reformasi. Mereka sangat alergik terhadap sebutan “corredemptrix”, oleh karena dirasakan sebagai serangan atas satu-satunya Penebus ialah Yesus Kristus. Untuk mencegah segala salah paham konsili Vatikan II (LG N.60) amat menekankan bahwa bagaimanapun juga, peranan Maria dalam pendekatan Katolik tidak mengurangi atau merongrong kedudukan dan peranan tunggal Yesus Kristus dalam karya penebusan. Hanya tetap boleh dipertanyakan kalau-kalau konsili berhasil menentramkan hati saudara-saudara di kalangan Reformasi.<br /><br />214. Tentu saja gelar <span style="font-style: italic;">“corredemptix”</span> (rekan-penebus) dapat diartikan dengan baik tanpa menyebabkan kesulitan teologik. Sejak abad X Maria kadang-kadang disebut <span style="font-style: italic;">“redemptrix”</span> (penebus) atau <span style="font-style: italic;">“salvatrix”</span> (penyelamat) serta <span style="font-style: italic;">“reparatirix”</span> (pemulih). Tetapi gelar-gelar itu hanya berarti: Dengan menjadi ibu Penebus, Juru selamat, Pemulih, ialah Yesus Kristus, Maria secara tak langsung menjadi “penebus, juru selamat, pemulih” (keselamatan). Dengan gelar-gelar itu hanya mau ditekankan bahwa Maria bukan sarana biologik dan pasif belaka. Secara personal dan aktif Maria rela menjadi ibu Yesus. Hal itu serta implikasinya sudah dibahas seperlunya.<br /><br />215. Dengan arti yang sama Maria disebut “ibu” semua mereka yang ditebus, malah “ibu” semua manusia. Konsili Vatikan II (LG N. 53.54.56.62), dengan mengulang sementara pujangga Gereja, tidak berkeberatan menyebut Maria “ibu kaum beriman” dan “ibu semua manusia” (dalam tata penyelamatan). Bagaimana duduknya perkara sudah dijelaskan juga. Dalam rangka itu kerap kali sebagai “bukti” dipakai Yoh 19:26-27. Yesus di salib mempercayakan ibuNya kepada “murid yang dikasihiNya” (lambang kaum beriman) dan murid itu pun dipercayakan kepada ibu Yesus. Tetapi menurut tafsiran kami di muka, ayat ini tidak mengatakan apa-apa mengenai “keibuan rohani” Maria. Juga pujangga-pujangga Gereja dan teolog-teolog sebelum abad X tidak memakai Yoh 19:25-27 dengan cara demikian, kecuali Origenes (± tahun 254) dan Ambrosius (± tahun 397). Baru di zaman pertengahan (sejak Rupertus dari Deutz) tafsiran tersebut menjadi lazim di kalangan para teolog dan dewasa ini pun masih juga dibela. Yoh 19:25-27 (dan 2:1-10) juga tidak perlu untuk melandaskan “keibuan rohani” Maria.<br />Sebab dengan melahirkan Yesus Kristus, ialah “kehidupan”, Maria secara tak langsung “melahirkan” mereka semua yang mendapat “kehidupan” ilahi itu dari Yesus Kristus. Dalam tata penyelamatan mereka semua saudara-saudara Yesus, anak Maria, dan secara tak langsung mereka menjadi “anak-anak Maria”. Ataupun, bersama dengan Agustinus, orang juga boleh berkata: Dengan menjadi ibu Kepala tubuh (mistik) Maria menjadi ibu tubuh (mistik) itu. Seperti sudah dikatakan, di garis mendatar mereka, yang digaris tegak lurus bergantung pada Juru selamat melulu, secara tak langsung bergantung pada ibu Juru selamat yang sebagai anaknya memang bergantung pada ibuNya dalam “adanya”, bukan dalam karyaNya.<br /><br />216. Tetapi jelaslah kiranya bahwa relasi (biologik-personal) Maria dengan Yesus, sang Penebus, lain sekali dari relasi keibuan antara Maria dengan manusia lain. Maria ibu Yesus secara harafiah, biologik dan personal, padahal ia “ibu” manusia secara metaforik, spiritual-persoanal dan tidak langsung. Sebab relasi Maria dengan manusia lain terjalin melalui Yesus Kristus, satu-satunya Penebus. Dengan merelakan diri sebagai ibu bagi Yesus dan dengan mencintai Dia, secara implisit (dan tidak sadar) Maria merelakan diri bagi dan mencintai mereka semua yang menjadi sasaran kasih dan karya Yesus. Ini seluruhnya suatu implikasi kasih sejati kepada Allah. Kasih sejati itu merangkul segala sesuatu yang dikasihi Allah. Dengan kasihnya kepada Allah dan Yesus Kristus, anaknya, tidak dapat tidak Maria turut mengasihi semua manusia yang dikasihi Allah dan Yesus Kristus dengan kasih yang meyelamatkan dan menebus. Ini suatu fakta objektif yang berlaku umum dan tidak hanya untuk Maria. Bagaimana secara psikik duduknya perkara pada Maria, kita tidak mengetahuinya.<br /><br />217. Jadi tidak ada kesulitan menerima bahwa ibu Yesus dengan cara demikian secara pribadi terlibat dalam karya penebusan. Secara tak langsung ia turut menebus manusia semua (termasuk Maria sendiri). Itu boleh diperincikan lebih lanjut. Juga tanpa mendasarkan diri pada Yoh 19:25-27 tidak ada keberatan sedikit pun menerima bahwa Maria turut menderita bersama dengan Yesus Kristus, yang melalui penderitaanNya menebus umat manusia. Penderitaan Maria itu pun menguntungkan bagi orang lain. Sebab ini berlaku untuk semua orang beriman menurut keterangan tegas yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Menurut Rm 8:17 orang beriman (dapat) menderita bersama dengan Kristus dan dengan demikian secara pribadi (seharusnya) terlibat dalam penderitaan Yesus Kristus. Paulus pun dalam penderitaan rasulinya merasa dirinya turut disalibkan dengan Kristus (Gal 2:19) dan bersekutu dalam penderitaanNya (Flp 3:10). Dan menurut 1Ptr 4:13 itu berlaku untuk semua orang beriman yang menderita. Penderitaan bersama dengan Yesus Kristus menguntungkan bagi orang lain juga, seperti ditegaskan Kol 1:24 sebagai berikut: “Aku bersukacita bahwa aku boleh menderita bagi kamu dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus untuk tubuhNya, yaitu jemaah”. Tafsiran Kol 1:24 sedikit sukar, tetapi cukup jelas terungkap bahwa penyertaan kaum beriman dalam penderitaan Kristus menjadi beruntung bagi orang lain, justru oleh karena merupakan penyertaan dalam penderitaan Kristus. Untungnya seluruhnya bergantung pada penderitaan Kristus, sehingga tidak ada “otonomi” sedikit pun.<br /><br />218. Bahwasannya penderitaan satu orang beriman (dapat) menguntungkan bagi orang lain berdasarkan persekutuan para orang kudus ( = kaum beriman). Persekutuan satu sama lain itu berurat berakar dalam persekutuan semua orang dengan Yesus Kristus sebagai Juru selamat. Seperti dalam tata ciptaan, demikian pun dalam tata penyelamatan manusia tidaklah seorang diri. Ada suatu solidaritas antarmanusia yang berdasarkan solidaritas dengan Kristus. Seorang beriman menjadi peserta dalam penderitaan Kristus. Itu berarti bahwa dalam penderitaannya sebagai orang beriman ia menerima tawaran diri Allah (penyelamatan) dengan iman dan kasih, sama seperti tawaran diri Allah itu diterima oleh Kristus dalam penderitaanNya, dalam ketaatan dan kasih. Berkat dan melalui sikap hati tersebut penderitaan satu orang mempengaruhi orang lain, menguntungkan bagi mereka. Sebab melalui satu orang yang menderita itu tawaran diri Allah (penyelamatan, rahmat) secara lebih dalam merasuki umat manusia. Atas dasar solidaritas dalam tata penyelamatan, maka apa yang mengenai saru orang sebenarnya menyangkut semua. Dengan arti demikian itu setiap orang bertindak (menderita) untuk orang lain juga (bdk. 1Kor 12:25-26).<br /><br />219. Tetapi jelas juga bahwa “turut menderita” mengandaikan penderitaan Yesus Kristus. Penderitaan Yesus menjadi sumber dan prasyarat untuk “turut menderita” dan menguntungkan bagi orang lain. Dan dalam penderitaan “turut” menerima tawaran diri Allah mengandaikan bahwa tawaran diri Allah itu sudah diterima oleh Yesus Kristus yang menderita. Jika orang beriman (dapat) bertindak demi untuk orang lain, hanya Yesus Kristus sajalah bertindak atas nama orang lain, sebagai wakil dan penggantinya.<br /><br />220. Kalau dengan cara demikian semua orang beriman (dapat) menjadi “rekan-penebus” (corredemptor), maka tidak ada kesulitan apapun untuk menerima ibu Yesus secara unggul menjadi rekan penebus, justru karena imannya yang unggul (menurut kesaksian Perjanjian Baru, Luk) dan karena relasi biologik-personal dengan anaknya, Penebus umat manusia. Maka penderitaan Maria dalam persekutuan dengan penderitaan Yesus Kristus secara unggul menguntungkan bagi orang lain dan itu pun dalam ketergantungan mutlak pada karya penebusan Yesus Kristus. Maka konsili Vatikan II (LG N.61) dapat menegaskan sebagai berikut: “.... ia turut menderita bersama dengan Anaknya yang wafat di salib. Dengan demikian atas cara yang sangat istimewa ia bekerja sama (coopera est) karya Juru selamat untuk memugar (restaurare) kehidupan adikodrati jiwa-jiwa dengan ketaatan, iman dan cinta kasih yang berapi-api. Oleh sebab itu ia menjadi bunda kita dalam tata rahmat”. Tidak perlu dan tidak berguna orang bertanya-tanya betapa hebat, banyak dan sebagainya penderitaan Maria; kalau-kalau ia “paling menderita” lebih dari siapa pun. Kalau Maria digelari “Ratu para Martir”, tidak dimaksudkan bahwa ia paling disiksa.<br /><br />221. Keistimewaan Maria sebagai “rekan-penebus” dapat diperdalam sedikit lagi, sehingga tidak hanya nampak keunggulannya, tetapi juga ketunggalannya. Maria memegang peranan yang tidak dipegang lain orang. Dengan merelakan diri menjadi ibu Yesus sampai akhir (dalam turut menderita) Maria secara personal menerima tawaran diri Allah (berupa anaknya sendiri). Dengan demikian Maria secara personal diikutsertakan dalam penyelamatan yang menyangkut semua orang. Berkat penerimaan awal (menjadi ibu) oleh Maria itu penyelamatan masuk ke dalam sejarah. Setiap manusia yang secara personal menerima tawaran diri Allah (melalui iman akan Yesus Kristus) menggabungkan diri dengan penerimaan oleh Maria. Sebab ia menerima penyelamatan yang sama seperti yang secara dasariah diterima oleh Maria dalam ketergantungan pada penerimaan oleh Yesus yang menyusul. Tindakan Maria itu merupakan tindakan (dalam ketergantungan pada Allah) memutuskan. Tindakan Maria itu dilanjutkan oleh mereka semua yang menerima tawaran diri Allah (rahmat) yang memilih Maria dan menyanggupkannya untuk menerima tawaran diri Allah yang selanjutnya memilih dan menyanggupkan orang lain untuk menerima tawaran yang sama. Semuanya itu malah berlaku untuk semua orang beriman yang dalam sejarah mendahului Maria (misalnya Abraham). Sebab mereka pun tergantung pada Yesus Kristus yang adanya dalam sejarah bergantung pada Maria yang dengan iman merelakan diri menjadi ibu Juru selamat. Dengan arti seperti dijelaskan di atas semua orang (beriman) terlibat dalam tindakan ibu Yesus aras dasar rahmat yang sama.<br /><br />222. Maka Maria memang mempunyai kedudukan istimewa dan tunggal dalam karya penyelamatan. Selaku ibu Juru selamat ia mendapat peranan tunggal dan karena keterlibatan personal dalam karya penebusan Yesus Kristus Maria memainkan peranan yang unggul. Peranan tunggal dan istimewa itu tentu saja menyangkut semua orang lain. Atas dasar itu Maria secara istimewa menjadi “rekan-penebus” (corredemptrix) yaitu sebagai yang secara khas dan unggul menerima penebusan dari Allah melalui Yesus Kristus demi untuk orang lain. Sebagai “penerima” (aktif) Maria seluruhnya di pihak mereka yang ditebus oleh Yesus Kristus.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Turut menebus?</span><br />223. Tetapi sementara Mariolog Katolik tidak puas dengan itu. Mereka mencari suatu dasar untuk memberi Maria suatu peranan langsung dan eksklusif dalam karya penebusan itu sendiri. Meskipun Maria bergantung pada Yesus, mereka mencoba memperlihatkan bahwa Maria turut menebus umat mannusia sedemikian rupa sehingga penebusan semua manusia lain, kecuali Maria sendiri, tidak hanya secara langsung bergantung pada karya Yesus Kristus, tetapi juga secara langsung bergantung pada tindakan Maria.<br /><br />224. Ada sementara Mariolog yang memikirkan duduknya perkara sebagai berikut: Maria (dengan menjadi ibu Yesus dan secara personal melibatkan diri dalam karya anaknya) tidak hanya bertindak demi untuk umat manusia (seperti diuraikan di muka), tetapi juga atas nama dan sebagai pengganti umat manusia. Mereka a.l mendasarkan diri pada suatu ucapan Thomas Aquinas (STh III, 30.4) yang berkata bahwa Maria, ketika menerima kabar dari malaikat Tuhan, menerima tawaran Allah atas nama <span style="font-style: italic;">(quasi loco)</span> umat manusia. Ucapan Thomas itu diulang oleh P. Leo XIII (DS 3274), yang juga sampai berkata Maria seolah-olah “mempribadikan” umat manusia <span style="font-style: italic;">(generis humani personam quodammodo gerebat)</span> (DS 1940a). Menurut pendapat itu, maka dengan merelakan diri menjadi ibu Juru selamat Maria mewakili umat manusia dan sebagai pengganti dan kepala umat manusia menerima tawaran diri Allah (berupa anaknya). Dan begitu Maria turut serta dalam karya penebusan. Tentu saja oleh Allah dan demi Kristus Maria dipilih untuk peranan itu. Peranan “rekan-penebus” itu terkandung dalam peranannya menjadi ibu Yesus, Juru selamat. Untuk itu Maria dipilih Allah dan ia rela menerima pilihan itu. Maka – menurut pendekatan ini – tata penebusan tersusun sebagai berikut: Yesus Kristus menebus (melindungi) ibuNya dari (terhadap) dosa. Maria sebagai wakil umat manusia menerima tawaran diri Allah berupa anaknya. Lalu Yesus Kristus bersama dengan ibuNya menebus lain-lain manusia. Maria menjadi “partner” dengan Yesus <span style="font-style: italic;">(corredemptrix)</span>, sehingga Maria bersama dengan Yesus menjadi satu prinsip (majemuk) penebusan.<br /><br />225. Hanya soalnya: Bagaimana pendekatan tersebut dapat didamaikan dengan peranan tunggal Yesus Kristus sebagai pengantara dan penebus semua manusia? Bukankan Kristus sajalah yang sebagai kepala, wakil dan pengganti umat manusia menerima tawaran diri Allah? Semua manusia lain hanya dalam bersekutuan dengan Yesus Kristus (dapat) menerima tawaran diri Allah. Janganlah dikatakan (seperti dibuat sementara Mariolog) sebagai berikut: Pada Yesus Kristus tidak ada “diri” <span style="font-style: italic;">(persona)</span> manusiawi menurut ajaran (dogma?) tradisional. “Diri” <span style="font-style: italic;">(persona)</span> Yesus Kristus ialah “diri” <span style="font-style: italic;">(persona)</span> ilahi. Penebusan sebenarnya berlangsung antara Allah (Yesus Kristus) yang menawarkan diri dan diri <span style="font-style: italic;">(persona)</span> manusia yang menerima tawaran itu. Oleh karena pada Kristus tidak ada “diri manusiawi”, maka mesti ada “diri manusiawi” lain yang menerima tawaran diri Allah itu. Satu-satunya diri <span style="font-style: italic;">(persona)</span> manusiawi belaka yang (dapat) mewakili dan mengganti umat manusia ialah “diri” <span style="font-style: italic;">(persona)</span> ibu Yesus.<br /><br />226. Hanya keterangan macam itu tidak dapat disetujui. Pendekatan itu rupanya menyangkal dogma bahwa Yesus Kristus sepenuh-penuhnya manusia (sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia). Kecuali itu menurut pendekatan tersebut seorang manusia (Maria) menjadi teman sekerja (partner) Allah, yang dalam karya penebusan (bagi lain-lain orang) menjadi setingkat dengan Allah (Yesus Kristus) sebagai “Penebus”. Dengan demikian pengantaraan tunggal Yesus Kristus dibagi atas dua subjek (pelaku), yang setingkat.<br /><br />227. Tidak mengherankan bahwa umat Reformasi secara mutlak (mesti) menolak teologi macam itu. Apalagi oleh karena teologi itu di satu pihak bertumpu pada devosi marial (yang melampaui batas wajar) dan di lain pihak mendukung devosi yang kurang sehat. Orang beriman seolah-olah tidak lagi membutuhkan Yesus Kristus. Bagi mereka Maria sudah cukup. Hanya Maria sendiri masih memerlukan Yesus Kristus sebagai Penebusnya. Teologi macam itu sungguh-sungguh menyesatkan umat dan mendiskreditkan gelar tradisional <span style="font-style: italic;">“redemptrix”, “reparatrix”, “salvatrix”</span> (penebus, pemulih, penyelamat), yang diberikan kepada ibu Yesus.<br /><br />228. Ada juga sementara mariolog yang dengan cara lain ingin memberi Maria peranan tunggal dalam karya penebusan. Menurut mereka ibu Yesus secara unik turut menebus seluruh umat manusia. Mariolog-Mariolog itu berpikir sebagai berikut: Atas dasar pilihan Allah dan berkat karya Yesus Maria turut “mempersembahkan korban” Yesus Kristus. Dalam penderitaanNya dan kematianNya Yesus sebulat-bulatnya menyerahkan diri kepada BapaNya. Begitu Ia menebus umat manusia. Adapun Maria, ia secara unik (tidak ada lain orang yang dapat berbuat demikian) turut menyerahkan Yesus. Sebagai ibu Maria mempunyai hak atas anaknya. Tetapi dengan rela hati ia melepaskan haknya itu demi keselamatan umat manusia.oleh karena “korban” Kristus tak terhingga nilainya, maka juga “korban” Maria yang menyerahkan Yesus, tidak terbatas nilainya pula. Dengan demikian Maria turut menyilih dosa-dosa umat manusia. Ia turut memperoleh segala rahmat bersama dengan Yesus Kristus. Apa yang diperoleh Yesus sebagai haknya <span style="font-style: italic;">(de condigno)</span>, oleh Maria (turut) diperoleh secara layak <span style="font-style: italic;">(de congruo)</span>.<br /><br />229. Pendekatan tersebut untuk sementara waktu malah mendapat restu k.l resmi dari pihak pimpinan Gereja Katolik. P. Benedictus XV (Lit. Apost. <span style="font-style: italic;">Inter sodalicias</span>, tahun 1918) berkata misalnya: “(Maria) turut menderita bersama dengan Anaknya, yang menderita dan wafat di salib dan (Maria) hampir saja turut mati. Dengan demikian (Maria) meninggalkan haknya sebagai ibu atas Anaknya demi untuk keselamatan manusia dan untuk melayani (tuntutan) keadilan Allah. Sejauh mengenai dirinya Maria mempersembahkan Anaknya sedemikian rupa, sehingga dengan tepatnya dikatakan: “Maria bersama dengan Kristus menebus manusia”. S.Congr.S.Off. pada tahun 1918 itu juga memujikan kebiasaan menambah pada nama Yesus nama ibuNya sebagai “rekan-penebus” <span style="font-style: italic;">(corredemptrix)</span>. Jabatan itu pun memberi indulgensi penuh kepada suatu doa yang menyapa Maria sebagai <span style="font-style: italic;">“corredentrice del genero umano”</span>. Pius X (tahun 1904, DS 3370), meskipun jelas memisahkan Maria dan Yesus dalam karya penebusan, toh masih dapat berkata: “Secara layak <span style="font-style: italic;">(de congruo)</span> Maria memperoleh <span style="font-style: italic;">(promereret)</span> bagi kita, apa yang oleh Kristus diperoleh sebagai hak <span style="font-style: italic;">(de condigno)</span>”. Pada awal abad XX muncullah devosi kepada “Maria perawan-iman”. P.Pius X (tahun 1907) merestui doa yang ditunjukkan kepada Maria-iman. Tetapi pada tahun 1917 penyebaran gambar-gambar yang melukiskan Maria sebagai imam, lengkap dengan kasula, stola, piala dan sebagainya, dilarang. Pada tahun 1927 devosi kepada “imamat Maria” kena larangan juga. Maka lama-kelamaan dukungan kepada pendekatan macam semakin berkurang. P.Pius XII (D 229; bdk. DS 1317) sebenarnya mengulang apa yang dikatakan P.Benedictus XV mengenai Maria yang melepaskan haknya atas Yesus dan turut mempersembahkan korban Yesus. Tetapi sekarang itu dijelaskan begitu rupa, sehingga Maria dengan cara demikian tidak lagi menjadi “rekan-penebus”. Maria hanya dengan cara baru itu menjadi ibu anggota-anggota tubuh mistik. Tidak terulang apa yang dikatakan P.Pius X tentang “memperoleh secara layak <span style="font-style: italic;">(de congruo)</span> apa yang diperoleh Kristus sebagai hak <span style="font-style: italic;">(de condigno)</span>”.<br /><br />230. Meskipun pendekatan tersebut tidak menempatkan Maria pada tingkat sama dengan Kristus menjadi “rekan-penebus”, teman sekerja dalam karya penebusan, namun teologi macam itu toh merongrong kedudukan tunggal Yesus Kristus. Baik Yesus Kristus maupun Maria menjadi penebus universal. Maria disendirikan dari umat manusia. Seolah-olah Yesus menyediakan bagi ibuNya sarana penebusan yang dapat dihaki Maria (yaitu korban diriNya). Lalu Maria bersama dengan Yesus “mempersembahkan korban “ yang sama. Pendekatan macam itu tidak dapat, secara langsung atau tidak menampilkan ibu Yesus seolah-olah “turut mempersembahkan korban”. Dan bagaimana gerangan dapat dikatakan bahwa Maria sebagai ibu mempunyai “hak atas Yesus”? Bukankan dalam Injil Yesus berulang kali menolak “campur tangan” ibuNya (Luk 2:48-49; Mrk 3:31-35; Yoh 2:4)? Menurut Luk 2:22 “mereka” (bukan hanya Maria!) menyerahkan Anak itu kepada Tuhan (anak sulung menurut Hukum Taurat mesti diberikan kepada Tuhan, lalu ditebus) di Bait Allah. Tetapi upacara itu bukan sebuah “korban”. Maria boleh dipastikan “turut menderita bersama dengan Kristus”, seperti orang beriman lain (itu sudah dijelaskan di muka). Tetapi “turut menderita” tidak searti dengan “turut mempersembahkan korban” yang tidak terbatas nilainya. Tidak ada sebuah “korban” Maria, meski dalam ketergantungan sekali pun, di samping “korban” Yesus. Tidak ada kesulitan mengatakan bahwa Maria secara unggul sebagai ibu Yesus “turut mempersembahkan korban Yesus” dengan arti mengamininya dan secara personal mengikutsertakan dirinya dalam penderitaan dan sikap hati Yesus. Itu kan boleh dikatakan tentang semua orang beriman (bdk. Ibr 10:22; 13:12-13). Tetapi yang mempersembahkan “korban” , Kristus semata-mata (bdk. Ibr 7:27; 9:28; 10:2-14): yang dipersembahkan hanya Yesus saja. Tidak ada “korban” Yesus dan “korban dampingan” Maria.<br /><br />231. Kecuali itu orang boleh merasa kurang enak kalau istilah ritual “korban” diterapkan pada sikap hati (dan penderitaan) Maria (dan orang beriman lainnya). Sehubungan dengan Maria istilah ritual itu lain sekali artinya sehubungan dengan Yesus Kristus. Kalau istilah itu secara metaforik dipakai sehubungan dengan Yesus Kristus, maka artinya sebagai berikut: Apa yang (dengan sia-sia) diusahakan korban ritual Perjanjian Lama (dan korban ritual pada umumnya) tercapai melalui penderitaan dan kematian Yesus, yaitu penghapusan dosa dan perdamaian Allah dengan manusia. Tetapi hal itu tidak dapat dikatakan tentang sikap hati dan penderitaan Maria. Berkenaan dengan Maria (dan lain orang beriman) istilah “korban” hanya dapat berarti bahwa sikap hati dan penderitaan Maria sebagai ekspresi sikap hati itu tidaklah enak dan gampang. Tetapi jangan teologi bercampur dengan asketik!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Penerima yang unggul</span><br />232. Kalau P. Pius X (DS 3370) berbicara tentang Maria yang secara layak <span style="font-style: italic;">(de congruo) </span>memperoleh apa yang sebagai hak <span style="font-style: italic;">(de condigno)</span> diperoleh Kristus, maka penjelasan yang menyusul menyingkapkan bahwa Pius X sebenarnya tidak berkata tentang kerja sama Maria dalam karya penebusan, tetapi mengenai peranannya dalam hal menerima hasil karya penebusan. Karena sikap hati dan penyertaannya dalam penderitaan dan kematian Kristus, Maria layak <span style="font-style: italic;">(de congruo)</span> menerima seluruh (tidak secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif) hasil itu, juga demi untuk kita. Seperti di muka sudah dijelaskan, dalam hal “menerima” Maria memang unggul. Tetapi dengan tingkat lebih terbatas yang sama berlaku untuk semua orang beriman. Mereka kan dalam tata penyelamatan tidak pernah seorang diri. Keunggulan ibu Yesus dalam hal penyertaan dalam karya penebusan Kristus dan keberuntungannya yang khas bagi semua orang lain terletak dalam kebulatan hati (iman) yang dengannya Maria membiarkan dirinya diikutsertakan dalam karya Kristus. Konsili Vatikan II (LG N.56) berkata tentang “keterbukaan sepenuh-penuhnya, tidak terhalang oleh dosa manapun”, yang dengannya Maria menerima kehendak Allah yang menyelamatkan. Dengan lain perkataan: Ibu Yesus secara personal dan mantap sampai akhir, juga dalam penderitaannya dalam persekutuan dengan Yesus Kristus, menerima tawaran diri Allah yang berupa anaknya sendiri. Seperti sudah diuraikan di muka, penerimaan oleh Maria menguntungkan bagi dan menyangkut semua orang.<br /><br />233. Sebab tawaran diri Allah itu tertuju kepada semua manusia dan tidak hanya kepada Maria. Maria menerima sepenuh-penuhnya tawaran diri Allah yang universal itu, berarti: demi untuk semua orang. Diuraikan sudah bahwa penerimaan tawaran diri Allah oleh orang lain merupakan penyertaan dalam penerimaan tawaran yang sama oleh Maria. Cara tertentu penerimaan tawaran diri Allah oleh orang lain bergantung pada penerimaan secara unggul dari pihak Maria, ibu Juru selamat.<br /><br />234. Kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan dan perwujudan keselamatan masih dapat diperdalam sedikit, khususnya dari segi relasi peranan Maria itu dengan peranan Yesus Kristus serta peranan lain-lain orang beriman. Di satu pihak Maria tidak dapat ditempatkan pada tingkat yang sama dengan tingkat Yesus Kristus dan di lain pihak Maria melampaui dan mendahului orang beriman lain, tidak hanya dalam kadar dan tingkat, apalagi dalam waktu, tetapi juga dalam tata ketergantungan.<br /><br />235. Inti karya penyelamatan dan penebusan adalah sebagai berikut: Allah secara historik dan dinamik menawarkan diri kepada manusia berdosa. Manusia dengan bebas sebagai manusia menerima tawaran diri Allah yang mendahului dan mendasarkan penerimaan oleh manusia. Justru itulah yang secara dasariah terlaksana dalam diri Yesus Kristus seperti Ia mewujudkan diri melalui hal ihwal hidupNya sampai dengan wafat dan kebangkitanNya. Allah, dalam Allah-Anak dalam istilah dogma, menawarkan diri dengan menjadi manusia. Justru itulah yang secara dasariah terlaksana dalam diri Yesus Kristus seperti Ia mewujudkan diri melalui hal ihwal hidupNya sampai dengan wafat dan kebangkitanNya. Allah, dalam Allah-Anak dalam istilah dogma, menawarkan diri dengan menjadi manusia (inkarnasi). Tawaran diri itu oleh Yesus, setelah menjadi sadar sebagai manusia, dengan bebas dan sebulat hati diterima. Berarti: Yesus menerima diriNya sebagaimana ditentukan Allah. Penerimaan itu (seperti tawaran diri Allah) berlangsung seumur hidup, bahkan sepanjang eksistensi Yesus. Maka “inkarnasi” bukan suatu peristiwa seketika, melainkan suatu proses. Kematian Yesus di salib menjadi ekspresi ekstrem dan puncak penerimaan tawaran diri Allah itu oleh Yesus. Kematian di salib kan disebabkan oleh kesetiaan Yesus kepada Allah seperti diyakiniNya, ialah Allah yang menawarkan diri kepada manusia berdosa, dan kesetiaan Yesus pada diriNya justru sebagai tawaran diri Allah. Tawaran diri Allah seta penerimaannya oleh Yesus diabadikan, didefinitifkan melalui pembangkitan Yesus oleh Allah. Jelaslah penawaran diri Allah serta penerimaannya oleh Yesus merupakan suatu proses yang tidak kunjung berhenti.<br /><br />236. Dengan demikian Yesus Kristus menjadi perantara timbal balik antara Allah dan manusia. Yaitu antara Allah yang menawarkan diri dan manusia yang menerima tawaran itu. Yesus Kristus tidak berdiri antara Allah dan manusia, semacam penengah antara dua ujung yang terpisah. Sebaliknya Yesus Kristus justru mempersatukan Allah dan manusia. Dialah tempat Allah dan manusia bertemu dan tersambung. Seperti sudah diuraikan, demi solidaritas antarmanusia – a.l manusia Yesus Kristus – semua orang mendapat suatu relasi, hubungan objektif dengan manusia Yesus Kristus. Demikian terjalinlah suatu relasi antara semua manusia dengan tawaran diri Allah yang diterima oleh manusia Yesus Kristus.<br /><br />237. Adapun orang yang dengan iman eksistensial (penyerahan diri) mengamini, mensubjektivasikan solidaritas prasubjektif dengan Yesus itu, mereka sekaligus diikutsertakan dalam proses tukar-menukar (menawarkan-menerima) antara Allah dan manusia, yang secara dasariah tak terbatalkan berlangsung dalam Yesus Kristus. Akibatnya ialah: Manusia pun di dunia ini dalam ketergantungan pada Yesus Kristus, menjadi sarana tawaran diri Allah – rahmat Allah – bagi sesama manusia, yang (dapat) diterima sesama manusia itu. Dan tidak dapat tidak – demi solidaritas antarmanusia – bahwa penerimaan tawaran diri Allah oleh manusia pada gilirannya menyangkut manusia lain.<br /><br />238. Manusia yang diikutsertakan dalam pengantaraan Yesus Kristus, ialah manusia menyeluruh, dari semua sudut dan seginya, segi pribadi dan segi sosial. Maka hasil diikutsertakannya manusia dalam pengantaraan Yesus Kristus, ialah umat beriman, Gereja Yesus Kristus, Gereja Allah. Gereja itu sepanjang sejarah menjadi peserta dalam pengantaraan Yesus Kristus, dalam proses tukar-menukar antara Allah dan manusia, yang sudah terwujud dalam Yesus Kristus. Gerejalah, umat Kristen, dalam proses tukar menukar antara Allah dan manusia, yang menjadi wujud historik kelihatan bagi proses itu sejak Yesus Kristus sendiri hilang dari panggung sejarah dan tidak lagi mempunyai dimensi historik kelihatan.<br /><br />239. Dalam proses pengantaraan, tukar-menukar tersebut, Maria sebagai ibu Yesus yang sebulat-bulatnya beriman, mendapat peranan unik, malah memutuskan. Sebagaimana sudah dibahas, dengan iman bulat dan mantap Maria merelakan diri bagi anaknya, ialah tawaran diri Allah. Sebagai ibu Yesus, Maria – tentunya atas dasar pilihan Allah dan dalam ketergantungan padaNya – mengikutsertakan diri, menjalin hubungan (solidaritas) yang amat mendalam dengan anaknya, tawaran diri Allah kepada manusia berdosa. Dengan demikian secara objektif (kami tidak berbicara tentang psikologi Maria) ia menerima tawaran diri Allah itu.<br /><br />240. Keunikan Maria terletak dalam hal ini: Ia menerima tawaran diri Allah sebelum secara sadar dan bebas diterima oleh Yesus sendiri. Tentu saja penerimaan oleh Maria itu tertuju kepada penerimaan oleh Yesus yang nyatanya menyusul dan hanya dari penerimaan oleh Yesus penerimaan tawaran diri Allah dari pihak Maria mendapat artinya dan nilainya. Namun tetap benar, dalam tatanan nyata Yesus, sebagai wakil dan pengganti umat manusia, dapat menerima tawaran diri Allah oleh karena Maria merelakan diri menjadi ibuNya. Hanya dengan demikian Yesus menjadi pengantara timbal balik antara Allah dan manusia.<br /><br />241. Tentu saja Maria hanya dapat menjadi ibu Yesus dan dengan arti demikian pengantara penyelamatan, dalam ketergantungan pada Allah, yang dengan Yesus, anak Maria, menawarkan diri. Tanpa tawaran dari pihak Allah Maria tidak dapat menerima tawaran itu! Padahal Maria hanya penerima.<br /><br />242. Sebagai penerima Maria, sama seperti manusia lain, diikutsertakan dalam tukar-menukar antara Allah dan manusia. Dalam persatuannya yang unik dengan Yesus, Maria secara aktif pada gilirannya menjadi sarana tawaran diri Allah dan penerimaannya, oleh karena Maria tetap secara personal-aktif menjadi ibu Yesus dan tidak pernah membatalkan persetujuannya semula. Maka Maria diikutsertakan (secara objektif-personal) dalam hal ihwal Yesus yang mewujudkan pengantaraanNya. Maria terlibat dalam proses itu. Karena iman dan kesuciannya yang unggul ibu Yesus juga secara unggul diikutsertakan dalam pengantaraan Yesus demi untuk umat manusia.<br /><br />243. Peranan dan kedudukan Maria itulah yang menjadi kejayaannya yang unik. Kalau tentang Maria dikatakan bahwa ditebus “dahulu” <span style="font-style: italic;">(prae-redempta)</span>, dikuduskan “dahulu” <span style="font-style: italic;">(prae-sanctificata)</span>, ditakdirkan “dahulu” <span style="font-style: italic;">(prae-destinata)</span>, maka kata <span style="font-style: italic;">“prae”</span> (pra-) itu tidak mempunyai arti temporal, tetapi makna kausal dan ketergantungan. Dalam tata ketergantungan (pada Allah dan Yesus Kristus) Maria adalah “yang terdahulu”, yang lain turut tergantung pada Maria.<br /><br />244. Dalam tata penyelamatan nyata – tata penyelamatan lain barangkali dapat dipikirkan, tetapi tidak relevan sama sekali – ada suatu ketergantungan timbal balik yang unik antara Yesus dan Maria (seperti sudah diuraikan di muka). Adanya Juru selamat bergantung pada adanya dan tindakan Maria. Tetapi adanya Maria dalam tata penyelamatan dan peranannya bergantung pada adanya dan peranan Yesus Kristus sebagai Juru selamat dan Penebus segenap umat manusia.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">B. MARIA DIANGKAT KE SURGA</span></div><br /><span style="font-weight: bold;">1. Dogmanya</span><br />245. Kejayaan Maria yang diuraikan di muka itulah yang terungkap dalam dogma mariologik terakhir yang dirumuskan oleh Gereja Katolik Roma. Yaitu dogma mengenai diangkatnya Maria dengan jiwa dan raga ke dalam kemuliaan surgawi. Kejayaan dasar ibu Yesus terletak dalam kedudukan dan peranannya yang unggul dalam tata penyelamatan. Itu tidak berhenti dengan berakhirnya eksistensi Maria dalam sejarah. Begitulah ditegaskan konsili Vatikan II (LG N.62). Sama seperti kedudukan dan peranan Kristus dalam tata penyelamatan tidak berhenti dengan hilangNya dari panggung sejarah sebagai tokoh historik. Surat kepada orang-orang Ibrani mementaskan Kristus surgawi sebagai “pokok keselamatan abadi” (Ibr 5:9) dan “Imam Besar sampai selama-lamanya” (Ibr 6:20), yang menyelenggarakan ibadat (Ibr 8:1-2; 9:24). Bahasa kiasan macam itu tentu saja hanya berarti bahwa karya penyelamatan Kristus tetap efektif. Daya guna tetap itu terletak pada adanya Yesus Kristus yang baru, eksistensi “surgawi”, yang dimulai dengan kebangkitanNya.<br /><br />246. Dogma tentang Maria yang diangkat ke dalam kemuliaan surgawi diresmikan pada tahun 1950 oleh P. Pius XII dan dirumuskan sebagai sebagai berikut: Maria, Bunda Allah dan perawan tetap yang tak bernoda, diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan jiwa dan raga setelah ia menyelesaikan jalan hidupnya di bumi (DS 1903). Ajaran itu dinyatakan terkandung dalam pewahyuan ilahi, sehingga wajib diimani demi keutuhan iman kepercayaan Kristen.<br /><br />247. Dengan sengaja rumus tersebut berkata mengenai “setelah ia (Maria) menyelesaikan jalan hidupnya di bumi” <span style="font-style: italic;">(terrestris vitae cursus)</span>. Dengan demikian tinggal terbuka masalah kalau-kalau Maria mengalami kematian atau tidak. Pada saat terakhir dipilih rumus terbuka. Ada tekanan dari pelbagai pihak, supaya dinyatakan bahwa Maria mengalami kematian. Tetapi pokok itu tidak hanya dipertikaikan di antara para teolog Katolik, tetapi juga tradisi sejak Epiphanius (abad IV) ragu-ragu kalau-kalau Maria mati atau tidak. Keraguan tersebut tidak dihilangkan oleh kenyataan bahwa lama sekali (abad V-VI) ada pesta liturgi <span style="font-style: italic;">“Dormitio Mariae”</span> (Tertidurnya, matinya, Maria), yang dalam abad VII barulah diganti dengan pesta <span style="font-style: italic;">“Assumptio”</span> (pengangkatan).<br /><br />248. Ada teolog yang berkata: Oleh karena Maria tidak terkena dosa asal, maka ia pun tidak mati. Sebab kematian adalah akibat dan hukuman atas dosa. Jadi tidak “adil”(!) kalau Maria mati. Kematian Yesus adalah demi untuk dosa lain orang (penebusan), tetapi ini tidak boleh dikatakan tentang kematian Maria. Sebaliknya ada juga teolog yang memakai “kematian tidak adil” Maria untuk membuktikan bahwa Maria <span style="font-style: italic;">“corredemptrix”</span> (rekan-penebus) umat manusia.<br /><br />249. Tetapi seluruh argumen itu kurang kena. Kematian boleh dinilai sebagai hukuman atas dosa (asal), tetapi sebagai gejala fisik-biologik termasuk ke dalam “kodrat” mahluk (manusia), sehingga hanyalah wajar. Kalau Kej 2:17; 3:19; Keb 2:24; Rm 5:12-18 dll. menghubungkan kematian dengan dosa, maka kematian itu ialah kematian fisik-teologik. Artinya terpisahnya secara definitif manusia dari Allah, terputusnya relasi manusia dengan Allah Penyelamat. Begitulah kematian kerap kali (tidak selalu) dipahami Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sebagai gejala fisik-biologik kematian hanyalah suatu gejala yang wajar dan alamiah, terikant pada manusia sebagai mahluk jasmaniah-rohaniah. Jadi kalaupun orang bebas dari dosa (asal), ia tidak bebas dari kematian fisik-biologik. Ia bebas dari kematian fisik-teologik. Kecuali itu Maria, menurut dogma, bebas dari dosa asal, namun seperti Kristus ia terkena oleh nasib umum manusia yang menjadi “akibat” dosa manusia. Seperti sudah dijelaskan, dosa itu pada Maria tidak menjadi suatu eksistensial, tetapi “status”, situasi Maria sebagai keturunan “Adam” tidak dirubah. Paling-paling harus dikatakan: Maria mengalami kematian (dan akibat dosa-dosa manusia) secara lain dari cara itu dialami manusia berdosa. Bagaimana pengalaman itu tidak dapat kita ketahui dan berspekulasi kurang manfaatnya. Dalam tradisi yang paling umum diterima bahwa Maria mati.<br /><br />250. Oleh karena masalah kematian Maria dibiarkan terbuka oleh dogma, maka rumus itu juga tidak berkata tentang “dibangkitkannya Maria dari antara orang mati”. Dipilih istilah “diangkat” <span style="font-style: italic;">(assumpta)</span>. Untuk menghindari istilah lokal (surga) dipilih ungkapan “kemuliaan surgawi” <span style="font-style: italic;">(gloria caelestis)</span>. Dengan demikian bahasa mitologik sedikit dikurangi, meskipun juga istilah “diangkat” berbau mitologi. Motif “pengangkatan” memang bersebar luas. Tentang Henokh (Kej 5:24) dan Elia (2Raj 2:11) tradisi itu ada dalam Kitab Suci dan dalam tradisi selanjutnya masih kerap kali dipakai. Kis 1:9-10 memindahkan motif itu kepada Yesus. Dalam tradisi Yahudi motif yang sama diterapkan pada Musa dan lain-lain tokoh besar. Dalam Al-Quran pengangkatan macam itu dihubungkan dengan Muhammad sedangkan Dante Algieri (Divina Comedia) masih juga memanfaatkannya, biar sarana literer belaka sekali pun.<br /><br />251. Kalau diterima bahwa Maria mengalami kematian, maka ia pun dibangkitkan. Namun “kebangkitan” Maria macam itu tidak berarti “dihidupkan kembali”, seolah-olah Maria melanjutkan eksistensinya dahulu. Kebangkitan Maria juga tidak boleh disejajarkan dengan kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus adalah peristiwa penyelamatan. Itu tidak dapat dikatakan tentang kebangkitan Maria. Kebangkitan itu tidak mempunyai segi soteriologik, tetapi hanya segi mariologik. Ajaran itu hanya berkata sesuatu tentang diri Maria, kedudukan dan peranan pribadinya dalam tata penyelamatan Yesus Kristus. Kebangkitan Maria itu pun tidak bercirikan “sejarah”, suatu peristiwa yang dapat diamati dan diselidiki dengan cara ilmu sejarah. Tidak hanya pada kenyataannya tidak dapat diselidiki (oleh karena tidak ada informasi), tetapi peristiwa (real) itu pada dasarnya ternyata terluput dari penyelidikan ilmu sejarah. Keangkitan dan pengangkatan hanya dapat diimani. Kebangkitan Yesus tentu saja juga terluput dari pengamatan dan penyelidikan historik dan hanya dapat diimani. Namun kebangkitan Yesus boleh dikatakan “historik”, sejauh peristiwa itu memang ada akibatnya dalam sejarah yang dapat diamati dan diselidiki, yaitu seluruh umat Kristen, yang berdasarkan iman akan kebangkitan Yesus. Tetapi “kebangkitan Maria” tidak ada akibat macam itu.<br /><br />252. Rumus dogma berkata tentang diangkatnya Maria dengan “jiwa dan raga”. Ungkapan “jiwa dan raga” <span style="font-style: italic;">(corpus et anima)</span> tentunya berlatar belakang antropologi tertentu, yang menurutnya manusia terdiri dari dua unsur, jiwa dan raga (bdk. DS 3002). Dalam tradisi filsafat-teologi Kristen ada pendapat kuat bahwa “jiwa” dapat k.l. berdiri sendiri (meskipun <span style="font-style: italic;">“forma corporis”</span>, DS 902, dan bukan suatu <span style="font-style: italic;">“substantia completa”</span>). Dan ada juga keyakinan bahwa “jiwa” itu tidak “mati” <span style="font-style: italic;">(immortalis)</span>. Tetapi antropologi filsafat itu tidak menjadi “dogma” oleh karena dipakai dalam dogma. Ungkapan “jiwa raga” dapat juga berarti: seluruh manusia seperti nyatanya ada, manusia dengan seluruh eksistensinya.<br /><br />253. Rumus dogma juga tidak, dengan tegas, mengatakan bahwa hanya Maria dengan “jiwa dan raga diangkat ke dalam kemuliaan surgawi”. Jadi tidak dikatakan bahwa itu suatu keistimewaan Maria saja (seperti kebebasan dari noda asal merupakan keistimewaan Maria, <span style="font-style: italic;">singulare privilegium</span>). Ada sementara teolog yang berpendapat bahwa sebenarnya semua manusia (yang selamat) pada saat kematian “dengan jiwa dan raga” masuk ke dalam kemuliaan surgawi dan dengan arti itu “dibangkitkan”. Menurut pendapat itu “kebangkitan badan” (yang tercantum dalam syahadat) untuk orang masing-masing bukanlah sesuatu yang terjadi pada hari kiamat nanti, melainkan pada “saat kematian”. Pendapat itu sebenarnya “spekulasi teologik” murni. Tahukan apa kita tentang apa yang persis terjadi pada saat kematian dan apa persis yang terjadi dengan manusia sesudah mati? Pendpat itu tidak dapat menunjuk kepada Mat 27:51b-53 (ceritera tentang orang benar yang bangkit pada saat Yesus wafat). Nas Mat hanya mengungkapkan makna (eksatologik) kematian (dan kebangkitan) Yesus.<br /><br />254. Lebih aman teologi berpegang pada Kitab Suci, misalnya 1Kor 15:22-26, dan tradisi tetap yang yakin bahwa penyelesaian manusia masing-masing bertepatan dengan penyelesaian seluruh sejarah, entahlah bagaimana penyelesaian sejarah itu mesti dipikirkan (dalam hal ini Kitab Suci dan tradisi tidak memberi pegangan). Bagaimanapun juga dogma tentang pengangkatan Maria bermaksud mengatakan sesuatu yang berlaku untuk Maria saja dan tidak untuk semua orang. Rumus dogma sendiri tidak mengatakan dengan tegas bahwa pengangkatan itu suatu kekhasan Maria. Namun itulah yang dimaksudkan. Itu menjadi cukup jelas dalam seluruh “bulla” yang meresmikan dogma itu (DS 3900-3904). Dogma itu erat terkait pada dogma tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal. Dan itu suatu keistimewaan Maria saja. Demikian pun keibuan personal-biologik Maria dikemukakan sebagai pertimbangan dan relasi itu tentu saja suatu keistimewaan Maria, ibu Yesus.<br /><br />255. Peresmian dogma tersebut pada tahun 1950 mendapat cukup banyak perlawanan. Gereja-gereja Timur umumnya menolak dogma itu. Alasannya bukan ajaran itu sendiri (yang juga dalam Gereja-gereja itu cukup tradisional), tetapi oleh karena dinilai sebagai penyalahgunaan kuasa oleh sebagian umat Kristen (Gereja Roma Katolik), khususnya oleh uskup Roma. Dari pihak Reformasi dogma itu blak-blakan ditolak oleh karena tidak adanya dasarnya dalam Kitab Suci, menjadi contoh “diktatur Roma”, mengurangi kedudukan tunggal Yesus Kristus dan tidak relevan sama sekali. Sejumlah teolog Katolik pun kurang bahagia dengan “hadiah” dari Roma itu. Kalau pun ajaran itu tidak ditolak, namun dogma macam itu kurang pada tempatnya <span style="font-style: italic;">(opportunum)</span> dan argumentasinya juga tidak amat meyakinkan. Dan kuasa Roma kembali mempersulit hubungan dengan umat Kristen di luar Gereja Roma Katolik.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Perkembangan tradisi</span><br />256. P. Pius X pertama-tama mendasarkan dogma itu pada keyakinan umat Kristen (Katolik) yang aktual. Paus menanyakan pada uskup bagaimana keyakinan mereka sendiri serta umatnya. Jawaban (secara moral) umum menyatakan bahwa umat memang percaya kepada pengangkatan Maria sebagai termasuk ke dalam iman Kristen (Katolik). Keberatan yang diajukan oleh sementara teolog tidak dinilai cukup meyakinkan. Kemudian barulah ditempuh tradisi sebelumnya. Ternyata seribu tahun pertama dalam sejarah umat Kristen tidak ada iman kepercayaan umum semacam itu. Barulah sekitar tahun 500 pikiran itu mulai tampil dalam beberapa tulisan legendarik/apokrif. Tetapi kepercayaan itu masih jauh dari “umum”. Boleh jadi justru apokrif-apokrif, yang menyingkapkan keyakinan sementara rakyat Kristen, memancing pemikiran para teolog sekitar masalah itu. Pemikiran itu lalu berkembang dan mencari dasar teologik bagi kepercayaan rakyat. Selama abad VIII kepercayaan itu meluas ke mana-mana, terpupuk oleh pesta liturgi “Maria diangkat ke surga”, yang untuk pertama kalinya dirayakan di Yerusalem sekitar tahun 600. Dari kawasan Timur kepercayaan itu meramabat ke kawasan Barat. Di zaman pertengahan (sejak abad VIII) kepercayaan itu bertambah kuat. Para teolog berselisih pendapat kalau-kalau kepecayaan itu hanya <span style="font-style: italic;">“pie creditur”</span> (boleh saja dipercaya, seperti penampakan Maria di Lourdes boleh saja dipercaya), atau termasuk iman Kristen yang pasti. Selama abad XVII-XVIII barulah kepercayaan itu dinilai sebagai pasti. Pada konsili Vatikan I (tahun 1870) ada sejumlah besar (195) Bapa konsili mengajukan permohonan supaya ajaran itu dijadikan dogma saja. Tetapi tidak ada sempat membahas permohonan itu, oleh karena konsili secara mendadak dihentikan oleh perang Jerman-Perancis.<br /><br />257. Kalau demikian duduknya perkara sudah jelas dogma itu tidak dapat dijabarkan dari teks Kitab Suci. Pius XII tentu saja menunjuk kepada Kitab Suci sebagai titik tolak awal, tetapi terlebih “gambaran umum” tentang Maria. Nas-nas yang juga dalam “bulla” peresmian ditunjuk (Kej 3:15; Luk 1:38) tidak dapat secara langsung mendasarkan dogma itu, meskipun tentu saja tidak berlawanan. Ayat-ayat itu hanya mengatakan bahwa umat manusia (entah bagaimana) akhirnya mengalahkan “Ular”, dosa dan akibat-akibatnya (Kej 3:15) dan bahwa Maria memang orang pilihan Allah dalam sejarah dan tata penyelamatan. Tetapi bahwa semuanya itu mengimplikasikan pengangkatan Maria itu sukar dibuktikan. Apa yang sebenarnya terjadi ialah: tradisi merincikan gambaran Maria sebagai orang beriman dan amat suci. Apa yang menurut Pius XII menjadi dasar (teologik) dogma itu ialah keibuan dan kesucian Maria, teristimewanya dogma tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal. Maria sepenuh-penuhnya “ditebus” oleh Yesus Kristus oleh karena paling berdekatan dengan Yesus Kristus. Maka Maria pasti juga paling berdekatan dengan Yesus Kristus dalam “kemenanganNya”, dalam kemuliaanNya. Apa yang terungkap dalam dogma tentang pengangkatan Maria justru kekudusannya juga menyeluruh. Itulah yang menjadi nyata dalam keistimewaan Maria itu.<br /><br />258. Argumentasi teologik macam itu tidak “membuktikan” halnya secara logika dan tuntas. Hanya terbukti bahwa dogma itu sesuai dengan iman. Dogma itu tidak dapat dijabarkan dari ungkapan tentang Maria, tetapi dasarnya terletak dalam realitas Maria yang terungkap dalam Kitab Suci dan tradisi sejati. Apa yang benar-benar memutuskan ialah iman umat (Gereja) secara menyeluruh. Menurut ajaran Gereja Roma Katolik umat secara menyeluruh dalam imannya tidak dapat sesat. Dari pihak Reformasi dan Gereja-gereja Timur memang mengajukan keberatan dasariah ini: Dapatkah Gereja Roma Katolik menganggap dirinya atau dianggap sebagai “umat Kristen menyeluruh”?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Penjernihan dogma</span><br />259. Bagaimana “pengangkatan Maria dengan jiwa dan raga” secara teologik dapat diperdalam sedikit? Di muka sudah dicatat bahwa ungkapan “jiwa dan raga” pada dasarnya berarti: seluruh manusia. Maka “pengangkatan Maria” itu berarti: Maria seluruhnya, dengan seluruh eksistensi keduniaannya, beralih ke dalam eksistensi baru, “surgawi”. Dengan demikian, dalam persekutuan dengan Kristus. Maria tergabung dengan Allah, tawaran diri Allah yang mencakup seluruh diri Maria seperti terbentuk selama eksistensinya di dunia. Dalam eksistensi keduniaan Maria tidak ada sesuatu yang negatif dalam hubungan Maria dengan Allah; tidak ada dosa, entah dosa pribadi, entah “noda asal”. Seluruh eksistensi pribadi Maria diserap, diintegrasikan ke dalam relasinya dengan Allah.<br /><br />260. Semua orang beriman oleh Allah dipanggil untuk menjadi peserta dalam eksistensi baru Yesus Kristus yang dibangkitkan dari dunia orang mati (bdk. Rm. 6:5; Kol 2:12; Flp 3:11). Mereka mendapatkan janji itu, tetapi juga jaminan bahwa mereka diikutsertakan dalam keadaan baru. Jaminan itu ialah Roh Kudus (Rm 8:11; Ef 1:14). Dan “mereka” itu ialah manusia seutuhnya sebagaimana secara positif terbentuk selama eksistensi keduniaannya, dari semua sudut dan seginya, termasuk segi jasmaniah/badaniah. Eksistensi keduniaan manusia bukan eksistensi individual dan rohani (jiwani) belaka, tetapi juga suatu eksistensi rohani-jasmani, pribadi dan sosial. Keseluruhan itulah yang terkental dalam kepribadian manusia pada akhir eksistensi keduniaannya dan yang beralih ke dalam eksistensi baru, sejauh eksistensi keduniaan itu memang diintegrasikan dalam relasi manusia dengan Allah Penyelamat, sejauh eksistensi itu “dikuduskan”, diserap oleh “keilahian” manusia, oleh Roh Ilahi. Eksistensi baru itu merupakan tujuan dan penyelesaian eksistensi yang ditempuh sepanjang sejarah dan yang dalam batas dan ruang sejarah itu mengnatisipasikan eksistensi baru, yang sepenuh-penuhnya menjadi suatu realitas dalam Yesus Kristus. Dan – menurut dogma – eksistensi baru juga sepenuh-penuhnya menjadi realitas dalam diri Maria, padahal pada manusia-manusia lain yang keluar dari kerangka sejarah belum juga sepenuh-penuhnya terwujud.<br /><br />261. Sebab pada manusia lain – menurut keyakinan Kristen – selalu ada segi negatif (dosa) yang tidak berhasil diintegrasikan ke dalam relasi dengan Allah Penyelamat. Karena itu tidak seluruh eksistensi pribadi manusia dapat beralih ke dalam eksistensi definitif. Ada “sisa” negatif yang menghalangi manusia menjadi seluruhnya “selesai”, seluruhnya utuh-sempurna. Jadi pada kepribadian manusia yang terbentuk oelh eksistensi rohani-jasmani di dunia masih ada segi yang tidak diikutsertakan dalam relasi manusia dengan Allah, yang tawaran diriNya belum meresap ke dalam seluruh kepribadian manusai yang beralih ke dalam eksistensi baru, eksistensi Kristus yang dibangkitkan. Menurut kepercayaan Kristen dalam eksistensi baru itu tidak ada lagi perubahan dari segi kepribadian manusia, tidak ada lagi perkembangan dan kemajuan ataupun kemunduran. Maka segi kepribadian yang belum diintegrasikan, tidak dapat lagi diintegrasikan. Di lain pihak segi negatif itu masih tetap ada juga, yaitu dalam sejarah umat manusia yang berjalan terus. Segi negatif eksistensi pribadi orang masih ada pada umat manusia berupa (akibat) “dosa” berdasarkan solidaritas antarmanusia. “Sisa” itu baru hilang lenyap, pada saat sejarah umat manusia itu berhenti. Pada saat itu barulah manusia yang sudah beralih ke dalam eksistensi baru, surgawi, seluruhnya bebas dari eksistensi lama yang tidak berhasil diintegrasikan. Pada saat itu barulah manusia “selesai”. Dengan lain perkataan: Baru setelah sejarah berhenti manusia seluruhnya bebas dari dosa (baik pribadi maupun kolektif, yang di dalamnya orang terlibat melalui dosa pribadi) dan seluruh eksistensi positifnya tanpa halangan diserap oleh kasih Allah. Dan itulah “kebangkitan badan”, yang tidak mungkin sebelum sejarah umat manusia selesai dan segi negatif eksistensi manusia hilang.<br /><br />262. Pada Maria tidak ada segi negatif (dosa) dalam eksistensi pribadinya, sehingga seluruhnya diserap ke dalam relasi pribadinya dengan Allah (kekudusan Maria). Dan begitu ia beralih ke dalam eksistensi definitif, eksistensi surgawi, eksistensi “mulia”. Maria tidak melalui “penghakiman terakhir”, oleh karena tidak ada yang perlu dihakimi. Kalau diterima bahwa Maria mengalami kematian fisik-biologik dan dibangkitkan oleh Allah, maka baiklah diingat bahwa “kebangkitan badan” bukan perkara “mayat” yang diapakan entah bagaimana. Perkaranya eksistensi manusia dari segi jasmaniahnya yang ikut serta dalam keadaan baru dan definitif.<br /><br />263. Oleh karena Maria seluruhnya ikut serta dalam eksistensi Yesus Kristus di dunia, maka ia pun ikut serta dalam kejayaan Kristus. Itu dijanjikan kepada semua orang percaya. Mereka akan “duduk di atas dua belas tahta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28), malah “menghakimi dunia dan malaikat” (1Kor 6:2-3). Mereka akan memerintah bersama Kristus, seperti dikatakan dalam sebuah kidung tua yang dikutip 2Tim 2:12. Jikalau Maria menjadi orang beriman yang unggul, maka secara unggul ia diikutsertakan dalam kejayaan Kristus. Itulah yang terungkap dalam gelar “Ratu surgawi”, “Ratu para malaikat”,”Ratu para perawan, para martir, para kudus” (bdk. LG N.59; AA N.4; AG N.42). Gelar itu mengungkapkan bahwa Maria sebagai ibu (suri) Raja (Kristus) secara unggul ikut serta dalam karya dan kejayaanNya; Maria unggul di antara para kudus (bdk. Pius XII, <span style="font-style: italic;">Ad caeli Reginam</span>, DS 3913-3917). Gelar itu tidak memeberi Maria suatu otonomi, suatu “kuasa” tersendiri. Ia adalah “Ratu” dengan arti: teman Raja (Kristus), permaisuri, paling akrab dengan Raja.<br /><br />264. Dogma tentang Maria yang diangkat ke surga bagi umat beriman secara konkret nyata memperlihatkan seorang manusia yang seluruhnya “ditebus”, perwujudan penuh karya penebusan dari segi manusia. Dan apa yang, menurut dogma itu, secara unggul berlaku untuk Maria dalam suatu pengindividualisasian, sebenarnya berlaku untuk semua orang beriman. Mereka semua memang diubah menjadi serupa dengan gambaranNya (Kristus) dalam kemuliaan yang semakin besar (2Kor 3:18), sehingga tubuh mereka yang hina (ialah eksistensi keduniaan dari segi jasmaniah dan sementara) diubah menjadi serupa dengan tubuh Kristus yang mulia (Flp 3:21). Dalam dogma mariologik itu terungkap keyakinan dasar umat Kristen bahwa eksistensi manusia tidak terkurung dalam dunia seadanya, melainkan melampauinya. Tetapi serentak terungkap bahwa eksistensi keduniaan itu tidak hilang lenyap tanpa bekas dan diganti dengan eksistensi serba baru serta serba lain. Memang ada “ciptaan baru”, tetapi bukan <span style="font-style: italic;">“creatio ex nihilo”</span>. Ada kesinambungan antara eksistensi sementara dan eksistensi yang melampauinya, sehingga apa yang positif dalam eksistensi yang satu dialihkan dan ditingkatkan dalam eksistensi yang baru.<br /><br />265. Dogma tentang Maria yang diangkat ke surga sebenarnya semacam meta-dogma. Meta-dogma itu memadatkan semua dogma (dan ajaran) yang lain: Keibuan Maria yang mendasarkan relasi unik denganYesus Kristus, Juru selamat; keperawanan tetap yang mengungkapkan ekslusivitas kasih ketaatan Maria kepada Allah, Penyelamat; kekudusan Maria yang sepenuhnya menyerap tawaran diri Allah; kebebasannya dari segala gangguan dan kerusakan dalam relasinya dengan Allah. Semuanya itu merupakan karya Penebus Yesus Kristus, yang wafat dan bangkit, yang menjadi senasib dengan manusia (wafat), supaya manusia menjadi senasib dengan Dia (bangkit).<br /><br />-----<br />Sebelumnya : {BAB III : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-teologi-marial-3.html">IBU YANG SUCI</a>}<br />Selanjutnya : {BAB V : PERAWAN YANG MENJADI GEREJA}<br /></div></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-40172986869519117582010-02-23T15:23:00.000+07:002010-11-11T03:39:14.299+07:00Mariologi - Teologi Marial - 3<div style="text-align: justify;"><center><span style="font-weight: bold;">BAB III</span></center><br /><center><span style="font-weight: bold;">IBU YANG SUCI</span></center><br />123. Relasi personal-fisik antara Yesus Kristus, Juru selamat dan Tuhan jemaah, dengan IbuNya selayaknya mengikutsertakan Maria dalam relasi yang melalui Yesus Kristus terjalin antara Allah yang kudus dan manusia yang dikuduskan olehNya. Tidak mengherankan Mariologi berusaha menjernihkan sedikit relasi Maria dengan Allah yang Kudus itu.<br /><br /><center><span style="font-weight: bold;">A. SUCI DAN KUDUS</span></center><br />124. Perjanjian Baru agak sering menyebut semua orang beriman sebagai “orang suci” (Kis 9:13.32.41; 26:10; Rm 1:7; 8:27; 15:25). Barangkali lebih baik kata Yunani <span style="font-style: italic;">“hagios”</span> diterjemahkan dengan “(orang) kudus”. Kata Indonesia “suci” terlalu kabur artinya. Kata itu dapat berarti: suci secara ritual (berlawanan dengan najis) atau “suci” secara seksual (gadis yang suci, searti dengan murni); dapat juga mempunyai arti moral (suci ialah tidak berdosa). Tetapi kalau Perjanjian Baru menyebut orang Kristen sebagai “orang suci”, pastilah “suci” itu bukanlah kesucian ritual dan pun pula bukan “suci” secara moral. Juga orang-orang Kristen generasi pertama kerap kali amat jauh dari kesempurnaan moral.<br /><br />125. Kata Arab/Indonesia “kudus” lebih tepat oleh karena “kudus” aslinya memang suatu sifat Allah. Artinya: Allah lain sama sekali dari segala apa yang bukan Allah. Orang-orang Kristen, lepas dari moralnya, disebut “kudus” oleh karena menjadi peserta dalam kekudisan ilahi dan kekudusan Yesus Kristus, yang memang “kudus” (Yoh 6:69). Mereka malah menjadi peserta dalam “kodrat ilahi”, seperti dikatakan 2Ptr 1:4. Sampai dengan hari ini dalam Gereja Timur biasa sekali dikatakan bahwa manusia “diilahikan”.<br /><br />126. Menurut keyakinan Kristen Allah sendiri, berkat adanya Yesus Kristus serta hal ihwalNya dan dengan pengantaraanNya, menawarkan diri, sejak awal, kepada semua manusia, supaya mahluk itu seolah-olah diserap oleh Allah dan diikutsertakan dalam “hidup ilahi”. Tawaran itu tidak dibatalkan oleh dosa manusia. Meskipun manusia tetap mahluk, namun Allah mau mengangkatnya menjadi lebih dari mahluk belaka. Begitu manusia oleh Allah mau “dikuduskan”, mau dijadikan “mahluk baru”, mahluk ilahi (kalaupun ungkapan itu melawan logika manusia). Terciptalah suatu keadaan manusia yang baru, keadaan “kudus”.<br /><br />127. Kalau tawaran diri Allah itu mengenai manusia berdosa (nyatanya memang manusia berdosa, malah menurut ajaran dan dogma tentang dosa asal, tampil dalam keadaan berdosa), maka, menurut pendekatan Katolik, keadaan berdosa dan dosa itu oleh tawaran diri Allah secara dasarian mau diubah. Menurut pendekatan umat Kristen yang berpangkal pada Reformasi, keadaan manusia secara dasariah tetap berdosa, tetapi serentak manusia toh oleh tawaran diri Allah itu menjadi “dikuduskan”. Maka manusia serentak di dalam dirinya berdosa dan dalam Yesus Kristus kudus.<br /><br />128. Tetapi tawaran diri Allah yang menguduskan itu mesti diterima oleh manusia justru sebagai manusia. Begitupun saja pada manusia berdosa kesanggupan untuk menerima tawaran diri Allah itu tidak ada. Hanya tawaran itu sekaligus menyanggupkan manusia untuk menerimanya. Penerimaan tawaran diri Allah yang menguduskan itu terjadi melalui iman, yang berupa karunia Allah belaka. “Beriman” berarti: Manusia sebulat-bulatnya mempercayakan diri kepada Allah, mengandalkan Dia semata-mata. Demikian manusia merelakan diri kepada Allah seadanya, tanpa syarat.<br /><span class="fullpost"><br />129. Dengan demikian orang beriman menjadi “kudus”. Sekarang “pengudusan” itu menjadi nyata dalam sakramen baptisan, yang serentak mengungkapkan tawaran diri Allah kepada orang yang dibaptis dan iman orang yang menjalani baptisan itu. Tetapi pengudusan yang terjadi bila tawaran diri Allah diterima manusia beriman hanyalah pengudusan awal dan pengudusan dasar. Pengudusan (yang berupa dinamika yang disebut Roh Kudus) itu tinggal diwujudkan oleh manusia dalam kehidupannya, berarti: dalam mewujudkan diri yang dikuduskan. Tentu saja kekudusan itu tidak menjadi terwujud dalam apa saja yang berlawanan dengan Allah yang mau dan mesti menentukan perwujudan diri manusia. Oleh karena itu kekudusan dasar, yang merupakan “rahmat (pengudus)”, kasih karunia Allah semata-mata, mengakibatkan dan menuntut kesucian moral. Itu berarti bahwa tindakan manusia yang dikuduskan Allah, sesuai dengan Allah yang (berupa Roh Kudus) merasuki manusia. Maka “pengudusan” itu mengandung juga bahwa dosa yang sudah dilakukan “diampuni”, berarti: tidak menggangu atau merusak lagi hubungan Allah dengan manusia, dan dosa baru mengganggu atau merusak kekudusan dasar yang dikaruniakan Allah.<br /><br />130. Kekudusan dasar dan perwujudan moralnya mengizinkan pelbagai tingkat. Meskipun iman menjadi syarat mutlak, namun iman itu dapat lebih atau kurang utuh: lebih atau kurang mencakup keseluruhan manusia dari semua segi dan dimensinya, lebih atau kurang mengikutsertakan pelbagai segi dan sudutnya. Memang pada manusia ada pelbagai segi dan dimensi, inti manusia seolah-olah dibungkus dalam beberapa lapisan. Demikian pun perwujudan kekudusan dapat lebih atau kurang menyeluruh, lebih atau kurang mencakup dan mengikutsetakan pelbagai unsur kehidupan manusia, kurang atau lebih mencegah manusia dari dosa. Ada ajaran resmi (konsili Trente, DS 1521.1535) yang menyatakan bahwa tanpa karunia istimewa, tidak ada seorang pun manusia yang berhasil (sejak awal) seluruhnya menyerap tawaran diri Allah dengan iman menyeluruh; tidak ada seorang pun yang berhasil seluruhnya mewujudkan kekudisan awal dengan mencegah diri dari semua dosa (DS 1573).<br /><br /><center><span style="font-weight: bold;">B. IBU-PERAWAN YANG AMAT SUCI<br /></span></center><br /><span style="font-weight: bold;">1. Orang kudus yang unggul<br /></span>131. Semua orang beriman, menurut Kitab Suci boleh disebut “kudus/suci”. Kemudian barulah kata sifat “kudus/suci” dikhususkan bagi mereka yang menurut keyakinan umat (entah secara resmi dinyatakan entah tidak) selama hidupnya menyerap tawaran diri Allah begitu rupa, sehingga mereka pasti sampai kepada tujuan terakhir (surga) dan seluruhnya diserap ke dalam Allah yang kudus.<br /><br />132. Maria secara tradisional tidak hanya disebut “kudus” <span style="font-style: italic;">(sancta)</span>, tetapi “amat kudus” <span style="font-style: italic;">(sanctissima)</span>. Dengan demikian terungkap bahwa, menurut keyakinan umat, ibu Yesus selagi hidup di dunia secara unggul menerima tawaran diri Allah dan secara unggul sampai ke tujuan terakhir (surga). Dari segi negatifnya kekudusan unggul Maria berarti bahwa secara unggul bebas dari dosa. Keunggulan Maria dalam kekudusan (positif) bersangkutan dengan kedudukan unggulnya dalam sejarah dan tata penyelamatan, yaitu dalam relasi uniknya dengan Yesus Kristus sebagai ibunya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Kesucian Maria menurut Alkitab</span><br />133. Kitab Suci, tegasnya Luk 1-2, bukan sepotong teologi spekulatif, melainkan teologi naratif. Penginjil tidak membicarakan ibu Yesus dengan konsep dan istilah teologi, tetapi bercerita tentang Yesus dan ibuNya. Ia pun dalam berceritera menggambarkan ibu Yesus sebagai ibu yang amat suci, seseorang yang dipilih oleh Allah, dikaruniai oleh Allah dan yang sepenuh-penuhnya menerima pilihan itu serta menanggapi karunia Allah.<br /><br />134. Maria digambarkan oleh Luk 1-2 sebagai seseorang dari kalangan, bahkan sebagai <span style="font-style: italic;">“typos”</span> kaum <span style="font-style: italic;">“anawim”</span> (hina-dina). “Kaum hina-dina” sudah tampil dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Kitab Mazmur (bdk. Mzm 9; 10; 25:16; 35.37; 40:18; 69:30; 74; 86:1; 109:22; 132:15; 140) dan dalam tradisi Yahudi selanjutnya. Para <span style="font-style: italic;">“anawim”</span> ialah orang saleh dan takwa pada umat Israel, malah sisa Israel sejati. Umat Kristen keturunan Yahudi melanjutkan spiritualitas “kaum hina-dina” itu. Yaitu spiritualitas mereka yang “miskin”, lahir-batin, dan tidak berdaya terhadap kelaliman yang mereka alami. Mereka sadar akan kelemahan dan kemiskinan lahir-batin itu, tetapi serentak percaya sepenuh-penuhnya kepada Allah yang pasti menolong dan menyelamatkan orang “miskin” yang mengandalkan Dia semata-mata.<br />Di masa Yesus dan Perjanjian Baru ada “kaum hina-dina” keturunan Yahudi yang mempunyai pusatnya di Qumran, terpisah dari agama Yahudi resmi. Mereka bahkan menyebut dirinya sebagai “jemaah kaum miskin <span style="font-style: italic;">(Ebyonim)</span>”. Mungkin sekali sebagian dari “kaum miskin” Yahudi itu masuk Kristen juga (bdk. Rm. 15:26; Gal 2:10) dan membawa masuk Kristen spiritualitas “kaum hina-dina” itu. Antara Yesus dan spiritualitas mereka memang ada kemiripan. Lagu-lagu yang oleh Luk 1:46-55 diletakkan di mulut Maria dan oleh Luk 1:68-79 di mulut Zakharia, ayah Yohanes Pembaptis, mungkin sekali berasal dari kalangan kaum hina-dina (Kristen) keturunan Yahudi itu dan oleh penulis Luk 1-2 barangkali disadur sedikit.<br /><br />135. Dengan demikian Maria dipentaskan sebagai juru bicara “kaum hina-dina” itu. Memang Maria menyebut dirinya sebagai “hamba Allah”, yang dalam keadaan hina-dinanya (miskin) diperhatikan oleh Allah, Juru selamatnya (Luk 1:47-48). Ia termasuk kalangan mereka yang takut akan Allah (takwa) dan dilimpahi dengan rahmatNya (belas kasihanNya) (Luk 1:50). Karena itu Maria bersyukur kepada Allah dan memuji Dia, penyelamat umatNya yang setia kepada janjiNya (Luk 1:54-55), sehingga sepenuh-penuhnya dapat diandalkan. Oleh karena diberkati, dirahmati, dikaruniai oleh Allah, maka Maria menganggap dirinya “bahagia” dan yakin bahwa itu diakui oleh angkatan-angkatan yang akan datang dan yang memuji bahagia Maria, yang sebagai perawan (dalam tradisi Yahudi kurang dihargai) menjadi ibu berkat perbuatan besar Allah dan kuasaNya (Roh Kudus) (Luk 1:51).<br /><br />136. Dengan mengakui dirinya sebagai “hamba Allah” (Luk 1:48) Maria hanya mengulang perkataannya yang mengakhiri percakapan dengan malaikat Tuhan (Luk 1:38). Maria menghambakan diri seluruhnya kepada Allah dan rencanaNya, sebagaimana rencana itu dibentangkan oleh Malaikat itu (Luk 1:28-36). Ia merelakan diri untuk menjadi ibu raja-Mesias (1:33), Anak Yang Mahatinggi dan Anak Allah (Luk 1:32.35) dan itu pun demi untuk keturunan Yakub (Luk 1:33), ialah hamba Allah yang mau ditolong dan diselamatkan Allah demi kesetiaanNya kepada janjiNya kepada Abraham (Luk 1:54-55).<br /><br />137. Maria merelakan diri untuk sesuatu yang nampaknya mustahil (Luk 1:37), sehingga Maria hanya berdasarkan imannya kepada firman Tuhan yang disampaikan malaikat (Luk 1:38). Itulah sebabnya mengapa Maria dipuji bahagia, yaitu karena imannya kepada firman Tuhan (Luk 1:45). Maria menjadi ibu Mesias dan Juru selamat bangsa (Luk 2:11) atas dasar pilihan Allah (Luk 1:42) dan oleh karena imannya itu. Dengan demikian Maria menjadi mirip dengan moyang Israel, Abraham (bdk. Kej 12:4; 15:6). Dengan Yesus Allah memang memulai tahap baru dalam sejarah penyelamatan, seperti ditegaskan Mat melalui silsilah Yesus (Mat 1:1-16), yaitu tahap penggenapan janji kepada Abraham (bdk. Gal 3:16) dan dengan demikian membalikkan tatanan yang ada (Luk 1:51-52).<br /><br />138. Anak Maria disebutkan “kudus” (Luk 1:35), hasil Roh Allah yang kudus (Luk 1:35), peserta dalam kekudusan Allah. Sebab Ia adalah Anak Yang Mahatinggi (Luk 1:32) dan Anak Allah (Luk 1:35). Maka secara unik Maria langsung berpautan dengan kekudusan Allah. Dan sekiranya tidak dapat tidak Maria turut dikuduskan. Sebab menurut seluruh tradisi Perjanjian Lama dan Yahudi barang siapa yang disentuh oleh Allah yang kudus tidak dapat tidak dikuduskan atau mati seketika. Atas dasar kerelaan imannya Maria diintegrasikan ke dalam kekudusan Anaknya sendiri, yaitu kekudusan Allah, Juru selamat yang kudus bagi Maria, ibu AnakNya.<br /><br />139. Maka, menurut gambaran yang disajikan Luk 1-2, Maria dengan imannya mengintegrasikan diri sepenuhnya dalam rencana penyelamatan Allah. Ia menerima tawaran diri Allah, yang nyatanya anaknya sendiri. Pengintegrasian Maria itu tidak hanya unggul, tetapi juga tunggal, yang turut menentukan penyelamatan Israel dan umat manusia.<br /><br />140. Ada sementara ahli Kitab yang berpendapat bahwa Luk 1-2 menggambarkan Maria juga sebagai “Kemah Suci” (Bait Allah) dan “Tabut Perjanjian”. Dalam tradisi Yahudi Kemah Suci/Bait Allah dan Tabut Perjanjian memang kudus, bahkan paling kudus, sebab secara real melambangkan kehadiran Allah yang kudus. Kalau Luk 1:35 berkata bahwa Maria “dinaungi” Roh Kudus, orang teringat akan Awan berapi yang menaungi Kemah Suci di gurun (Kel 40:35) dan Bait Allah (1Raj 8:10-11; 2Taw 5:14; 7:3). Tradisi Yahudi memang kadang-kadang menyamakan awan itu dengan Roh Kudus. Ahli Kitab itu pun berpendapat bahwa Luk 1:39-45 (kunjungan Maria ke Elisabet) berpikir kepada Tabut Perjanjian yang datang ke bukit Sion dan Rumah Allah (2Sam 6:2-19; bdk. 2Sam 6:9 dengan Luk 1:43). Hanya tafsiran itu tidak umum diterima dan kurang meyakinkan, meskipun devosi umat Kristen sudah lama meyebut Maria “Tabut Perjanjian”. Tetapi gelar itu dapat juga dipahami sebagai berikut: Dalam Tabut Perjanjian itu tersimpan loh-loh perjanjian antara Allah dan umatNya. Begitu dalam rahim Maria dalam Yesus, anak Maria, terjalin Perjanjian (Baru) antara Allah dan umat manusia. Sebab dalam Yesus Kristus bersatulah kodrat manusia dan kodrat Allah. Hanya teologi inkarnatorik macam itu sukar didapat dalam Luk 1-2.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Ibu yang amat suci menurut tradisi selanjutnya.</span><br />141. Apa yang dipentaskan Injil (Luk) tanpa konsep dan istilah teologik oleh tradisi lanjutan diterjemahkan ke dalam istilah dan konsep teologik juga. Dengan mengintegrasikan diri ke dalam rencana penyelamatan Allah dan menerima tawaran Allah berupa anaknya sendiri, Maria secara pribadi menyerap tawaran diri Allah sendiri, sepenuh-penuhnya dan secara personal mensubjektivasikan penyelamatan Allah. Dengan demikian maria menjadi peserta dalam hidup ilahi dan keilahian. Dan itu pun secara unggul dan tunggal karena relasinya yang unik dengan Yesus, anaknya.<br /><br />142. Pikiran tersebut dalam tradisi Katolik diungkapkan dengan berkata: Maria diberi “rahmat” yang paling banyak (dan olehnya diterima juga). Rahmat yang diberi kepada ibu Yesus “lebih banyak” daripada yang diberikan kepada semua manusia dan malaikat bersama! Cara bicara macam itu – tanpa penjelasan panjang-lebar – mudah menyesatkan. Orang berkesan seolah-olah “rahmat” semacam “benda” atau “barang”, “cairan” yang dapat “banyak” ataupun “sedikit”. Padahal “rahmat” sebenarnya suatu relasi personal antara Allah dan manusia (malaikat), sehingga manusia mengambil bagian dalam kehidupan, dinamika ilahi dan terjalinlah suatu persatuan. Dari sisi Allah, yang memberi diri, tidak ada “lebih” atau “kurang”. Tetapi manusia dapat lebih atau kurang menerima tawaran diri Allah itu. Manusia pun dapat lebih atau kurang diserap oleh Allah. Maka tentang Maria dikatakan bahwa membiarkan diri sepenuh-penuhnya diserap oleh Allah. Demikian pun terjalinlah suatu persatuan personal dan real, yang juga dari sisi Maria tidak ada tara bandingannya. Maria seutuh-utuhnya menjadi peserta dalam kehidupan ilahi (Allah Tritunggal) oleh karena dalam iman sebulat-bulatnya Maria mempercayakan diri kepada Allah.<br /><br />143. Untuk menekankan kepenuhan dan keutuhan itu dikatakan bahwa Maria malah melampaui malaikat-malaikat. Karena itu pun dalam tata penyelamatan Maria tidak hanya digelari “Ratu manusia” tetapi juga “Ratu malaikat”. Gelar itu mamang hanya suatu “metafor”, kisasan, simbol. Sebab kita tidak tahu banyak tentang keadaan “malaikat-malaikat”. Tetapi sebagai ibu biologik dan personal Anak Allah (ialah Allah yang nyatanya menawarkan diri kepada manusia) Maria tentu saja mempunyai relasi unik dengan Allah penyelamat, yang tidak ada pada malaikat-malaikat. Maka di bidang ini Maria malah unggul dari para malaikat. Semuanya dapat dikatakan lepas dari soal apa itu “malaikat”, bagaimana halnya dengan “rahmat” malaikat dan bagaimana relasi malaikat dengan Juru selamat, Yesus Kristus yang nyatanya anak Maria.<br /><br />144. Pandangan tentang “kepenuhan rahmat” tersebut tidak dapat langsung didasarkan pada Luk 1:28. Malaikat menyapa Maria dengan (Yunani): kekharitomané. Oleh Kitab Suci dalam terjemahan Latin sapaan itu diterjemahkan dengan “plena gratia”. Menurut tata bahasa terjemahan itu memang mungkin juga. Oleh karena terjemahan Latin itu masuk ke dalam doa “Salam Maria” yang amat populer dan a.l ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “penuh rahmat”, maka gagasan bahwa Maria “penuh berkat” tersebat luas dan menjadi umum. Begiru diperkuat gambaran dan pandangan bahwa Maria semacam wadah yang penuh berisikan “rahmat”. Juga teologi, berdasarkan terjemahan Latin, tidak jarang memakai ayat Luk 1:28 untuk membuktikan bahwa Maria unggul dalam rahmat, memperoleh rahmat (pengudusan) sepenuh-penuhnya.<br /><br />145. Tetapi sapaan malaikat itu merupakan semacam gelar (Yang Dikaruniai, menurut terjemahan Indonesia LAI), yang searti dengan “engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk 1:30). Sapaan malaikat kepada Maria mirip dengan sapaan malaikat kepada Gideon (Hak 6:12) dan Daniel (Dan 10:11.19). Dan artinya ialah: Maria secara khusus dipilih dan dikaruniai oleh Allah, mendapat kasih kurnia di hadapanNya, Allah berkenan kepadanya, Allah menyertainya, untuk tugas khusus, yaitu menjadi ibu Mesisas, Anak Yang Mahatinggi, Anak Allah. Jadi dalam sapaan malaikat itu tidak terungkap “rahmat” dari pihak Maria, melainkan “rahmat” dari pihak Allah. Maria memang orang pilihan Allah dan itu pun dalam sejarah dan tata penyelamatan.<br /><br />146. Dalam tradisi teologik gagasan itu terungkap dengan cara lain. Teologi berkata bahwa Maria sejak kekal “ditakdirkan” <span style="font-style: italic;">(praedestinata</span>) oleh Allah menjadi ibu Juru selamat. Maria “ditakdirkan” bersama dan demi untuk Kristus, anaknya, Juru selamat dan Penebus. Dan Kristus dan Maria ditakdirkan dengan hanya satu “penetapan” <span style="font-style: italic;">(decretum)</span>. Jadi sejak kekal Maria ditentukan oleh Allah untuk memegan kedudukan sebagai ibu dan mengemban tugas istimewa dalam tata penyelamatan. Semuanya itu memang tepat dan hanya menjadi problem sejauh seluruh gagasan “takdir” <span style="font-style: italic;">(praedestinatio)</span> dan “penetapan” <span style="font-style: italic;">(decretum)</span> ilahi itu menjadi problem yang serba rumit, yang tidak dapat secara tuntas dibahas dalam rangka uraian ini. Hanya perlu dicatat bahwa “takdir” dan “penetapan” Allah itu jangan dipikirkan lepas dari kenyataan. Seolah-olah Allah “sebelumnya” menentukan sesuatu yang “kemudian” baru dilaksanakan. Pada pokoknya “takdir” dan “penetapan” ilahi hanya berarti bahwa Maria dalam relasi uniknya dengan Yesus Kristus dan dalam kedudukan serta peranannya dalam sejarah penyelamatan seperti nyatanya ada seluruhnya bergantung pada Allah Pencipta dan Penyelamat. Dalam tata penyelamatan Maria tidak terpikir lepas dari Kristus dan Kristus tidak terpikir lepas dari ibuNya.<br /><br />147. Seperti sudah diuraikan di muka Kitab Suci (Luk) menggambarkan Maria sebagai “typos” “kaum hina-dina”. Maka Maria tidak barulah “suci” dan beriman pada saat ia mengandung anaknya, Yesus, berkat Roh Kudus. Untuk saat itu Maria tidak hanya dipilih Allah, tetapi juga dipersiapkan (kiranya secara real tidak sadar). Dengan iman ia mempercayakan diri kepada Allah. Dengan istilah teologi itu berarti, bahwa Maria sudah menerima tawaran diri Allah, sehingga sudah menjadi peserta dalam kehidupan ilahi dan sudah menjadi “kudus”. Dalam hal itu Maria mirip dengan orang-orang beriman dan suci lainnya dalam tata penyelamatan lama. Di lain pihak penyerahan diri yang dasariah itu secara unik menjadi terwujud pada saat Maria mengandung Yesus, yang nyatanya menjadi perwujudan historik tawaran diri Allah dan sumber pengantara kekudusan dan rahmat, termasuk kekudusan maria sendiri yang sebelumnya sudah ada. Ditinjau dari segi Allah Maria secara khusus dipilih dan dikuduskan justru untuk kedudukan dan peranannya dalam sejarah dan tata penyelamatan. Atas dasar itu wajar diterima bahwa kekudusan Maria sejak awal mempunyai ciri khas juga yang tidak ada pada kekudusan mahluk lain.<br /><br />148. Tentu saja tidak mustahil seseorang yang tidak/belum “kudus” dipilih Allah untuk mengemban tugas khas dalam sejarah penyelamatan. Menurut gambaran Kitab Suci (Yos 24:2) Abraham sebelum dipilih Allah (Kej 12:1-3) menjadi penyembah berhala dan Yakub seorang yang jauh dari kudus sebelum menjadi moyang Israel (bdk. Hos 12:4; Kej 32:24-26; 25-26). Tetapi menurut gambaran Maria dalam Luk ibu Yesus suci sebelum menjadi ibu anaknya.<br /><br />149. Apa yang tidak tegas dikatakan Alkitab akhirnya dipertegas oleh umat Kristen. Ini merupakan hasil pemikiran dan renungan umat atas gambaran Maria yang disajikan Kitab Suci dan atas relasi unik antara Yesus, Juru selamat, dan ibuNya. Oleh pujangga-pujangga Gereja kesucian serta kekudusan Maria biasanya secara negatif diungkapkan dengan berkata bahwa ibu Yesus “bebas” dari dosa. Nanti mereka akan diperhatikan sedikit. Pokoknya dalam tradisinya umat Kristen menjadi yakin bahwa Maria amat suci dari awal sampai akhir eksistensinya.<br /><br /><center><span style="font-weight: bold;">C. MARIA BEBAS DARI DOSA PRIBADI</span></center><br /><br />150. Konsili Trente (DS 1573) sebagai ajaran resmi dan tradisional menyatakan bahwa berkat karunia istimewa Maria seumur hidup bebas dari segala dosa, termasuk dosa ringan. Ajaran itu terulang oleh P.Pius IX (DS 2800). Dengan cara negatif itu dinyatakan bahwa ibu Yesus seumur hidup secara dasariah amat suci, amat kudus. Relasi personal antara Allah dan Maria tidak pernah terganggu sedikit pun. Selalu dan dengan sebulat hati Maria menerima tawaran diri Allah. Dosa pribadi sebagai dosa teologik memang pada dasarnya berarti bahwa manusia (dengan bebas) menolak tawaran diri Allah, artinya: KasihNya – ialah “dosa berat” menurut peristilahan Katolik – atau tidak sepenuh-penuhnya menanggapi kasih Allah – itulah “dosa ringan” dalam istilah Katolik.<br /><br />151. Penegasan macam itu tidak dapat langsung ditemukan dalam Alkitab. Sebaliknya orang berkesan bahwa berlawanan dengan apa yang dikatakan Kitab Suci tentang manusia, termasuk manusia beriman (bdk. 1Yoh 1:8). Kitab Suci (bdk. Ibr 4:15; 2Kor 5:21) hanya menyatakan bahwa Yesus Kristus tanpa dosa. Keterangan konsili Trente tersebut merupakan hasil renungan dan refleksi umat Kristen atas gambaran Maria yang disajikan Kitab Suci, atas relasi unik Maria dengan Yesus Kristus, anaknya dan Juru selamat semua manusia dan terutama atas “realitas” Maria yang dikenal melalui Kitab Suci.<br /><br />152. Meskipun para pujangga Gereja mengakui bahwa Maria “suci” luar biasa, namun mereka tidak semua meluputkannya dari dosa pribadi. Gregorius, uskup Nissa, misalnya berpendapat bahwa menurut Luk 2:34-35 Maria menjadi goncang dan ragu-ragu dalam imannya. Pendapat itu sudah dikemukakan oleh Origenes (± tahun 254) dan terulang oleh Basilius (± tahun 379) dan beberapa pujangga Gereja lain. Juga Luk 2:48; Mat 12:46-50; Yoh 2:1-10 bagi beberapa pujangga Gereja (Tertullianus, Ireneus, dll.) menjadi alasan untuk berpendapat bahwa Maria tidak terluput dari dosa (ringan). Sampai dengan abad V pendapat itu cukup tersebar luas.<br /><br />153. Dengan Ambrosius, uskup Milano (± tahun 397) dan Agustinus, uskup Hippo (± tahun 430) barulah keyakinan umum, baik di kawasan Barat maupun di kawasan Timur, bahwa ibu Yesus seluruhnya bebas dari dosa pribadi. Pertimbangan k.l sebagai berikut: Dosa, meski dosa “kecil” sekalipun tidak cocok dengan “Bunda Allah”. Dosa dalam akibatnya menjadi halangan untuk sepenuh-penuhnya menyerahkan diri kepada Allah dan kasihNya. Tetapi Maria, menurut kesaksian Alkitab, sebulat-bulatnya merelakan diri untuk menjadi ibu Yesus, Anak Allah, tidak hanya seketika, tetapi terus-menerus sampai akhir hidupnya. Penyerahan total macam itu dikurangi oleh dosa, entah sebelum entah sesudah Maria menjadi ibu Yesus. Tradisi itu dapat mempertahankan diri sampai zaman Reformasi, sehingga Luther misalnya tetap yakin bahwa Maria, sejak disucikan dalam rahim ibunya, memang bebas dari segala dosa.<br /><br />154. Pendirian tradisional itu tidak diteruskan oleh para pemikir (dan umat) di kalangan Reformasi. Mereka yakin bahwa gambaran Maria yang disajikan Perjanjian Baru tidak membenarkan tradisi kuno itu. Sebaliknya tradisi itu berlawanan dengan penegasan Alkitab (seperti misalnya 1Yoh 1:8). Maka dihidupkan kembali apa yang dikatakan sementara pujangga Gereja pada abad III-IV. Maria tentunya seorang berdosa yang terus-menerus mesti bertobat. Janganlah keistimewaan Kristus dipindahkan kepada Maria. Maria, sama seperti manusia lain, <span style="font-style: italic;">“simul iustus et peccator”</span> (serentak suci dan tidak suci). Pendirian ini kiranya dijabarkan dari prinsip-prinsip yang dikemukakan para Reformator. Akhir-akhir ini juga sementara pemikir Katolik merasa tertarik oleh pendirian Reformasi, sehingga mereka bertanya-tanya kalau-kalau tradisi kuno dan penetapan konsili Trente perlu ditinjau kembali. Hanya konsili Vatikan II (LG N.56) terus mempertahankan tradisi kuno dan penetapan konsili Trente.<br /><br />155. Menurut ajaran yang pasti Maria nyatanya tidak pernah berdosa. Dalam hal ini Maria sama dengan Yesus Kristus, yang menurut kesaksian Alkitab tidak mengenal dosa pribadi. Namun antara Yesus Kristus dan Maria ada perbedaan mendasar. Dasar “ ketidakberdosaan” itu berbeda. Pada Yesus Kristus dasarnya terletak dalam diri Yesus sendiri. Karena itu Yesus tidak hanya nyatanya tidak berdosa, tetapi malah tidak dapat berdosa tanpa meniadakan diriNya. Sebab seandainya Yesus berdosa Ia melawan diriNya sendiri. Tetapi pada Maria dasar “ketidakberdosaan” itu terletak di luar diri Maria sendiri. Dasarnya ialah relasi Allah dengan Maria melalui anak Maria, Yesus. Dari dalam dirinya Maria sama seperti manusia lain, berdosa, seandainya tidak tercegah oleh karunia Allah yang istimewa. Secar kiasan boleh dikatakan: Maria telindung terhadap dosa pribadi oleh kasih karunia Allah melulu. Pada dirinya Maria dapat berdosa tanpa meniadakan dirinya, hanya nyatanya ia tidak berdosa.<br /><br />156. “Ketidakberdosaan” Maria boleh dirasakan sebagai ajaran yang menempatkan Maria di luar umat manusia, yang menurut kesaksian Alkitab, umat manusia berdosa. Bagaimana Maria masih dapat dikatakan “ditebus” oleh Yesus Kristus dari dosa? Yesus Kristus kan diakui oleh umat Kristen sebagai Penebus umat manusia, tanpa kecuali. Justru pertimbangan itulah yang membuat umat Kristen di kalangan Reformasi merasa segan terhadap ajaran Katolik. Demikian pula pujangga-pujangga Gereja dahulu kuatir kalau-kalau Maria yang tidak berdosa dikecualikan dari penebusan umum.<br /><br />157. Teologi Katolik mencoba mengatasi keberatan serius itu. Kata mereka: Maria tidak berdosa karena kasih karunia Allah dan berdasarkan karya penebusan Yesus Kristus. Hanya Maria “ditebus” dengan cara lain dari semua orang lain. Oleh kasih karunia Allah Maria dicegah dari berdosa, sehingga ia malah ditebus lebih dasarian daripada lain-lain orang. Sehubungan dengan Maria “penebusan” itu tidak mencakup “pemulihan/penyilihan dosa”, seperti sehubungan dengan semua manusia lain. Hanya harus dikatakan juga: Dengan jalan itu kata “penebusan” atau “ditebus sebelumnya” tidak cocok lagi dan kehilangan artinya. Kata itu kan paling sedikit berarti bahwa seseorang dari keadaan buruk dipindahkan kepada keadaan lain. Karena itu, kalau dalam peristilahan teologik dalam bahasa Latin dikatakan bahwa Maria adalah <span style="font-weight: bold;">“prae-redempta”</span>, padahal semua manusia lain <span style="font-weight: bold;">“redempti”</span>, maka kehalusan istilah itu toh kurang meyakinkan teolog Reformasi. Teologi Reformasi sukar menerima tradisi Katolik itu, yang dinilai tidak berwenang, oleh karena nampaknya berlawanan dengan Alkitab.<br /><br /><center><span style="font-weight: bold;">D. MARIA BEBAS DARI DOSA ASAL</span></center><br /><span style="font-weight: bold;">1. Dogmanya<br /></span>158. Masalah tersebut terlebih diperuncing oleh ajaran, dogma, resmi Gereja Katolik, yang menegaskan bahwa Maria tidak hanya bebas dari dosa pribadi, tetapi juga dari apa yang diistilahkan sebagai “dosa asal”. Dogma itu pada tahun 1854 oleh P.Pius IX barulah diresmikan dan tidak tanpa perlawanan, bahkan dari pihak sementara teolog Katolik. Inti dogma tersebut (DS 2803) berbunyi sebagai berikut: Sejak saat pertama dikandungnya Perawan Maria yang amat bahagia terlindung/terpelihara <span style="font-style: italic;">(praeservatam)</span> bebas dari segala noda <span style="font-style: italic;">(labes)</span> kesalahan asal <span style="font-style: italic;">(originalis culpae)</span> berkat kasih karunia yang seluruhnya istimewa dari pihak Allah yang Mahakuasa, berdasarkan <span style="font-style: italic;">(intuitu)</span> jasa <span style="font-style: italic;">(merita)</span> Kristus Yesus, Juru selamat umat manusia, yang sebelumnya sudah dilihat (Allah).<br /><br />159. Dogma itu berkata tentang Maria, bahwa sama seperti manusia lain pada dirinya dan menurut tatanan umum terkena oleh apa yang disebut “dosa asal”. Seharusnya ibu Yesus turut terkena oleh karena ia pun mahluk dan termasuk ke dalam umat manusia, keturunan “Adam” seperti nyatanya ada (terkena dosa asal). Dalam hal itu Maria berbeda dengan Yesus Kristus, yang karena diriNya tidak terlibat dalam “dosa asal”, meskipun terkena oleh akibat “dosa asal” yang tidak bercirikan dosa. Dalam teologi orang biasa berkata tentang “keharusan” <span style="font-style: italic;">(debitum)</span> dosa asal, keharusan terkena dosa asal <span style="font-style: italic;">(debitum contrahendi peccatum)</span>. Itu hanya berarti bahwa ditinjau dari sisi Maria sebagai anggota penuh umat manusia ia memang benar-benar terkena nasib umum itu (dosa asal). Bahwasanya Maria nyatanya tidak terkena tak mungkin dijelaskan dan ditangkap, kalau halnya dilihat dari segi Maria. Dalam Maria tidak ada dasar apa pun bagi terluputnya dari nasib umum itu. Sebaliknya pada Maria sendiri justru ada dasar, supaya turut tersangkut. Dasarnya ialah: adanya Maria sebagai manusia dalam tatanan yang nyata.<br /><br />160. Kalau nyatanya Maria tidak terkena dosa asal, maka satu-satunya sebabnya ialah pilihan Allah, kasih karuniaNya yang berdasarkan “jasa” (karya penebusan) Yesus Kristus, anak Maria sendiri. Itu mengandaikan bahwa karya penebusan itu sudah efektif sebelum menjadi kenyataan historik dan sebelum Yesus Kristus ada. Tentu saja hal itu sedikit sukar dipahami dan dipikirkan. Tetapi ditinjau dari sisi Allah, Juru selamat dasa, halnya dapat dipikirkan, sejauh dari segi Allah seluruh realitas yang pernah nyata ada, dahulu, kini dan nanti, merupakan suatu kesatuan yang berurutan dalam waktu bagi mereka (manusia) yang sendiri terlibat dalam peredaran waktu. Dari segi Allah dunia dan sejarah tidak ada tanpa Yesus Kristus di dalamnya (bdk. Kol 1:15-18; Ef 1:9-10).<br /><br />161. Maka sebagai manusia Maria terkena dosa asal, tetapi berkat Yesus Kristus serta karyaNya ia terkecuali. Dogma tidak berkata bahwa Maria “ditebus”, tetapi “sebelumnya” terlindung/terpelihara <span style="font-style: italic;">(praeservata)</span>. Seperti di muka sudah dicatat kata “menebus”, “penebusan” kurang pada tempatnya sehubungan dengan seseorang yang tidak berdosa, entah dosa pribadi entah dosa asal. Di lain pihak dogma mau mempertahankan, bahwa Maria tidak kurang dari manusia lain membutuhkan Kristus serta karyaNya, supaya bebas dari dosa asal (dan dosa pribadi) dan menjadi selamat (dengan menerima dan menyerap tawaran diri Allah). Sama seperti lain orang Maria tidak dapat membanggakan apa saja, seluruhnya bergantung pada Allah dan Yesus Kristus. Kedudukannya memang istimewa, tetapi ia tetap seluruhnya di pihak umat manusia yang membutuhkan Yesus Kristus. Maria tidak mau ditempatkan di pihak Allah atau Yesus Kristus, ia tetap tinggal di pihak manusia.<br /><br />162. Sekaligus dikatakan oleh dogma bahwa kasus Maria memang unik dan tunggal. Dogma kan berkata tentang keistimewaan tunggal <span style="font-style: italic;">(singulari gratia et privilegio)</span>. Jadi diandaikan bahwa Allah hanya sekali mengecualikan seorang manusia dari nasib umum (selain tentunya manusia pertama). Manusia itu ialah Ibu Yesus. Sebagai pertimbangan bulla Paus (DS 2801) mengetengahkan relasi unik dan tunggal ibu Maria dengan Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah dan anak Maria serentak, yang dikandung berkat Roh Kudus. Jadi karena kedudukan unik dan peranan tunggalnya dalam tata penyelamatan/penebusan objektif Maria diberi juga penyertaan unik dan tunggal dalam tata penyelamatan/penebusan subjektif.<br /><br />163. Dogma tidak mengatakan bahwa “harus” demikian. Keistimewaan Maria itu tidak dapat dengan logika belaka dan secara tuntas dijabarkan dari kedudukan dan peranan unik Maria dalam tata penyelamatan. Dogma berkata “pantas”,”layak,”patut” <span style="font-style: italic;">(dacebat)</span> Maria dihiasi dengan keistimewaan macam itu.<br /><br />164. Dogma tidak berkata apa-apa mengenai caranya Maria dikandung. Diandaikan saja Maria dikandung oleh ibunya seperti manusia lain. Itu berbeda dengan caranya Yesus dikandung oleh Maria (conceptio virginalis), yaitu sebagai perawan. Doktrin yang pasti itu sebenarnya, seperti sudah dicatat, termasuk Kristologi, bukan Mariologi, kecuali secara tidak langsung. Sebaliknya dogma bahwa Maria dikandung tanpa noda asal merupakan dogma mariologik dan secara langsung tidak menyangkut Kristologi. Dogma persis mengenai suatu peristiwa yang menyangkut diri Maria, ibu Yesus.<br /><br />165. Maka dogma itu langsung mengenai dikandungnya Maria, bukan Maria yang dikandung. Itulah menjelaskan mengapa ibadat (liturgi) Gereja berpusatkan “conceptio” (dikandungnya) Maria, bukan Maria yang dikandung. Ibadat mengenangkan suatu peristiwa istimewa dalam tata penyelamatan, yang hanya sekali terjadi. Waktu pada abad XVIII hari raya itu mau diperluas perayaannya, maka diperdebatkan apa yang sebenarnya mau dirayakan: “Maria immaculata concepta” (Maria yang tanpa noda dikandung) atau “conceptio Mariae immaculatae” (dikandungnya Maria tanpa noda). Kalau yang pertama, maka maria yang dikandung menjadi sasaran perayaan; kalau yang kedua, maka sasaran perayaan ialah dikandungnya Maria yang (=Maria) tanpa noda. Itu dapat dimengerti sebagai berikut: Dirayakan dikandungnya Maria yang tidak bernoda selama hidupnya di bumi, mirip dengan perayaan kelahiran Maria. Yang ketiga akhirnya ditetapkan: dikandungnya tanpa noda (Maria) (conceptio immaculata Mariae), itulah sasaran perayaan. Dengan demikian ditekankan bahwa keistimewaan peristiwa dikandungnya Maria mau dikenangkan oleh perayaan itu. Dalam dogma tersebut justru itulah yang dirumuskan (conceptio immaculata Mariae), artinya: sejak saat dikandungnya diri Maria bebas sari dosa (culpa) asal (imprimo instanti suae conceptionis). Dengan demikian pun dihindarkan masalah yang waktu itu diperdebatkan kapan persis janin dapat dikatakan “manusia”, kapan “jiwa” dipersatukan dengan bahan jasmaniah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Perkembangan ajaran dalam tradisi</span><br />166. Hanya lambat laun dan selama jangka waktu yang lama dogma tentang dikandungnya Maria tanpa noda (asal) menjadi matang. Diandaikan ajaran tentang dosa asal sudah matang dan umum diterima. Tetapi ajaran itu baru mulai diketengahkan secara tegas oleh Agustinus (± tahun 430) dalam pertikaiannya dengan para pengikut Pelagius. Hanya lama-kelamaan ajaran itu menjadi umum dalam Gereja Latin. Maka tidak boleh diharapkan pujangga-pujangga Gereja kuno, sebelum ajaran tentang dosa asal matang, mengatakan sesuatu tentang caranya Maria dikandung, yaitu tanpa noda asal. Mereka tidak tahu-menahu tentang masalah itu. Mereka hanya menjunjung tinggi kekudusan Maria pada umumnya dan kebebasannya dari dosa (pribadi) serta segala kekurangan moral. Juga pesta liturgi seputar dikandungnya Maria oleh “S.Ana” (yang menurut apokrip mandul) tidak mengatakan apa-apa sehubungan dengan ajaran dikandungnya Maria tanpa noda asal. Pesta tersebut muncul di kawasan Timur sejak abad VII dan diambil alih di kawasan Barat sejak abad XI.<br /><br />167. Ajaran tentang dosa asal secara definitif baru ditetapkan oleh konsili Trente tahun 1546 (DS 1512-1513). Konsili Trente mengulang apa yang dikatakan (tetapi tidak didefinisikan) oleh konsili Florence tahun 1246 (DS 1347) dan sudah ditetapkan konsili setempat Kartago (tahun 418, DS 233), Arles (tahun 473, DS 341) dan terutama konsili Orange (tahun 529, DS 371-372). Di kawasan Timur Gereja ajaran itu tidak pernah menjadi begitu menyolok seperti dalam Gereja Latin akibat pengaruh Agustinus. Dan ajaran itu sebagai dogma baru diterima Gereja Latin sesudah Gereja Timur menempuh jalannya sendiri.<br /><br />168. Adapun dogma tentang dosa asal boleh dinilai sebagai semacam “meta-dogma”, artinya: dogma-dogma (=ajaran iman yang pasti) lain. Maksudnya ialah mengamankan dogma-dogma lain itu, tetapi tidak mau menambah sesuatu. Ajaran-ajaran yang mau diamankan dogma tentang dosa asal ialah: Satu-satunya Penyelamat ialah Yesus Kristus (Allah dalam Yesus Kristus) dan semua manusia membutuhkan Yesus Kristus. Tanpa dan terlepas dari Yesus Kristus manusia berada dalam keadaan “malang”, berarti: lain daripada yang dimaksudkan Allah, akibat tindakan manusia sendiri berlawanan dengan apa yang dikehendaki Allah dalam relasiNya dengan manusia. Manusia dalam keadaan “malang” juga secara religius, berarti: relasi dengan Allah terganggu, meskipun manusia sendiri dan secara pribadi belum dapat bertindak (berdosa) secara bertanggung jawab. Juga anak kecil membutuhkan Yesus Kristus dan karyaNya, lepas dari tindakan pribadi. Jadi apa yang mau diamankan oleh dogma tentang dosa asal ialah: Karya penebusan sungguh-sungguh universal, mencakup semua manusia sejak manusia pertama.<br /><br />169. Tetapi justru ajaran dan dogma tentang dosa asal, praandaian dogma tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal, menjadi halangan paling besar untuk perkembangan dogma itu. Dan sampai hari ini dogma itu ditolak oleh umat Reformasi atas dasar yang sama. Sebab nampaknya dogma itu meluputkan Maria dari karya penebusan universal itu. Gereja Timur juga kurang senang dengan dogma “baru” itu. Adapun sebabnya ialah: Seluruh ajaran Gereja Latin tentang dosa dan dosa asal kurang penting dalam ajaran Gereja Timur dan penghayatan imannya. Gereja itu tidak seolah-olah diobsesi oleh dosa dan dosa asal seperti Gereja Latin, apalagi gereja-gereja Reformasi. Gereja Timur mempunyai pendekatan jauh lebih positif terhadap karya penyelamatan (= pengilahian kodrat manusia). Dan Gereja Timur tidak dapat menerima apa yang ditetapkan Gereja Latin (dan Paus) semata-mata. Gereja Latin menurut mereka tidak dapat berbicara atas nama Gereja universal.<br /><br />170. Para pujangga Gereja dan teolog terbesar, yang di satu pihak yakin bahwa Maria bebas dari segala dosa pribadi dan di lain pihak memikirkan “dosa asal”, segan menerima bahwa Maria terluput dari nasib umum itu. Sebab kalau demikian rupanya Maria tidak memerlukan karya penebusan Yesus Kristus. Maka ada yang berkata bahwa Maria disucikan waktu menerima kabar gembira (Hilarius, Hugo dari S.Victor), atau waktu Maria dilahirkan atau malah dalam kandungan ibunya (Paschasius Radbertus), sebagaimana diyakini sehubungan dengan Yohanes Pembaptis (bdk. Luk1:15) dan nabi Yeremia (bdk. Yer 1:5). Luther misalnya juga yakin tentang disucikannya Maria dalam rahim ibunya.<br /><br />171. Waktu sementara teolog mengemukakan pendapat bahwa Maria tidak pernah tanpa “rahmat” (jadi sejak awal eksistensinya “suci” dan bebas dari dosa asal), misalnya Eadmer (tahun 1142), maka pikiran itu ditolak oleh teolog-teolog besar (Anselmus, Bernardus, Alexander Hales, Thomas Aquinas, Albertus Magnus). Mereka tidak melihat suatu kemungkinan bahwa di satu pihak Yesus Kristus menjadi Penebus semua manusia tanpa kecuali dan di lain pihak manusia Maria tidak pernah terkena dosa bagaimanapun juga. Tambah lagi bahwa pendapat umum (mulai dengan Agustinus) dosa asal dialihkan dari orang tua kepada keturunannya melalui hubungan seksual (yang dinilai diracuni dosa). Maria dikandung secara biasa dan alamiah, jadi ia terkena dosa asal. Hanya Yesus, yang tidak dikandung secara biasa, terluput dari dosa asal.<br /><br />172. Jalan keluar dari kesulitan tersebut ditemukan Raymundus Llul, Wilhelmus de Eare dan Yohanes Dun Scotus (± tahun 1308). Mereka berkata: Maria memang “ditebus” dan sama seperti manusia lain membutuhkan karya penebusan Yesus Kristus. Tetapi Maria “ditebus” secara istimewa sedemikian rupa sehingga terluput dari dosa asal. Dosa itu tidak pernah mengenai Maria. Maria “ditebus” dengan dilindungi terhadap dosa asal. Jadi Maria tidak kurang tetapi malah lebih “ditebus” daripada orang lain.<br /><br />173. Tetapi pemikiran macam itu belum juga segera umum diterima. Sebaliknya, tercetuslah pertikaian antara para teolog yang sengit sekali. Sebagian (besar) teolog tidak dapat dan tidak mau menerima bahwa Maria terkecuali dari nasib umum manusia. Tetapi sebagian lain teolog berusaha memenangkan pendekatannya. Langkah demi langkah pendekatan itu menjadi di atas angin, terdukung oleh Paus (uskup Roma), meskipun di kalangan Paus pun tetap ada lawan yang berbobot. Lawan itu dapat mendasarkan diri pada pujangga-pujangga Gereja, a.l Agustinus dan teolog-teolog terhormat seperti Thomas Aquinas. Agustinus memang membela kesucian maria tetapi tidak sampai meluputkannya dari dosa asal. “Otoritas” Agustinus, justru sehubungan dengan dosa asal dalam Gereja Latin tidak mudah disingkirkan.<br /><br />174. Konsili Trente (tahun 1546, DS 1516) dengan sengaja membiarkan masalah terbuka dan hanya menegaskan bahwa bukan maksudnya bahwa penetapannya tentang dosa asal juga mencakup Maria. Konsili Basel (tahun 1439) dalam suatu sidang skismatik meresmikan ajaran tentang terluputnya Maria dari dosa asal sebagai “dogma”. Tetapi P. Benedictus IV pada tahun 1483 (DS 1425-1426) menetapkan bahwa orang tidak berhak menyalahkan pendapat yang satu atau pendapat yang lain. P.Pius V 1567 (DS 1973) menolak pendapat Bayus bahwa hanya Kristus terluput dari dosa asal dan Maria tidak. P.Paulus V pada tahun 1620 jelas maju selangkah dan memihak dalam pertikaian para teolog. Paus itu melarang segala serangan atas ajaran (Katolik) tentang dikandungnya Maria tanpa dosa asal. Larangan itu terpaksa diulang oleh P.Gregorius XV. P.Alexander VII pada tahun 1661 menetapkan apa yang dirayakan dengan pesta “Maria dikandung tanpa noda” dan pesta itu diwajibkan untuk seluruh Gereja Latin.<br /><br />175. Salah satu pertimbangan yang dipakai para penganjur ajaran itu ialah: Pada dasarnya Allah memberi Maria, ibu Yesus dan ibu Anak Allah, segala rahmat/karunia yang mungkin diberikan. Maka oleh karena ternyata mungkin (dalam rangka ajaran Katolik dan iman Kristen) Allah memberi Maria rahmat yang melindunginya terhadap “noda asal”, Allah juga memberi karunia itu. Latinnya: Protuit, decuit, ergo fecit.<br /><br />176. Namun perlawanan dalam Gereja Katolik terhadap ajaran itu tidak berhenti sampai P.Pius IX pada tahun 1854 meresmikan ajaran itu sebagai sesuatu yang termasuk ke dalam “wahyu ilahi”. Tentu saja peresmian itu tidak meyakinkan umat Kristen Reformasi dan tidak pula diterima oleh Gereja Yunani-Ortodoks. Pada prinsipnya Gereja Timur tidak menolak ajaran itu. Tetapi oleh karena tidak terdapat pada pujangga-pujangga Gereja dahulu dan tidak diumumkan oleh sebuah konsili yang benar-benar ekumenik, maka Paus hanya menyalahgunakan kedudukannya. Sejak tahun 1854 dogma itu terus diulang-ulang, terakhir oleh konsili Vatikan II (LG 56.59).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Penjernihan dogma</span><br />177. Bagaimana ajaran resmi tentang bebasnya Maria dari noda asal dipikirkan, sebagian besar bergantung pada caranya orang memikirkan dosa asal itu. Juga dogma itu dirumuskan dengan berlatar-belakang cara berpikir tertentu. Tetapi cara berpikir itu tidak turut dijadikan dogma seolah-olah latar belakang itu pun tidak terganggu gugat. Kalau dogma berkata tentang “terpelihara <span style="font-style: italic;">(praeservata)</span> terhadap dosa asal”, maka cara bicara itu menyarankan bahwa “dosa asal” itu dipikirkan sebagai semacam “benda”, yang dapat ditangkis, ditolak atau dicegah dari menimpa seseorang. Setiap manusia karena lahir dari manusia (bdk. Konsili Trente: generatione, DS 1513) pada dirinya terkena “dosa” itu. Tetapi sehubungan dengan ibu Yesus Allah dengan mengingat “jasa” Kristus nanti memasang halangan, sehingga dosa itu tidak “menjatuhi” Maria.<br /><br />178. Cara bicara dan cara berpikir itu amat terpengaruh oleh cara Agustinus memikirkan halnya. Menurut Agustinus “dosa asal” dari orang tua dialihkan kepada anak melalui persetubuhan yang disertai hawa nafsu <span style="font-style: italic;">(concupiscentia)</span>. Persetubuhan itu seolah-olah diracuni oleh yang jahat. Pun hasil perbuatan jahat tentu saja jahat pula. Maka setiap anak yang secara biasa dilahirkan pada dirinya buruk dan jahat, sasaran murka Allah. Caranya konsili Trente memikirkan dosa asal dan pengalihannya tetap terpengaruh oleh pendekatan Agustinus, kalaupun kurang “kasar”. Tetapi pendekatan itu tidak dijadikan dogma.<br /><br />179. Dogma tentang dikandungnya Maria tanpa noda asal masih juga memakai cara berpikir macam itu. Tetapi bahasa yang dipakai itu tentu saja bahasa kiasan, metaforik, meskipun tetap dapat amat menyesatkan orang dalam pandangannya terhadap realitas yang dimaksudkan. Teologi tradisional skolastik memikirkan halnya dengan cara lebih halus. Mereka memlihat dosa asal sebagai sesuatu yang menurut inti hakikatnya bersifat negatif saja. Dosa asal ialah: tidak adanya rahmat pengudus <span style="font-style: italic;">(gratia sanctificans)</span> pada manusia, meskipun menurut maksud Allah seharusnya ada. Tidak adanya rahmat pengudus serta akibat-akibatnya disebabkan tindakan (penolakan) dari pihak manusia pertama. Manusia pertama itu oleh Allah dijadikan wakil seluruh umat manusia. Maka tidak adanya rahmat (dosa asal) itu terlekat pada “kodrat” manusia, yang diteruskan turun-temurun dan menyangkut pribadi <span style="font-style: italic;">(persona)</span> tiap-tiap orang sebelum dapat bertindak secara pribadi. Akibat tidak adanya rahmat pengudus (dosa asal) itu ialah: manusia secara pribadi dan dasariah tidak mampu mencintai Allah dengan kasih yang sepadan, yaitu kasih ilahi, sebagaimana dimaksudkan Allah semula. Jelaslah kiranya bahwa istilah “dosa” yang lazim (tindakan pribadi) kurang sesuai dengan apa yang dimaksudkan dengan “dosa asal”, suatu keadaan yang tidak disebabkan oleh tindakan pribadi (dosa) orang yang bersangkutan. Kalau dikatakan bahwa manusia yang berdosa asal saja (seperti anak kecil) kena “murka Allah”, maka orang perlu ingat apa itu “murka Allah”. “Murka Allah” sebenarnya: Kasih Allah tidak ditanggapi semestinya. Dalam hal dosa asal (yang mengandung ketidakmampuan mengasihi Allah semestinya) “murka Allah” itu di luar tanggung jawab pribadi orang. “Murka Allah” dalam hal dosa asal berbeda sekali dengan “murka Allah” sehubungan dengan dosa pribadi. Dosa pribadi “dihukum” oleh “murka Allah”, padahal “dosa asal” tidak jadi “dihukum”.<br /><br />180. Cara berpikir teologik tersebut tentunya sudah lebih halus dan mencegah sedikit rasa ngeri yang ditimbulkan oleh caranya Agustinus mengemukakan pikirannya dan konsep yang dimanfaatkannya. Meskipun berdosa asal manusia juga dapat menjadi “bahagia” di dunia baka dan tidak mengalami “siksaan” atas dosa yang tidak ia lakukan. Meskipun ia tidak “masuk surga”, ia tidak terkena hukuman dan murka Allah, tetapi menikmati kebahagiaan wajar, yang sesuai dengan keinginan wajar manusia. Entahlah bagaimana “kebahagiaan” itu mesti dipikirkan. Tetapi cara bicara dan cara berpikir yang lebih halus dan lebih manusiawi tidak menjadi “dogma” dan dapat ditinjau kembali. Dosa asal dapat dipikirkan secara lain pula.<br /><br />181. “Dosa asal” dapat dihubungkan dengan solidaritas, kesetiakawanan yang terjalin di antara semua manusia, dari awal sampai akhir. Solidaritas itu ada sebelum manusia secara pribadi dapat dan nyata bertindak. Kesetiakawanan itu juga berlangsung sehubungan dengan keburukan (dosa) manusia. Mau tidak mau dan mendahului segala tindakan pribadi yang bertanggung jawab setiap orang terlihat dalam keburukan manusia lain, sejak awal mula, entahlah manusia awal itu satu (pasang) orang atau banyak. Solidaritas itu bukanlah sesuatu yang lahiriah saja, tetapi turut menentukan adanya pribadi manusia, menjadi latar belakang (tidak sadar) segala sesuatu. Kesetiakawanan dalam keburukan menjadi suatu “eksistensial”, yang turut menentukan diri manusia serta perwujudan diri manusia dalam tindakan, perbuatan, pendeknya segala apa yang keluar dari diri orang dan caranya ia menampung pengalamannya. Solidaritas itu juga mempunyai dimensi biologik (manusia memang keturunan biologik manusia), tetapi pada intinya solidaritas itu terletak dalam relasi personal antar manusia.<br /><br />182. Kesetiakawanan dalam kejahatan tidak hanya mengganggu relasi antarmanusia di garis mendatar, tetapi juga antara manusia dan Allah, di garis tegak lurus. Itulah keyakinan Kristen. Dengan kata lain perkataan solidaritas antropologik serentak solidaritas teologik. Dengan demikian solidaritas negatif antara manusia mempunyai ciri “dosa” teologal. Oleh karena “kodrat” dan “rahmat” tidak dapat dipisahkan, maka solidaritas negatif negatif antara manusia mengganggu – dari segi manusia – “tata rahmat”, ialah relasi yang secara khusus (mau) dijalin Allah antara diriNya dan manusia. Relasi khusus itu ialah: Allah menawarkan diriNya dan mempersatukan diriNya dengan mahlukNya dan begitu “mengilahikannya”.<br /><br />183. Maka menurut pendekatan tersebut “dosa asal” ialah solidaritas negatif antara manusia. Solidaritas itu ada pada setiap orang malah sebelum dapat mengambil pendirian dan lepas dari pendirian pribadi. Solidaritas yang berupa “eksistensial” itu menghalangi tiap-tiap manusia, yang seluruhnya secara biologik dan personal termasuk umat manusia, dalam menanggapi tawaran diri Allah. Tawaran diri Allah yang tetap ada nyatanya tidak sampai kepada manusia oleh karena tidak diterima. Jelaslah bahwa dari dalam, dari sisi manusia sendiri, keadaan itu tidak dapat dihilangkan.<br /><br />184. Tetapi keyakinan Kristen tidak hanya mengakui dan mengalami solidaritas negatif antara manusia, yang serentak menghalangi tawaran diri Allah sampai kepada manusia. Iman umat Kristen mengakui juga ada solidaritas, kesetiakawanan positif antara manusia yang berdasar solidaritas dengan Yesus Kristus. Dengan manusia Yesus Kristus Allah (berupa firman dan Anak Tunggal) menjadi terlibat dalam solidaritas negatif antara manusia. Hanya pada Yesus, yang tidak hanya manusia, solidaritas itu tidak menjadi suatu “eksistensial” yang menentukan Yesus Kristus dari dalam. Tetapi oleh karena Yesus Kristus benar-benar manusia, maka antara Yesus dan semua manusia lain, umat manusia seluruhnya, ada suatu relasi terjalin lepas dari dan mendahului pendirian pribadi orang masin-masing. Secara lahiriah Yesus terkena oleh solidaritas negatif antara manusia. Solidaritas negatif itu memuncak dalam kematian Yesus yang dengan rela dijalaniNya. Sebab kematian itu merupakan konsekuensi dari kesetiaan Yesus kepada Allah, yang menawarkan diri kepada manusia dan oleh Yesus sebulat-bulatnya diterima. Dengan demikian Yesus menjadi tawaran diri Allah kepada manusia, tetapi oleh manusia dalam keadaan nyata (dosa asal) tidak dapat tidak ditolak. Manusia tidak mampu menerima tawaran diri Allah yang berupa Yesus Kristus. Kematian Yesus merupakan akibat solidaritas negatifNya dengan manusia. Tetapi Allah, dengan membangkitkan Yesus dari antara orang mati meluputkan Yesus dari akibat solidaritas negatif (bdk. Ibr 5:7-9).<br /><br />185. Dengan demikian solidaritas negatif Yesus Kristus (ialah tawaran diri Allah) dengan manusia menjadi solidaritas positif antara manusia dan Yesus Kristus. Hanyalah oleh karena manusia, maka semua manusia mempunyai relasi dengan manusia Yesus Kristus dan dengan demikian dengan Allah yang oleh Yesus diterima dan meluputkan Yesus dari keadaan malang umat manusia. Dalam Yesus Kristus Allah menjalin hubungan dengan umat manusia kendari dosa-dosa dan itu pun dengan cara yang tak terbatalkan. Sama seperti solidaritas negatif antara manusia menjadi suatu “eksistensial” bagi orang masing-masing (dosa asal), demikian pun solidaritas positif antara manusia dengan Yesus Kristus menjadi suatu “eksistensial” setiap manusia, yang turut menentukan diri manusia serta perwujudannya. Paulus (Rm 5:12-17; 1Kor 15:20-22) memparalelkan Adam (yang berdosa) dengan Kristus (yang benar). Kedua tokoh itu mengungkapkan solidaritas negatif (Adam) dan solidaritas positif (Kristus sebagai Adam kedua).<br /><br />186. Maka pada setiap manusia yang tampil dalam sejarah ditemukan serentak dua “eksistensial”, dua solidaritas sebelum segala tindakan pribadi. Kedua “eksistensial” itu turut menentukan manusia. Yang terluput ialah Yesus Kristus. Oleh karena Ia bukan manusia melulu, seperti secara historik-biologik menjadi nyata pada caranya Yesus dikandung, maka solidaritas negatif – Paulus berkata tentang: diutus ke dalam daging berdosa (Rm 8:3); Ia menjadi “dosa” (2Kor 5:21) dan kutuk (Gal 3:13) – pada Yesus solidaritas negatif tidak menjadi suatu “eksistensial” (dosa asal). Itu terungkap dalam keterangan Kitab Suci bahwa Yesus seluruhnya menjadi senasib dengan manusia, kecuali dalam hal dosa (Ibr 4:15; 2Kor 5:21). Padahal Yesus sebagai manusia sepenuh-penuhnya menerima tawaran diri Allah, hal mana diabadikan melalui kebangkitan. Dengan demikian Yesus menjadi pencipta suatu “eksistensial” positif, solidaritas dengan Yesus Kristus yang dibangkitkan, pada semua manusia lain.<br /><br />187. Adapun Maria, sebagai manusia ia solider dengan semua manusia lain dalam keburukan dan kemalangan. Hanya pada Maria solidaritas negatif tidak menjadi suatu “eksistensial” (seperti juga pada Yesus), yang dari dalam menentukan a.l relasi dengan Allah. Tetapi Maria tetap terlibat dalam nasib malang manusia (penderitaan, kematian, dan sebagainya), sama seperti Yesus sendiri terlibat. Relasi antara Maria dan “dunia”, manusia, tetap terganggu tetapi tidak dari segi Maria dengan Allah. Maka Maria tidak terkena oleh “dosa asal” menurut ini hakikatnya. Dan itu pun bukan atas dasar diri Maria sendiri, seperti halnya dengan Yesus, tetapi atas dasar relasi unik Maria dengan anaknya, Yesus Kristus. Pada Maria hanya relasi ini, ialah solidaritas dengan Kristus, menjadi suatu “eksistensial” yang menentukan Maria dari dalam. Itulah yang dalam istilah teologi dikatakan sebagai “keadaan berahmat”. Itu berarti tawaran diri Allah pada Maria tidak terbentur pada halangan prasubjektif seperti pada manusia lain. Sejak awal eksistensi Maria kasih Allah merangkulnya sampai akarnya yang terdalam.<br /><br />188. Memang Allah menawarkan diri kepada semua manusia dan kasihNya merangkul semua. Dosa dan solidaritas dalam dosa tidak menyentuh Allah. Dari segi Allah semuanya tetap sama. Hanya tawaran diri, ialah kasih Allah, terbentur pada “eksistensial” negatif pada manusia, sehingga tawaran itu tidak sampai sebelum eksistensial itu ditiadakan Allah. Tetapi oleh karena tawaran diri Allah itu diterima oleh Kristus, maka tawaran itu tetap ada pada umat manusia. Karena relasi istimewa antara Yesus dan ibuNya, maka pada Maria pun tawaran Allah sejak awal adanya Maria menyentuhnya dan mempersatukan Maria dengan Allah secara prapribadi.<br /><br />189. Itulah yang pada dasarnya dimaksudkan dengan dogma tentang Maria yang dikandung tanpa “noda” asal. Maria dikecualikan dari nasib umum umat manusia. Kedosaan umat manusia tidak menyentuh pribadi Maria. Sebaliknya pribadi Maria sejak awal ditentukan oleh relasi, solidaritas dengan Yesus, Penyelamat, tawaran diri Allah kepada manusia. Pada Maria sejak awal ada relasi dengan Allah berdasarkan Yesus Kristus, hubungan dengan Allah yang selalu mengasihi manusia. Itulah yang menentukan sikap dan tindakan Maria.<br />Tetapi, menurut keyakinan Kristen-Katolik, Maria, setelah dapat bertindak dan mengambil pendirian secara pribadi, juga secara subjektif dapat, harus dan nyatanya sepenuh-penuhnya mengamini dan menyetujui “eksistensial” prapribadi. Itulah yang menjadi terungkap dalam ajaran bahwa Maria tidak hanya bebas dari “dosa asal” tetapi juga dari dosa pribadi dan beriman sebulat-bulatnya. Maka keadaan awalnya, yang prasubjektif, langkah demi langkah menjadi terwujud dalam kehidupan Maria. Ditinjau dari segi itu memang ada “kemajuan” dan “perkembangan” dalam kekudusan dan kesucian Maria.<br /><br /><center><span style="font-weight: bold;">E. MARIA BEBAS DARI “CONCUPISCENTIA”</span></center><br />190. Perkembangan dalam kekudusan pada Maria tidak terhalang oleh apa yang dalam teologi diistilahkan sebagai <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span>. <span style="font-style: italic;">“Concupiscentia”</span> itu dikatakan sebagai akibat “dosa asal”. Meskipun <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> itu sendiri bukan dosa, namun menjadi “sumber” dosa pribadi <span style="font-style: italic;">(fomes peccati).</span> Begitulah dikatakan konsili Trente (DS 1515). Maria tidak terbebas dari segala akibat dosa, seperti dikatakan di muka. Sebab solidaritas dengan umat manusia melibatkan Maria dalam nasib umat manusia juga. Ia terkena oleh apa yang dinilai akibat fisik dan psikik kedosaan manusia. Tetapi menurut tradisi ibu Yesus bebas dari akibat “moral kedosaan, artinya sejauh merintangi perwujudan relasi Allah dengan diri manusia.<br /><br />191. Ajaran tersebut tentang bebasnya Maria dari <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> amat erat hubungannya dengan dogma mengenai dikandungnya Maria tanpa noda asal. Namun dalam tradisi ajaran pertama mendahului yang kedua. Umumnya “concupiscentia” dilihat sebagai akibat dosa asal (dan dosa pribadi). Karena itu pujangga Gereja yang menerima bahwa Maria tidak bebas dari dosa asal dan para teolog di zaman pertengahan yang menganut pendapat yang sama umumnya juga tidak menerima bahwa Maria bebas dari <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span>. Namun ada, khususnya mereka yang menerima bahwa ibu Yesus sudah disucikan dalam rahim ibunya, yang berpendapat bahwa pada Maria <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> memang ada tetapi “terikat”. Karena itu ajaran (bukan dogma) tentang bebasnya Maria dari <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> itu masih agak baru juga sebagai ajaran teologi dan gerejani umum.<br /><br />192. Ajaran itu tidak dapat langsung dijabarkan dari apa yang dikatakan Perjanjian Baru tentang ibu Yesus. Memang seluruh masalahitu ada di luar perhatian para penulis, meskipun tradisi Yahudi dan tradisi Kristen tahu akan gejala yang diistilahkan demikian. Para pujangga Gereja yang memparalelkan (sambil memperlawankan) Maria dan Hawa (sebelum berdosa) menjurus ke arah ajaran itu. Sebab, menurut pandangan umum pada para pujangga itu, <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> baru muncul setelah manusia berdosa. Tetapi suatu pendirian terhadap masalah yang belum ada, tidak boleh diharapkan pada para pujangga Gereja. Ajaran itu secara tegas baru dapat dijabarkan dari kekudusan Maria, setelah kekudusan itu direfleksikan dan diuraikan.<br /><br />193. Adapun apa yang diistilahkan sebagai “concupiscentia” (akibat dan sumber dosa, DS 1511) ialah: Ketidakmampuan manusia untuk menguasai manusia, di segala bidang dan semua segi. Atau dengan lain perkataan: Ketidakmampuan mengintegrasikan keseluruhan manusia ke dalam relasi dengan Allah (segi teologik). Dalam melaksanakan diri dan mewujudkan kebebasan dasar manusia terbentur pada pelbagai resistensi pada dirinya sendiri. Ini suatu pengalaman umum yang dilukisakan Rm 7:14-23. “Concupiscentia” tersebut berarti bahwa manusia secara wajar dan alamiah cenderung berpusatkan diri sendiri, condong menjadi “egolatrik”. Istilah teologiknya ialah:dosa. Jadi kalau dikatakan bahwa Maria bebas dari <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span>, maka apa yang dimaksudkan ialah: Dalam melaksanakan dirinya di hadapan Allah dan mewujudkan kebebasannya Maria tidak terhalang dari dalam dirinya sendiri. Tentunya, sama seperti manusia lain, Maria terbentur pada halangan dan rintangan lahiriah.<br /><br />194. Maka kebebasan Maria dari <span style="font-style: italic;">“concupiscentia”</span> tidak berarti bahwa pada Maria tidak ada emosi, gejolak psikik dan sebagainya. Maria bukan seorang manusia yang hidup dalam “ketentraman hati”, mirip dengan <span style="font-style: italic;">“apatheia”</span> yang dicita-citakan filsafat Stoa. Malah tidak perlu dikatakan: Maria bebas dari godaan, seperti Yesus tidak bebas dari godaan (bdk. Ibr 2:18; 4:15). Pada dirinya “godaan” tidak ada kualifikasi moralnya. Hanya pada Yesus dan Maria godaan itu datang dari luar, bukan dari dalam dan mereka tidak mengalah kepada godaan. Seperti sudah dikatakan rupanya Luk 2:34-35 mau menyarankan bahwa juga Maria dihadapkan kepada pilihan antara apa yang secara objektif baik dan apa yang buruk. Dua-duanya mempunyai daya tariknya sendiri. Sebab juga pada yang buruk selalu ada segi baik yang menarik manusia.<br /><br />195. Pokoknya: Maria jangan dipikirkan sebagai “manusia firdausi”. Ia pun terlibat dalam kancah pengalaman manusia yang seba majemuk. Meskipun sejak awal eksistensinya Maria secara dasariah kudus, namun kekudusan itu mesti berkembang, sesuai dengan perkembangan kepribadian Maria dan sepanjang umur hidupnya. Setiap saat kekudusan itu mesti diwujudkan oleh Maria yang bebas, kendati resistensi dan hambatan yang dari luar diri Maria dihadapkan kepadanya. Kesetiaan Maria pada Allah dan pada dirinya tidak berjalan mulus, gampang dan lancar. Gambaran macam itu bukan gambaran yang disajikan Perjanjian Baru. Iman dan kekudusan Maria jangan menjadi tak teruji.<br /><br />----<br />Sebelumnya : {BAB II : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-teologi-marial-2.html" target="_blank">MARIA, IBU-PERAWAN</a>}<br />Selanjutnya : {BAB IV : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/03/mariologi-teologi-marial-4.html" target="_blank">IBU YANG JAYA</a>}<br /></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-56573185932249799282010-02-05T15:07:00.000+07:002010-11-11T03:39:36.682+07:00Mariologi - Teologi Marial - 2<center><span style="font-weight:bold;">BAB II</span></center><br /><center><span style="font-weight:bold;">MARIA, IBU-PERAWAN</span></center><br /><br />51. Dalam refleksinya atas iman kepada Yesus umat Kristen mengikutsertakan juga ibu Yesus. Dengan jalan itu iman umat melampaui apa yang diketahui seorang ahli ilmu sejarah. Penjernihan iman akan Yesus Kristus serentak menjernihkan peranan ibuNya.<div style="text-align: justify;"><br /><br /><center><span style="font-weight:bold;">A. IBU YESUS</span></center><br /><span style="font-weight:bold;">1. Maria, ibu Tuhan jemaah</span><br />52. Apa yang pasti dan terbuka untuk penelitian ilmu sejarah, berdasarkan Perjanjian Baru, ialah: Maria adalah ibu Yesus. Kenyataan itu mempunyai relevansi kristologiknya. Segi kristologik itu disoroti oleh Paulus (Gal 4:4), yang menandaskan: “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya (Yesus) yang jadi lahir dari wanita”. Pertama-tama Paulus mau mengatakan sesuatu tentang Yesus Kristus. Sama seperti manusia Ia jadi lahir dari wanita (bdk. Mat 11:11). Dengan demikian Yesus, Anak Allah menurut Paulus, ditempatkan dalam rangkaian manusia. Untuk menyebut ibu Yesus (tanpa nama) Paulus menggunakan kata Yunani yang umum sekali <span style="font-style:italic;">(Guné)</span>. Kata itu dapat berarti “perempuan” pada umumnya, tetapi juga “istri”. Paulus hanya mengkualifikasikan ibu Yesus sebagai “perempuan”, entahlah ia seorang istri.<br /><br />53. Hanya orang boleh menanyakan: Mengapa Paulus menyebut ibu Yesus sebagai “perempuan” dan tidak sampai menyebut ayah Yesus sebagai “laki-laki”. Rm 1:8 berkata tentang Anak Allah (Yesus) yang “menurut daging (jadi lahir) dari benih (keturunan) Daud”. Mengapa dalam Gal 4:4 Paulus tidak mengatakan misalnya: yang jadi lahir / diperanakkan dari seorang laki-laki? Mungkinkah Paulus tidak pertama-tama berpikir kepada ibu historik Yesus, melainkan kepada wanita pertama (Hawa), yang menjadi “ibu segala yang hidup” (Kej 3:20), tetapi justru dalam melahirkan anak menjadi terkutuk (Kej 3:16)? Mungkin sekali Paulus mau memasukkan Yesus ke dalam keturunan wanita yang terkutuk, supaya kutuk itu dibatalkan olehNya (bdk. Kej 3:15).<br /><br />54. Meskipun Gal 4:4 tidak memikirkan ibu Yesus, namun berkat ibu itulah Yesus termasuk ke dalam umat manusia (seadanya). Antara Yesus dan “perempuan” itu ada suatu relasi khusus dan unik. Tidak ada manusia satu pun yang menjadi ibu Yesus (menurut Paulus Anak Allah), kecuali ibu yang bernama Maria. Berkat relasi unik itu Anak Allah, Yesus, termasuk umat manusia dan menjadi senasib dengannya. Dengan demikian “perempuan” itu, yang menjadi ibu Yesus, serentak mendapat suatu kedudukan dan peranan unik dalam sejarah – ini memang perspektif Paulus – dan karya penyelamatan Allah. Sebab, menurut Gal 4:4-5 Allah mengutus AnakNya (yang lahir dari wanita) untuk menebus mereka yang takluk kepad hukum (Taurat?), supaya kita diterima menjadi anak Allah.<br /><br />55. Paulus dalam Gal 4:4 tentu saja tidak menekankan relasi Yesus dengan ibuNya. Tetapi Paulus kiranya juga tidak melihat relasi itu hanya sebagai relasi biologik dan pasif belaka. Relasi ibu dengan anak bukan perkara biologik belaka, kecuali kalau anak itu tidak diinginkan. Memang sejak abad II (Kelsus) ada orang (yang berpolemik dengan orang orang Kristen) yang berkata tentang Yesus sebagai anak hasil hubungan gelap (zinah) atau malah hasil pemerkosaan. Polemik itu berasal dari kalangan orang Yahudi dan akhirnya juga tercantum dalam Talmud dan dalam pelbagai ceritera tentang Yesus (Toledoth Yosua) yang tersebar di kalangan Yahudi zaman pertengahan. <br /><br />56. Sedikit memalukan bahwa akhir-akhir ini malah ada beberapa teolog (Katolik) yang tidak segan mengangkat kembali pikiran kuno itu dan tidak keberatan jikalau Yesus anak tidak sah, malah hasil pemerkosaan. Ada yang menemukan tuduhan bahwa Yesus (dianggap) anak haram (oleh lawan-lawanNya) dalam Perjanjian Baru juga. Mereka menunjuk ke Mrk 6:3, tempat Yesus oleh penduduk Nazaret disebut “ bin Maria” dan ke Yoh 8:41 tempat mereka menemukan tuduhan orang Yahudi bahwa Yesus anak haram. Lalu mereka berkata bahwa Mat 1:18-25 (serta Luk 1:34-35) bermaksud menangkis serangan atas Yesus itu dengan berkata bahwa Maria hamil sebelum nikah dari Roh Kudus. Rupanya Al-Quran, yang banyak berbicara tentang Maryam, mati-matian membela bahwa Yesus dikandung secara ajaib, justru untuk menolak apa yang dikatakan orang Yahudi di Arabia tentang Yesus dan ibuNya. Yakni bahwa Yesus sebenarnya hasil hubungan gelap (bdk. Surah 19:27-34; 4:156).<span class="fullpost"><br /><br />57. Gambaran yang diberikan khususnya oleh Luk 1:26-38 memperlihatkan bahwa penginjil dan jemaahnya yakin keibuan Maria bukan perkara biologis saja. Relasi biologik saja menurut Luk 11:27-28; 8:19-21 dsj. bukanlah relasi yang memutuskan atau yang amat penting. Maka Luk 1:38 justru menekankan bahwa Maria dengan sebulat hati merelakan diri menjadi ibu Yesus. Maka relasi unggul dan tunggal antara Yesus dan ibuNya mencakup segi biologik dan pun pula segi yang amat personal dan pribadi. Relasi pribadi, justru karena relasi fisik itu, mempuyai ciri tunggal yang tidak mungkin terwujud pada orang lain, kecuali pada ibu Yesus. Relasi pribadi tentu saja paling penting, tetapi tanpa dasar biologik itu mungkin bagi semua orang beriman (bdk. Mrk 3:33-35; Mat 12:48-50).<br /><br />58. Kerelaan Maria, yang ditekankan Luk 1:38, kembali tampil pada Luk 8:19-21. Luk jelas mengolah Mrk 3:31-35. Nas Mrk itu (dan juga sedikit Mat 12:46-50) memberikan kesan seolah-olah Yesus blak-blakan menolah relasi biologik (keluarga) sebagai relevan, apalagi kalau Mrk 3:31-35 mesti dihubungkan dengan Mrk 3:21. Orang berkesan bahwa, menurut Mrk, juga ibu Yesus hanya melihat kualifikasi biologik saja. Tetapi dalam versi Luk 8:19-21 ibu Yesus termasuk ke dalam kalangan mereka yang mendengarkan dan melakukan firman Allah, sesuai dengan apa yang dikatakan Luk 1:38. Pikiran itu terulang dalam Luk 11:27-28, yang menyinggung Luk 1:45.<br /><br />59. Kalau Maria merelakan diri untuk menjadi ibu Yesus, maka ia pun merelakan diri untuk mengemban kedudukan dan peranan unik, yang diberikan kepadanya dalam karya penyelamatan Allah. Adanya Yesus di dunia ini nyatanya bergantung pada ibuNya, sama seperti adanya setiap anak bergantung pada ibunya. Hanya anak Maria, menurut kepercayaan Kristen (bdk. Luk 2:11), adalah Juru Selamat, malah Juru Selamat dunia (Yoh 4:42). Maka pada garis mendatar adanya Juru Selamat bergantung pada Maria. Ini memang suatu kedudukan dan peranan tunggalm yang terikat pada keibuan biologik-personal Maria. Dan dengan demikian secara tak langsung penyelamatan sendiri (yang dikerjakan Allah melulu melalui Yesus Kristus) bergantung pada Maria. Mat 1:21 juga menegaskan bahwa Maria melahirkan Yesus yang (denganNya Allah) menyelamatkan umatNya dari dosa-dosa mereka. Nama Yesus (Yesua) memang berarti Tuhan Yhwh) menyelamatkan/menolong.<br /><br />60. Tentu saja hanya iman kepercayaan Kristen sajalah yang mengimani Yesus sebagai Juru selamat dunia, sebagai “Allah beserta kita” (Mat 1:23). Anak Maria bukan sembarangan anak. Umat Kristen, yang percaya kepada Yesus yang dibangkitkan Allah memberiNya pelbagai gelar lain, yang mengungkapkan kepercayaan itu. Gelar-gelar itu tampil juga dalam ceritera-ceritera seputar kelahiran Yesus. Yesus adalah Mesias (Mat 2:4; Luk 2:11), keturunan Daud, seperti diperlihatkan oleh silsilah Yesus yang disusun oleh tradisi ataupun penginjil (Mat 1:1-16), dan ditegaskan Luk 1:32. Karena itu pun Yesus mesti lahir di Betlehem, kota Daud (Mat 2:1; Luk 2:4-7.11). menurut iman Kristen itu Yesus adalah Anak Yang Mahatinggi, Anak Allah (Luk 1:32-35; Mat 2:15) dan Tuhan (kyrios) (Luk 1:43). Seluruh kepercayaan umat Kristen kepada Yesus terungkap dalam ceritera-ceritera sekitar kelahiranNya. Iman, yang jauh kemudian hari barulah berkembang, dipindahkan kepada Yesus pada saat lahir. Maka pemakaian gelar-gelar itu bukanlah secara proleptik, tetapi pada saat itu Yesus sudah demikian, meskipun jauh di kemudian hari baru diketahui.<br /><br />61. Maka sedikit percuma orang dapat bertanya seberapa jauhnya Maria sudah mengetahui semuanya itu pada saat ia mengandung Yesus. Seandainya ceritera sekirat kelahiran Yesus berupa laporan, maka tidak ada soal. Semuanya sudah dinyatakan kepada Maria (dan Yusuf menurut Mat 1) oleh Tuhan (malaikat) sendiri (Mat1:18-23; Luk 1:28-38). Tetapi nyatanya ceritera itu bukanlah sebuah laporan. Maka sebenarnya orang tidak dapat tahu apa-apa mengenai apa yang disadari Maria dan apa yang tidak disadarinya. Tanpa dasar orang dapat berkata: Maria tidak tahu apa-apa dan juga: Maria tahu segala-galanya. Sebagai wanita Yahudi Maria tentu saja percaya kepada Allah dan ia menjadi peserta dalam harapan bangsanya. Lebih dari itu tidak kita ketahui.<br /><br />62. Menurut gambaran yang disajikan Luk 1 Maria memang sepenuh-penuhnya percaya. Justru kapercayaan itulah ia dipuji bahagia (Luk 1:45).di lain pihak penginjil tidak berkeberatan mementaskan Maria sebagai seorang yang tidak mengerti (Luk 2:18.33.48-50) dan hanya dapat menyimpan segala peristiwa dalam hati dan merenungkannya (Luk 2:19.51). Pastilah maksud penginjil bahwa di kemudian hari barulah semuanya menjadi jelas bagi Maria. Seolah-olah penginjil sadar bahwa iman Kristen seperti itu terungkap dalam ceritera-ceriteranya belum ada waktu Yesus lahir. Luk 1:26-38 (dan 2:19.51) memang mengingatkan sastera apokaliptik (seperti kitab Daniel). Di sana cukup biasa si “penglihat” mendapat wahyu dari (malaikat) Allah, tetapi tidak mengertinya, lalu menyimpannya dalam hati sampai nanti terlaksana. (bdk. Dan 12:8-9.6-7).<br /><br />63. Bahkan Luk (2:34-35) tidak berkeberatan mengatakan bahwa bagi Maria anaknya sendiri menjadi sandungan dan tanda yang menimbulkan perbantahan,sehingga suatu pedang akan menembusi jiwa Maria. Tafsiran ayat-ayat itu bermacam-macam. Pedang yang menembusi jiwa Maria kerap kali diartikan begitu rupa, sehingga yang dimaksudkan ialah kesengsaraan Maria (bersama dengan Yesus). Dalam tradisi Kristen sejak zaman pertengahan Maria suka digambarkan sebagai <span style="font-style:italic;">“Mater Dolorosa”</span> (Ibu berduka cita), yang jantungnya tertusuk tujuh pedang. Hanyalah ketepatan tafsiran itu boleh diragukan juga. Yesus menjadi batu ujian bagi umat Israel dan begitu menjatuhkan (karena ketidak percayaan) atau mambangkitkan (karena percaya) banyak orang di Israel. Penginjil rupanya tidak mau mengecualikan Maria. Juga iman Maria diuji selama kehidupan Yesus di bumi, meskipun penginjil (bdk. Luk 11:28; Kis 1:14) yakin bahwa ibu Yesus tidak termasuk mereka yang dijatuhkan.<br /><br />64. Tradisi Kristen kuno (Misalnya Origenes) tidak segan menafsirkan “pedang yang menembusi jiwa Maria” sebagai pedang keraguan iman Maria. Tetapi penginjil dengan berkata tentang “pedang” kiranya berpikir kepada “pedang penghakiman”, seperti disebutkan Yeh 14:17. Pedang penghakiman itu memisahkan antara yang baik dan yang buruk. Begitulah, oleh eksistensi anaknya selanjutnya Maria akan “dihakimi”. Maria pun mesti memilih antara Yesus dan sesuatu yang lain, misalnya familinya; ia mesti memilih antara percaya atau tidak percaya. Sama seperti menurut Injil (Mat 4:1-11 dsj.) Yesus dicobai, diuji kesetiaanNya dan menghadapi pilihan, demikian pun menurut Luk 2:34-35, iman ibuNya diuji dan kesetiaannya dicobai. Hanya sama seperti Yesus tahan uji, demikian pun ibuNya. Begitulah gambaran Luk 8:21.<br /><br />65. Kalau Maria secara biologik dan secara personal ibu Yesus, maka menurut kepercayaan Kristen, ia manjadi ibu Mesias (Mat 1-16.22-23) yang menggenapi harapan Perjanjian Lama, ibu Anak Allah yang Mahatinggi (Luk 1:32.35), ibu Tuhan jemaah (Luk 1:43) ibu Juru selamat (bdk. Mat 1:21.23; Luk 2:11) dan ibu cahaya sekaian bangsa (Luk 2:32).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">2. Maria, Bunda Allah</span><br />66. Kristologi yang tercantum dalam Perjanjian Baru dalam tradisi selanjutnya serta dalam lingkup alam pikiran lain (Yunani) diperkembangkan. Data kristologik yang termaktub dalam Perjanjian Baru dipadatkan dalam penegasan bahwa Yesus Kristus, Anak Allah, adalah Firman Allah yang kekal, Allah –Anak yang sehakikat dengan Bapa (konsili Nikea, tahun 325). Allah-Anak, yang memang sungguh-sungguh Allah oleh karena sehakikat dengan Bapa, menjadi daging, manusia begitu rupa, sehingga Ia Allah dan manusia serentak, namun tetap satu (konsili Efesus, tahun 431; Kalkedon, tahun 451).<br /><br />67. Perkembangan dalam Kristologi ia membawa akibat bagi Mariologi juga. Kalau Yesus benar-benar Allah, maka ibu Yesus menjadi ibu Allah juga. Maka sejak abad IV (Doa “Sub tuum praesiduim) Maria mulai disebut <span style="font-style:italic;">“Theo-tokos”, “Dei-genitrix”</span>, artinya: yang melahirkan Allah. “Dei-genitrix” dalam bahasa Latin menjadi <span style="font-style:italic;">“Dei-para”</span> dan <span style="font-style:italic;">“Mater Dei”</span>, “Bunda Allah”. Dan gelar itulah yang menjadi lazim terpakai. Tetapi gelar “bunda Allah” dapat menyesatkan, seolah-olah Allah mempunyai ibu, sehingga Maria menjadi mirip dengan dewi, bunda dewa/dewi dalam mitologi kafir. Istilah <span style="font-style:italic;">“Theo-tokos”, “Dei-genitrix”</span> (yang melahirkan Allah) lebih tepat. Istilah itu hanya menyatakan bahwa Maria melahirkan seorang anak, yang – menurut dogma konsili Nikea – memang Allah, oleh karena sehakikat dengan Bapa. Istilah itu tidak mengatakan bahwa Allah (keilahian) mempunyai ibu, tetapi manusia yang adalah Allah tentu saja mempunyai ibu, sebagai layak bagi manusia sejati.<br /><br />68. Istilah dan gelar <span style="font-style:italic;">“Theo-tokos”, “Dei-genitrix”</span> dan dengan arti itu “Bunda Allah” diresmikan dan didogmatisasikan oleh konsili Efesus (tahun 431). Alasannya ialah pikiran Nestorius, Batrik Konstantinopolis, serta pengikut-pengikutnya. Mereka menolak gelar, yang sudah populer itu, oleh karena berbau mitologi kafir. Mereka mempertahankan bahwa pada Yesus ada dua subjek dan dengan arti itu dua “orang”, yaitu Firman Allah / Allah-Anak, dan manusia Yesus Kristus. Maria adalah ibu manusia itu. Karena itu ia boleh disebut <span style="font-style:italic;">“Anthropo-tokos”</span> (yang melahirkan manusia) atau “Khisto-tokos” (yang melahirkan Kristus). Maka demi mempertahankan kesatuan subjek pada Yesus Kristus konsili Efesus menetapkan bahwa Maria boleh dan mesti disebut <span style="font-style:italic;">“Theo-tokos”, “Dei-genitrix”</span>, “Bunda Allah”.<br /><br />69. Tetapi konsili menjelaskan: Maria disebut demikian bukanlah oleh karena kodrat Firman dan keilahianNya mendapat asal usulnya dari Perawan Suci, tetapi oleh karena tubuh suci yang dilengkapi dengan akal diambil darinya dan dengan tubuh itu Firman Allah dipersatukan menurut kemandirian, maka Firman itu dikatakan lahir menurut daging (DS 251). Sejak konsili Efesus gelar <span style="font-style:italic;">“Theo-tokos”, “Dei-genitrix”</span>, “Bunda Allah” menjadi tradisional dan terus dipakai. Tetapi jelas pula bahwa felar itu hanya dapat dipahami dan dibenarkan dalam rangka dogma kristologik. Di luar kerangka itu gelar itu kehilangan artinya dan menjadi hujat belaka. <br /><br />70. Baiklah umat Kristen, khususnya di tengah kaum Muslimin, hati-hati. Oleh karena tradisi umat Islam melepaskan gelar itu dari rangka aslinya, maka gelar “Bunda Allah” di telinga saudara-saudara Muslimin menjadi hujat. Maka berkesan seolah-olah umat Kristen berpendapat bahwa Allah Yang Mahaesa mempunyai ibu dan bahwa Maria dijadikan mirip dengan dewi kafir, yang mati-matian ditolak oleh Al-Quran. Ataupun mereka berkesan bahwa Maria menjadi sebagian dari Trinitas Kristen. Tidak mustahil bahwa di zaman Muhammad (abad VII) di Arabia dan Siria ada orang Kristen yang dalam devosi meluap-luap mengilahikan Bunda Almasih yang bersama dengan Bapa melahirkan “Anak-Allah”. Kalau demikian maka Maria dan Allah dipikirkan sebagai sepasang dewa-dewi yang melahirkan anak (dewa). Maka ada tiga: Allah Bapa, Maria, Allah-Anak. Pikiran itu memang kekafiran belaka. Tentu saja kalau gelar “Bunda Allah” dimengerti dengan cara demikian ia menjadi “hujat”, tetapi tidak lagi mengucapkan apa yang diimani umat Kristen.<br /><br /><center><span style="font-weight:bold;">B. IBU-PERAWAN</span></center><br /><br /><span style="font-weight:bold;">1. Yesus dikandung dari Roh Kudus oleh perawan</span><br />71. Sejak Perjanjian Baru pada umat Kristen ada keyakinan bahwa Yesus tampil di muka bumi ini dengan cara lain daripada yang biasa bagi manusia. Seperti manusia lain Ia dilahirkan oleh ibuNya, Maria, tetapi tidak diperanakkan oleh seorang ayah, seperti manusia lain. Seperti dirumuskan dalam Mat 1:18: Ibu Yesus mengandung Dia dari Roh Kudus, Roh, daya cipta Allah sendiri. Roh Kudus itu bukan dari ayah Yesus (bdk. DS 533), tetapi Allah dengan RohNya, ialah daya penciptaan (bdk. Kej 1:1 dst.), menciptakan Yesus dari ibuNya dan langsung melepaskan proses alam pembentukan anak, yang biasanya dilepaskan oleh ayah anak itu.<br /><br />72. Kalau ibu Yesus berulang kali disebutkan sebagai “perawan” (Yunaninya: <span style="font-style:italic;">Parthenos</span>) waktu mengandung Yesus (Mat 1:23; Luk 1:27), maka kata itu sendiri tidak terlalu banyak artinya. Sebab arti kata Yunani itu cukup luas. Kata itu dapat berarti putri/pemudi yang belum kawin (bdk. Luk 2:36; Mat 25:1; 1Kor 7:25.28) tanpa implikasi lebih lanjut. Mana persis arti kata itu hanya dapat ditentukan oleh konteks pemakaiannya.<br /><br />73. Baiklah diingat bahwa tradisi mengenai diperkandungnya Yesus oleh perawan Maria pertama-tama mengenai Yesus Kristus, bukan Maria. <span style="font-style:italic;">“Conceptio virginalis”</span> (dikandungnya Yesus oleh perawan) pertama-tama termasuk Kristologi, bukan Mariologi. Tetapi secara tak langsung ajaran itu juga mengatakan sesuatu tentang Maria. Sebagai perawan ia menjadi ibu, sehingga ia ibu-perawan. Ia perawan dalam keibuannya dan tidak terlepas darinya. Sebagai perawan Maria mengandung Yesus. <br /><br />74. Tradisi tentang keperawanan Maria dalam mengandung Yesus <span style="font-style:italic;">(virginitas ante partum)</span> amat kuat sekali. Dengan jelas sekali terungkap dalam Mat 1:18. “Ketika ibu Yesus bertunangan dengan Yusuf ia kedapatan mengandung (mempunyai dalam kandungan) dari Roh Kudus, sebelum mereka berkumpul (secara resmi nikah).” Dan (Mat 1:25) Yusuf “tidak mengenal dia (istilah Ibrani yang berarti: bersetubuh), hingga ia melahirkan anak”. Hal yang sama sudah disinggung dalam Mat 1:16. Menurut teks yang pasti asli (dalam naskah-naskah Yunani memang ada kekacauan) ayat itu berbunyi: “Yakub memperanakkan Yusuf, suami Maria, yang dari padanya (ialah Maria) dilahirkan Yesus, yang disebut Kristus”. Pada akhir silsilah (Mat 1:1-17) ungkapan yang lazim: Si A memperanakkan Si B, tiba-tiba berubah. Tidak lagi dikatakan: Yusuf, suami Maria, memperanakkan Yesus, yang disebut Kristus, tetapi: Yakub memperanakkan Yusuf, suami Maria yang (Maria) dari padanya dilahirkan Yesus... Keanehan dalam silsilah itu justru dijelaskan Mat 1:18-25. Yesus tidak dikandung secara biasa, tetapi “dari Roh Kudus”.<br /><br />75. Meskipun tak setegas Mat 1:18.25, namun juga Luk mengungkapkan pikiran yang sama. Silsilah Yesus yang disajikan Luk 3:23-38, yang berbeda sekali dengan yang termuat dalam Mat 1:1-17, bermula dengan Yesus, yang “dianggap anak Yusuf”. Tidak ada alasan yang meyakinkan untuk menilai ungkapan “yang dianggap” sebagai suatu sisipan yang tidak asli. Sebab Luk 1:34-35 mengungkapkan gagasan itu pula. Atas pertanyaan Maria: “Bagaimana itu (ialah menjadi ibu) akan terjadi oleh karena aku tidak mengenal (=bersetubuh dengan) laki-laki (=suami)”, malaikat menjawab: “Roh Kudus akan turun atasmu dan (=ialah) kuasa Yang Mahatinggi akan menaungi engkau”. Meskipun keaslian ayat 34-35 oleh sementara ahli tanpa dasar pernah diragukan dan meskipun maksud ayat-ayat itu dipersoalkan, namun sebaik-baiknya teks diterima seadanya. Maksudnya ialah: Malaikat (ialah penginjil, tradisi Kristen) mau menekankan bahwa Maria mengandung Yesus berkat daya kekuatan Allah. Maka Luk 1:34-35 sama artinya dengan apa yang terungkap dalam Mat 1:18-25.<br />Maka pertanyaan Maria: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku tidak mengenal laki-laki” (Luk1:34) mesti dipahami sebagai berikut: Bagaimana hal itu mungkin terjadi sekarang karena aku tidak (belum) mengenal laki-laki, belum nikah. Sebab kalau menjadi ibu nanti barulah terjadi, tidak ada soal. Maria bertunangan menurut kisah Luk (1:27; 2:5), tetapi pernikahan belum dilaksanakan. Maka wajar sekali kalau nanti Maria mendapat anak dari suaminya, meskipun anak itu Anak dari Yang Mahatinggi. Gelar Mesias itu sama sekali tidak mengimplikasikan (dalam tradisi Yahudi) bahwa dikandung secara ajaib.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">2. Ibu-perawan</span><br />76. Tradisi Kristen selanjutnya, sampai abad XIX, selalu mengerti kesaksian Mat dan Luk tersebut secara demikian pula. Hanya tekanan sedikit bergeser, sehingga segi Mariologi menjadi menyolok dan segi Kristologi sedikit kurang diperhatikan. Ignasius, uskup Antiokhia di Siria (± tahun 110) yang melawan semacam doketisme yang menyangkal kemanusiaan Yesus, dalam suratnya kepada jemaah di Smirna (1:2) dan jemaah di Efesus (18:2) jelas menilai dikandungnya Yesus oleh perawan sebagai pokok iman Kristen. Demikian pun Aristides (± tahun 140), Justinus (± tahun 163, Apol I:31.46; Dial. 63:1; 85:2), Irenius (± tahun 202, Adv. Haer. 1:10.1; Adv. Prax 2:1) dan Tertullianus (± tahun 222, De Praescr.Haer.13:3) menganggap “conceptio virginalis” sebagai “regula fidei” (kaidah iman) yang umum diterima. Pada akhir abad II memang ada sekelompok orang Kristen keturunan Yahudi (disebut <span style="font-style:italic;">“Ebyonim”</span>) yang berpendapat bahwa Yesus dikandung secara wajar sama seperti manusia lain dikandung. Justru terhadap pendapat itulah Ireneus dan Justinus mempertahankan <span style="font-style:italic;">“conceptio virginalis”</span> dan itu pun secara biologik <span style="font-style:italic;">“sine semine virili”</span> (tanpa mani laki-laki). Sejak abad III keyakinan itu masuk ke dalam syahadat, yang selalu berkata: Yesus Kristus, Anak Allah, yang karena Roh Kudus lahir dari perawan Maria (bdk. DS 10.11.12.13 dll.). Kadang-kadang dalam syahadat setempat ditambah: ... lahir dari perawan tanpa benih (mani) laki-laki” (bdk. DS 62.63) dengan maksud menekankan dimensi biologik-fisik keperawanan itu. Penegasan itu beberapa kali diulang lagi (bdk. DS 189.368.503.533.1880). Juga masih diafirmasikan oleh konsili Vatikan II (LG N.63), meskipun konsili (tahun 1964) tahu tentang keraguan yang sejak abad XIX muncul.<br /><br />77. Keraguan mengenai keperawanan Maria dari segi fisik-biologiknya pada abad XIX mulai tampil di kalangan teolog (liberal) Reformasi. Para Reformator (Luther, Kalvin, Zwingli dsb.) tidak sampai meragukannya dan meneruskan saja tradisi kuno. Begitu pula ajaran itu masuk ke dalam “pengakuan-pengakuan iman” yang disusun di zaman Reformasi (abad XVI). Dan tetap cukup banyak teolog (a.l K.Barth) yang mempertahankan dan membela ajaran tradisional itu.<br />Keraguan tentang dan penolakan keperawanan (fisik) Maria, yang sejak abad XIX semakin meluas, sampai juga memperngaruhi sejumlah teolog Katolik (seperti H Küng; Katekismus Belanda tahun 1968 mendiamkannya saja tanpa protes dari pihak para uskup, tetapi tentu dari pihak Roma), mesti ditempatkan pada latar belakang rasionalisme abad XIX (ketakutan terhadap “mukjizat”) dan penilaian kembali terhadap seksualitas dan perkawinan selama abad XX.<br /><br />78. Tetapi keraguan tersebut juga mendasarkan diri pada Kitab Suci. Dikatakan – memang tepat juga – bahwa Perjanjian Baru (kecuali Mat1 dan Luk 1) tidak tahu menahu tentang suatu kelainan dalam dikandungnya Yesus. Paulus (Gal 4:4) rupanya mengandaikan saja bahwa Yesus “lahir dari wanita” sama seperti semua orang dan karenanya menjadi senasib denan manusia lain (kena kutuk). Rm 1:3 rupanya menganggap Yesus keturunan Daud seperti lain keturunan Daud. Berulang kali Perjanjian Baru berkata tentang Yesus sebagai “bin Yusuf” (Yoh 1:45; 6:42; Luk 4:22) atau tentang “ayah” (orang tua) Yesus (Luk 2:27.33.41.43.48; Mat 13:55) dan itu tidak pernah, kecuali dalam Luk 3:23, secara tegas dibantah. <br />Sebagai argumen teologik kadang-kadang mau dipertahankan bahwa ajaran tradisional ini merongrong kemanusiaan Yesus dan dogma inkarnasi. Kalau Yesus dikandung di luar aturan alam dan umum, Ia nampaknya tidak menjadi manusia seperti yang lain dan seluruhnya senasib dengan mereka (bdk. Ibr 2:17; 4:15).<br /><br />79. Ada juga sementara ahli Kitab yang mengira dapat menemukan keperawanan maria dalam ayat-ayat tertentu. Mereka menunjuk kepada Mrk 6:3. Yesus di sana disebut sebagai “anak Maria” saja. Dalam Mat 11:11 Yesus diperlawankan dengan Yohanes Pembaptis yang “lahir dari wanita” seperti orang lain. Yesus lain halnya. Beberapa naskah Yoh 1:13 tidak berkata tentang “mereka yang diperanakkan bukan dari darah atau daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah”, tetapi tentang “dia yang diperanakkan...”. Tetapi ayat-ayat ini tidak membuktikan apa-apa. Menurut Mrk 6:3 penduduk Nazaretmenyebut Yesus “anak Maria”. Cara bicara macam itu tentu saja kurang biasa. Biasanya seseorang disebut “anak ayahnya”, bukan “anak ibunya”. Tetapi cara bicara Mrk 6:3 tidak mustahil juga. Boleh jadi bahwa menurut pikiran tradisi yang ada pada Mrk 6:3 Maria dianggap sedang menjanda, Yusuf sudah meninggal. Ada juga yang berpendapat bahwa cara bicara itu mau menghina Yesus sebagai anak haram. Mat 11:11 juga sukar dipakai. Tafsiran yang menemukan keperawanan dalam ayat ini berjalan sebagai berikut. Yohanes Pembaptis disebutkan sebagai yang terbesar di antara mereka yang lahir dari wanita, yaitu secara normal. Dengan Yohanes itu diperlawankan “yang terkecil dalam Kerajaan Surga”. Yang toh lebih besar daripada Yohanes. Adapun “yang terkecil dalam Kerajaan Surga” ialah Yesus, yang lebih besar daripada Yohanes. Tetapi Yesus tidak “lahir dari wanita” secara normal. Ibu Yesus dalam melahirkan anaknya berperan sebagai perempuan dan laki-laki serentak. Tafsiran ini mau dikuatkan dengan terjemaha (salah satu naskah) Siria pada Mat 1:18b. Terjemahan itu berbunyi: ia (Maria) mengandung sebagai laki-laki. Jadi Yesus dikandung dengan tidak ada seorang laki-laki yang berperan. Tetapi tafsir macam itu boleh dianggap terlalu dibuat-buat dan ketepatannya tidak dapat dibuktikan. Salah satu naslah terjemahan Siria tentu saja tidak mencukupi utnuk membuktikan maksud penginjil. Paling-paling penyalin naskah itu yang mengungkapkan pandangannya. Mengenai Yoh 1:13 harus dikatakan: Sukar dibuktikan bahwa teks asli sungguh-sungguh berbunyi: “ia diperanakkan ...” Lebih mudah dimengerti bahwa yang asli: “mereka diperanakkan ... “ diubah menjadi: “ia diperanakkan...”, setelah umat Kristen umum sudah yakin tentang keperawanan Maria, lalu ingin menemukannya dalam Injil keempat juga. Dengan perubahan kecil dalam Yoh 1:13 maksud itu tercapai. Tetapi sukar orang menerima bahwa sebuah teks yang jelas mengungkapkan keperawanan itu kemudian dihilangkan.<br /><br />80. Kalau demikian duduk perkaranya muncullah pertanyaan: Bagaimana Mat 1:18.25 dan Luk 1:34-35 mesti dipahami? Kedua nas itu jelas mengungkapkan bahwa Yesus dikandung oleh seorang perawan tanpa ayah. Soal itu oleh sementara teolog dijawab dengan berkata bahwa “keperawanan itu” suatu simbol sastera belaka. Boleh jadi penginjil mengertinya secara fisik-biologik, tetapi tidak perlujuga itu maksud semula dalam tradisi yang dipakai Mat dan Luk.<br /><br />81. Jelaslah Mat dan Luk mengangkat suatu tradisi yang mendahului mereka. Sebab kedua penginjil amat berbeda dalam ceriteranya, tetapi justru dalam hal keperawanan mereka sepakat. Lalu dikatakan bahwa dalam tradisi semula keperawanan itu dimaksudkan sebagai suatu simbol. Simbol itu mungkin terpengaruh oleh lingkungan, tempat tradisi itu muncul. Jemaah Kristen yang menjadi asal tradisi itu dan tradisi selanjutnya percaya bahwa Yesus sebagai Juru selamat dari Allah memang bukan hasil usaha dan karya manusia. Juru selamat itu merupakan anugerah Allah belaka. Dan itu terungkap dengan berkata bahwa Yesus sebagai Juru selamat, anak Allah, dikandung berkat pengaruh Roh Kudus, ialah daya cipta Allah sendiri tanpa adanya seorang laki-laki.<br />ditunjuk kemiripan antara caranya Yesus dikandung dan caranya tokoh-tokoh besar dalam Perjanjian Lama: Ishak (Kej 18:1 dst.), Samuel (1Sam 1:1 dst.), Simson (Hak 13:2 dst.) dan juga Yohanes Pembaptis (Luk 1:7.18.25) dikandung. Mereka juga hasil karya Allah, sebab selalu dikatakan bahwa ibu mereka mandul (dan terlalu tua). Lalu (malaikat) Allah dipentaskan yang berjanji bahwa kendati halnya secara manusiawi mustahil, ibu itu akan melahirkan anak. Motif itu jelaslah hanya suatu sarana kesusasteraan saja. Maksudnya: menggarisbawahi bahwa tokoh-tokoh besar itu suatu anugerah Allah bagi umatNya.<br /><br />82. Kadang-kadang juga ditunjuk kemiripan antara ceritera Injil-injil, tegasnya motif yang dipakai ceritera itu, dengan mitologi kafir. Menurut mitologi itu tokoh-tokoh besar dilahirkan oleh ibu mereka setelah dibuahi oleh seorang dewa, ada kalanya dengan cara yang aneh juga. Tetapi umumnya kemiripan itu ditolak, sebab terlalu besar perbedaan antara ceritera Injil dalam mitologi kafir. Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi tentang kelahiran ajaib cukup menjelaskan ceritera Mat dan Luk.<br /><br />83. Bagaimana menilai pendekatan “baru” (yang sebenarnya tidak terlalu baru, sebab pada abad II sudah dikenal Justinus)? Mesti disetujui bahwa “keperawanan” (caranya Yesus dikandung) mempunyai arti simbolik. Pertama-tama mau dikatakan sesuatu tentang Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen. Yesus, Juru selamat tentu saja bukan hasil kerja dan usaha manusia, melainkan karunia Allah semata-mata. Dengan Yesus masuklah ke dalam dunia dan ke dalam sejarah umat manusia suatu unsur yang bukan hasil dunia atau sejarah. Dengan bagusnya pikiran itu terungkap dalam caranya Mat 1:1-17 menyajikan silsilah Yesus. Rangkaian orang, keturunan Abraham dan Daud, terputus dengan tampilnya Yesus. Di satu pihak Yesus termasuk rangkaian itu –berkat Maria, ibuNya -, di lain pihak Iah toh bukan hasil rangkaian itu oleh karena tidak diperanakkan Yusuf bin Yakub. Dan dengan indahnya hal itu terungkap dalam caranya Yesus secara luar biasa (dari Roh Kudus) dikandung.<br /><br />84. Juga dapat diterima bahwa diri Yesus, kedudukan dan perantaraanNya, tidak kurang seandainya Ia dikandung secara wajar, alamiah. Keperawanan Maria bukan prasyarat atau dasar, supaya Yesus Anak Allah dan Juru selamat. Seluruh Perjanjian Baru mengakuiNya demikian, padahal tidak tahu keperawanan ibuNya. Keperawanan itu pun tidak perlu, agar Yesus tidak “tercemar”, seolah-olah seksualitas dan perkawinan sesuatu yang “tidak suci” dan menyalurkan “dosa” (asal), padahal Yesus tidak boleh terkena “dosa” (asal). Tendensi gnostik-asketik macam itu pasti tidak melatarbelakangi “keperawanan Maria” dalam Injil. Kalau dalam tradisi selanjutnya ada orang yang berkata bahwa Yesus, yang tanpa dosa (asal) tidak dapat dikandung melalui seksualitas biasa, supaya jangan “tercemar”, maka orang itu jelas tidak memahami Kitab Suci dan alam pikirannya.<br /><br />85. Tetapi dapatkah dikandungnya Yesus oleh seorang perawan sebagai perawan direduksi menjadi simbol semata-mata tanpa realitas fisik-biologik? Tradisi Kristen sampai abad XIX selalu mempertahankan dimensi itu. Tradisi itu begitu kuat dan mantap, sehingga ajaran itu, menurut prinsip teologi Katolik, mesti dinilai sebagai termasuk ke dalam ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan ditinggalkan, kalaupun secara formal tidak “didefinisikan” sebagai “dogma”. “Dogma” dengan arti sempit sebenarnya suatu gejala yang relatif baru (sejak abad XVI). Teologi di kalangan Reformasi tentu saja tidak merasa diri begitu terikat pada tradisi dan kewibawaannya.<br /><br />86. Tetapi teolog-teolog, termasuk teolog Reformasi, mesti bertanya: Mengapa tradisi Kristen sampai abad XIX mempertahankan ajaran itu, meskipun sadar bahwa segi fisik-biologik bukan dimensi terdalam ajaran itu? Baiklah dipikirkan bahwa sebelum zaman rasionalisme (abad XVIII) “simbol” tidak pernah menjadi simbol hampa dan kosong. Simbol tidak pernah mempunyai realitas rasional saja. Apa yang menjadi simbol selalu suatu realitas fisik nyata, yang menyimbolkan suatu realitas transenden. Kalau keperawanan dikatakan suatu simbol ciri transenden Yesus dan realitas fisik simbol itu dihilangkan, maka ciri transenden itu pun kehilangan realitasnya dan menjadi mitologi belaka. Seluruh iman Kristen dihampakan menjadi mitologi.<br /><br />87. Maka, kalau Mat 1:18.25; Luk 1:34-35 dimensi fisik biologik turut dipikirkan (hal mana tidak terpungkiri), kurang masuk akal bahwa dalam tradisi sebelumnya dimensi itu hanya simbol rasional saja. Alam pikiran Yahudi tidak mengizinkan simbol rasional semata-mata. Keperawanan fisik-biologik itu menjadi simbol real, tanda kosmik pada realitas Yesus Kristus sebagai karunia Allah. Pada Yesus orang tidak dapat membedakan antara realitas fisik kemanusiaanNya dan ciri fungsionalNya sebagai Juru selamat dari Allah dan Anak Allah. Ia adalah Juru selamat dan Anak Allah, karunia Allah semata-mata bukan hasil usaha manusia, justru dalam kemanusiaanNya. Dan justru keperawanan fisik-biologik itulah yang menjadi dimensi kosmik ciri hakiki Yesus Kristus. Menyangkal dimensi simbolik-kosmik itu mengimplikasi menyangkal ciri fungsional hakiki Yesus seperti Ia diimani umat Kristen. Lepas dari kenyataannya dimensi itu tidak boleh dikatakan mutlak perlu, tetapi pada kenyataan yang ada – menurut kesaksian Alkitab – dimensi itu tidak dapat disangkal.<br /><br />88. Kemiripan antara cara Yesus – menurut Mat dan Luk – dikandung dan caranya tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama dilahirkan, tetapi tidak dapat dipakai dan kurang mendasar. Pertama kalinya dapat ditanyakan: Bagaimana penginjil (c.q. tradisi sebelumnya) mengerti ceritera-ceritera Perjanjian Lama itu? Sebagai “simbol literer” belaka – seperti dipahami eksegese modern – atau sebagai realitas historik? Seandainya ceritera tentang diperkandungnya Yesus turut diinspirasikan oleh ceritera-ceritera Perjanjian Lama – hal mana kiranya mesti diterima -, maka mereka mengerti juga keperawanan Maria secara fisik-biologik, seperti kemandulan Sara, Ribka, Hana, dan Elizabet dipahami secara realistik. Kecuali itu, kalaupun ceritera tentang dikandungnya Yesus terinspirasi oleh ceritera-ceritera kuno itu, namun justru keperawanan itu tidak datang dari situ. Antara kemandulan wanita tua yang “disembuhkan” oleh Allah, sehingga wanita itu secara wajar dan alamiah dapat mengandung dan melahirkan anak , dan dikandungnya seorang anak oleh perawan berkat Roh Kudus ada perbedaan besar. Gagasan kedua tidak dapat berasal atau dijabarkan dari yang pertama. Maka penginjil (tradisi sebelumnya) mengangkat gagasan itu dari sumber lain. Pikiran itu tidak pernah muncul dalam tradisi Yahudi. Juga Yes 7:14 (bdk. Mat 1:23) sejauh diketahui tidak pernah diartikan dengan cara demikian, kalaupun terjemahan Yunani (LXX) menterjemahkan kata Ibrani (‘alma) dengan <span style="font-style:italic;">“parthenos”</span>. Mencari gagasan itu dalam tafsiran alegorik yang diberikan Filo dari Aleksandria atas Yes 7:14 nampaknya terlalu jauh dari tradisi Kristen dan pandangan realistik penginjil. Maka gagasan :keperawanan” itu sungguh-sungguh orisinal dalam tradisi Kristen-Injili. Tradisi yang hanya dikenal melalui Mat dan Luk itu tidak memberi dasar bagi simbolik rasional-literer belaka.<br /><br />89. Janganlah – secara teologi saja – dikatakan: Jika Yesus dikandung secara luar biasa, maka Ia tidak lagi sepenuhnya manusia, seperti dipertahankan tradisi dan dogma kristologik. Seolah-olah keperawanan fisik-biologik berlawanan dengan inkarnasi. Meskipun Yesus Kristus sepenuh-penuhnya manusia, namun – menurut tradisi dan dogma yang sama – Ia bukan hanya manusia. Adakah teologi berhak mendiktekan kepada Allah bagaimana Ia dapat dan harus menjadi manusia? Jika Yesus sejak awal – menurut tradisi dan dogma yang sama – ilahi, bukankah sesuai dan wajar kalau sejak awal ciri itu pun mendapat dimensi kosmik, fisik dan biologik? Tentu saja pada dirinya dimensi itu amat ambivalen, justru oleh karena hanya tanda, sama seperti “mukjizat” Yesus – dimensi kosmik-fisik Kerajaan Allah yang terwujud pada Yesus – pada diriNya sangat ambivalen. Sebagai tanda keperawanan fisik Maria hanya dapat dipahami dalam rangka iman akan Yesus Kristus.<br /><br />90. Boleh disetujui bahwa keperawanan Maria tidak diketahui karangan-karangan Perjanjian Baru kecuali Mat 1:18.25 dan Luk 1:34-35. Ayat-ayat yang kadang-kadang dipakai sebagai “bukti” bahwa keperawanan itu diketahui, sungguh-sungguh kurang meyakinkan, seperti diuraikan di muka. Di lain pihak juga tidak ada ayat yang secara tegas menyangkal apa yang diafirmasikan Mat 1:18.25; Luk 1:34-35. Gal 4:4 dan Rm 1:3 ada maksud khususnya dan tidak mempersoalkan cara Yesus termasuk ke dalam keturunan wanita dan Daud. Penginjil yang menyusun Luk 1-2 tidak melihat kontradiksi antara Luk 1:34-35 dan Luk 2:27.33.41.48. Sudah dikatakan juga bahwa kerigma apostolik tidak selengkap-lengkapnya termuat dalam tiap-tiap karangan Perjanjian Baru, tetapi hanya dalam keseluruhan.<br /><br />91. Meskipun keperawanan Maria sebagai gejala fisik-biologik pada dirinya terbuka pengamatan dan penyelidikan historik, namun nyatanya secara historik tidak tercapai. Apa yang melalui metode ilmu sejarah tercapai ialah: Kelahiran Yesus ada kelainannya. Sudah dikatakan bahwa Mat 1:16.18-25 barangkali berpolemik dengan orang yang menilai Yesus sebagai anak haram, oleh karena lahir terlalu cepat setelah ibunya nikah. Maka Mat menjelaskan bagi jemaah Kristen bagaimana duduknya perkara. Sudah dikatakan bahwa apa yang tercantum dalam Mat 1-2 dan Luk 1-2 sukar dikembalikan kepada saksi-saksi mata (dalam hal keperawanan: Maria dan Yusuf). Apa yang termaktub dalam bagian Injil itu ialah ungkapan iman jemaah Kristen yang sudah agak maju. Juga cara Yesus dikandungkan itu dijabarkan dari iman kepada Yesus Kristus. Maka realitasnya bukanlah realitas historik dengan arti kata biasa (berdasarkan kesaksian saksi mata yang pantas dipercayai). Tetapi atas dasar itu realitasnya, juga fisik-biologik, tidak dapat disangkal begitu saja. Tidak hanya pengamatan /observasi menjadi jalan untuk mengetahui realitas, apa pula seluruh realitas. Sejauh mana jabaran itu mengenai realitas objektif, bergantung pada iman Kristen, yaitu seberapa jauhnya iman itu mengenai realitas objektif dan sejauh mana realitas Kristus mengimplikasikan realitas keperawanan fisik-biologik ibuNya.<br /><br />92. Sudah secara umum dijelaskan dahulu bahwa jenis sastera yang dipakai Mat 1-2 dan Luk 1-2 mirip dengan “legenda” dan bercirikan apokaliptik. Itu pun berlaku untuk apa yang dikatakan tentang caranya Yesus dikandung. Dengan “legenda” macam itu jemaah Kristen c.q. penginjil mengungkapkan bagaimana tampilnya Yesus, sasaran iman kepercayaan, dipahami dan diartikan. Jadi suatu realitas historik (tampilnya Yesus) diartikan dengan cara demikian. Setiap kali mesti diselidiki seberapa jauhnya “legenda” memuat sesuatu yang real-historik. Sehubungan dengan caranya Yesus dikandung, sukar dilihat realitas historik mana diinterpretasikan oleh legenda itu, kalau tidak justru kelaina yang ada pada tampilnya Yesus itu. Ia tidak tampil sama seperti semua manusia lain, hasil pertemuan wanita dengan pria. Tidak pada tempatnya dalam rangka ini orang menunjuk kepada “parthenogenesis”, yang menurut sementara ilmuwan, memang suatu kemungkinan real. Ilmu dalam menjelaskan tampilnya Yesus tidak perlu diikutsertakan.<br /><br />93. Kalaupun keperawanan mempunyai dimensi fisik-biologik dan langsung mengenai Kristus sehingga mempunyai makna kristologik, namun secara tak langsung keperawanan itu mengatakan sesuatu tentang Maria juga. Bagi Maria keperawanan itu berarti bahwa secara eksklusif ia merelakan diri bagi Allah semata-mata dan menjadi ibu seorang anak hanyalah oleh karena dikehendaki Allah, entahlah bagaumana kehendak itu diketahui Maria. Ditinjau dari segi Maria keperawanannya menjadi sesuatu yang intinya spiritual belaka. Boleh dikatakan bahwa dilihat dari sisi itu keperawanan tidak haruslah mempunyai segi fisik-biologik, kecuali sebagai kensekuensi saja.<br /><br />94. Atas dasar Luk 1:35 (aku tidak mengenal – kala kini – seorang laki-laki) ada tradisi kuno (meskipun tidak kuat) yang mengatakan bahwa Maria mempunyai – dengan motivasi religius – niat, malah dikatakan “kaul”, untuk tetap perawan, meskipun sudah bertunangan. Interpretasi itu mengandaikan bahwa Luk 1-2 melapor kejadian historik atau paling tidak penginjil/tradisi memikirkan halnya demikian. Tetapi sukar sekali, malah mustahil, membuktikan bahwa Luk 1:35 dimaksudkan secara demikian. Ada juga interpretasi terbalik sebagai berikut: Maria (secara historikatau menurut pikiran penginjil/tradisi), yang sudah bertunangan (Mat 1:18; Luk 1:27; 2:5) mau nikah seperti biasa dan mendapat anak. Lalu – selagi bertunangan – ia diberi tahu bahwa menjadi ibu Mesias. Tetapi Maria teringat akan Yes (7:14), yang – menurut pengertian Maria – berkata bahwa ibu Mesias mesti perawan. Maka soal Maria ialah: Bagaimana ia, yang mau nikah, dapat menjadi ibu Mesias? Sebab kalau demikian ia tidak boleh “mengenal laki-laki”, jadi tidak boleh kawin. Lalu malaikat menjelaskan, bahwa Maria dapat tetap perawan, mendapat anak, Mesias, (berkat Roh Kudus) dan dapat nikah sesuai rencana. Tentu saja tafsir ini hanya mungkin berdasarkan beberapa praandaian, a.l. cara Maria mengerti Yes 7:14. Hanyalah praandaian itu sukar digali dari teks sendiri.<br /><br />95. Berdasarkan teks sendiri hanya dapat dikatakan: Maria sebagai perawan mengandung Yesus karena diminta Allah (Malaikat), jadi sebelum nikah dan berkumpul dengan suaminya. Itu juga disarankan Mat 1:18-25. Nas ini menggambarkan Yusuf gelisah oleh karena calon istrinya hamil sebelum nikah secara resmi. Maka keperawanan merupakan akibat dipilihnya Maria menjadi ibu Yesus Kristus.<br /><br />96. Menurut gambaran Injil (Luk) Maria sepenuh-penuhnya merelakan diri bagi maksud Allah. Meskipun belum nikah ia menyetujui (Luk 1:38) maksud Allah dan sebulat-bulatnya menjadi “hamba Allah” (seperti para nabi dahulu). Kerelaan itulah yang merupakan dimensi spiritual keperawanan ditinjau dari sisi Maria. Ia merelakan dirinya dan seluruh hidupnya untuk melayani “rencana” Allah. Mengingat bahwa anak Maria, Yesus, menjadi Juru selamat umat manusia, maka secara termasuk ibuNya merelakan diri bagi penyelamatan dunia, berarti: Kerajaan Allah. Maka perawan (spiritual/fisik) demi Kerajaan Allah (bdk. Mat 19:12). Oleh karena Allah melalui anak Maria mau menyelamatkan dunia dan mewujudkan KerajaanNya, maka Maria sebagai hamba Allah dengan rela menjadi ibu-perawan, yang mengandung Juru selamat itu.<br /><br />97. Dengan demikian keperawanan spiritual (dan fisik) Maria merupakan akibat dari kedudukan dan peranannya dalam rencana dan pelaksanaan penyelamatan Allah. Atas dasar pilihan Allah – sebab menurut gambaran Injil Maria mau nikah – ia merelakan diri sepenuhnya untuk menjadi peserta dalam tata penyelamatan, sebagaimana nyata terwujud. Dengan arti sedemikian Maria boleh disebutkan “partner”, teman sekerja Allah sendiri. Tentu saja bukan “teman kerja” atau “partner” yang setingkat. Pada Allahlah ada prakarsa bagi segala sesuatu dan Allahlah yang melaksanakan penyelamatan dengan Yesus Kristus dan Allahlah yang memilih Maria menjadi ibu Yesus. Tetapi Maria merelakan diri untuk peranannya sebaagai ibu Mesias. Dalam peranan itu ia menjadi perawan, supaya Allah sendiri dan senderian dari Maria menciptakan Juru selamat. Maria tidak dipilih untuk diikutsertakan dalam penyelamatan sebagai ibu Juru selamat oleh karena ia perawan. Sebaliknya Maria menjadi perawan oleh karena dipilih untuk berperan sebagai ibu Juru selamat dalam penyelamatan dari Allah. Sebagai penerima saja Maria mendharmabaktikan diri. Dan justru segi “penerima” itulah yang terungkap dalam keperawannya (spiritual/fisik).<br /><br />98. Baiklah kembali diingat bahwa demikianlah gambaran yang disajikan Injil (Luk). Tidak ada gunanya berspekulasi bagaimana secara konkret dan psikologik halnya terjadi. Tentang itu kita tidak dapat tahu apa-apa, kecuali bahwa Maria merelakan diri menjadi ibu anaknya waktu masih perawan. Itu pun tidak berdasarkan pengamatan, tetapi dijabarkan dari iman Kristen, tegasnya dari iman yang mengenal relasi antara Allah (Pencipta dan Penyelamat) dan manusia. Allah itu tidak memperlakukan manusia yang Ia selamatkan, sebagai barang mati, melainkan sebagai mahluk yang bebas. Manusia itulah yang diikutsertakan dalam karya penyelamatan. Yang secara unggul dan malah tunggal diikutsertakan ialah ibu Yesus, yang sebagai ibu mempunyai relasi tunggal dengan anaknya, Juru selamat dunia, Juru selamat ilahi. Sebulat-bulatnya dan secara eksklusif Maria merelakan diri. Sikap dinamik itulah keperawanan spiritual Maria. Dimensi fisik//biologik terlebih berkaitan dengan Kristologi, tetapi dari segi Mariologi juga dimensi itu berperan sebagai tanda keperawanan spiritual.<br /><br /><center><span style="font-weight:bold;">C. PERAWAN YANG MELAHIRKAN</span></center><br /><br />99. Kitab Suci (Mat 1; Luk 1) memberi kesaksian tentang keyakinan Kristen bahwa Yesus dikandung oleh ibuNya sebagai perawan. Tetapi sejak abad II muncul kepercayaan bahwa Yesus juga dilahirkan oleh Maria sebagai perawan. Secara konkret itu berarti, bahwa Yesus tidak hanya dikandung secara luar biasa, tetapi juga dilahirkan secara luar biasa. Keyakinan itu barangkali sudah terungkap oleh Ignasius, uskup Antiokhia (± tahun 110) dan Ireneus (± tahun 200), meskipun keterangan mereka tidak jelas. Dalam karangan-karangan apokrif (Pra-InjilYakobus, Pengangkatan Yesaya ke Surga, Odae Salomonis) pandangan itu juga tampil. Dalam karangan itu halnya dipahami (dan dibuktikan) secara fisik, artinya: selaput dara Maria tidak rusak oleh kelahiran Yesus. Sebaliknya tokoh-tokoh seperti Tertulianus (± tahun 223), Origenes (± tahun 254) dan Hieronimus (± tahun 419) tidak menerima bahwa Yesus dilahirkan secara ajaib. Namun sejak abad V (Augustinus, Ambrosius) kepercayaan bahwa Yesus dilahirkan secara luar biasa, juga secara fisik, menjadi umum (bdk. DS 299.368.442.571.1888). Waktu Jovinianus (abad V) melancarkan pendapat bahwa keperawanan fisik hilang waktu Maria melahirkan Yesus, ia ditolak.<br /><br />100. Namun ajaran mengenai <span style="font-style:italic;">“virginitas in partu”, yang khusus mengenai Maria itu, dalam tradisi hanya menjadi “umum”, tanpa penjelasa</span>n juga ada dimensi fisik-jasmani. Hanya dikatakan bahwa Maria tidak melahirkan Yesus dengan cara yang sama dengan ibu-ibu lain. Tidak dikatakan di mana persis terletak kelainan itu.<br /><br />101. Ada orang, khususnya di kalangan Reformasi (meskipun para Reformator menerima tradisi tersebut), yang mengatakan bahwa tradisi mengenai “virginitas in partu” itu berlawanan dengan penegasa Kitab Suci. Khusunya ditunjuk Gal 4:4. Ayat itu – menurut mereka – justru berkata, bahkan menekankan, bahwa Yesus “lahir dari perempuan” seperti manusia lain; Yesus sungguh-sungguh menjadi senasib. Apalagi kalau Gal 4:4 berpikir kepada “wanita” yang tampil dalam Kej 3:16. Wanita itu menjadi terkutuk justru dalam melahirkan anak dengan sakit bersalin. Mesti diakui bahwa argumen itu cukup mengena dan meyakinkan<br /><br />102. Berhadapan dengan argumen tersebut ada orang yang menunjuk kepada Luk 2:7. Menurut ayat ini Maria sendiri membedung anaknya dengan lampin dan membaringkannya dalam palungan. Jadi penginjil memikirkan halnya sedemikian rupa, sehingga Maria tidak seperti ibu lain terkena sakit beranak waktu melahirkan Yesus. Ibu yang baru melahirkan tidak dapat sendiri mengurus anaknya. Tetapi tidak amat jelas kalau-kalau penginjil berpikir sejauh itu. Ia pasti tidak memberi laporan tentang peristiwa itu. Maka Luk 2:7 tidak dapat dipakai untuk membatalkan Gal 4:4.<br /><br />103. Tetapi Gal 4:4 pasti juga tidak memberikan “laporan” dan tidak merepotkan diri dengan soal bagaimana ibu Yesus melahirkan anaknya. Paulus hanya secara kristologik mau menonjolkan bahwa Anak Allah menjadi senasib dengan manusia, keturunan wanita. Tentu saja juga jelas bahwa Paulus tidak tahu apa-apa tentang kelahiran Yesus secara luar biasa, apalagi secara fisik.<br /><br />104. Maka mesti diakui saja bahwa maksud tradisi tersebut tentang “keperawanan dalam melahirkan” tidak jelas. Mungkin keperawanan itu dalam hal ini hanya keperawanan spiritual saja. Maria sebulat-bulatnya merelakan diri untuk melahirkan Yesus, tanpa resistensi apa saja. Tradisi mengenai <span style="font-style:italic;">“virginitas in partu”</span> barangkali dapat dihubungkan dengan tradisi dan ajaran bahwa Maria bebas dari dosa dan juga bebas dari apa yang diistilahkan sebagai “Concupiscentia”, ialah suatu dualisme yang ada pada manusia yang menghalanginya dalam mewujudkan seluruh kehendaknya. Pada Maria waktu melahirkan Yesus tidak ada resistensi dan keseganan sedikit pun. Kurang meyakinkan argumen yang berjalan sebagai berikut: Maria bebas dari dosa asal, jadi juga bebas dari kutuk yang a.l. menyatakan diri dalam sakit beranak. Maka juga secara fisik Maria tidak mengalami kutukan itu. Sebab nyatanya Maria, meskipun bebas dari dosa asal, tidak bebas dari kutuk yang berupa kematian. Bagaimana “kematian” itu dapat dimengerti aka dibahas pada waktunya.<br /><br />105. Jadi boleh diterima bahwa keperawanan Maria “in partu”, dalam melahirkan Yesus, berarti: Sikap hati yang dengannya Maria mengandung Yesus tidak pernah dibatalkan, meskipun tidak selalu gampang terlaksana misalnya waktu bersalin. Luk 2:1-7 menggambarkan bahwa Maria bersalin dalam situasi kurang menguntungkan. Sejak abad IV (Epiphanius) ada gelar “Maria tetap perawan”. Gelar itu dirincikan menjadi: perawan sebelum,waktu dan sesudah melahirkan (bdk. DS 44.46.291.299.422.442.533.571.1880). Juga konsili Vatikan II (LG N.49; bdk. DS 503) menegaskan bahwa “kelahiran Yesus tidak merusak tetapi menguduskan keperawanan Maria”. Hanya maksud rumus itu tidak dijelaskan. Kata “perawan/keperawanan” dalam tradisi tidak selalu sama artinya. Kadang-kadang apa yang dimaksudkan (atau turut dimaksudkan) ialah keperawanan fisik. Tetapi lainkali terlebih sikap hati, penyerahan eksklusif dan total yang dimaksudkan. Maka “keperawanan dalam melahirkan” dapat dimengerti: Sebulat-bulatnya Maria secara pribadi merelakan diri untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibunya.<br /><br /><center><span style="font-weight:bold;">D. YESUS ANAK TUNGGAL MARIA</span></center><br /><br /><span style="font-weight:bold;">1. Saudara-saudari Yesus</span><br />106. Meskipun menurut Mat 1; Luk 1 Maria mengandung Yesus sebelum nikahnya diresmikan, namun tradisi Kristen (Mat 1:25; 13:55; bdk. Luk 4:22; Yoh 1:45; 6:4?) yakin bahwa kemudian nikah Maria diresmikan juga. Luk 2:5 memang berkata tentang “bertunangan”, tetapi teksnya tidak seluruhnya pasti (ada naskah yang berkata: istri ganti tunangan), tetapi Luk kiranya hanya mau mengatakan apa yang oleh Mat 1:25 ditegaskan. Berulang kali dalam Perjanjian Baru disebutkan “saudara-saudara Yesus” (Yoh 2:12; Mrk 3:31-35; Mat 12:46-50; Luk 8:19-21; Kis 1:14; Gal 1:19; 1Kor 9:5). Empat saudara Yesus disebutkan namanya: Yakobus, Yoses/Yosef, Yudas dan Simon (Mrk 6:3; Mat 13:55) dan menurut Mrk 6:3; Mat 13:56 dan juga sejumlah saudari. Dalam Perjanjian Baru saudari-saudari itu tidak disebutkan namanya, tetapi dalam tradisi di kemudian hari mereka pun diberi nama, misalnya: Maria dan Salome, atau: Hana dan Salome, dan lagi: Maria, Hana, Salome, atau: Ester dan Marta serta Thamar dan Sobe, Marta dan Maria atau: Lisia dan Lidia. Jadi nampaknya Maria dan Yusuf selanjutnya berkeluarga di Nazaret.<br />Kalau semuanya itu dibaca tanpa prasangka orang berkesan bahwa Yesus mempunyai beberapa adik laki-laki dan perempuan dan Maria masih memperoleh beberapa anak setelah nikah dengan Yusuf.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">2.Tetap perawan</span><br />107. Tetapi kesan pertama itu terbentur pada tradisi, yang sejak abad IV umum menyebut Maria “tetap perawan”. Secara tegas ditolak pendapat bahwa Maria masih mendapat beberapa anak di samping Yesus sebagai anak sulung. Waktu Helvidius (abad IV) dan juga uskup Bonosus dari Naissus mengemukakan pendapat bahwa saudara-saudari Yesus yang disebutkan dalam Perjanjian Baru memang anak-anak Maria dan Yusuf, ia mendapat perlawanan kuat, khususnya dari pihak Hieronimus (± tahun 419). Semenjak itu tradisi itu tidak lagi mendapat perlawanan sampai abad XIX. Para Reformator (Luther, Kalvin, Zwingli) dan teolog-teolog Reformasi semula hanya meneruskan tradisi kuno itu.<br /><br />108. Sejak abad XIX, terutama terpengaruh oleh Th. Zahn (± tahun 1900) di kalangan umat Reformasi hampir saja menjadi pendapat umum bahwa saudara-saudari Yesus yang tampil dalam Perjanjian Baru semua adik sekandung Yesus. Di kalangan Katolik tradisi kuno itu dapat mempertahankan diri sampai pertengahan abad XX. Sejak itu ada beberapa teolog/ahli Kitab yang condong mendukung pendapat yang menjadi umum di kalangan umat Reformasi. Gereja Timur Ortodoks tetap mempertahankan tradisi kuno tersebut.<br /><br />109. Hanya tradisi itu harus dapat menampung Perjanjian Baru yang menampilkan “saudara-saudari Yesus”. Kalau mereka bukan anak Maria, bagaimana relasi mereka dengan Yesus? Dalam hal itu ada dua jalan yang ditempuh. Dalam pertengahan abad II (Pra-Injil Yakobus dan lain-lain karangan apokrip) saudara-saudari Yesus itu diartikan sebagai saudara-saudari seayah. Mereka dilihat sebagai anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelum nikah dengan Maria. Pendapat itu tersebar luas dalam Gereja Yunani dan sampai dengan hari ini ada ahli Kitab/teolog yang yakin bahwa keterangan itu paling memuaskan dan cukup meyakinkan. Pendapat lain – yang diperkembangkan Hieronimus melawan Helvidius – mengatakan bahwa saudara-saudari Yesus ialah keponakan-keponakanNya, anak-anak saudari (ipar) ibu Yesus, istri Klopas yang tampil dalam Yoh 19:25, dan anak-anak seorang Maria (dan suaminya) yang disebutkan Mrk 15:40.47 dan yang, entah bagaimana, berkerabat dengan ibu Yesus. Pendapat itu menjadi hampir saja umum dalam Gereja Katolik, kawasan Barat.<br /><br />110. Tetapi mesti dipertanyakan dari mana tradisi tersebut? Amat sukar langsung mendasrkan tradisi itu pada Perjanjian Baru, seperti tersedia. Tidak jarang dikatkan bahwa tradisi tersebut merupakan hasil tendensi gnostik dan asketik di kalangan umat Kristen. Perkawinan, ialah persetubuhan, dan seluruh seksualitas dinilai jahat dan dosa. Penghayatan perkawinan, dalam pendekatan gnostik-asketik itu, “mencemarkan” kesucian Maria. Maka mustahillah Maria mendapat anak di samping Yesus yang dikandungnya sebagai perawan. Jadi tradisi itu mempunyai dasar palsu. Dan itulah a.l. pertimbangan mengapa sementara pemikir Katolik berpendapat tradisi itu mesti ditolak sebagai tradisi gadungan.<br />sebaiknya, begitu kata mereka, dengan mendasarkan diri pada Perjanjian Baru orang menganggap “saudara-saudari Yesus” sebagai anak-anak Maria dan Yusuf. Janganlah perkawinan Yusuf dan Maria dibuat menjadi perkawinan yang pura-pura saja. Tanpa seksualitas yang dihayati perkawinan bukan perkawinan lagi. Seluruh tradisi mengenai keperawanan tetap Maria sebenarnya menghina perkawinan dan seksualitas. Dan sikap macam itu tidak cocok dengan pendekatan modern (dan Alkitab) terhadap seksualitas dan perkawinan.<br /><br />111. Boleh diterima bahwa pandangan negatif terhadap perkawinan pada umat Kristen dahulu turut berperan untuk membuat ajaran tentang keperawanan tetap Maria itu menjadi populer dan amat menarik bagi para asket dan para perawan pada umat Kristen. Namun suatu keterlaluan, yang kurang berdasar, kalau tendensi gnostik-asketik dibuat menjadi pencipta tradisi itu. Seorang asket seperti Hieronimus (RJ 1361) misalnya mati-matian membela keperawanan tetap Maria. Namun secara tegas ia berkata bahwa dengan itu tidak menghina perkawinan. Sebab keperawanan berasal dari perkawinan. Negativisme terhadap seksualitas dan perkawinan sebenarnya tidak begitu umum seperti kerap dikatakan. Dapat dikumpulkan banyak keterangan bernada positif yang malah berasal dari kalangan para asket (rahib).<br /><br />112. Kalau demikian duduknya perkara tetap tinggal soal: Dari mana tradisi mengenai keperawanan tetap Maria? Bukankah tradisi itu berlawanan dengan apa yang dikatakan Perjanjian Baru?<br /><br />113. Terlebih dahulu perlu diselidiki masalah kalau-kalau tradisi itu benar-benar berlawanan dengan Perjanjian Baru. Kalau Yesus dikatakan “anak sulung” (Luk 2:7), maka keterangan itu tidak perlu mengimplikasikan bahwa masih ada anak lain. Juga anak tunggal dapat disebut “anak sulung”. Gelar itu hanya menunjuk kepada kedudukan istimewa, yang, menurut hukum, dimiliki anak pertama, entahlah masih ada anak lain atau tidak (Kel 13:2; Bil 3:12; Yer 31:9; Kel 4:22). Gelar itu hampir saja searti dengan “anak yang terkasih” (Za 12:10; Yer 31:20). Jadi kalau Yesus disebut “anak sulung” orang belum tahu juga kalau-kalau Ia anak tunggal atau anak pertama dalam suatu rangkaian. Demikian pun Mat 1:25 tidak memberi pegangan. Dikatakan bahwa Yusuf tidak “mengenal” (bersetubuh dengan) Maria sampai Maria melahirkan seorang anak. Dari situ tidak dapat disimpulkan bahwa kemudian Yusuf bersetubuh dengan Maria. Mat hanya mau menekankan bahwa Maria tetap perawan sampai melahirkan Yesus. Bagaimana selanjutnya sama sekali di luar perhatian penginjil. Tidak dikatakan apa-apa mengenai hubungan Yusuf dan Maria setelah Yesus lahir.<br /><br />114. Selanjutnya boleh diperhatikan bahwa dalam Perjanjian Baru “saudara-saudari Yesus” tidak pernah dikatakan anak-anak Maria. Maria selalu tampil bersama dengan “saudara-saudara Yesus” dan tidak pernah bersama dengan anak-anaknya. Padahal menurut Mrk (3:21) 3:31-55 (bdk. Yoh 7:5) jelas ada ketegangan antara Yesus di satu pihak dan ibu serta saudara-saudara Yesus di lain pihak, sehingga ibu Yesus lebih-lebih di pihak saudara-saudara Yesus daripada di pihak Yesus. Mengapa mereka tidak dikatakan “anak-anak Maria, anak-anak ibu Yesus”?<br /><br />115. Tentu saja kata saudara/saudari dalam bahasa Yunani <span style="font-style:italic;">(adelphos, adelphé)</span> biasanya berarti: saudara sekandung atau saudara seayah, seibu. Dalam bahasa Ibrani kata itu (‘ah,’aha) dapat mempunyai arti lebih luas dan menunjuk kepada sanak saudara lain (a.l. keponakan) (bdk. Kej 13:8; 14:14.16; 24:48; 29:12.15; 31:23; Im 10:4 dll.). terjemahan Yunani (LXX) biasanya menterjemahkan secara harafiah dengan kata Yunani: <span style="font-style:italic;">adelphos/adelphé</span>, meskipun dalam bahasa Yunani tersedia kata-kata lain (yang tidak ada dalam bahasa Ibrani) untuk menunjuk hubungan kekeluargaan secara terperinci, misalnya: “anepsios” (keponakan). Tidak mustahil, kalaupun sukar dibuktikan, bahwa bahasa Yunani Perjanjian Baru dalam hal ini mengikuti kebiasaan Perjanjian Lama (Septuaginta).<br />Kecuali itu malah dalam bahasa Yunani kata <span style="font-style:italic;">“adelphos/adelphé”</span> dapat dipakai dengan arti lebih luas. Hal itu dapat terjadi misalnya untuk meningkatkan kedudukan orang dengan meningkatkan relasi kekeluargaannya dengan seorang tokoh penting (raja, kaisar). Maka mungkinlah pada umat Kristen berkembang kebiasaan menyebut sanak-saudara Yesus sebagai “saudara-saudaraNya” untuk menghormati sanak-saudara itu, yang memegang peranan cukup penting pada umat perdana (bdk. 1Kor 9:5; Kis 1:14). Bahwasannya demikian duduknya perkara secara tuntas tidak dapat dibuktikan atas dasar teks Perjanjian baru. Teks itu tetap ambivalen dan dwiarti.<br /><br />116. Maka Perjanjian Baru tidak usah bertentangan dengan tradisi tentang keperawanan tetap Maria yang mulai tampil pada umat Kristen sejak abad II. Duduknya perkara dapat dipikirkan sebagai berikut. Selama sanak-saudara Yesus masih hidup tidak ada soal. Umat Kristen (yang berkenalan dengan mereka) tahu bahwa julukan “saudara Tuhan”, hanya gelar kehormatan bagi sanak-saudara Yesus itu. Umum diketahui bahwa Maria tidak mempunyai anak selain Yesus. Tetapi setelah generasi pertama hilang (abad II) gelar kehormatan dapat membingungkan, sebab kata “saudara” dapat dipahami sesuai dengan arti kata Yunani yang biasa. Tetapi ingatan akan tradisi dahulu mencegah orang dari pemahaman itu. Seorang penulis abad II, yang termasuk generasi yang menyusul angkatan awal, yaitu Hegesippus (dikutip Eusebius dalam Sejarah Gerejanya), menyebut uskup (kedua) Yerusalem Simeon (= Simon, Mrk. 6:3) saudara Tuhan sebagai pengganti uskup pertama (yaitu Yakobus, saudara Tuhan) sebagai “keponakan Tuhan yang kedua” yang menjadi uskup di Yerusalem. Maka juga Yakobus, saudara Tuhan, menurut Hegesippus, seorang keponakan Yesus, anak pamanNya (dari sisi Yusuf?). Keterangan Hegesippus itu sedikit diperdebatkan para ahli, sehingga tidak menjadi bukti tuntas bahwa saudara-saudara Yesus itu bukan anak-anak Maria.<br /><br />117. Dengan kurang tepat ada orang yang menemukan dalam Perjanjian Baru dasar untuk tradisi tentang keperawanan tetap Maria. Mereka menunjuk kepada Yoh 19:27. Menurut ayat ini Yesus mempercayakan ibuNya kepada “Murid yang dikasihiNya”. Ini – demikian argumentasinya – tidak masuk akal, kalau pada Maria ada anak-anak lain. Tetapi – seperti nanti akan dibahas – Yoh 19:25-27 terlalu simbolik cirinya dan masalah kalau-kalau masih ada anak-anak Maria sama sekali di luar perhatian penginjil. Demikian pun Luk 2:41-51 tidak dapat dimanfaatkan. Ada orang yang berpikir sebagai berikut. Mustahil Maria ikut berziarah ke Yerusalem bersama dengan Yusuf dan Yesus (yang berumur 12 tahun), kalau di rumah masih ada anak-anak kecil. Tetapi Luk 2:41-51 bukan suatu laporan dan tidak merepotkan diri dengan masalah adanya atau tidak adanya anak-anak Maria yang lain.<br /><br />118. Tetapi ada suatu pertimbangan, bukan historik tetapi telebih teologik, yang mendukung umat Kristen untuk mempertahankan keperawanan tetap ibu Yesus. Setelah Maria sepenuh-penuhnya merelakan diri untuk menjadi hamba Tuhan dan ibu Yesus (keperawanan spiritual), boleh dianggap wajar dan pantas Maria tidak lagi merelakan diri untuk seorang yang lain. Seandainya Maria masih mendapat anak-anak lain, ia wajib merelakan diri sebagai ibu bagi anak-anak itu juga. Mendapat anak-anak lain tentu saja bersama dengan Yesus tidak berlawanan dengan kesucian Maria, seolah-olah tercemar olehnya. Tetapi mendapat anak-anak lain kurang sesuai dan cocok dengan “keperawanan spiritual” pada awal. Penyerahan total kepada Allah dan Yesus sukar disertai penyerahan kepada anak-anak lain. Jadi keperawanan tetap Maria dilihat sebagai konsekuensi dari keperawanan awal. Dan keperawanan tetap itu pun mempunyai dimensi fisik-biologik.<br /><br />119. Janganlah dikatakan: Kalau demikian, maka perkawinan Maria dengan Yusuf suatu perkawinan pincang, perkawinan gadungan. Keberatan macam itu berasal dari pandangan yang l.k. mereduksikan perkawinan pada segi fisik-biologiknya, bahkan genitalnya. Cinta suami-istri tentu saja dapat diekspresikan melalui persetubuhan. Tetapi itu bukan satu-satunya jalan atau malah jalan utama. Pendapat bahwa perkawinan tanpa unsur genital kurang sempurna berlatar belakang suatu pandangan sempit yang terlalu terikat pada mentalitas zaman tertentu, zaman “revolusi sex”.<br /><br />120. Dengan jujur mesti diakui bahwa keperawanan tetap Maria tidak dapat didasarkan pada Kitab Suci melulu. Maka teologi Reformasi yang secara eksklusif mau mendasarkan diri kepada Alkitab tidak dapat memecahkan soal keperawanan tetap Maria. Sebab juga tidak dapat secara tuntas dibuktikan bahwa “saudara-saudara Yesus” yang tampil dalam Perjanjian Baru benar-benar anak Maria dan Yusuf. Berdasarkan Kitab Suci melulu masalahnya tetap terbuka dan dua pengertian mungkin.<br /><br />121. Teologi Katolik juga memandang Alkitab sebagai tolok ukur iman yang tertinggi. Tetapi Kitab Suci bukan satu-satunya tolok ukur. Pada tingkat kedua tradisi mantap dan l.k. umum menolong untuk mengartikan Kitab Suci ke arah tertentu, kapan saja ada dua (atau lebih) pengartian mungkin. Maka keperawanan tetap Maria melalui tradisi berpangkal pada Kitab Suci, bukan pada salah satu ayat atau nas, tetapi pada keseluruhan pandangan Alkitab tentang ibu Yesus. Maria menjadi ibu sebagai perawan. Pantaslah keperawanan (personal) awal itu seutuhnya diteruskan seumur hidup, juga dalam perkawinan utuh-sempurna dengan Yusuf. Tentu saja ajaran tentang keperawanan tetap Maria itu bukan suatu “dogma” yang didefinisikan, bukan pula suatu ajaran iman yang sama bobotnya dengan ajaran mengenai dikandunganya Yesus oleh perawan Maria, yang jelas terungkap dalam Kitab Suci. Tetapi ajaran tentang keperawanan tetap itu tidak berlawanan dengan Kitab Suci dan didukung suatu tradisi yang begitu kuat, sehingga tanpa bukti yang meyakinkan tidak dapat ditinggalkan oleh seorang teolog yang mengakui tradisi sebagai suatu prinsip teologi.<br /><br />122. Relevansi teologik ajaran tentang keperawanan tetap itu terletak dalam hal ini: Karya penyelamatan Allah dapat mencetuskan dari pihak manusia suatu tanggapan dan penyertaan aktif yang bulat menyeluruh, sehingga orang yang bersangkutan tidak sempat melibatkan diri dalam suatu tugas yang tidak secara langsung bersangkutan dengan karya itu. Maria dinilai sebagai seorang yang sepenuh-penuhnya “Kristen”, yang merealisasikan segala kemungkinan yang terkandung dalam iman Kristen, termasuk keperawanan tetap yang dianjurkan dan dipraktekkan Yesus dan Paulus (bdk. 1Kor 7:7-8.26.32.34.40), sebagai suatu kemungkinan. Selayaknya itu terwujud pada diri dan kehidupan ibu Yesus, akibat relasi keibuan yang memang unik. Dalam rangka perkawinan Maria tetap perawan secara spiritual dan fisik.<br /><br />-----<br />Sebelumnya : <span style="font-style: italic;">{BAB I : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-teologi-marial-1.html" target="_blank">MARIA, IBU YESUS</a>}</span><br />Selanjutnya : <span style="font-style: italic;">{BAB III : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-teologi-marial-3.html" target="_blank">IBU YANG SUCI</a>}</span></div></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-40828969456872600032010-02-04T13:39:00.000+07:002010-11-11T03:39:57.282+07:00Mariologi - Teologi Marial - 1<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight:bold;">MARIA, IBU YESUS</span><br /><br />23. Kalau Mariologi mau menjadi teologi sejati, pemikiran terarah dan teratur mengenai apa yang diimani umat Kristen, maka mesti bertitik tolak kesaksian umat semula, seperti yang termaktub dalam Perjanjian Baru. Jika teologi itu tidak mau menjadi mitologi, ia mesti, bersama dengan iman umat perdana, berurat akar dalam sejarah. Maka bab pertama Mariologi ini mulai dengan Perjanjian Baru dan dasar historiknya.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />A. IBU YESUS DALAM SEJARAH</span><br /><br />24. Kalau disisihkan sebentar Mat 1-2 dan Luk 1-2, maka nama Maria, ibu Yesus, hanya tiga kali disebutkan dalam Perjanjian Baru, yaitu: Mat 13:55; Mrk 6:3 dan Kis 1:4. Tanpa disebutkan namanya ibu Yesus tampil dalam Mat 12:46; Mrk 3:31; Luk 8:19. Yoh tidak pernah menyebut nama ibu Yesus, tetapi menampilkannya sampai dua kali (Yoh 2:1-3.5; 19:25.26) dan sekali menyebutkannya (Yoh 6:42).<br /><br />25. Atas dasar ayat yang serba sedikit itu mesti diakui bahwa informasi historik yang ada tentang Maria, ibu Yesus, serba terbatas. Secara historik hanya diketahui atas dasar ayat-ayat itu bahwa Yesus mempunyai ibu yang bernama Maria. Nama itu amat lazim di kalangan Yahudi. Dalam Perjanjian Baru sajalah banyak wanita yang bernama Maria. Ada Maria Magdalena (Mat 27:56; 28:1; Mrk 15:40.47; 16:1; Luk 8:2; 24:10; Yoh 19:25; 20:1.11.16.18), Maria Ibu Yakobus (Mat 27:56.61; Mrk 15:40.47; 16:1; Luk 24:10), Maria istri/saudara Klopas (Yoh 19:25), Maria saudari Marta (Luk 10:39-42; Yoh 11:1 dst.; 12:3), Maria ibu Markus (Kis 12:12) dan seorang wanita Kristen (Rm 16:6).Yesus dapat dikatakan “bin Maria” (Mrk 6:3), tetapi lebih sering tampil sebagai “bin Yusuf” (Luk 3:23; 4:22; Yoh 1:45; 6:42). Juga Paulus (Gal 4:4) menerima bahwaYesus mempuyai ibu.<br /><br />26. Maka tentang hal ihwal Maria dengan mendasarkan diri pada Perjanjian Baru (kecuali Mat 1-2; Luk 1-2) kita tidak tahu apa-apa, kecuali yang dikatakan dalam Mrk 3:31. Mengingat corak Injil Yoh, maka apa yang diceritakan tentang ibu Yesus (Yoh 2:1 dst., 19:25 dst.) tidak dapat dipastikan sebagai informasi historik. Rupanya Maria tidak berperan dalam kehidupan Yesus setelah dewasa dan tampil ke depan umum. Mengingat Mrk 3:21.31-35 nampaknya Yesus memutuskan hubunganNya dengan familiNya, termasuk ibuNya. Atas dasar Kis 1:14 dapat disimpulkan bahwa Maria menjadi anggota jemaah perdana di Yerusalem bersama dengan sanak saudara Yesus yang lain. Selanjutnya Maria tidak berperan sama sekali dalam Kis. Kalau namanya disebut dalam Kis1:14 boleh diduga bahwa penulis Kis mendapat informasi itu dari tradisi sebelumnya, sehingga Maria sebagai anggota jemaah perdana bukan ciptaan penulis saja. Tetapi bagaimanapun juga rupanya ibu Yesus pada jemaah perdana tidak memegang peranan khusus, seperti misalnya Yakobus, saudara Tuhan (Gal 1:19; 2:9.12; 1Kor 15:7; Kis 12:17; 15:13; 21:18) dan sanak saudara Yesus yang lain (1Kor 9:5; Yoh 7:5; 20:17?).<br /><br />27. Dengan jalan samping informasi serba sedikit itu dapat ditambah. Ibu Yesus seorang wanita Yahudi. Seluruh Perjanjian Baru memang yakin bahwa Yesus seorang asli Yahudi, sehingga ibuNya pun asli Yahudi. Yesus dianggap “orang Nazaret” (Mrk 10:47; 14:67; Luk 18:37; 24:19; Yoh 18:5; 19:19; Kis 10:38; 26:9). Nazareth dapat diidentifikasikan dengan sebuah desa/kota di daerah Galilea. Nazareth menjadi tempat tinggal Maria, entahlah berasal dari mana. Tempat tinggalnya itu cukup terpencil, bukan kota. Maria nikah dengan seorang yang bernama Yusuf (Yesus memang disebut “bin Yusuf”). Oleh karena Yusuf tidak tampil sama sekali dalam kisah Injil dan Maria selalu ditampilkan bersama “sanak saudara” Yesus, maka boleh disimpulkan bahwa Maria manjanda waktu Yesus dewasa. Yusuf disebutkan sebagai “keturunan Daud” (bdk. Mat 1:20; Luk 1:27) dan Yesus dianggap keturunan Daud (bdk. Mrk 12:35.37 dsj.; Yoh 3:23-38). Tetapi boleh jadi Yesus hanya secara teologik / mesianik “keturunan Daud”, sehingga tidak pasti juga Yusuf benar-benar keturunan Daud. Tidak ada informasi pasti mengenai genealogi Maria. Luk 3:23-38 tidak boleh dinilai demikian.<br /><br />28. Pada Maria ada sanak saudara. Yoh 19:25 menyebut seorang “saudari ibu Yesus”, entahlah bagaimana hubungan Maria dengan wanita itu. Berulang kali Maria dalam kisah Injil (dan Kis 1:14) tampil bersama dengan sekelompok “saudara Yesus” (Mat 12:46 dsj.; Yoh 2:12). Mrk 6:3 dsj. memperkenalkan nama Yoses / Yosef, Simon dan Yakobus. Disebut juga beberapa “saudari” yang namanya tidak diberikan. Nanti dibahas lebih lanjut bagaimana relasi Yesus dengan “saudara/saudari” itu. Tetapi bagaimanapun juga pada Maria ada sejumlah sanak saudara.<span class="fullpost"><br /><br />29. Selanjutnya tidak ada informasi mengenai hal ihwal Maria, khususnya mengenai hal ihwalnya setelah Yesus hilang dari panggung sejarah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. CIRI-CORAK MAT 1-2 DAN LUK 1-2</span><br /><br />30. Informasi historik tentang hal ihwal Maria sangat bertambah seandainya Mat 1-2 dan Luk 1-2 dapat dipakai sebagai sumber informasi macam itu. Tetapi harus diakui bahwa bagian-bagian Injil itu mempunyai ciri-corak yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipakai oleh ilmu sejarah. Tentu saja ceritera-ceritera sekitar kelahiran serta masa muda Yesus memperteguh informasi yang dapat digali dari Injil-injil dan karangan Perjanjian Baru yang lain atau dapat dijabarkan dari apa yang berlaku umum untuk setiap orang Yahudi pada masa itu. Tetapi sesuatu yang baru tidak dapat diangkat dari Mat 1-2 dan Luk 1-2.<br /><br />31. Sudah barang tentu tetap ada sejumlah ahli Kitab yang yakin behwa dari Mat 1-2 dan Luk 1-2 dapat digali informsi historik yang amat berharga. Ahli-ahli itu bukan penganut fundamentalisme alkitabiah. Mereka berpendapat bahwa ceritera-ceritera itu berupa tradisi yang terpelihara di kalangan sanak saudara Yesus. Atas dasar Luk 2:19.51 mereka malah menunjuk Maria sendiri sebagai sumber tradisi itu. Mat 1-2 terlebih dihubungkan dengan Yusuf. Tetapi pendapat itu semakin kurang mendapat pendukung. Penelitian atas Mat 1-2 dan Luk 1-2 memang amat memperlemah pendapat itu. <br /><br />32. Pertama-tama harus dikatakan bahwa Mat 1-2 dan Luk 1-2 bukan bercirikan laporan historik, tetapi pewartaan Injil, pemberitaan tentang Yesus Kristus, bukan tentang Maria. Tentu saja Mat 1-2 dan terutama Luk 1-2 mementaskan ibu Yesus, tetapi selalu dalam rangka pewartaan tentang Kristus. Dalam hal ini Mat 1-2 dan Luk 1-2 pada dasarnya tidak berbeda dengan (bagian-bagian) dari lain. Tidak ada satu pun Injil yang bermaksud “melaporkan” hal ihwal Yesus, orang Nazaret. Semua mewartakan Yesus Kristus sebagaimana Ia diimani oleh jemaah-jemaah Kristen waktu Injil-injil disusun (atas dasar tradisi juga) oleh orang yang sendiri terlibat dalam hal ihwal Yesus, orang Nazaret. <br /><br />33. Tidak mau dipungkiri bahwa Injil-injil itu dapat dimanfaatkan guna sampai kepada Yesus historik. Tetapi tetap tinggal bahwa penulis-penulis tidak bermaksud memberi laporan. Mereka mau mengungkapkan imannya. Bagian demi bagian Injil-injil perlu diselidiki sejauh mana menyalurkan informasi historik dan cara yang bagaimana informasi itu disalurkan. Bobot historik masing-masing bagian berbeda sekali. Informasi misalnya yang terkandung dalam ceritera tentang baptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis dan tentang Yesus yang dicobai (Mat 1:13-4:11 dsj.), mengenai Yesus yang berubah rupa di sebuah gunung (Mat 17:1-13 dsj.) dan tentang Yesus yang membuat mujizat agak minimal, kalau ceritera-ceritera itu diselidiki dengan seksama. Kadar historik kisah sengsara misalnya jauh lebih tinggi, meskipun juga kisah itu tidak berupa sebuah laporan.<br /><br />34. Ceritera-ceritera seputar kelahiran dan masa muda Yesus itu membekukan suatu tradisi tersendiri. Asal usul tradisi itu tidak seluruhnya pasti. Tetapi ada dugaan kuat bahwa berasal dari jemaah-jemaah Kristen keturunan Yahudi yang berbahasa Yunani. Melihat perbedaan menyolok antara apa yang termuat dalam Mat 1-2 dan Luk 1-2 boleh diduga adanya dua tradisi yang tidak bergantung satu sama lain sedangkan juga kedua penginjil itu tidak saling mengenal. Hanya dalam data dasariah ada kesamaan antara kedua tradisi (dan penginjil itu): Yesus lahir di Betlehem dan dikandung secara luar biasa (dari Roh Kudus); nama orang tuanya, Yusuf dan Maria; Yesus disunat dan diberi nama Yesus atas petunjuk dari Allah dan Ia menjadi besar di Nazaret. Semua fakta itu, kecuali cara terkandung dan kelahiran di Betlehem (bdk. Yoh 7:42), dapat digali dari Injil-injil atau dijabarkan secara wajar.<br /><br />35. Mengingat bahwa dari tradisi Mat 1-2 dan Luk 1-2 tidak ada bekasnya dalam Injil Mrk (dan malah Mat dan Luk sendiri) atau lain-lain karangan yang termaktub dalam Perjanjian Baru, maka jelaslah lingkup perkembangan dan peredaran tradisi-tradisi itu agak terbatas. Melalui Mat dan Luk barulah tradisi-tradisi itu tersebar lebih luas. Setelah keempat Injil umum diterima tradisi-tradisi itu masuk ke dalam tradisi seluruh umat Kristen.<br /><br />36. Sedikit sukar, bahkan umumnya mustahil, memastikan seberapa jauhnya tradisi-tradisi awal itu sudah berbentuk tulisan atau hanya lisan. Seukar menentukan sejauh mana tradisi-tradisi itu sudah melebur menjadi suatu kesatuan sebelum diangkat dalam Mat dan Luk. Tetapi bagaimanapun juga, baik Mat maupun Luk memanfaatkan bahan tradisi yang tersedia bagi mereka. Penginjil-penginjil pun lebih kuat mengolah, menyadur dan menyusun bahan yang diterimanya dari tradisi. Dua-duanya jelas menyesuaikan bahan itu dengan pikiran dan pandangan mereka, seperti yang terungkap dalam Injil-injil selanjutnya. Mereka membuat bahan tradisi, yang diolah seperlunya, menjadi semacam pendahuluan bagi kisah Injilnya, yang disusun atas dasar tradisi (baik yang tertulis maupun yang lisan), yang juga digarap seperlunya. Dalam pendahuluan “Pahlawan” kisahnya sudah diperkenalkan.<br /><br />37. Melalui sejumlah ceritera seputar kelahiran dan masa muda Yesus tradisi yangtercantum dalam Mat 1-2 dan Luk 1-2 (sukar secara terinci menentukan mana andil tradisi dan mana andil penginjil) mengungkapkan imannya, ialah iman jemaah, akan Yesus Kristus. Apa yang terjadi ialah: Iman jemaah, seperti lambat laun berkembang dengan bertitik tolak pengalaman (dalam apa yang disebutkan sebagai Roh Kudus) akan Yesus yang dibangkitkan dari antara orang mati, dipindahkan kepada awal hidupNya. Sebagai sarana pengungkapan iman itu dipakai ceritera-ceritera yang tidak berdasarkan saksi mata, tetapi pelbagai motif, gagasan dan ceritera yang tercantum dalam Perjanjian Lama dan beredar dalam tradisi Yahudi sekitar tokoh-tokoh besar dalam sejarah penyelamatan, seperti Abraham, Yakub, Yusuf, Laban, Musa, Gideon, Simson dan sebagainya.<br /><br />38. Meskipun ada sementara ahli (ilmu sejarah agama) yang mencoba membuktikan bahwa ceritera-ceritera itu juga terpengaruh oleh agama, tegasnya mitologi kafir, namun pengaruh agama itu tidak perlu untuk memahami ceritera-ceritera itu. Sebab Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi cukup dapat menjelaskan semuanya. Kecuali itu, pengaruh macam itu sukar diterima mengingat bahwa tradisi-tradisi itu berurat berakar dalam lingkup Kristen-Yahudi dan lingkup itu tidak terbuka bagi mitologi kafir yang dijijikkan. Tambah lagi bahwa di zaman Perjanjian Baru bahkan orang kafir (yang terdidik) agak skeptik terhadap mitologi tradisional, yang tidak lagi berfungsi sebagai sarana pengungkapan pandangan dan iman. Aneh rasanya bahwa tradisi Kristen, apalagi penginjil-penginjil, yang jelas orang terdidik, memanfaatkan sarana yang tidak berperan lagi, apalagi sebagai sarana untuk mengungkapkan iman Kristen yang baru.<br /><br />39. Meskipun ceritera-ceritera sekitar kelahiran dan masa muda Yesus ciptaan tradisi atau penginjil, namun itu belum berarti bahwa semuanya khayalan belaka. Ceritera-ceritera itu mengenai seorang tokoh historik, Yesus, orang Nazaret, sebagaimana Ia diimani umat Kristen. Apa yang diimani tentu saja tidak “historik” dengan arti: dapat diamati dan diketahui setiap orang dan dapat diselidiki oleh ilmu sejarah. Misalnya: Bahwasanya Yesus yang tadinya mati, sesungguhnya hidup oleh karena dibangkitkan; bahwa Yesus lebih dari manusia belaka, tetapi dengan arti khusus Anak Allah dan Tuhan, hanya dapat diimani. Tetapi – kecuali kalau orang menyatakan seluruh iman Kristen khayalan belaka – iman Kristen itu mengenai suatu realitas yang bukan hasil keinginan hati dan buah khayal manusia belaka. Ceritera-ceritera seputar kelahiran dan masa muda Yesus mengenai suatu realitas objektif, yakni Yesus, orang Nazaret, yang realitasNya melampaui pengamatan dan penyelidikan historik belaka.<br /><br />40. Ada kemiripan besar antara ceritera-ceritera sekitar tampilnya Yesus di bumi dan ceritera-ceritera seputar penampakan Yesus yang sudah hilang dari panggung sejarah. Misalnya: Dalam kedua kumpulan ceritera turun tangan Allah (dilambangkan malaikat atau mukjizat) amat ditekankan. Dua-duanya beukan suatu kisah beruntut, tetapi terlebih (kumpulan) cerita pendek. Dengan jalan demikian ditonjolkan bahwa inti sari peristiwa kebangkitan / penampakan Yesus dan kelahiranNya di luar jangkauan pengamatan dan dan menjadi dasar iman saja.<br /><br />41. Baik ceritera-ceritera sekitar penampakan Yesus pada akhir kisah Injil (Mat 28; Mrk16; Luk 24; Yoh 20;21) dan pada awal kisah para rasul (Kis 1:1-10) maupun ceritera seputar tampilnya Yesus di bumi (Mat 1-2; Luk 1-2) boleh digolongkan ke dalam jenis sastera yang diistilahkan sebagai “legenda”, tegasnya “legenda apokaliptik”, paling tidak ceritera-ceritera itu mirip dengan jenis sastera itu. Adapun “legenda” ialah suatu jenis sastera dan sarana kesusasteraan (entah sastera rakyat entah sastera budaya), yang dengannya tidak mau dilaporkan suatu peristiwa atau gejala atau pengalaman historik secara “objektif”, melainkan mau diungkapkan bagaimana sekelompok orang (atau seorang sasterawan) memahami, menilai dan mengartikan suatu peristiwa, gejala, tokoh atau pengalaman historik. Tokoh-tokoh besar, peristiwa penting ataupun pengalaman hebat sampai dengan hari ini mencetuskan legenda-legenda yang kadar dan bobot historiknya dapat bermacam-macam, yang setiap kali perlu diselidiki.<br /><br />42. Sehubungan dengan Mat 1-2 dan Luk 1-2 boleh disimpulkan sebagai berikut: Ceritera-ceritera itu, berkenaan dengan ibu Yesus, tidak menambah informasi historik serba sedikit yang dapat digali dari karangan-karangan yang termaktub dalam Perjanjian Baru. Informasi historik mengenai Maria jauhkalah dengan informasi historik mengenai Yesus yang dapat digali dari Perjanjian Baru (yang sebenarnya juga tidak terlalu banyak). Kalau tidak mungkin menyusun suatu “riwayat hidup” Yesus, apa pula orang tidak dapat menyusun suatu “biografi” ibu Yesus, Maria.<br /><br />43. Kekurangan informasi yang termuat dalam Perjanjian Baru sejak abad II sepuas-puasnya dilengkapi oleh berbagai tulisan yang diistilahkan sebagai “apokrip” (ataupun “pseudepigraph”), kitab-kitab yang berlagak Kitab Suci tetapi sebenarnya gadungan. Terkenal ialah “Pra-Injil karangan Yakobus”. Karangan itu berkhayal tentang kelahiran dan masa muda Maria sampai kelahiran dan masa muda Yesus. Karangan itu amat besar pengaruhnya pada devosi rakyat, pada ikonografi dan liturgi. Ada juga (sejak abad V) beberapa (vesri) “Liber Transitus Mariae” (Kitab mengenai peralihan ialah kematian Maria), yang berceritera tentang akhir hidup Maria. Hanya pujangga Gereja Epiphanius (± 408) mengakui bahwa orang tidak tahu apa-apa tentang akhir hidup Maria. Dalam karangan-karangan apokrip (dan pada beberapa pujangga Gereja) tampil “berita”tentang Maria yang tinggal bersama rasul Yohanes, entah di Yerusalem (ditunjuk dua makam Maria), entah di Efesus (di situ juga ada makam Maria!). Ceritera-ceritera macam itu bertitik tolak Yoh 19:25-27, yang sendiri cukup kentara ciri simboliknya. Apokrip-apokrip lain, seperti “Injil (masa muda Maria) karangan Thomas” (abad II) atau: Kisah “Yusuf Si Tukang Kayu” (abad V) juga tidak menambah informasi yang dapat dipercaya. Tulisan-tulisan apokrip, yang merupakan buah khayal, memberikan kesaksian tentang kepercayaan dan devosi rakyat dan penulis yang menghasilkan tulisan-tulisan macam itu. Maka tulisan-tulisan itu amat berharga justru sebagai kesaksian tentang devosi dan kepercayaan rakyat Kristen di masa tulisan-tulisan itu beredar. Betapa luas pengaruhnya a.l terbukti oleh Al-Quran, tempat ditemukan cukup banyak bekas dari devosi dan kepercayaan rakyat Kristen di Arabia, waktu Muhammad tampil.<br /><br />44. Sampai dengan masa kini devosi kepada Maria mendorong sementara orang untuk menyusun semacam “biografi” Maria. Hanyalah “biografi” macam itu merupakan buah hasil spekulasi dan khayal dan terlebih berupa “roman”. Tentu saja tidak terlarang orang berspekulasi dan berkhayal tentang ibu Yesus, asal saja orang tetap insaf bahwa spekulasi dan khayalan. Orang boleh juga berusaha merekonstruksikan “latar belakang” sosio-historik ibu Yesus, yaitu dengan menyelidiki cara hidup rakyat jelata di Palestina, khususnya di Galilea. Sebuah karangan berbobot dan terkenal di bidang itu ialah P. Gaechter, Maria im Erdenleben, 1953. Usaha itu cukup banyak manfaatnya juga, asal orang tahu bahwa semuanya suatu rekonstruksi l.k hipotetik, bukan tentang Maria tetapi mengenai lingkup hidupnya. Jelas pulalah bahwa orang tidak tahu apa-apa tentang psikologi Maria, Yusuf, keluarga kudus dan sebagainya. Tentang itu tidak ada informasi. Orang boleh saja berspekulasi dan berkhayal tentang semuanya, asal tidak menyampaikannya sebagai “informasi”, tetapi hanya sebagai kesaksian tentang devosinya sendiri kepada ibu Yesus.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />C. MARIOLOGI DALAM PERJANJIAN BARU?</span><br /><br />45. Apa yang dalam Perjanjian Baru secara terperinci diceriterakan tentang Maria, entah dalam Luk1-2 dan Mat 1-2 entah dalam Yoh 2:1 dst.;19:25dst. mempunyai cirinya sendiri. Di sana ditemukan visi dan pandangan penulis seta jemaahnya tentang ibu Yesus menjelang akhir abad pertama. Visi serta pandangan itu selalu diberikan dalam rangka pemberitaan tentang Yesus Kristus. Maria tidak menjadi pokok pemberitaan tersendiri, tetapi nyatanya turut diberitakan bersama dengan Yesus Kristus dan demi Yesus Kristus. Bagi iman yang terungkap dalam Perjanjian Baru Maria hanya relevan sejau relevan bagi iman akan Yesus Kristus.<br /><br />46. Tidak terlalu mengherankan bahwa ceritera-ceritera seputar kelahiran Yesus ibuNya turut dipentaskan. Dalam ceritera-ceritera Luk 1-2 Maria menjadi pelaku utama di samping Yesus. Sebaliknya dalam ceritera-ceritera Mat 1-2 Maria agak disingkirkan dan pemeran utama di samping Yesus ialah Yusuf. Ini tentu saja berkaitan dengan maksud khusus Mat, yang mau menekankan bahwa Yesus, sebagai Mesias adalah keturunan Daud. Dalam sistem patriarkhat Yahudi kaitan itu terjalin melalui keturunan laki-laki.<br /><br />47. Jadi apa yang ditemukan dalam bagian-bagian Perjanjian Baru tersebut ialah visi jemaah-jemaah Kristen (yang menjadi tempat asal bagian-bagian itu) menjelang akhir abad I tentang Maria (dan Yusuf) dalam tampinya (dan karya) Yesus di dunia sebagai Mesias, Juru Selamat, Anak Allah dan Tuhan yang diimani jemaah-jemaah itu. Pendeknya apa yang terdapat di sana ialah: iman jemaah Kristen sehubungan dengan peranan ibu Yesus, Maria, dalam sejarah dan tata penyelamatan. Oleh karena visi itu hasil dari refleksi dan renungan jemaah-jemaah Kristen mengenai Yesus Kristus, maka orang boleh berkata tentang semacam “teologi” tentang ibu Yesus, tentang semacam “Mariologi”. Hanya “teologi” itu bukan “teologi” Mariologi “spekulatif”, melainkan Mariologi “naratif”. Visi jemaah disalurkan melalui “narasi”, bukan melalui konsep dan istilah rasional-teologik.<br /><br />48. Justru karena ciri-coraknya itulah Luk 1-2 dan Mat 1-2 serta Yoh 2:1 dst.; 19:25 dst. begitu penting bagi Mariologi yang menjadi cabang dari teologi dogmatik-spekulatif. Mariologi tidak bermaksud menyusun suatu “riwayat-hidup” atau “psikologi” Maria, melainkan suatu “teologi” tentang ibu Yesus. Mariologi maunya suatu refleksi rasional-ilmiah atas iman kepercayaan Kristen, yang mesti berurat-berakar dalam kerigma apostolik (Perjanjian Baru). Maka Mariologi, yang secara teologik memikirkan kedudukan dan peranan Maria dalam karya penyelamatan serta segala implikasinya, harus mendasarkan diri terutama pada Luk 1-2 (Mat 1-2). Sebab khususnya dalam bagian Injil itulah ditemukan visi kerigma apostolik tentang ibu Yesus, Juru Selamat dan Tuhan umat Kristen.<br /><br />49. Boleh dikatakan bahwa Luk 1-2 (dan kurang Mat 1-2) menjadi awal Mariologi. Sumbangan dari karangan-karangan Perjanjian Baru yang lain hanya kecil dan juga Injil keempat hanya berperan sebagai pelengkap.<br /><br />50. Juga konsili Vatikan II (LG N. 56-59) mendasarkan diri terutama pada Luk 1-2. Hanya ada tambahan-tambahan yang diambil dari karangan-karangan lain yang terkumpul dalam Perjanjian Baru. Dokumen konsili itu (LG bab VIII) tidak mau menyajikan suatu “biografi Maria”, meskipun orang barangkali berkesan demikian. Konsili tidak merepotkan diri dengan kadar historik nas-nas yang dimanfaatkan. Sesuai dengan Perjanjian Baru konsili hanya menyajikan suatu teologi, suatu Mariologi alkitabiah. Dan itulah yang mesti tetap menjadi pangkal dan pengawasan seluruh Mariologi.<br />-------<br />Sebelumnya : <span style="font-style:italic;">{<a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-pendahuluan.html" target="_blank">PENDAHULUAN</a>}</span><br />Selanjutnya : <span style="font-style:italic;">{BAB II: <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-teologi-marial-2.html" target="_blank">MARIA, IBU-PERAWAN</a>}</span></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-2307198642911054422010-02-02T11:32:00.000+07:002010-11-11T03:40:16.475+07:00Mariologi - Pendahuluan<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">PRAKATA</span><br />Terbitnya buku Seri PUSTAKA TEOLOGI, dimaksudkan untuk menyediakan bacaan teologis, sebagai perkenalan bagi mereka yang ingin mengetahui teologi, dan sebagai penyegaran bagi mereka yang pernah studi teologi.<br />Karena teologi merupakan refleksi atas iman, diharapkan bahwa buku Seri PUSTAKA TEOLOGI dapat membantu semua saja dalam usaha mempertanggungjawabkan iman dalam dialog dengan tantangan-tantangan zaman dewasa ini.<br /><br />Redaksi/Penanggung jawab Seri<br />Dr. J.B. Banawiratma, SJ.<br />Dr. Tom Jacobs, SJ.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">KATA PENGANTAR</span><br />Dibandingakan dengan masa sebelum konsili Vatikan II perhatian yang dalam teologi diberikan kepada ibu Yesus agak berkurang. Tak terpungkiri juga bahwa di berbagai daerah dunia Katolik “devosi” umat kepada Maria merosot, malah di sana sini devosi itu mengalami semacam krisis. Banyak praktek devosional yang sudah lazim dalam tradisi umat Katolik kehilangan dampaknya.<br /><br />Karya ini tentu saja tidak bermaksud mengulangi gejala itu. Maksudnya cukup sederhana dan umum. Hanya mau disajikan dalam karya ini suatu misi menyeluruh tentang ibu Yesus seperti terdapat dalam ajaran Gereja Katolik yang l.k. resmi. Sekaligus “devosi marial” mau disoroti dan dibenarkan.<br /><br />Maka bukan maksudnya menyajikan suatu “visi baru”, kalau masih dapat ditemukan. Disinggung sedikit pendekatan baru yang akhir-akhir itu muncul, tetapi yang dampaknya tidak luas atau mendalam.<br />Karya ini dalam Bahasa Indonesia (mudah-mudahan tidak terlalu berbelit-belit) barangkali untuk pertama kalinya memaparkan visi Gereja Katolik menyeluruh tentang peranan Maria dalam tata penyelamatan dan dalam kehidupan umat Katolik. Sedikit juga dikatakan mengenai pendirian gereja-gereja Reformasi tanpa meninggalkan suatu polemik dengan pendirian itu.<br /><br />Semoga karya ini berguna sedikit bagi umat Katolik di Indonesia demi kemuliaan Allah dan Tuhan Yesus Kristus yang nampak pada wajah ibu-Nya. Dengan harapan yang kiranya sama P.Yohanes-Paulus menentukan tahun1987-1988 sebagai tahun Maria (6 Juni – 15 Agustus) untuk menyongsong tahun 2000 sejak tampilnya Juru Selamat.<br /><br />Yogyakarta, 26 April 1987<br />Dr.C. Groenen OFM.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">PENDAHULUAN</span><br />1. Mariologi merupakan sebagian dari teologi dogmatik spekulatif. Mariologi ialah: refleksi teologik mengenai Maria, ibu Yesus, kedudukan dan peranannya dalam karya penyelamatan Allah. Refleksi tersebut haruslah berpangkal pada Kitab Suci dan tetap tinggal dalam rangka iman Gereja Kristus, khusunya Gereja Roma Katolik, setelah Gereja Kristus yang tetap mesti satu nyatanya terpecah menjadi Gereja Ortodoks-Yunani (sejak tahun 1045) dan gereja-gereja, jemaah Reformasi sejak abad XVI dan Gereja Roma Katolik.<br /><br />2. Tentu saja agak mengherankan bahwa dalam teologi Katolik ada suatu “Mariologi” di samping Kristologi, Soteriologi, Eklesiologi, Sakramentologi dan sebagainya. Sebab di samping Allah dan Yesus Kristus tidak ada satu pun orang lain yang menjadi pokok refleksi teologik khusus, kecuali Maria. Teologi ialah refleksi iman mengenai Allah dalam relasi timbal balik dengan manusia, sebenarnya hanya ada dua bagian atau cabangnya. Kedua bagian itu ialah Kristologi, ialah ajaran dan refleksi tentang Yesus Kristus, dan Eklesiologi ialah ajaran dan refleksi mengenai Gereja Yesus Kristus. Kristologi bertitik tolak Allah dan Eklesiologi bertitik tolak manusia (yang diselamatkan). Dalam kerangka Kristologi dapat dan mesti dibahas Allah Tritunggal, Roh Kudus (Pneumatologi) dan Soteriologi. Pokoknya: Dalam rangka Kristologi dibahas Allah yang bagaimana mengerjakan apa dan berkarya bagaimana demi untuk keselamatan manusia. Sedangkan dalam kerangka Eklesiologi, dibahas Gereja sebagai misteri dan lembaga, Sakramen, Kasih karunia (Rahmat) Allah pada manusia. Pokoknya dalam rangka Eklesiologi dibahas:Manusia yag bagaimana menanggapi karya Allah dan dengan cara yang bagaimana manusia, baik secara perorangan maupun dalam kebersamaan menjadi selamat.<br /><span class="fullpost">3. Rupanya dalam kerangka teologi macam itu sukar menemukan suatu tempat khusus bagi Maria. Nyatanya hanya dalam Gereja Roma Katolik Latin berkembanglah suatu Mariologi tersendiri dan itu pun barulah di zaman agak belakangan. Adanya suatu Mariologi tersendiri hanya dapat dibenarkan dengan menunjuk kepada kedudukan dan peranan Maria. Di satu pihak kedudukan dan peranan itu tidak sama dengan kedudukan dan peranan Kristus dalam sejarah dan tata penyelamatan, tetapi di lain pihak kedudukan dan peranan Maria juga tidak dapat disamakan dengan kedudukan dan peranan manusia pada umumnya. Hanya kalau demikian duduknya perkara pantaslah Maria direfleksikan tersendiri, sehingga refleksi itu menghasilkan suatu Mariologi. Hanya muncullah soal baru sebagai berikut. Di mana sebaik-baiknya Mariologi ditempatkan dalam keseluruhan Teologi, dalam kaitan dengan Kristologi atau dalam kaitan dengan Eklesiologi?<br /><br />4. Dalam hal itu para teolog / mariolog Katolik terbagi-bagi. Sebagian teolog menempatkan Maria dalam rangka Kristologi / Soteriologi. Mariologi sebenarnya merupakan penjelasan dan pemerincian ajaran tentang Yesus Kristus dan karyaNya. Melalui refleksi tentang Maria menjadi lebih jelas siapa sebenarnya Yesus Kristus, apa itu “inkarnasi”, bagaimana Allah mengerjakan keselamatan manusia. Mariologi semacam itu sedapat mungkin mendekatkan Maria kepada Juru selamat sendiri. Ditekankan dan diperkembangkan kedudukan dan peranan Maria dalam karya penyelamatan Allah (penebusan objektif istilahnya) demi untuk manusia. Sebagian lain teolog / mariolog condong merefleksikan dan membahas Maria dalam rangka Eklesiologi, dalam rangka penebusan subjektif istilahnya. Maria dilihat terutama sebagai hasil unggul karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Dalam pendekatan ini Maria seluruhnya ada di pihak manusia yang diselamatkan. Ia dilihat sebagai model, pengrealisasian penuh manusia beriman, malah Maria dilihat sebagai model seluruh umat beriman.<br /><br />5. Sikap Konsili Vatikan II agak mendua. Konsili jelas condong mengadopsi pendekatan eklesiologik tersebut. Konsili kan menyajikan Mariologinya sendiri dalam rangka ajarannya tentang Gereja (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium Bab VIII). Namun demikian konsili tidak menolak pendekatan lain. Para Bapa konsili menegaskan bahwa tidak bermaksud menyajikan suatu Mariologi utuh lengkap dan tidak mau memutuskan apa yang masih dipersoalkan dalam teologi Katolik (LG N.54). Nyatanya konsili kurang berhasil mengintegrasikan Mariologinya ke dalam Eklesiologi. Bab VIII konstitusi Lumen Gentium terasa sebagai suatu “appendix”, suatu “tambahan” melulu. Kalau bab VIII dicabut Eklesiologi konsili tidak mendapat rugi sedikit pun dan tidak berubah apa-apa. Maria memang ditempatkan di pihak Gereja. Namun konsili tidak mau (dan tidak dapat) menyamakan kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah dan tata penyelamatan dengan kedudukan dan peranan orang beriman lainnya. Maria mendapat suatu kedudukan dan peranan yang tidak hanya unggul, tetapi juga tunggal.<br />Kalau Maria dimasukkan ke dalam Gereja, maka di dalam Gereja sendiri terpaksa dibuat pembedaan antara Gereja dengan Maria dan Gereja tanpa Maria. Ini suatu “distinctio inadaequata” (tidak seluruhnya berbeda), tetapi toh suatu “distictio realis” (perbedaan yang sungguh-sungguh nyata) dan tidak hanyalah konseptual (distinctio rationis) belaka. Pembedaan antara umat beriman termasuk Maria dan umat beriman tidak termasuk Maria diperteguh oleh P. Paulus VI yang habis sidang konsili yang membahas Gereja dan Maria, meresmikan Maria sebagai “Ibu Gereja”. Gelar itu tidak mau diterima suatu mayoritas Bapa konsili (meskipun tidak menolak apa yang dimaksud dengan gelar itu), sedangkan oleh sejumlah besar Bapa konsili gelar itu justru dianjurkan.<br /><br />6. Seperti tempatnya Mariologi dalam keseluruhan teologi diperdebatkan para teolog Katolik, demikian pun caranya Mariologi mesti disusun dipersoalkan. Ada suatu pendekatan metodologik yang laris sekali sampai konsili VatikanII. Mariologi itu bertitik tolak ajaran resmi (dogma dan quasi-dogma) tentang Maria. Ajaran itu tidak hanya secara spekulatif dijernihkan, tetapi juga dipakai sebagai pangkal untuk perkembangan lebih lanjut. Dipertanyakan apa yang dalam rangka seluruh ajaran resmi masih dapat dijabarkan dari dogma dan ajaran resmi tentang Maria. Ada tendensi kuat untuk terus mengembangkan Mariologi agak terlepas dan menghasilkan “dogma” baru. Tendensi itu sedikit banyak dipimpin oleh slogan “De Maria nunquam satis” (tidak pernah orang dapat mengatakan cukup tentang Maria). Tendensi itu dibendung oleh konsili Vatikan II. Konsili enggan mengembangkan suatu Mariologi terlepas berdasarkan keistimewaan pribadi Maria. Konsili menempatkan Maria dalam rangka sejarah penyelamatan dan mengaitkan Mariologi pada Eklesiologi.<br /><br />7. Dengan demikian konsili Vatikan II mendukung pendekatan metodologik yang lain. Pendekatan itu mau mendasarkan Mariologi pada Alkitab dan mau tinggal dalam rangka Alkitab sebagaimana Kitab Suci diartikan dalam tradisi sejati. Tradisi nyata, yang kadang kala khususnya sehubungan dengan ibu Yesus agak liar, mesti diawasi oleh Kitab Suci dan disaring dengan pertolongan Alkitab.<br /><br />8. Pendekatan metodologik kedua ini – yang hemat kami mesti dibenarkan – tidak terluput dari kesulitan serius. Sebab nyatanya Kitab Suci Perjanjian Baru (hanya ini relevan bagi Mariologi) tidak banyak bicara tentang ibu Yesus. Maka pendekatan metodologik ini menemukan suatu pangkal dan titik tolak yang amat sempit. Boleh dikatakan hanya Luk 1-2 dapat dipakai sebagai titik tolak. Nas-nas lain (Mat 1-2; Yoh 2:1-10.12; 19:25-27; Why 12; Kis 1:14) atau tidak menambah apa-apa atau membutuhkan begitu banyak tafsiran yang kurang pasti, sehingga amat sukar dipakai sebagai pangkal refleksi teologik tentang ibu Yesus.<br /><br />9. Kekurangan data alkitabiah itu mencetuskan masalah dasar. Yaitu: Adakah Maria termasuk ke dalam kerigma apostolik? Teologi dan tradisi sejati hanya dapat mengembangkan kerigma apostolik saja. Kalau Maria tidak secara khusus termasuk ke dalam kerigma itu, maka Maria tidak dapat menjadi suatu tema khusus dalam teologi. Suatu Mariologi khusus tidak berdasar sama sekali dan tidak dapat dibenarkan.<br />Bahwasannya nama Maria dalam rangka pemberitaan (Kerigma) tentang Yesus Kristus disebutkan dalam Perjanjian Baru, tidak membenarkan adanya suatu teologi khusus tentang ibu Yesus. Ada tokoh-tokoh yang jauh lebih sering ditampilkan dalam Perjanjian Baru (misalnya: Yusuf, Pertus, Paulus, Pilatus, Kaifas). Tetapi tidak ada seorang pun yang atas dasar itu mau mengembangkan suatu “Petrologi”, Paulo-logi”, apalagi suatu “Pilato-logi”. Usaha untuk mengembangkan suatu “Yosefo-logi” (teologi tentang Yusuf, ayah angkat Yesus), yang khususnya ditangani sementara teolog di Kanada, tidak mendapat angin. Namun peranan Yusuf dalam Mat 1-2 cukup menyolok. Jadi soalnya: mana dasar bagi Mariologi dalam kerigma apostologik? Perjanjian Baru tidak mewartakan Maria, melainkan Yesus Kristus serta karyaNya. Perlukah Maria secara khusus diikutsertakan dalam pewartaan injil? Mengingat Injil Mrk, karangan-karangan Paulus dan sebagainya, rupanya seluruh Injil dapat diberitakan tanpa Maria.<br /><br />10. Gereja-gereja yang berasal dari Reformasi abad XVI rupanya berkeyakinan bahwa Maria tidak termasuk dalam kerigma apostolik. Sebab – pada umumnya dan secara resmi – dalam teologi dan praxis jemaah-jemaah Reformasi Maria tidak berperan sama sekali dan dapat dilewatkan tanpa rugi sedikit pun untuk keutuhan iman, teologi dan praxis Kristen. Para Reformator sendiri (Luther, Kalvin, Zwingli) dan juga “Pengakuan Iman” awal (seperti Augustana Confessio) serta teolog semula masih menghormati Maria dan menerima ajaran Gereja Kuno tentang Maria (Bunda Allah, keperawanan waktu mengandung dan selanjutnya, kesucian Maria), kalaupun mereka memprotes keterlaluan devosional yang berkembang dalam Gereja Katolik zaman pertengahan. Ajaran tradisional tersebut oleh Reformasi terutama didekati dari sisi kristologiknya. Memang Maria tidak seluruhnya hilang dari jemaah-jemaah Reformasi. Dalam Gereja Luther misalnya masih ada beberapa hari raya yang mengenangkan Maria. Tetapi dampaknya pada praxis dan teologi kecil sekali.<br /><br />11. Sejak abad XVI Maria memang menjadi pokok pertikaian antara umat Reformasi dan umat Roma Katolik, sehingga “devosi marial” para Reformator hilang dari umat Reformasi. Akibat pertikaian itu afek anti-Katolik di kalangan jemaah-jemaah Reformasi menjadi afek anti-Maria. Betapasering pun duduknya perkara dijelaskan dari pihak Katolik (a.l. konsili Vatikan II) umat Reformasi umumnya yakin bahwa umat Katolik “menyembah” Maria. Maria menyingkirkan dan mengganti Yesus Kristus. Meskipun akhir-akhir ini ada sementara teolog Protestan yang sedikit banyak mau kembali kepada awal Reformasi dalam pendiriannya terhadap Maria, namun umat Reformasi (kecuali sementara fundamentalia) tidak merasa dirinya tersinggung dan terpukul, jika seorang teolog mereka blak-blakan menyingkirkan “devosi marial” para Reformator dengan misalnya menyangkal keperawanan Maria waktu mengandung Yesus dan kesucian Maria.<br /><br />12. Di belakang sikap anti-Maria yang sangat emosional tersebut, yang sebenarnya sikap anti-Katolik, tersembunyilah suatu perbedaan ajaran teologi yang mendasar. Dalam Mariologi Katolik ditonjolkan dan digarisbawahi secara ekstrem peranan aktif (kalaupun dalam ketergantungan) manusia dalam karya penyelamatan. Maria hanya menjadi penampakan jitu peranan manusia itu. Dan peranan aktif semacam itu tidak dapat diterima para Reformator dan gereja-gereja yang berpangkal pada mereka. Dengan memutlakkan peranan Allah (hanyalah Allah, hanyalah kasih karunia; solus Deus, sola gratia) mereka sukar dapat menampung peranan manusia, termasuk Maria dan malah manusia Yesus Kristus. Manusia, dalam pendekatan mereka, hanya memegang peranan pasif belaka. Itulah yang menjelaskan sikap Reformasi terhadap Maria. Kelalaian teologi Protestan terhadap Maria hanya dapat dinilai sebagai konsekuensi prinsip yang ada pada para Reformator sendiri.<br />Maria tetap akan tinggal pokok pertikaian antara umat Katolik dan umat Protestan. Umat Protestan tidak dapat mengembangkan suatu Mariologi seperti yang berkembang dalam Gereja Roma Katolik. Tetap akan ada dua pokok pertikaian, yang sebenarnya hanya satu, yaitu Maria dan Sri Paus (sebagai pempribadian Eklesiologi Katolik). Kedua pokok itu sebenarnya hanya satu oleh karena dua-duanya menyangkut peranan aktif manusia dalam karya penyelamatan – begitulah pendekatan Katolik – atau peranan yang pasif belaka, itulah pendekatan Protestan. Dengan demikian Maria dan Sri Paus menjadi hambatan konkret yang paling besar dalam gerakan ekumene.<br /><br />13. Kalau teologi Reformasi condong menyangkal bahwa Maria termasuk kerigma apostolik dan pewartaan Injil, maka teologi Katolik mempertahankan bahwa ibu Yesus termasuk kerigma awal. Maria tidak dapat disingkirkan dari Injil dan dari teologi yang merefleksikan dan melayani pemberitaan Injil. Kedudukan dan peranan Maria dalam Injil tidaklah sama dengan kedudukan dan peranan, misalnya Petrus atau Paulus, dan bahkan tidak sama dengan kedudukan dan peranan Yusuf.<br /><br />Kalaupun benar bahwa Perjanjian Baru mewartakan Yesus Kristus, bukan Maria, namun Maria turut diwartakan dan pewartaan Kristus tanpa Maria tidaklah lengkap.<br /><br />14. Tetapi kerigma apostolik seutuhnya mesti digali dari seluruh Perjanjian Baru dan tidak hanya sebagiannya saja. Seandainya benar, nanti dibahas seperlunya, bahwa Maria sama sekali tidak berperan dalam pemberitaan Mrk dan Paulus dan sebagainya, namun tidak boleh dikatakan, bahwa pemberitaan Mrk, Paulus dan sebagainya sama saja dengan kerigma apostolik. Kerigma apostolik yang tercantum dalam Mat 1-2, Luk 1-2 dan Yoh sama kerigma apostolik. Kerigma apostolik utuh lengkap menjadi pangkal dan titik tolak teologi yang tidak boleh memilih-milih.<br /><br />15. Mariologi Katolik maunya mendasarkan diri pada seluruh kerigma apostolik tersebut. Yang mempunyai peranan paling besar dalam Mariologi tentu saja Luk 1-2 dengan ditambah Yoh 2:1-10.12 ; 19:25-27. Namun dasar dan titik tolak Mariologi bukanlah suatu ayat atau nas, tetapi terlebih “gambaran Maria” menyeluruh tampil dalam Perjanjian Baru.<br /><br />16. Tidak dapat dikatakan bahwa seluruh Mariologi Katolik, baik yang “didogmatisasikan”, maupun yang secara otentik diajarkan secara rasional-ilmiah dapat dijabarkan dari teks Perjanjian Baru. Teks itu sendiri dan terlepas kerap kali cukup dwiarti dan ambivalen, sehingga mengizinkan pelbagai tafsiran. Tradisi lanjutan menafsirkan teks dan mengembangkan isinya ke arah tertentu, yang ditinjau dari sudut ilmu tafsir, hanya salah satu kemungkinan. Boleh dikatakan bahwa khususnya dalam Mariologi tradisi itu memainkan peranan amat penting, justru oleh karena data mariologik Perjanjian Baru sedikit sekali. Dalam tradisi itu ada pelbagai faktor yang turut berperan.<br /><br />17. Faktor yang dari sisi teologi paling penting ialah perkembangan dan refleksi teologik di bidang lain, khususnya dalam Kristologi dan Eklesiologi. Tidak serba kebetulan bahwa juga dalam Perjanjian Baru data mariologik terutama tampil dalam bagian-bagian perjanjian Baru yang agak belakangan dalam waktu. Kerigma kristologik yang tercantum dalam bagian-bagian itu relatif sudah maju. Dalam rangka ini barulah Maria tampil ke depan. Bobot Kristologi juga menentukan bobot Mariologi.<br /><br />18. Faktor lain yang cukup penting dalam perkembangan Mariologi Katolik ialah agama dan devosi rakyat. Agama dan devosi itu tidak jarang tercermin dalam ibadat resmi dan dengan demikian direstui. Betapa pentingnya faktor itu, namun mesti diakui bahwa agama dan devosi rakyat (meski termasuk ibadat sekali pun) karena sifatnya sendiri agak ambivalen. Devosi itu tidak hanya menimba inspirasinya dari kerigma apostolik dan tradisi sejati, tetapi juga dari lingkungan nyata, dari tradisi-tradisi keagamaan lain. Tidak mustahil – sebaiknya, boleh dikatakan wajar – bahwa rakyat memindahkan pelbagai motif mitologik dari agama kafir (dewi kesuburan, keibuan sakral, kewanitaankosmik) kepada ibu Yesus. Agama devosi rakyat juga tidak bekerja dengan konsep intelektual yang tuntas, tetapi dengan simbol-simbol dan lambang-lambang yang artinya agak kabur dan tidak menentu. Nyatanya peranan Maria dalam agama rakyat Kristen menjadi semakin penting, semakin Kristologi menjadi spekulatif, sehingga Yesus Kristus sendiri bagi rakyat secara eksistensial dan emosional menjadi kurang mengesan dan kurang relevan. Semakin keilahian Kristus ditekankan, semakin Maria tampil sebagai lebih “dekat”.<br /><br />19. Tetapi justru devosi rakyat yang cukup ambivalen itu mendorong dan memajukan refleksi teologik tentang Maria. Refleksi itu di satu pihak disuburkan oleh devosi rakyat, di lain pihak refleksi itu (haruslah) mengawasi dan membetulkan devosi itu. Apa yang secara intuitif dilihat oleh rakyat beriman, oleh rafleksimesti dijernihkan dan dipasang dalam keseluruhan iman dan ajaran Kristen. Dan refleksi teologik yang disuburkan oleh devosi pada gilirannya diawasi oleh kerigma apostolik yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Itu tentunya tidak berarti bahwa pada sementara orang (kelompok) dan untuk sementara waktu, juga refleksi teologik, tidak dapat tersesat. Sebaliknya, ada kalanya juga teologi kehilangan keseimbangan dan arah. Tetapi dalam peredaran waktu kesesatan dibetulkan lagi, entah dari dalam entah dari luar. Itu suatu keyakinan yang berdasarkan iman bahwa Gereja, umat Kristen, secara menyeluruh tidak sesat dalam imannya, melainkan tetap setia pada awal mulanya, Yesus Kristus.<br /><br />20. Meskipun ada pengaruh timbal balik antara devosi rakyat dan refleksi teologik, namun dua-duanya bergerak pada jalur yang lain. Devosi rakyat terarah kepada Maria sendiri sebagai pribadi. Meskipun relasi Maria dengan Allah dan Kristus secara kabur turut disadari oleh rakyat, namun pusat perhatian ialah Maria sendiri. Justru dalam hal itu terletak bahaya yang ada dalam agama rakyat. Unsur-unsur yang seharusnya menjadi suatu kesatuan, menjadi terisolasi dan mendapat nilai mutlak. Dalam devosi rakyat boleh jadi Maria menjadi terisolasi dari Allah dan Yesus Kristus. Kalau demikian Maria menjadi dewi dan Kristus disingkirkan. Sebaliknya refleksi teologik selalu melihat dan memikirkan Maria dalam relasinya dengan Allah dan Kristus dan dalam relasinya dengan pokok-pokok iman Kristen yang lain. Dengan lain perkataan: Maria dilihat “relatif”. Dengan demikian teologi dapatmembendung bahaya yang terkandung dalam agama dan devosi rakyat. Tetapi teologi nyatanya begitu abstrak dan berbelit-belit, sehingga kurang mengena di hati. Padahal “agama”dan “iman” bukanlah pertama-tama perkara otak dan konsep, melainkan perkara hati dan simbol. Karena itu teologi, kalau mau melayani eksistensi Kristen, membutuhkan devosi rakyat.<br /><br />21. Nyatanya sepanjang sejarah teologi menjadi begitu jauh dari hidup sehari-hari umat beriman, sehingga devosi kepada Maria, yang justru berurat berakar dalam hidup sehari-hari kalah terhadap bahaya sinkretisme. Tidak sedikit unsur kafir berhasil menyusup ke dalam devosi itu. Soalnya bukanlah bahwa pelbagai simbol kafir diambil alih. Terhadapnya tidak ada keberatan dasariah. Tetapi terjadi bahwa juga arti dan isi simbol itu dipindahkan kepada ibu Yesus. Kritik yang dilontarkan Reformasi dan umat reformasi sampai dengan hari ini tidak seluruhnya meleset dan tidak jarang diberi makan oleh devosi dan agama rakyat Katolik.<br /><br />22. Dalam pembahasan berikut diuraikan terlebih dahulu Mariologi teologik, dasar dan perkembangannya. Tetapi oleh karena teologi seharusnya melayani praxis, maka bagian kedua membahas sedikit devosi marial serta dengan gejala-gejalanya. Bagian kedua itu boleh diberi judul: “Mario-duli”.<br />------<br />Selanjutnya : {BAB I : <a href="http://bundamaria.blogspot.com/2010/02/mariologi-teologi-marial-1.html" target="_blank">MARIA, IBU YESUS</a>}<br />------<br />Ingin lihat versi lengkapnya? Klik <a href="http://www.ziddu.com/download/9798322/MARIOLOGI.pdf.html" target="_blank">di sini</a>.<br /></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-85548953389926674662009-11-27T19:20:00.000+07:002010-05-01T14:10:08.317+07:00Ndhèrèk Dèwi Maria<div style="text-align: justify;">Ikut Ibu Maria, begitulah kira-kira terjemahan bebasnya. Di lingkungan umat Katolik di Jawa lagu Ndhèrèk Dèwi Maria tentu sangat populer. Beberapa dari kita sangat menyukai lagu ini karena memang syair lagu ini sangat menyentuh. Coba simak syair lagu tersebut berikut ini:<br /></div><span class="fullpost"><br />Ndhèrèk Dèwi Maria temtu geng kang manah, mboten yèn kuwatosa Ibu njangkung tansah. Kanjeng Ratu ing swarga amba sumarah samnya.<br />Sang Dewi, Sang Dewi, mangestanana. Sang Dewi, Sang Dewi, mangestanana.<br /><br />Nadyan manah getera dipun godha sétan, nanging batos èngetnya wonten pitulungan.<br />Wit sang putri Maria mangsa tega anilar.<br />Sang Dewi, Sang Dewi, mangestanana. Sang Dewi, Sang Dewi, mangestanana.<br /><br />Menggah saking apesnya ngantos kèlu sétan, mboten yèn ta ngantosa klantur babar pisan.<br />Ugeripun nyenyuwun Ibu tansah tetulung.<br />Sang Dewi, Sang Dewi, mangestanana, Sang Dewi, Sang Dewi, mangestanana.<br /><br />Ingin mempelajari lagunya? Download not lagunya <a href="http://www.ziddu.com/download/9679532/NdherekDewiMaria.pdf.html" target="_blank">di sini</a>.<br />Penasaran seperti apa lagunya? Download MP3-nya <a href="http://www.ziddu.com/download/9672704/LaguMaria-NdherekDewiMaria.mp3.html" target="_blank">di sini</a>.<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-24019724644984785312009-11-26T18:51:00.000+07:002009-11-26T19:01:31.939+07:00Pentingnya Rosario Keluarga<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_0Xv5x4S68BM/Sw5sd0P1YnI/AAAAAAAABmA/Y48dlBeTTK8/s1600/rosario.jpg"><img style="margin: 0pt 5px 5px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 122px; height: 121px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_0Xv5x4S68BM/Sw5sd0P1YnI/AAAAAAAABmA/Y48dlBeTTK8/s200/rosario.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5408379462015607410" border="0" /></a>Artikel ini diambil dari booklet “Our Glorious Faith and How To Lose It”, penulis: P.Hugh Thwaites,SJ. Booklet itu terdiri atas beragam cerita berbeda mengenai bagaimana kita bisa kehilangan keyakinan kita, tetapi artikel di bawah ini hanya akan membahas hal tersebut dikaitkan dengan Rosario Suci. Berikut adalah pesan-pesan P.Thwaites.<br /><br />Tanpa menunda-nunda lagi, sekarang saya mau berbicara mengenai tema saya. Tampak bagi saya bahwa penyebab utama dari hilangnya keyakinan kita adalah menurunnya praktek Rosario keluarga.<br /><br />Di Austria, setelah Perang Dunia II, terjadi keruntuhan total. Selama satu tahun, kelihatannya, tidak ada satu orang pun yang masuk seminari. Lalu Uskup menyelenggarakan musyawarah gereja, untuk mencari tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa perang telah begitu mengacaukan kehidupan keluarga-keluarga yang selama bertahun-tahun mempraktekkan Doa Rosario di rumah-rumah mereka. Praktek Doa Rosario ini berhenti dan tidak pernah dimulai kembali. Saya juga pernah mengalaminya; ketika sudah tidak berdoa Rosario lagi, keyakinan saya lama kelamaan runtuh.<span class="fullpost"><br /><br />Saya ingat sesorang yang pernah bercerita kepada saya mengenai salah seorang temannya (seorang Katolik yang kuat – teladan umat Gereja), yang semua anaknya “hilang”, satu demi satu. Anak-anaknya menjauhi sakramen-sakramen dan misa-misa. Saya berkata kepada teman saya,”Berani taruhan kalau temanmu itu sedari kecil sudah terbiasa untuk berdoa Rosario keluarga, tetapi anak-anaknya tidak.” Di hari lain saya bertemu dengan teman saya lagi, teman saya bilang kalau saya benar. Temannya teman saya memang sejak kecil terbiasa untuk berdoa Rosario keluarga di rumah, dan ketika dia menikah dan memulai kehidupan keluargnya sendiri, pertama-tama mereka suka memanjatkan Doa Rosario. Tetapi kemudian, di suatu sore, ketika mereka baru mau memulai Doa Rosario, salah satu anak mereka menyalakan televisi, dan semua kejadian sekarang berawal dari situ… Kebiasaan berdoa Rosario keluarga menurun, dan akhirnya mereka menyerah untuk tidak melakukan praktek keyakinan itu lagi.<br /><br />Dari pengalaman itu terlihat bahwa satu tindakan yang tidak ditegur kelihatannya akan mempengaruhi kelanggengan beberapa orang. Tuhan mengirimkan BundaNya dari Fatima untuk mengatakan kepada kita bahwa kita harus berdoa Rosario setiap hari. Tidak ada doa lain yang Bunda minta untuk kita doakan.<br /><br />Oleh karena itu, kita seharusnya melakukan apa yang Bunda minta.<br /><br />Suatu kali saya bertemu dengan seorang awam yang tidak berdoa Rosario, tapi dia membaca Kitab Suci setiap hari. Itu bagus, sesuai dengan apa yang diminta oleh Pastor, tetapi bukan itu yang diminta oleh Bunda kita. Bunda meminta Rosario. Jika seorang Ibu mengirimkan anaknya untuk membeli sebotol susu, dan anaknya malah kembali dengan es krim, apakah Ibunya akan senang? Es krim memang lebih enak daripada susu, tapi bukan itu yang Ibunya minta.<br /><br />Di Nazareth, apakah kamu pikir Bunda kita meminta sesuatu sampai dua kali? Jika kita ingin seperti Yesus, kita harus melakukan apa yang diminta oleh BundaNya. Jika kita tidak melakukannya, apakah kita dapat mengharapkan segala sesuatunya berjalan dengan baik? Kita tak dapat melanggar Bunda Tuhan, tanpa noda dosa. Bunda tahu lebih baik daripada kita mengenai bahaya-bahaya dari peperangan spritual ini. Dia dapat melihat dengan lebih jelas daripada kita mengenai bahaya-bahaya di sekitar kita. Bunda memperingatkan kita: Kamu harus berdoa Rosario setiap hari.<br /><br />Jika seorang mekanik mengingatkanmu bahwa mobilmu butuh perbaikan atau apa pun yang akan rusak, pasti kamu akan memperhatikan peringatan itu? Jika petunjuk bahan bakar memperingatkan kamu bahwa kamu membutuhkan bahan bakar lebih, apakah kamu tidak melakukan sesuatu terhadap hal itu? Dan jika Bunda kita datang dari Fatima dan berkata kepada kita (tidak hanya sekali tapi enam kali) bahwa kita harus berdoa Rosario setiap hari, apakah kita akan mengabaikan peringatan itu? Kalau seperti itu, berarti kitalah yang sepatutnya disalahkan apabila kita mendapati anak-anak kita kehilangan keyakinannya.<br /><br />Saya tahu bahwa Fatima hanyalah sebuah pengungkapan rahasia pribadi, tapi walaupun demikian Gereja telah mensahkan hal itu, dan hal itu malah membuat kita untuk segera mengabaikannya. Jika Gereja memberitahukan kita bahwa Bunda kita benar-benar datang ke Fatima dan mengatakan kepada kita segala hal di atas, berarti kita harus mendengarkan kata-kataNya. Tampak nyata bahwa orang-orang Katolik yang tidak menganggap Fatima sebagai suatu hal yang serius dan tidak berdoa Rosario tiap hari di rumah mereka, menjadi sangat mirip dengan orang-orang Yahudi yang mentertawakan Yeremia. Jika Tuhan mengirimkan kita para RasulNya dan kita tidak mengangap mereka secara serius, maka kita punya seluruh Perjanjian Lama yang dapat mengatakan kepada kita mengenai apa yang akan terjadi sebagai akibatnya. Tetapi di Fatima, Tuhan mengirimkan kita, bukan para RasulNya, tetapi BundaNya yang Tanpa Noda.<br /><br />Jadi, saya pikir meninggalkan kebiasaan Rosario keluarga adalah sebab utama mengapa begitu banyak orang Katolik yang kehilangan keyakinannya. Tampak bagi saya bahwa Gereja yang akan datang hanya akan terdiri semata-mata dari keluarga-keluarga yang setia berdoa Rosario. Selebihnya, berasal dari keluarga-keluarga yang dulunya Katolik.<br /><br />Selama saya bekerja mengunjungi rumah-rumah, saya sudah melihat akhir yang seperti ini. Rumah dapat ditransformasikan kembali dengan mulai mengumandangkan Doa Rosario tiap hari. Saya ingat seorang wanita bercerita kepada saya bahwa dia tidak dapat cukup berterimakasih pada saya yang mengomelinya untuk memulai berdoa Rosario; Doa Rosario telah menyatukan keluarganya kembali seperti tidak pernah terjadi sebelumnya.<br /><br />Saya juga ingat akan sebuah keluarga yang pernah saya hubungi. Ada suatu suasana aneh di sana; anak-anaknya tidak bersuara dan istrinya kelihatan menarik diri, sedangkan suaminya sedang mau memulai Doa Rosario keluarga. Ketika saya hubungi mereka kembali 2 bulan kemudian, atmosfirnya sudah berbeda. Anak-anaknya banyak cakap, istrinya ramah, dan suaminya, sesudahnya, berjalan-jalan dengan saya di luar, mengatakan betapa luar biasanya rumah mereka karena sudah lebih banyak kegembiraan di dalamnya.<br /><br />Satu alasan, saya pikir, mengapa Doa Rosario tiap hari dapat membuat rumah bahagia, adalah ini. Dari beberapa orang yang rajin,dan dari beberapa perkataan santo/santa, kelihatannya kuasa jahat takut terhadap Rosario. Rosario membuat rambut mereka habis, juga bisu. Air Suci memang dapat mengusir mereka, tapi mereka akan kembali. Doa Rosario tiap hari dapat mengusir mereka pergi dan menahan mereka di luar. Hal itu dapat diibaratkan seperti hidup di rumah tua dengan banyak tikus dimana-mana. Satu-satunya jalan untuk mengusir tikus itu adalah dengan kucing-kucing. Jika kamu punya sepasang kucing, setelah satu atau dua minggu tidak akan ada lagi tikus-tikus. Tikus-tikus takut pada aroma kucing-kucing yang sangat menyengat. Dan di dalam sebuah rumah yang setiap harinya dikumandangkan Doa Rosario, setelah suatu waktu, kuasa jahat sadar bahwa mereka tidak berdaya di hadapan Bunda kita, dan pergi ke tempat lain.<br /><br />Pasti inilah alasannya mengapa, seperti yang mereka katakan,”Keluarga yang berdoa bersama, tetap bersatu.” Di rumah seperti itu, yang sungguh-sungguh bebas dari roh-roh jahat, ada suatu atmosfir yang tidak dapat ditemukan di luar. Di dalam sebuah kota yang dikerumuni setan seperti London, tempat saya tinggal, rumah seperti itu bagaikan sebuah oase dari nikmat Tuhan, dan orang-orang akan mendapatkan sebuah kenyamanan dan kedamaian di sana yang dapat mereka nikmati sepuasnya/ kita manusia tidak dimaksudkan untuk hidup di perusahaan iblis, tapi untuk hidup dengan Tuhan dan para malaikat serta para santo/santaNya di Surga.<br /><br />Jadi, seperti yang saya lihat, dalam upaya ini, kita jaga keyakinan kita dan kita sebarluaskan praktek Doa Rosario yang tidak bisa dihapuskan sama sekali. Apa pun yang mungkin dilakukan seseorang, walaupun mereka pergi menghadiri Misa setiap hari, mereka tetap harus mendoakan Rosario di rumah mereka setiap hari. Itu adalah obat yang Bunda bilang kita untuk ambil, untuk menjaga kekuatan dan baiknya keyakinan kita.<br /><br />Sumber: http://olrl.org/misc/fmrosary.shtml<br />Penterjemah: Ursula Brigitta Tiwow<br />Sumber Tulisan: Majalah Ave Maria – Edisi September Oktober (AM-56)</span><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-4356598279853843462009-11-17T18:39:00.000+07:002009-11-26T18:57:18.624+07:00Anda Memiliki Keputusan Sulit Untuk Dibuat? Garabandal Memiliki Jawabannya.<div style="text-align: justify;">Seperti para penglihat, kita harus tetap tebuka bagi roh Tuhan untuk berkarya dalam diri kita. Sekali kita membiarkan diri kita tetap terbuka kepada rencana Tuhan, kita dapat mulai memastikan apa rencana itu.<br /><br />Kita semua pernah berada di sana… berjalan di sepanjang jalur kehidupan saat tiba-tiba dan seringkali pada saat-saat yang kurang nyaman, kita sampai pada sebuah cabang di jalanan.<br /><br />Sepertinya makin jauh kita memikirkan satu pilihan, kelihatannya semua pilihan semakin baik. Di saat-saat itu kita dapat bertindak dengan cara yang berlainan. Kita dapat menutup mata kita dan melompat di satu arah atau arah lainnya tanpa sebenarnya menentukan apa yang kita lakukan. Kita dapat bermai permainan kanak-kanak, ganjil dan genap, permainan “satu kentan, dua kentang” dan membiarkan itu menentukan jalur bagi kita. Kita dapat menduga apa yang keluarga, teman-teman, atau masyarakat akan lakukan, atau bahkan meminta anjuran mereka. Yang lain akan mencari bantuan dari astrologi, kartu ramalan, peramal nasib, atau seorang “sahabat psikis”.<br /><span class="fullpost"><br />Akhirnya, kami dapat menentukan pilihan mana yang membuat kita merasa atau kelihatannya lebih baik, memberi kita lebih banyak uang dan popularitas, atau membantu kita mencapai kekuasaan dan pengaruh. Masalahnya dengan strategi tersebut adalah, mereka mengabaikan nasihat dan bantuan terbaik yang tersedia, yaitu yang berasal dari Tuhan. Saya telah menemukan bahwa pesan-pesan dan peristiwa-peristiwa Garabandal memberikan saya “peta perjalanan” yang sangat baik untuk membuat keputusan yang sulit. Kapan saja kamu dihadapkan dengan sebuah keputusan sulit, tanyakan diri Anda sendiri pertanyaan-pertanyaan ini dan pikirkan mengenai “Jawaban Garabandal”.<br /><br />Apakah saya menempatkan keinginan Tuhan lebih dahulu daripada keinginan saya?<br />Seringkali masyarakat kita mengajarkan bahwa “apa saja yang saya inginkan, harus saya kejar”, tapi apakah itu selalu menjadi jalan Tuhan? Yesus dan BundaNya yang terberkati telah berulang kali mengatakan pada kita di Garabandal dan di tempat lain, bahwa kita tidak hanya harus memiliki iman bahwa Tuhan akan menolong kita, tapi bahwa kita harus mematuhi jalan Tuhan saat itu ditunjukkan pada kita. Para penglihat tidak selalu mengerti apa yang diberitahukan kepada mereka, atau mereka tidak perlu setuju. Tetapi saat itu menjadi nampak bagi mereka bahwa itu merupakan kehendak Tuhan bagi mereka dan mereka melakukannya, karena mengikuti kehendak Tuhan itu sendiri merupakan sebuah tindakan iman.<br /><br />Conchita seringkali berkata,”Apa saja mungkin bagi Tuhan”, maka saat seseorang merasakan dorongan dari Tuhan untuk sebuah jalan yang ditunjukkan, dia tidak perlu khawatir akan kemungkinan keberhasilan, karena faktanya jika seseoang bertindak menurut kehendak Tuhan, itu akan memastikan keberhasilan. Dengan keberhasilan, tentu saja, itu tak berarti keberhasilan menurut istilah kita, tetapi menurut rencana Tuhan.<br /><br />Banyak orang akan mengatakan bahwa seseorang tidak dapat membaca kehendak Tuhan seperti dalam surat kabar. Mungkin mereka benar untuk tingkatan tertentu, tetapi di titik awal ini dalam proses pembuatan keputusan, kita seharusnya memastikan bahwa pilihan kita tidak hanya didasarkan pada tingkah laku atau keinginan pribadi kita dan mengabaikan yang lainnya. Seperti para penglihat merenungkan apa yang menjadi rencana Tuhan untuk masa depan mereka, kita harus tetap terbuka bagi Roh Tuhan yang berkarya di dalam diri kita.<br /><br />Apakah pilihan ini membantu saya untuk lebih mengasihi Tuhan dan orang lain?<br />Sekali kita membiarkan diri kita sendiri tetap terbuka bagi rencana Tuhan, kita dapat mulai memastikan apakah rencana itu. Kedua perintah dari Perjanjian Baru adalah tempat yang baik untuk memulai. Pertama, pilihan yang mana akan membantu kita menunjukkan kasih kepada Tuhan dengan lebih efektif? Beberapa kriteria harus kita pilih di antara memfokuskan diri kita untuk membeli sebuah rumah dan pergi di sebuah peziarahan keagamaan ke Fatima, Lourdes, dan Garabandal. Meskipun kita telah bergulat untuk jangka waktu lama untuk mencari sebuah rumah yang bagus dengan harga yang baik, adalah jelas bagi kita pilihan mana yang akan membantu kita untuk lebih mengasihi Tuhan. Conchita menjelaskan bahwa kedua cintanya yang terbesar adalah kasih kepada Tuhan dan kepada Perawan Terberkati. Dia juga membuat itu jelas bahwa dia ingin mengurbankan apa saja demi kedua kasih yang besar ini.<br /><br />Setelah meningkatkan kasih kita kepada Tuhan, hal kedua yang harus kita fokuskan adalah meningkatkan kasih kita kepada orang lain. Para penglihat selalu menunjukkan perhatian dan cinta di antara mereka sendiri dan kepada orang-orang di sekitar mereka. Contohnya saat sang Perawan tampak lebih sering kepada Conchita daripada yang lainnya, Conchita meminta kepada Bunda Kita untuk tampak lebih sering kepada Mari Cruz. Pilihan mana yang akan lebih membantu orang lain atau setidaknya akan membantu kita untuk lebih menolong orang lain? Sekali lagi pilihan rumah atau peziarahan kita akan lebih jelas…dengan pergi di sebuah peziarahan kita akan mengalami Tuhan dengan lebih dekat dan dibentuk menjadi lebih peka untuk membantu orang lain, tetapi kemampuan kita untuk membantu mereka yang kurang beruntung kelihatannya tidak tergantung pada keberhasilan kita membeli sebuah rumah, terlebih lagi jenis rumah apa yang kita beli.<br /><br />Bagaimana pilihan ini dihubungkan dengan menolong saya memenuhi tugas / peran yang Kristus inginkan bagi saya?<br />Salah satu cara kitadapat memastikan kehendak Tuhan adalah dengan berpikir bagaimana sebuah pilihan akan membantu kita mengikuti contoh Kristus. Buku-buku Meniru Kristus dan Meniru Maria adalah sangat populer karena orang ingin lebih mengerti dan menghargai bagaimana mereka dapat “melihat” Kristus dan BundaNya yang Terberkati dalam sikap dan tindakan. Telah dikatakan bahwa “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.”(Mat.20:28). Di Garabandal, Bunda Kita menunjukkan semangat pelayanan ini dalam semuanya dari mengajari para gadis untuk memperhatika keperluan mereka sendiri sampai menjawab pertanyaan-pertanyaan perngunjung melalui para penglihat. Singkatnya, Garabandal adalah mengenai peruntuhan halangan-halangan, dan Bunda Kita seringkali lakukan itu di sebuah desa dimana pelayanan timbal-balik sudah menjadi adat.<br /><br />Pilihan yang mana yang akan membantu saya memberikan contoh yang baik kepada orang lain?<br />Suatu kali, saya menanyakan pada sebuah kelas yang saya ajar,”Mana yang akan memberikan contoh terbaik, mengalahkan seseorang dalam sebuah permainan atau mengajarkan mereka bagaimana untuk memainkan permainan dengan lebih baik?” Banyak murid yang memilih mengalahkan lawan melebihi mengajari mereka, membenarkan pilihan ini dengan mengatakan itu bukanlah ide yang baik untuk mengajar lawan bagaimana meningkatkan kemampuan atau bahwa mengalahkan lawan lebih menyenangkan daripada mencoba mengajar sesuatu kepada mereka. Saya mencoba untuk menunjukkan bahwa “menang/menang” selalu adalah jawaban yang lebih baik untuk masalah apapun,dan bahwa dengan mengajar kita tidak hanya meningkatkan diri kita sendiri namun mungkin juga mendapatkan sahabat dalam proses itu. Meskipun kita tidak terlalu sombong di contoh rumah/peziarahan kita untuk menganggap diri kita sendiri sebuah contoh kepada siapapun, saya pikir siapapun yang melihat pilihan kita mungkin dibuat untuk berpikir lebih berhati-hati mengenai pilihan mereka juga. Sekali kita memberikan contoh, itu tergantung kepada orang lain untuk mengikutinya namun jika kita gagal untuk memberikan contoh itu, kita telah kehilangan sebuah kesempatan untuk membantu orang lain.<br /><br />Bayak cerita Garabandal adalah mengenai memberikan sebuah contoh baik atau model pada orang lain. Bunda Maria memberikan sebuah contoh bagaimana untuk berdoa, yang para penglihat ikuti. Ini memiliki sebuah pengaruh pada para saksi, yang hidup doanya digugah. Sekali itu menjadi jelas bahwa gadis yang tak berdosa ini adalah penglihat, banyak orang lebih memperhatikan bagaimana mereka bertindak dan memperlakukan orang lain, sehingga memberikan lahan subur untuk peniruan.<br /><br />Pilihan mana yang akan membantu saya untuk menjalani hidup yang lebih suci?<br />Kamus menjelaskan “suci” sebagai “menjadi ilahi atau berdasarkan dalam kebaikan.” Jika saya memilih untuk pergi berjudi atau berdansa daripada menghadiri Misa, pilihan saya tidak membantu saya untuk menjadi lebih suci. Terlebih lagi, meskipun kita tidak sadar akan kesucian dalam pilihan rumah/peziarahan, perjalanan tampak jelas akan setidaknya membantu kita untuk lebih menyadari kesucian dalam hidup kita. Di Garabandal, kita melihat bahwa penampakan terkadang dibatalkan karena di sana ada dansa atau pesta yang terlalu dekat dengan penampakan di waktu atau tempat bersamaan. Juga, para warga desa menjadi sangat sadar cara para penglihat bertindak dan bagaimana mereka menunjukkan hormat penuh pada penampakan dan para pengunjung.<br /><br />Sudahkah saya berkonsultasi dengan Alkitab?<br />Satu hal membuat jelas di Garabandal bahwa Sabda Tuhan adalah segi penting bagi semua pikiran dan tindakan. Tak pernah Bunda Terberkati merendahkan nilai membaca Alkitab atau berkonsultasi dengan itu. Terlebih lagi, setiap hal yang dikatakan atau dilakukan adalah konsisten dengan ajaran Alkitab. Pada zaman dimana para pemberontak berusaha membengkokkan dan merusak Alkitab untuk menyesuaikan pandangan mereka akan kebenaran, Garabandal berdiri sebagai contoh bahwa kebenaran ditemukan di halaman-halaman itu, yang sekarang diinjak-injak oleh banyak orang. Setiap hari dari Garabandal mengatakan kepada kita bahwa adalah orang bodoh yang mengabaikan, merusak, serta menginjak-injak kebenaran, maka kebenaran harus dikonsultasi dimana saja mungkin.<br /><br />Sudahkah saya berdoa?<br />Satu segi utama dari pesan-pesan Garabandal adalah doa. Untuk membuat keputusan tanpa doa adalah seperti membuat keputusan tanpa Tuhan. Tidak hanya Sang Perawan mengjarkan para gadis bagaimana untuk berdoa dengan benar, tetapi beliau seringkali menghubungkan doa sebagai strategi di setiap keadaan. Doa adalah lebih dari mengucapkan terimakasih, pujian, mengingat, atau meminta: itu adalah jembatan rohani dan adikodrati kepada Yang Mahakuasa yang akan membawa kita kepadaNya.<br /><br />Sudahkah saya mencari bimbingan dari seorang pelindung, seperti seorang imam?<br />Sebuah segi utama lain dari Garabandal adalah yang berhubungan dengan para imam. Banyak orang akan mengatakan bahwa bimbingan ini ironis atau munafik, tetapi mereka akan jatuh ke dalam perangkap yang dipasang oleh setan. Di sana tidak ada hal yang lebih diinginkan setan daripada menolak para imam sebagai penolong di saat kita membutuhkannya. Ini tidak berarti bahwa kita dengan membabi buta mengikuti anjuran atau pendapat imam dan kemudian menggunakannya sebagai alasan untuk sebuah keputusan yang dibuat dengan buruk.<br /><br />Apa yang ini berarti bahwa kita mencari, dengan bantuan Tuhan, seorang imam yang baik dan suci, lalu mencari anjurannya di semua hal rohani yang penting. Untuk “melempar keluar para imam dengan skandal” akan menyalahkan pilihan Tuhan akan para imam sebagai wakil khusus dan unik. Di Garabandal, kita melihat bagaimana Sang Perawan meminta para penglihat untuk berdoa untuk para imam supaya mereka dapat melaksanakan fungsi-fungsi mereka dengan cara yang suci dan memberi contoh baik kepada orang lain.<br /><br />Maka kita melihat bahwa pilihan-pilihan rohani kita yang penting selalu memasukkan anjuran orang-orang religius yang ditemukan setelah pemeriksan berhati-hati akan kesucian mereka. Kita tidak mencari seorang religius yang akan setuju akan apapun yang kita katakan dan kemudian memilih itu demi kenyamanan kita. Kita harus tetap terbuka bagi suara Tuhan dari religius itu, dan kita akan lebih terbuka dengan religius yang suci jika kita terbuka bagi kesucian di dalam kehidupan kita sendiri.<br /><br />Sudahkah saya menjawab pertanyaan di atas dengan jujur?<br />Semua cerita peristwa-peristiwa Garabandal menunjukkan bahwa para penglihat selalu jujur dalam perilaku dan kata-kata. Kata-kata seperti “terus terang” dan “polos” seringkali digunakan untuk menggambarkan gadis-gadis ini. Itu juga harus diingat bahwatak pernah Sang Perawan “membalut dengan gula” pesan-pesannya atau meminta para gadis untuk melakukan itu. Di sebuah dunia dimana putaran dan permainan kata seringkali digunakan para pemimpin dan politikus, menjadi jujur dan terbuka tidak selalu dikagumi. Namun akhirnya, itu memberikan kita sedikit kebaikan untuk mengikuti bimbingan untuk membuat keputusan jika kita tidak jujur akan diri kita sendiri dalam prosesnya!<br /><br />Kesimpulan<br />Kita tahu bahwa membuat keputusan yang sulit adalah bagian dari kehidupan dan bahwa tidak semua pilihan benar-benar rohani dan berarti bagi jiwa kita, keselamatan kita, dan kesucian kita. Sewaktu itu adalah selalu baik untuk meminta bantuan Tuhan dalam menentukan pilihan, kita harus terlebih lagi mencari bantuan itu saat pilihan-pilihan itu secara langsung mempengaruhi hubungan kita dengan Pencipta kita.<br /><br />Pada kasus-kasus tersebut, kita dapat mengikuti garis pedoman seperti yang sudah diberikan di atas. Dengan melakukan itu, kita akan melihat bahwa Garabandal memberi kita contoh-contoh nyata dari setiap garis pedoman, maka dapat digunakan untuk membantu kita membuat pilihan yang lebih baik. Semoga Bapa kita Yang Maha Kuasa, PutraNya Penebus kita, dan Perawan Terberkati selalu menjadi Sahabat dalam pilihan-pilihan kita!<br /><br />Sumber: Garabandal International<br />Ditulis oleh: Gabriel Garnica<br />Penterjemah: Ryanth Atmadja<br />Sumber Tulisan: Majalah Ave Maria - Edisi September-Oktober 2009 (AM-56)</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5168966046163140075.post-69334091313832773302009-11-13T11:33:00.000+07:002009-11-13T13:00:13.265+07:00Rosario, Doa Yang Penuh Kuasa Bagi Perdamaian<div style="text-align: justify;">VATIKAN CITY (CNS) -- Rosario adalah doa yang penuh kuasa untuk perdamaian, untuk keluarga, serta untuk merenungkan peristiwa-peristiwa dalam hidup Yesus, demikian kata Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostolik yang baru diterbitkannya.<br /><br />Sementara memuji mereka yang dengan setia berdoa rosario dengan merenungkan peristiwa-peristiwa seperti yang biasa dipakai selama ini, paus juga menganjurkan tambahan lima “peristiwa cahaya” - yaitu masa perutusan Yesus di hadapan orang banyak - untuk lebih menekankan fokus rosario pada Kristus.<br /><br />Paus Yohanes Paulus II menandai peringatan 24 tahun pelantikannya sebagai paus pada tanggal 16 Oktober dengan menandatangani surat apostolik “Rosarium Virginis Mariae” (“Rosario Santa Perawan Maria”), pada saat mengadakan audiensi umum mingguan.<span class="fullpost"><br /><br />Bapa Suci memaklumkan Tahun Rosario hingga bulan Oktober mendatang, serta meminta setiap orang untuk berdoa rosario dengan lebih sering, dengan penuh cinta dan dengan pemahaman bahwa doa rosario akan mempersatukan mereka dengan Bunda Maria serta menghantar mereka kepada Yesus.<br /><br />Kelima peristiwa baru yang dianjurkan Bapa Suci adalah:<br /><br /><ul><li> Yesus Dibaptis di Sungai Yordan</li><li> Yesus Menyatakan Diri-Nya dalam perjamuan nikah di Kana</li><li> Yesus Mewartakan Kerajaan Allah serta Menyerukan Pertobatan</li><li> Yesus Dipermuliakan</li><li> Yesus Menetapkan Ekaristi<br /></li></ul><br />Paus Yohanes Paulus II juga mengungkapkan cintanya yang istimewa akan doa-doa Maria dan menyampaikan saran-saran bagaimana umat beriman dapat berdoa rosario dengan lebih baik.<br /><br />“Rosario telah menyertai saya di saat-saat suka dan di saat-saat duka,” tulisnya. “Dalam rosario saya selalu menemukan penghiburan.”<br /><br />Hanya selang dua minggu setelah pengangkatannya sebagai Bapa Suci pada tahun 1978, ia mengatakan, “Sejujurnya saya mengakui: Rosario adalah doa favorit saya.”<br /><br />Dan, katanya, “mengenang kembali segala kesulitan yang juga menjadi bagian dari pelaksanaan tugas perutusan saya, saya merasa perlu untuk menyampaikan sekali lagi, sebagai suatu undangan yang hangat kepada siapa saja untuk mengalami secara pribadi bahwa: Rosario sungguh `meningkatkan irama hidup manusia', dan menjadikannya selaras dengan `irama' hidup Tuhan sendiri.”<br /><br />Bapa Suci meminta bantuan setiap orang untuk menanggapi “krisis rosario” yang ditandai dengan kelalaian mengajarkannya kepada anak-anak serta keragu-raguan -yang didukung oleh beberapa teolog- bahwa rosario itu kuno, takhyul atau pun anti-ekumene.<br /><br />Terutama setelah “serangan yang mengerikan” tanggal 11 September 2001, paus mengatakan: menggairahkan kembali doa rosario merupakan sumbangan umat Katolik yang amat berharga bagi perwujudan perdamaian dunia.<br /><br />Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa rosario memberi “rasa damai bagi mereka yang mendoakannya,” membimbing mereka untuk memandang wajah Kristus dalam diri sesama, untuk peka terhadap kesedihan serta penderitaan sesama, serta membangkitkan kerinduan untuk menjadikan dunia “lebih indah, lebih adil, lebih selaras dengan rencana Tuhan.”<br /><br />“Sekarang ini, saya hendak mempercayakan diri kepada kuasa doa rosario …. sebagai sumber damai di dunia dan sumber damai dalam keluarga,” tulisnya.<br /><br />Rosario, kata paus, adalah dan akan selalu merupakan doa dari dan bagi keluarga.<br /><br />Mendaraskan doa rosario bersama-sama dalam keluarga akan mempersatukan mereka dengan Keluarga Kudus, membawa harapan-harapan serta persoalan-persoalan mereka kepada Tuhan, serta memusatkan perhatian mereka kepada gambaran kehidupan Kristus, dan bukannya gambar televisi, katanya.<br /><br />Berbicara tentang praktek doa rosario, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa rosario mengulang-ulang doa yang sama dengan tujuan merenungkan serta memusatkan pikiran, dan bukannya mendatangkan kejenuhan.<br /><br />Pertama-tama, katanya, biji-biji rosario janganlah dipandang sebagai “barang jimat,” tetapi sebagai sarana untuk melambangkan “perenungan serta usaha terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan Kristiani.”<br />Biji-biji rosario juga dapat “mengigatkan kita akan begitu banyaknya persahabatan dan ikatan persatuan serta persaudaraan yang mempersatukan kita dengan Kristus.”<br /><br />Peristiwa-peristiwa rosario, meskipun bukan pengganti bacaan Kitab Suci, haruslah menghantar pikiran kita kepada Kristus dan kepada peristiwa-peristiwa lain dalam hidup-Nya, demikian kata paus. Sebagian orang mungkin akan merasa tertolong dengan gambar atau ikon Kitab Suci dari peristiwa yang sedang direnungkan, atau setidak-tidaknya, dengan menggambarkan peristiwa -peristiwa tersebut dalam pikiran mereka.<br /><br />Paus Yohanes Paulus II juga menganjurkan agar umat membaca ayat Kitab Suci yang berhubungan dengan peristiwa yang direnungkan, bukan sebagai sarana untuk mengingat kembali informasi yang ada, “tetapi untuk mengijinkan Tuhan berbicara.”<br /><br />Seringkali terjadi, pada waktu berdoa rosario, kata paus, umat beriman lupa bahwa bagian penting dari suatu doa kontemplasi adalah keheningan; karenanya baik pada waktu mendaraskan doa rosario secara pribadi atau pun bersama-sama dalam suatu kelompok, dianjurkan untuk berhenti sejenak dalam keheningan setelah suatu ayat dibacakan.<br /><br />Sementara sepuluh Salam Maria dalam suatu peristiwa merupakan “elemen paling penting” dalam rosario, paus meminta umat beriman untuk lebih memperhatikan pendarasan doa Bapa Kami dan Kemuliaan, doa-doa yang menghantar umat kepada Allah Bapa dan kepada Allah Tritunggal.<br /><br />Bapa Suci menganjurkan bahwa jika rosario didaraskan dalam suatu kelompok, Kemuliaan sebaiknya dinyanyikan “sebagai suatu cara untuk memberikan penekanan yang pantas kepada Tritunggal Mahakudus yang amat penting dalam semua doa Kristiani.”<br /><br />Paus Yohanes Paulus II juga meminta umat beriman untuk sekali-kali berhenti serta memandang salib yang tergantung pada rosario mereka.<br /><br />“Hidup dan doa umat beriman berpusat pada Kristus,” tulisnya. Sama seperti Rosario, “segala sesuatu berasal dari Dia, segala sesuatu menghantar kita kepada Dia, segala sesuatu, melalui Dia, dalam persatuan dengan Roh Kudus, menuju kepada Bapa.”<br /><br />Rosario itu doa yang fleksibel, katanya. Ujud-ujud doa khusus dapat diucapkan pada akhir setiap peristiwa; sebagian dapat dinyanyikan; sebagai penutup, berbagai kelompok yang berbeda dalam usia, budaya serta etnis dapat memilih doa atau lagu-lagu Maria yang sesuai.<br /><br />Terutama ketika berusaha menghidupkan doa rosario bagi anak-anak, beberapa penyesuaian juga diperkenankan, katanya: “Mengapa tidak mencobanya?”<br /><br />Oleh: Cindy Wooden<br />Catholic News Service, 16 Oktober 2002<br /><div style="text-align: center;">======<br /></div><br /><div style="text-align: center;">sumber : "Rosary is powerful prayer for peace, pope says in apostolic letter" by Cindy Wooden; Catholic News Service; Copyright (c) 2002 Catholic News Service/U.S. Conference of Catholic Bishops; www.catholicnews.com<br /></div><br /><div style="text-align: center;">Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic News Service”</div></div></span>Unknownnoreply@blogger.com0